Petir saling menyambar, jalan menuju Gedung Tua saat itu belum terlalu bagus, masih tanah asli. Jadi saat sedang hujan deras, tidak ada mobil yang bisa lewat. Termasuk mobil Ali saat itu. Terpaksa dia berjalan kaki, mengabaikan badannya yang sudah basah kuyup. Matanya mengerjap beberapa kali karena terkena percikan air. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai Gedung Tua dengan jalan kaki di kondisi hujan deras seperti saat itu.
Sesampainya disana Ali diam sebentar, mengusap wajahnya yang terkena air hujan, berdiri di depan pintu gerbang Gedung Tua, lalu menghubungi seseorang untuk membukakan pintu gerbang. Tentu saja saat itu bukan hal sulit untuk Ali masuk ke Gedung Tua, karena beberapa minggu setelah kejadian tawuran terbesar dalam sejarah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga, Ali secara sah menjadi pemilik Gedung Tua itu.
Kakek Erlangga sudah menunggu kedatangannya di ruang utama, menatap Ali takjim tersenyum tipis melihat pemuda yang bukan keturunan dari keluarganya itu memberinya hormat begitu sampai.
"Kenapa tidak minta jemput?" tanya Kakek Erlanngga segera menyuruh salah satu asistennya mengambilkan handuk untuk Ali.
"Kakek tahu apa yang sudah terjadi? Dua murid Gajah Mada tewas. Dan itu karena penyerbuan kalian lagi!" tandas Ali murka tak mengacuhkan pertanyaan Kakek Erlangga, menyahut kasar handuk yang diserahkan kepadanya. Matanya memanas karena melihat kakek Erlangga yang tetap tenang meski sudah mengetahui berita tersebut.
"Itulah kenapa saya memberimu Gedung Tua ini, dan juga menyuruhmu mengambil jurusan hukum."
Ali mendengus kesal, "Kenapa harus saya?"
BRAKKK
Terdengar dentuman pintu didobrak dari luar. Langkah seseorang memburu menuju ruang utama begitu tahu tentang kedatangan Ali.
"Iya, kenapa harus bajingan ini?" sergah seseorang itu menatap Ali dan Kakek Erlangga bergantian, tatapan sarat akan kebencian. Dia tidak habis pikir? Apa kakeknya ini mengalami demensia? Tidak mungkin, kakeknya ini masih sehat dan masih sadar kalau punya cucu yang juga sehat bahkan waras. Jadi kenapa dia memberikan gedung tua ini pada orang asing? Bahkan yang notabene lulusan dari SMA lawannya?
Ali yang melihat kedatangannya, langsung menghampirinya, langkahnya panjang melayangkan tinju tepat di muka orang itu sebelum dia berhasil mengelak. Orang itu seketika terjungkal, Ali menyahut kerah bajunya sampai berdiri lagi, memberinya tinju sekali lagi. Tanpa takut dengan kakek Erlangga yang menyaksikannya. Ali sangat marah, dia absen dari mata kuliah siang begitu mendapat berita kalau SMA Erlangga menyerang SMA Gajah Mada lagi. Parahnya, dua murid perempuan SMA Gajah Mada tewas, dan mereka adalah anak kelas sepuluh yang pulang terlambat tidak tahu menahu tentang bahaya yang tiba-tiba datang ke sekolahnya. Jadi wajar kalau Ali langsung naik pitam dan menghajar orang itu.
"Lo kan yang mulai? Maksud lo apa hah? Gajah Mada nggak pernah menyerang kalian? Tujuan lo apa hah bangsat!"
Bukannya merasa bersalah orang itu malah tersenyum licik, menghempaskan begitu saja cekalan Ali dari bajunya, "Itu yang akan terjadi kalau lo ambil sesuatu yang bukan milik lo! Gue curiga jangan-jangan lo anak haram kakek!"
