"Mas Krisna!" teriak Rania tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Suaminya sedang berpelukan dengen wanita lain, bahkan suaminya berkali-kali mengecup rambut wanita itu.
"Rania?" kaget Krisna. Sontak dia mendorong Karin, wanita yang dalam pelukannya. "Ini yang kamu bilang sedang meeting, Mas?!" suara Rania meninggi pecah, dia kecewa memekik gejolak emosi. Baru saja suaminya menyuruhnya mengantar berkas yang tertinggal, ternyata malah mendapati kenyataan mengejutkan. "Kenapa kamu masuk tanpa ketuk pintu? Aku bilang letakkan saja berkasnya di bawah!" kesal Krisna. Rania tertawa getir. "Apa aku salah datang ke ruang kerja suamiku? Oh, karena Mas nggak mau aku mengganggu acara meeting mesra dengan wanita ini, kan?" "Sopan kamu dengan Karin, dia rekan kerjaku!" sentak Krisna. Karin tersenyum sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Karin, Mbak." Wanita itu tidak ada wajah bersalah sedikitpun. Mata Rania membeliak. "Ini yang Mas sebut rekan kerja? Berpelukan mesra itu yang Mas sebut meeting? Luar biasa." "Ran, jaga bicaramu. Kamu hanya salah paham!" "Salah paham?" Rania tersenyum kecut. Dadanya begitu sesak. "Maaf, Mbak Rania. Aku dan Krisna tadi sedang-" "Diam!" potong Rania dengan tatapan tajam, matanya nyalang ada bara emosi. "Aku tidak bicara denganmu. Aku sedang bicara sama suamiku!" Krisna mengusap wajahnya kesal. "Ran, kamu tidak bisa yang tiba-tiba datang, lalu langsung menuduh sembarangan." "Sembarangan?" Krisna menggeleng frustrasi, suaranya mulai meninggi. "Pkiranmu yang kotor dan selalu curiga! Karin itu rekan kerjaku dan kami sedang diskusi tentang proyek penting." "Proyek? Sejak kapan kamu garap proyek pelukan mesra?" "Rania!" teriak Krisna geram. "Kris, mungkin aku harus pergi. Kita bahas lain kali." Karin hendak melangkah. "Tidak, Karin. Kamu tetap di sini. Kamu tidak salah. Rania yang salah paham. Maafkan istriku, dia memang bodoh soal bisnis." "Kamu bilang apa, Mas?" Krisna menarik nafas dalam. "Rania, kamu harus belajar percaya pada suamimu. Hubungan kita tidak akan bertahan kalau kamu seperti ini. Gampang curiga pada rekan kerja suami. Yang harus kamu tahu, suamimu tidak berkerja dengan pria saja." "Mas, kamu-" Rania menggeleng heran. Karin hanya mematung tanpa ekspresi. "Sudahlah, Rania! Kamu pergi saja sekarang! Pekerjaanku jadi kacau karena kebodohanmu!" bentak Krisna keras. "Aku tidak akan pergi kalau dia masih ada di sini. Kamu pikir aku bodoh seperti yang kamu katakan?!" Rania menatap kesal Karin yang malah menikmati perdebatan suami istri. Krisna mendesah panjang, wajahnya semakin tegang memerah. "Tidak bisakah kamu percaya sedikit saja? Ini kantor, bukan tempat drama!" "Mas Krisna pikir ini drama, seperti Mas lagi pelukan mesra tadi? Aku serius, Mas. Aku akan di sini." Rania ingin mengawasi seperti apa sih kerja sama yang mereka katakan. "Cukup! Aku punya banyak hal yang lebih penting daripada meladeni kecurigaanmu yang tidak berdasar!" Rania terdiam dengen senyum getir. "Akhh! Kris! Aduh. kepalaku." Karin memegang kepalanya, suaranya lemah dan gemetar. Karin terhuyung hampir kehilangan keseimbangan. Krisna cepat merespons. Dia melangkah panjang ke arah Karin untuk menangkapnya. Dalam langkah tergesa Krisna tak sengaja menyenggol Rania. "Akhh!" Rania terjungkal ke meja hingga terbentur keras, membuatnya mengerang kesakitan. "Karin, kamu nggak apa-apa?" "Aku nggak apa-apa, Kris." Akan tetapi, Krisna seperti tuli pada kesakitan istrinya. Dia sama