Lintang berdiri saja di depan UKS, matanya tersenyum, hatinya senang. Pernah punya kesempatan mengenal Ali, itu cukup jadi kenangan manis untuknya. Sampai terlalu manisnya kenangan itu, tanpa sadar satu kalimat meluncur mulus dari mulut mungilnya. Rasanya Lintang pengen menyumpal saja muluntya itu, nyesel banget sudah keceplosan di tempat dan waktu yang sangat tidak tepat!
"Iya, Ali si kutub es paling mempesona."
"Lo panggil gue?"
Dua kalimat yang muncul dari dua alumni, dua kalimat yang tidak sengaja didengar oleh beberapa murid. Seketika Lintang menelan ludahnya, sorot matanya berubah menegang, dia tidak berani menoleh. Dia tidak butuh menoleh untuk memastikan suara siapa itu. Delapan tahun berlalu bukan berarti dia lupa suara itu, suara berat yang selalu membuatnya takut.
Lintang menarik napas dalam-dalam, mencoba memasang raut muka sewajarnya, pelan dia menoleh. Degup yang dulu pernah ada, kenapa sekarang hadir lagi? Lintang rasa kakinya jadi lemas, gagal kalau dia mau bersikap sewajarnya. Wajah dingin itu menatapnya lagi, setelah delapan tahun berlalu.
"Hah? Ada apa?" Lintang pura-pura tidak mendengar.
Ali berdehem, memasukkan tangannya ke saku celana, kembali mengulang pertanyaannya. Kali ini hampir sebagian murid sudah mengerubungi mereka. Tidak bisa dipungkiri, jarang sekali Ali mau menampakkan dirinya di sekolah saat jam istirahat. Maka dari itu, murid-murid khususnya kaum hawa tidak akan menyia-nyiakan kesempatan langka untuk menikmati pesona alumni pentolannya Gajah Mada ini.
"Lo panggil gue?"
"Panggil? Ali? Ah, itu ...." Lintang menunjuk poster yang untungnya tertempel di dekat jendela UKS. Sepertinya Lintang harus berterimakasih deh sama orang yang sudah ikhlas pasang poster itu.
"Aliando, cakep, hehehe ...."
***
Kalau dulu Ada Ali, Wahyu, Eza, Miko, Angga, Aji dan Marcel. Tahun ini juga ada yang dinobatkan jadi pentolan sekolahnya SMA Gajah Mada, Saka namanya. Saka Arya Putra, cowok dengan kegantengan di atas rata-rata, muka ciri khas jawa banget, pintar dalam hal akademik juga non akademik, dan hobi cari ributlah yang menjadikan dia murid nomor wahid di Gajah Mada. Untung saja Ali lah sekarang yang punya sekolah ini, tidak akan ada lagi yang namanya tawuran. Ali masih jadi pimpinan yang ditakuti, dan Saka tidak akan sebebas jamannya Ali maupun Miko. Kalau pentolan jaman dulu anti deket sama yang namanya cewek, atau bisa dibilang cuma jatuh cinta dan menikah dengan cinta pertamanya, berbeda dengan Saka. Dia satu-satunya pentolan SMA Gajah Mada yang punya cap playboy kelas kakap. Perangainya yang ramah walaupun kadang gampang emosi, membuat banyak kaum hawa menempel setiap hari di sekitarnya. Meski begitu tidak ada satu pun yang benar-benar bisa mencuri perhatiannya, sampai penghuni baru datang pagi ini.
Saka tidak jauh beda dengan Miko. Dia juga sama cerdasnya, apalagi di bidang fisika. Nilainya tidak pernah di bawah 90. Untuk itu, atas keberaniannya, dia melewatkan jam pelajaran fisika, karena berdalih dia akan tetap dapat nilai baik meskipun tidak mengikuti mata pelajarannya. Dan saat ini dia sedang menghabiskan waktunya tiduran di gedung yang akan dibongkar. Mendengarkan lagu rocket rockers favoritnya sejak setahun lalu.