"ELANG YUDHISTIRA!!!" Seketika bentakan kakek Erlangga menggelegar ke seluruh penjuru ruang utama, ketegangan semakin menjadi malam itu. "Tutup mulutmu, kakek tidak akan menyerahkan Gedung Tua ini untuk anak keras kepala sebelum kamu mau berubah!" Iya orang itu Elang, cucu dari kakek Erlangga pemilik SMA Erlangga dan juga Gedung Tua.
"Cukup kek," potong Ali mengeluarkan surat dari balik jaket lalu memberikannya pada kakek Erlangga. "Kedatangan saya kesini untuk mengembalikan kepemilikan Gedung Tua. Saya nggak berhak atas Gedung Tua ini."
"Sadar juga lo!" timpal Elang puas, sepertinya rencananya dengan menyerang SMA Gajah Mada berhasil membuat Ali tidak berkutik. Sekolah itu jelas sungguh berarti untuk Ali.
"Tapi dengan satu syarat, nggak ada lagi permusuhan antara Erlangga dengan Gajah Mada. Kalau sampai itu terjadi, saya sendiri yang akan menghancurkan kalian!"
***
"Bang Alllll!" Aisyah langsung menghambur memeluk abangnya begitu muncul dari balik pintu. Aisyah mendongak menatap lekat manik mata coklat Ali, rasanya sudah lama dia tidak bermanja ria dengan abang satu-satunya itu. Yah meski dia sudah menikah dan hamil, tetap saja dia wajib memeluk Ali, her badboy.
Ali mengusap lembut kepala Aisyah, perlahan melepas pelukannya, lalu merangkul adiknya untuk duduk di ruang tamu. Ali adalah laki-laki kedua yang sangat protektif terhadap Aisyah sejak dia hamil. Aisyah dilarang keras kecapekan.
"Gimana disana? Seru nggak?"
Aisyah mengganguk menyandarkan kepalanya di bahu Ali lalu memapah tangan Ali supaya mengelus perutnya, "Sayang, ini tangan om kamu. Semoga nanti kamu bisa seperti Om Ali ya, nak?"
"Kok kayak omnya? Kok nggak kayak papanya? Dia itu anak siapa sih?" tiba-tiba saja seolah dapat radar bahaya, terdengar suara omelan seseorang yang sedang menuruni tangga menuju ke arah mereka, siapa lagi kalau bukan Eza. Dia baru saja selesai mandi dan membawa satu map kuning meletakkannya di hadapan Ali.
"Ngefans sama abang sendiri emang nggak boleh?" bantah Aisyah cemberut menegakkan tubuhnya kembali berdiri, hendak menyajikan minuman untuk abangnya.
"Ai sayang, bukannya dulu kamu ngefans sama aku?"
"Aku sayang Mas Eza, tapi aku cintaaaaa bangettttt sama Bang Al! Dan aku pengen anak aku baiknya kayak om nya." tandas Aisyah nyengir kuda segera kabur ke dapur sebelum dia diajak Eza berdebat tentang hal sepele. Iya, Eza selalu begitu, sensitif dengan hal sepele. Aisyah memuji tukang sayur yang lewat depan rumah saja, Eza cemburu.
Eza seketika cemberut, mengerang kesal sambil membuka map kuning itu, "Seriusan deh, gue yang artis, tapi gue yang takut banget kalo Ai tinggalin gue. Gila banget kan, kenapa gue cemburu sama lo!"
"Mungkin karena otak lo emang gesrek sih Za, ehmm ..." Ali nampak berpikir seolah ini memang perbincangan serius, lalu memiringkan jari telunjuknya di depan kening, "Sedikit nggak waras."
Eza yang sadar sudah diledek kakak iparnya, cuma nyengir mengiyakan. Dia mungkin memang gila, setiap hari tergila-gila dengan istrinya itu.
"Jadi ini bener Yachio Dragon?" Ali memulai percakapan. Raut mukanya berubah serius dijawab Eza dengan anggukan.
Meskipun sebulan ini Eza menghabiskan waktunya dengan Aisyah, tetapi dia tetap melakukan permintaan Ali. Memantau pergerakan Yachio Dragon. Dan benar saja firasat Ali, mereka memang terlibat.