Baru beberapa menit dia tiduran, ada suara langkah kaki yang masuk ke dalam gedung. Juga berkali-kali suara jepretan foto yang terdengar begitu jelas. Saka mendesah berat, kesal mematikan musiknya, memutar badannya ke samping, melihat dari balik celah triplek berlubang yang ada di depannya. Benar ada seseorang yang sepertinya sedang sibuk mengambil foto.
Satu lagi, mungkin memang sudah tabiat. Hampir semua pentolan sekolah punya tempramen yang buruk. Mereka lebih cepat marah untuk hal yang mengganggunya. Termasuk saat ini, Saka mengira kalau orang itu murid kelas satu, cewek, yang diam-diam sedang mengambil fotonya.
BRAKKKK
Kasar, Saka menendang triplek yang ada di depannya. Dia bangun, langkahnya cepat, menghampiri gadis yang terkejut melihat tiba-tiba ada Saka disana. Tanpa ijin, dan kejadiannya begitu cepat, Saka merampas kamera dari tangan gadis itu lalu membantingnya.
PRAKKK
"KAMERA GUE!" gadis itu berteriak histeris, panik buru-buru mengambil kembali kameranya, tapi telat. Lensa kameranya sudah pecah.
Saka tersenyum sinis, "Jadi itu kamera punya lo?"
"Lo gila hem? Banting kamera orang seenak jidat? Lo pikir lo siapa? Lo harus ganti rugi!" cerocos gadis itu jengkel. Mukanya sudah memerah marah. Belum pernah seumur-umur dia sekesal ini dengan orang. Apalagi bocah ingusan seperti yang ada di depannya saat ini? Dia benar-benar harus bikin perhitungan.
Saka yang dapat omelan malah mengabaikannya, dia pergi meninggalkan gadis itu begitu saja. Tapi baru beberapa langkah, gadis itu menarik lengan Saka kasar. Membuat Saka terpaksa balik badan.
"Bener-bener nggak punya sopan santun ya? Ganti rugi sekarang juga, gue bilang!" tandasnya lagi.
Astaga, bukannya merasa bersalah si pentolan yang memang super duper resek ini tertawa keras, mengelus sebentar kepala gadis yang ada di depannya. Baru kali ini ada gadis yang berani membentaknya.
"Bilang apa tadi? Ganti rugi?"
Gadis itu cuma diam menepis tangan Saka dari kepalanya kasar. Serius, saat ini dia benar-benar sedang menahan emosi, tidak paham kenapa harus berurusan dengan cowok tidak waras. Ah iya, kenapa bisa di SMA Gajah Mada ada cowok gila?
"Budek lo?"
"Lo bilang apa? Budek?" Saka menarik kerah baju gadis itu, membuat gadis itu lebih dekat dengannya. Mood Saka beneran buruk saat ini, matanya menatap tajam gadis yang sekarang ada di cengkramannya, mencoba mengintimidasi dengan tatapannya. Tatapan yang biasanya sukses membuat lawan bicara takut, nggak berkutik.
"Lepasin gue!"
"Lo anak baru?"
"Gue bilang, lepasin!"
Saka semakin mengeratkan cengkraman. Akibatnya gadis itu terangkat sedikit, sejajar dengan Saka yang jauh lebih tinggi darinya.
"Lo nggak sadar berurusan dengan siapa? Lo datang kesini dan ambil foto gue? Kalo mau jadi cewek gue bilang aja! Gue nggak suka ada orang yang tanpa ijin ambil foto gue!" ganti Saka yang mengomel, membuat gadis itu terdiam.
Untuk beberapa saat gadis itu menatap Saka, bingung. Pelan dia mengartikan ucapan Saka, dan langsung tertawa. Dia hempas begitu saja cengkraman Saka yang sudah tidak terlalu kencang. Saking merasa lucunya, gadis itu masih terus tertawa menatap Saka, memegangi perutnya.