"Ryan sendiri yang melihat dua hari lalu, Tiara bersama anak buah Yachio keluar dari sebuah apartement di Bandung Selatan. Penampilan Tiara sangat kacau, kita harus segera menyelamatkan dia, Al." Jelas Eza menyodorkan foto-foto Tiara yang tertangkap kamera Ryan saat melakukan pengintaian.
"Jadi?"
Eza menghela napasnya, "Mereka menculik Tiara karena mengira kalau dia pemilik sah Gedung Tua."
Ali mengangkat alisnya sebelah, "Maksud lo?"
"Saat itu, bukan cuma lo pemilik Gedung Tua Al, tapi kalian berdua, sebelum lo menyerahkan ke Elang."
"Bentar, bentar jadi Kakek Langga menyerahkan Gedung Tua ke gue juga sama seseorang lagi? Siapa? Bumi?"
Eza menggeleng tersenyum kecut, "Lo pasti nggak akan menyangka." Eza menyodorkan selembar foto lagi yang ada di dalam map.
Ali hanya bisa menelan ludah, jelas dia terkejut. Menatap Eza menuntut penjelasan. Mana mungkin? Bagaimana bisa? Dan kenapa dia sampai tidak tahu akan hal itu?
"Lintang Larasati, orang kedua yang memiliki hak penuh sebagai pemilik Gedung Tua. Dia orang yang sama, yang dulu pernah bikin kita celaka."
***
Lintang bersyukur karena Elang tidak menampakkan batang hidungnya lagi. Sepertinya setelah kejadian tadi pagi, Elang langsung meninggalkan sekolah. Baguslah, batin Lintang puas. Setelah selesai memandu alat berat untuk merobohkan gedung, Lintang berniat untuk istirahat sebentar di kantin. Sepertinya makan sebentar tidak masalah kan, sebelum dia harus kembali lembur malam ini.
Sore hari kantin masih ramai sepertinya, mungkin karena anak kelas dua belas masih harus mengikuti pelajaran tambahan untuk Ujian Nasional tahun depan. Sontak saja, hampir sebagian pasang mata menatapnya begtu kakinya masuk kantin. Ada yang penasaran siapa penghuni baru SMA Gajah Mada itu karena belum pernah melihatnya. Ada yang bisik-bisik karena tahu Lintang, cewek yang tadi pagi dirangkul Saka. Ah bahkan masih ada yang menganggapnya murid baru, segitu awet mudanya kah dia itu? Diam-diam Lintang tersenyum bangga, mungkin nanti dia harus maskeran supaya kerutan di wajahnya tidak buru-buru nampak.
Lintang memilih kedai batagor yang berada di dekat pintu kantin karena nggak teralu ramai, Lintang malas kalau harus mengantri panjang.
"Bang bata---" sepertinya sedang ada angin tak kasat mata di kantin ya? Lintang merasa ada sesuatu yang membuat tubuhnya terdorong ke depan, dan itu jelas perbuatan anak manusia yang berlagak sok jadi angin karena setelah menabrak dia pura-pura tidak tahu . Seseorang itu jelas murid cewek yang dengan angkuhnya menoleh sebentar ke Lintang menyeringai, seolah sedang memberi tanda bahaya. Lintang tak mengacuhkannya kembali memesan batagor dan mencari meja yang kosong.
Tapi baru saja menemukan meja yang kosong, ada saja murid cewek yang mendahuluinya, seolah mereka sengaja menentang Lintang untuk berada di kantin. Jadi Lintang memutuskan untuk segera keluar kantin, memakannya di luar saja, sebelum tangan Saka yang entah tiba-tiba saja mencekalnya dan menariknya kembali masuk ke dalam. Mendudukkan Lintang di meja pojok setelah Saka mengusir segerembolan murid cewek yang menabraknya tadi.
"Makan gih." Pinta Saka nyengir duduk di hadapan Lintang.
Lintang terdiam, cukup terkejut dengan kejadian barusan. Melihat murid-murid disekitarnya yang melihatnya balik dengan tatapan syok. Bahkan tatapan kesal murid cewek yang menabraknya tadi, berhasil membuat Lintang menelan ludah ngeri.
"Udah nggak usah dipeduliin." Tambah Saka lagi, mengambil garpu lalu menaruhnya di tangan Lintang, "Buruan makan, bentar lagi gue masuk kelas."
"Apa hubungannya?" tanya Lintang sudah tersadar dari kengeriannya, memasang tampang kesal tidak paham dengan maksud ucapan Saka. Apa hubungannya dia yang makan batagor dengan Saka yang harus segera masuk kelas? Dan apa-apaan ini? Kenapa dia harus terus menghabiskan waktu dengan bocah ingusan ini? Lintang mendengus, memilih segera menyantap batagornya, bukan karena permintaan Saka, tapi karena pekerjaan sudah menunggunya.
"Karena lo udah jadi pacar gue jad---" ucap Saka terhenti begitu mendapat pelototan dari Lintang yang tengah mengunyah batagor. Saka nyengir menggaruk tengkuk lehernya, "Maksudnya mereka udah ngira lo pacar gue. Jadi secara nggak langsung keselamatan lo disini dipertarukan." Pungkas Saka sebelum mendapat pelototan lagi.
Lintang menaikkan alisnya sebelah, lagi-lagi dia tidak paham dengan bocah SMA di depannya itu. Dia taruh garpunya, mengambil gelas air mineral di meja lalu menegaknya habis begitu membuka tutupnya.
"Lo ngomong apa sih Ka? Lo waras kan? Emang lo presiden sampai keselamatan gue terancam karena duduk di depan lo?"
Saka berdecak, menyenderkan tubuhnya di kursi lalu melipat tangannya di dada berlagak sok cool yang selalu membuat murid cewek Gajah Mada terpesona tapi tidak berlaku untuk perempuan dewasa di depannya itu. "Kak, dulu sekolah disini sama Bang Al kan?"
Lintang mengangguk.
"Lo tahu julukan Bang Al dulu apa?"
"Preman Sekolah? Pentolan Sekolah? Preman nomor wahid Gajah Mada?"
Saka menjentikkan jarinya tersenyum puas, membenarkan jawaban Lintang, "Kalo saat itu ada bang Ali, sekarang ada yang baru, Saka Arya Putra, preman nomor wahid SMA Gajah Mada."
Satu detik, dua detik, tiga detik. Lintang menatap Saka datar. Tidak terpengaruh samasekali dengan penjelasan Saka tentang julukannya di sekolah ini. Lintang menggelengkan kepalanya kembali menghabiskan batagor yang tinggal beberapa potong, "Lo pikir gue murid yang akan dilabrak sama cabe cabean karena deket sama lo? Itu udah bukan level gue, Ka."