"Jadi lo kira gue ambil foto lo? Emang lo siapa, bocah?"
"Apa lo bilang? Bocah?" Saka semakin geram.
Gadis itu mengangguk mantap, sambil berusaha menghentikan tawanya. Kesalahpahaman ini benar-benar lucu. Membuatnya jadi agak lupa dengan insiden kameranya yang rusak.
"Hmmm ..." gadis itu menujuk tepat di hidung Saka, "Iya bocah, ahhh lebih tepatnya, bocah ing-us-an!"
Saka berdecak kesal, rahangnya mengatup keras, kembali mendekat ke arah gadis itu dan berniat mencengkram lagi kerah bajunya. Tapi belum sempat dia lakukan, suara keras menggema ke seluruh ruangan.
"SAKA ARYA PUTRA!"
Kompak Saka dan gadis itu menoleh ke arah sumber suara.
"Apa-apan lo? Bikin ulah lagi?"
Saka yang tahu siapa itu, langsung lesu pasang muka memelas, merengek seperti anak kecil yang coba cari alasan ke ayahnya. Orang itu tidak lain adalah pemilik SMA Gajah Mada yang baru, Ali Ferdiansyah.
"Bang, lo tahu sendiri kan gue nggak suka ada orang yang foto gue tanpa ijin. Dan dia ...," Saka menunjuk gadis itu balik, "Anak baru beraninya ambil foto gue, ngatain gue bocah ingusan."
Ali cuma diam, dingin menatap gadis yang ada di depannya, tapi masih bicara dengan Saka, "Emang lo bocah ingusan. Ganti kameranya, dan minta maaf ke dia. Dia penanggungjawab gedung ini. Dia bukan murid baru. Usianya tujuh tahun lebih tua dari lo. Fani Lintang Larasati, bener kan?"
Fani Lintang Larasati. Mendengar namanya disebut Ali, rasanya Lintang ingin kabur saja. Dia ingin segera keluar dari pekerjaannya dan kembali ke Cilegon jadi penjual kerupuk lagi. Masa bodoh deh dengan bonus besar sebagai penanggungjawab gedung Gajah Mada ini. Pikiran Lintang semakin kacau, semrawut. Ali hapal namanya, Ali tidak melupakannya. Ali masih ingat dia, gadis yang pernah memata-matainya delapan tahun lalu.
"Masih inget gue kan?" tambah Ali.
"Iya Mas, Mas Ali, lama nggak bertemu." Lintang menelan ludah memaksa diri memamerkan deretan giginya.
***
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
NOVEL SUDAH TIDAK TERSEDIA DI FLATFORM INI. TERIMAKASIH.
Setahun yang laluSaka terus berlari, menyusuri gang demi gang. Sesekali dia menoleh ke belakang, napasnya ngos ngosan. Dia terus berlari meski sebenarnya segerombolan anak SMA Erlangga yang mengejarnya sudah berhenti sejak berpapasan dengan polisi yang tengah berpatroli. Tidak tahu kenapa, dan Saka akan segera mencari tahu kenapa tiba-tiba anak SMA Erlangga mengejarnya. Dia tidak akan tinggal diam. Meski Ali sudah memperingatkannya untuk berhenti tawuran, namanya juga pentolan sekolah. Dia akan tetap buat perhitungan.Saka berhenti tepat di bawah rumah pohon dekat perkampungan belakang kompleks rumahnya. Dia ambil ponselnya mencoba menghubungi Iqbal. Sialnya, Iqbal tidak angkat. Saka berteduh di bawah pohon, menyenderkan tubuhnya berusaha sebanyak mungkin menghirup oksigen. Dia tidak sadar kalau sedang berada di area perkampungan kumuh. Dan dia baru sadar juga kalau di atasnya ada rumah pohon yang tidak terawat. Iseng
Saat ini Lintang tengah berada di pinggir lapangan upacara. Tadi Saka mengantarnya sampai ke sini, sebenarnya Saka ingin mengantar Lintang sampai rumah sebagai ganti karena telah merusak kameranya, dan akan memperbaiki juga kamera Lintang yang dia rusakkan itu. Tapi Lintang menolak, dia paham betul itu cuma alasan Saka supaya bisa bolos saja. Lintang menyuruh Saka untuk kembali ke kelas, kamera bisa diperbaiki besok atau lusa, masih ada waktu. Lintang hapal betul tingkah preman sekolah model Saka. Ingat, Lintang jauh lebih tua darinya. Sambil jalan ke gerbang, dengan kamera ponsel, Lintang mengambil beberapa gambar sekolahnya itu. Tidak ada yang berubah samasekali. Dari dulu memang SMA Gajah Mada terkenal punya fasilitas lengkap, jadi tidak perlu lagi fasilitas tambahan. Mungkin cuma gedung yang ada paling belakang yang memang perlu direnovasi, bangunan yang akan direnov Lintang, karena memang sudah lama tidak digunakan jadi tidak terawat. Ali punya
Tiga puluh tahun sudah SMA Gajah Mada berdiri. Pendiri SMA Gajah Mada dulunya adalah mantan murid dari SMA Erlangga. Dia dikeluarkan karena sudah membuat masalah dengan kepala sekolah. Dia sudah berani melaporkan kepala sekolah dengan dugaan korupsi dari uang sumbangan siswa saat itu. Dengan dukungan keluarga besarnya, tanpa menamatkan pendidikan SMA bahkan kuliah, dia berhasil mendirikan sebuah gedung tiga lantai yang menjadi gedung pertama SMA Gajah Mada. Sejak saat itulah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga selalu terlibat perselisihan, bahkan sampai sekarang. Meskipun Ali sudah menanganinya, menghentikan semua tindak kekerasan kedua sekolah, tapi masih saja mereka saling serang, walaupun harus sembunyi-sembunyi dari Ali. Untuk menuju SMA Erlangga dari SMA Gajah Mada, kalian harus melewati jalanan hutan sekitar dua kilometer, lalu beberapa rumah dinas kehutanan, melewati kebun teh, dan kalian akan menemukan SMA Erlangga yang berdiri gagah
Baru Dua puluh menit, Ali sudah keluar lagi. Dia membatalkan begitu saja rapat bulanan SMA Gajah Mada setelah mendapat laporan dari satpam sekolah. Ali samasekali belum mengerti kenapa Lintang harus mengejar Saka. Dan otomatis, dia mengira Lintang akan dalam bahaya karena mengikuti Saka ke SMA Erlangga. Saat itu senja, mereka berdua duduk berhadapan di balkon rumah sakit. Sepertinya itu hari terakhir mereka bertemu. Ali sengaja tidak ingin menemui Lintang meskipun dia masih terikat kontrak dengan Production House nya saat itu. "Mas Al maafin saya kan?" tanya Lintang takut, dia masih menunduk tidak berani menatap langsung kedua mata si pentolan sekolah. Ali hanya diam, mungkin saat itu karena dia hampir saja kehilangan Aisyah adiknya, membenci Lintang menjadi suatu keharusan. "Gue nggak putus kontrak lo bukan karena gue maafin lo." Suara Ali terdengar dingin, menarik kursi
Sekitar seratus pukulan dilayangkannya. Samsaks itu seolah seperti orang yang harus dia hancurkan. Napasnya menggebu. Bumi hanya duduk membaca kelengkapan dokumen yang sudah harus siap besok pagi. Cuaca sedang tidak bagus, udara semakin dingin, petir terus saja menyambar sejak satu jam yang lalu bersamaan dengan hujan angin. Tapi keringatnya terus mengucur dari sekujur tubuhnya, seiring jumah tinju yang dia layangkan. "Semua berkas sudah siap, lo bisa gabung besok. Yakin mau pakai serangan langsung?" tanya Bumi memastikan. Seandainya pun dia berubah pikiran, itu tidak masalah. Bumi masih bisa memikirkan cara lain. Dia menarik napas dalam-dalam. Duduk di lantai sambil melepas sarung tinjunya. Menegak habis air mineral yang sudah disiapkan sejak dia datang ke gedung tua, oleh asisten Bumi. "Lo berharap gue nggak bertemu Lintang?" tanyanya balik. Bumi hanya menaikkan alisnya sebelah, lalu tersenyum tipis. Hei, harus be