***
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
Awalnya mungkin mereka membuat ruangan ini untuk dijadikan ruang rapat. Tapi sepertinya Lintang satu-satunya staf teknik yang berani mengalihfungsikan untuk dijadikan markas besarnya. Disanalah dia menghabiskan waktu hampir 24 jam untuk menyelesaikan pekerjaan. Dia workholic? Bukan! Bukan banget. Dia itu ratunya mepet. Selalu kerja di detik-detik deadline. Meja rapat dengan ukuran1,5 meter x 3 meter penuh semua dengan dokumen-dokumen miliknya. Ah, bukan cuma itu saja, printer, kertas hasil print yang salah, tisu bekas ingusnya, minuman botol yang tidak menyehatkan sampai bungkus snack, semua ada di atas meja. Dan dia? Dengan santai menghadap laptop, menyilangkan kakinya di kursi, fokus dengan kerjaannya. Tidak lupa earphone bertengger manis di telinganya. Lagu-lagu dari rocket rockers kesukaannya mengalun, menghentak, membuatnya gagal untuk merasa ngantuk di jam 11 malam. "Kopi?" Danu melongok, kepalanya menyembu
Anggap saja saat ini sedang menonton film. Sekitar pukul 09.00 pagi. Tepat saat bel istirahat berbunyi. Satu persatu murid SMA Gajah Mada keluar. Dan yang beruntung, mereka akan langsung melihat penampakan dua alumni SMA Gajah Mada yang untuk beberapa saat saling tatap, diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Saat itu juga cuaca mendukung, langit cerah tapi tidak ada bunga sakura yang bersemi, cuma ada bunga sepatu di taman depan UKS, sih. Lintang berdiri saja di depan UKS, matanya tersenyum, hatinya senang. Pernah punya kesempatan mengenal Ali, itu cukup jadi kenangan manis untuknya. Sampai terlalu manisnya kenangan itu, tanpa sadar satu kalimat meluncur mulus dari mulut mungilnya. Rasanya Lintang pengen menyumpal saja muluntya itu, nyesel banget sudah keceplosan di tempat dan waktu yang sangat tidak tepat! "Iya, Ali si kutub es paling mempesona." "Lo panggil gue?" Dua kalimat yang muncul dari d
Setahun yang laluSaka terus berlari, menyusuri gang demi gang. Sesekali dia menoleh ke belakang, napasnya ngos ngosan. Dia terus berlari meski sebenarnya segerombolan anak SMA Erlangga yang mengejarnya sudah berhenti sejak berpapasan dengan polisi yang tengah berpatroli. Tidak tahu kenapa, dan Saka akan segera mencari tahu kenapa tiba-tiba anak SMA Erlangga mengejarnya. Dia tidak akan tinggal diam. Meski Ali sudah memperingatkannya untuk berhenti tawuran, namanya juga pentolan sekolah. Dia akan tetap buat perhitungan.Saka berhenti tepat di bawah rumah pohon dekat perkampungan belakang kompleks rumahnya. Dia ambil ponselnya mencoba menghubungi Iqbal. Sialnya, Iqbal tidak angkat. Saka berteduh di bawah pohon, menyenderkan tubuhnya berusaha sebanyak mungkin menghirup oksigen. Dia tidak sadar kalau sedang berada di area perkampungan kumuh. Dan dia baru sadar juga kalau di atasnya ada rumah pohon yang tidak terawat. Iseng
Saat ini Lintang tengah berada di pinggir lapangan upacara. Tadi Saka mengantarnya sampai ke sini, sebenarnya Saka ingin mengantar Lintang sampai rumah sebagai ganti karena telah merusak kameranya, dan akan memperbaiki juga kamera Lintang yang dia rusakkan itu. Tapi Lintang menolak, dia paham betul itu cuma alasan Saka supaya bisa bolos saja. Lintang menyuruh Saka untuk kembali ke kelas, kamera bisa diperbaiki besok atau lusa, masih ada waktu. Lintang hapal betul tingkah preman sekolah model Saka. Ingat, Lintang jauh lebih tua darinya. Sambil jalan ke gerbang, dengan kamera ponsel, Lintang mengambil beberapa gambar sekolahnya itu. Tidak ada yang berubah samasekali. Dari dulu memang SMA Gajah Mada terkenal punya fasilitas lengkap, jadi tidak perlu lagi fasilitas tambahan. Mungkin cuma gedung yang ada paling belakang yang memang perlu direnovasi, bangunan yang akan direnov Lintang, karena memang sudah lama tidak digunakan jadi tidak terawat. Ali punya
Tiga puluh tahun sudah SMA Gajah Mada berdiri. Pendiri SMA Gajah Mada dulunya adalah mantan murid dari SMA Erlangga. Dia dikeluarkan karena sudah membuat masalah dengan kepala sekolah. Dia sudah berani melaporkan kepala sekolah dengan dugaan korupsi dari uang sumbangan siswa saat itu. Dengan dukungan keluarga besarnya, tanpa menamatkan pendidikan SMA bahkan kuliah, dia berhasil mendirikan sebuah gedung tiga lantai yang menjadi gedung pertama SMA Gajah Mada. Sejak saat itulah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga selalu terlibat perselisihan, bahkan sampai sekarang. Meskipun Ali sudah menanganinya, menghentikan semua tindak kekerasan kedua sekolah, tapi masih saja mereka saling serang, walaupun harus sembunyi-sembunyi dari Ali. Untuk menuju SMA Erlangga dari SMA Gajah Mada, kalian harus melewati jalanan hutan sekitar dua kilometer, lalu beberapa rumah dinas kehutanan, melewati kebun teh, dan kalian akan menemukan SMA Erlangga yang berdiri gagah
Baru Dua puluh menit, Ali sudah keluar lagi. Dia membatalkan begitu saja rapat bulanan SMA Gajah Mada setelah mendapat laporan dari satpam sekolah. Ali samasekali belum mengerti kenapa Lintang harus mengejar Saka. Dan otomatis, dia mengira Lintang akan dalam bahaya karena mengikuti Saka ke SMA Erlangga. Saat itu senja, mereka berdua duduk berhadapan di balkon rumah sakit. Sepertinya itu hari terakhir mereka bertemu. Ali sengaja tidak ingin menemui Lintang meskipun dia masih terikat kontrak dengan Production House nya saat itu. "Mas Al maafin saya kan?" tanya Lintang takut, dia masih menunduk tidak berani menatap langsung kedua mata si pentolan sekolah. Ali hanya diam, mungkin saat itu karena dia hampir saja kehilangan Aisyah adiknya, membenci Lintang menjadi suatu keharusan. "Gue nggak putus kontrak lo bukan karena gue maafin lo." Suara Ali terdengar dingin, menarik kursi
Sekitar seratus pukulan dilayangkannya. Samsaks itu seolah seperti orang yang harus dia hancurkan. Napasnya menggebu. Bumi hanya duduk membaca kelengkapan dokumen yang sudah harus siap besok pagi. Cuaca sedang tidak bagus, udara semakin dingin, petir terus saja menyambar sejak satu jam yang lalu bersamaan dengan hujan angin. Tapi keringatnya terus mengucur dari sekujur tubuhnya, seiring jumah tinju yang dia layangkan. "Semua berkas sudah siap, lo bisa gabung besok. Yakin mau pakai serangan langsung?" tanya Bumi memastikan. Seandainya pun dia berubah pikiran, itu tidak masalah. Bumi masih bisa memikirkan cara lain. Dia menarik napas dalam-dalam. Duduk di lantai sambil melepas sarung tinjunya. Menegak habis air mineral yang sudah disiapkan sejak dia datang ke gedung tua, oleh asisten Bumi. "Lo berharap gue nggak bertemu Lintang?" tanyanya balik. Bumi hanya menaikkan alisnya sebelah, lalu tersenyum tipis. Hei, harus be
Lintang tidak habis pikir, dia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali memastikan kalau yang berdiri di hadapannya itu manusia. Iya, ini bukan halusinasi kan? Astaga, Lintang menghembuskan napasnya kasar. Mukanya seketika kesal, pamit keluar dari ruangan Ali untuk mengambil foto gedung sebelum dua jam lagi akan dirobohkan. Pikirannya kacau, segera menuruni anak tangga menuju belakang sekolah, ke gedung itu. Mengobrak abrik isi tasnya, dan mengumpat kesal karena lupa kalau kameranya masih diperbaiki Saka. Kesalnya lagi, dia tidak punya nomor hapenya Saka. Terpaksa Lintang harus mencari Saka ke kelasnya. Tapi langkahnya terhenti di persimpangan koridor begitu ingat kalau dia bahkan tidak tahu Saka kelas berapa. Lintang menepuk keningnya frustasi, balik badan mencoba mencari Saka ke kantin, mungkin dia ada disana. Ini jam istirahat kan? Lintang melihat sekitar, murid-murid Gajah Mada sudah ramai di luar kelas. Elang Yudhistira, masala