Lintang tidak habis pikir, dia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali memastikan kalau yang berdiri di hadapannya itu manusia. Iya, ini bukan halusinasi kan? Astaga, Lintang menghembuskan napasnya kasar. Mukanya seketika kesal, pamit keluar dari ruangan Ali untuk mengambil foto gedung sebelum dua jam lagi akan dirobohkan. Pikirannya kacau, segera menuruni anak tangga menuju belakang sekolah, ke gedung itu. Mengobrak abrik isi tasnya, dan mengumpat kesal karena lupa kalau kameranya masih diperbaiki Saka. Kesalnya lagi, dia tidak punya nomor hapenya Saka. Terpaksa Lintang harus mencari Saka ke kelasnya. Tapi langkahnya terhenti di persimpangan koridor begitu ingat kalau dia bahkan tidak tahu Saka kelas berapa. Lintang menepuk keningnya frustasi, balik badan mencoba mencari Saka ke kantin, mungkin dia ada disana. Ini jam istirahat kan? Lintang melihat sekitar, murid-murid Gajah Mada sudah ramai di luar kelas. Elang Yudhistira, masala
Lintang cemberut, kesal menatap Elang yang tetap tidak bergerak dari tempatnya. Sudah dua jam Lintang menungguinya kerja. Sore itu tiba-tiba saja Elang mengiriminya pesan, meminta Lintang untuk datang ke kantor. Lintang pikir akan ada hal serius yang mau dibicarakan, mungkin tentang kakek? Tapi ternyata salah, dia hanya disuruh menghadap Elang. "El ..." panggil Lintang, melipat tangannya di dada, kakinya sudah dinaikkan ke kursi bersila. Sudah jadi kebiasaan Lintang memang kalau datang ke ruangan Elang, dia suka duduk seenaknya sendiri. Kalau orang lain mungkin sudah Elang hajar, tapi ini Lintang. Elang hanya tersenyum, geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan tingkah Lintang yang seperti anak kecil itu. "Hemm," Elang cuma berdehem, tidak beralih sedikit pun tatapannya dari dokumen yang tengah ia kerjakan. "Ini udah dua jam, El." Rengek Lintang, bibirnya mengerucut tanda protes.
Petir saling menyambar, jalan menuju Gedung Tua saat itu belum terlalu bagus, masih tanah asli. Jadi saat sedang hujan deras, tidak ada mobil yang bisa lewat. Termasuk mobil Ali saat itu. Terpaksa dia berjalan kaki, mengabaikan badannya yang sudah basah kuyup. Matanya mengerjap beberapa kali karena terkena percikan air. Butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai Gedung Tua dengan jalan kaki di kondisi hujan deras seperti saat itu. Sesampainya disana Ali diam sebentar, mengusap wajahnya yang terkena air hujan, berdiri di depan pintu gerbang Gedung Tua, lalu menghubungi seseorang untuk membukakan pintu gerbang. Tentu saja saat itu bukan hal sulit untuk Ali masuk ke Gedung Tua, karena beberapa minggu setelah kejadian tawuran terbesar dalam sejarah SMA Gajah Mada dan SMA Erlangga, Ali secara sah menjadi pemilik Gedung Tua itu. Kakek Erlangga sudah menunggu kedatangannya di ruang utama, menatap Ali takjim tersenyum tipis