sekali tidak memedulikan Rania. Fokusnya hanya tertuju pada Karin yang kini lemas dalam pelukannya. "Nggak apa-apa, tapi kamu mau pingsan. Mana yang sakit?" Krisna tampak cemas, kedua tangannya memegangi tubuh Karin agar tidak jatuh. Rania yang masih di lantai, menatap nanar sikap suaminya. Sakit hatinya semakin mencekik dadanya. Dia coba bangkit, tapi- "Auwh!" Rania kesakitan. Dia menekan barisan giginya menahan sakit. Krisna masih sibuk dengan Karin dalam pelukannya. "Mas Krisna, bantu aku berdiri." Suara Rania lirih memekik nyeri. Krisna bergeming. Dia bahkan tidak menoleh ke arah Rania. Matanya hanya tertuju pada Karin. "Karin, coba kamu duduk dulu," ucap Krisna lembut, dia membawa Karin untuk duduk di sofa. Hatinya seperti dihujam tusukan seribu jarum. Dia kesakitan, tapi malah diabaikan suaminya. "Mas Krisna, aku sulit berdiri. Perutku sakit." Rania menekan bagian perutnya. Akhirnya Krisna menoleh, tapi bukan karena khawatir. Justru kemarahan yang tampak di wajahnya. "Hentikan, Ran. Kamu malah buat keadaan makin buruk. Kamu tidak lihat Karin jadi pusing. Kamu yang membuat dia stres karena ocehan nggak jelasmu itu." Rania tercengang. "Aku la ... gi? Akhhh! Auwhhh!" Padahal jarak dengan Rania sangat dekat, tapi Krisna sama sekali tak mau mendekat. "Sudahlah jangan drama. Karin asli sakit. Tapi kamu pasti pura-pura sakit cari perhatian." "Aku memang .... Auwhh!" Rania mengatup kuat matanya menatap nyeri. Bulir-bulir keringat telah muncul di dahinya. "Karin, kamu minum dulu. Setelah ini akan kuantar ke dokter. Maafkan istriku. Jangan kamu pikirkan apa yang tadi dia omongkan." Krisna membantu Karin minum. Rania merasakan perutnya semakin kram. Sakitnya semakin tajam, membuatnya harus menahan napas beberapa saat. Tangannya mengepal kuat menahan nyeri yang luar biasa. "Mas Krisna, aku merasa ada yang tidak beres padaku." "Cukup dramanya, Ran. Kamu pulang saja sana!" Rania menegang. Dia merasakan ada cairan yang keluar dari area kewanitaannya. "Mas Krisna, aku-" "Cukup! Kalau kamu tidak mau pergi, aku yang akan pergi." Lalu, Krisna membantu Karin berdiri. "Ayo, Karin, aku antar ke dokter. Aku takut kamu kenapa-napa." Karin mengangguk dan masih tampak lemas. Bulir cairan bening luruh mengiringi kepergian suaminya. "Mas, Aakkhhh!" Nafas Rania berat tersengal. Dia ditinggal begitu saja oleh suaminya."Apa saya benar-benar keguguran, dok?" tanya Rania, suaranya bergetar. Dia memekik tangis. Jika benar, maka suaminyalah yang membuat calon janin itu pergi.Dokter menatap simpati. "Benar. Memang ada tanda-tanda awal pembuahan, tapi sayangnya tidak bisa bertahan."Rania ingat kalau dia sudah telat sekitar 2 Minggu. Dia belum sempat tes kehamilan, sekarang malah mendapat kabar seperti itu. Rasanya sangat menyayangkan kejadian ini. Pasalnya, kehamilan itu telah ditunggunya sejak lama. Entah kenapa, selama ini setiap dia telat datang bulan beberapa hari saja, sudah gagal lagi. Padahal pernikahannya sudah hampir 2 tahun. Sampai beberapa kali dikatakan mandul oleh mertua dan kerabat keluarga suaminya.Rania mencengkram erat tangannya sendiri, menekan sesak. "Apa penyebabnya karena jatuh tadi? Bukan karena hal lain?""Keguguranmu ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, benturan keras saat kamu jatuh, dan posisimu saat jatuh tidak tepat untuk kondisi kehamilan yang masih sangat awal. Da
“Kenapa kamu ada di rumah sakit, Ran? Kamu membuntutiku?" Nada Krisna sedikit tinggi, matanya menatap selidik, membuat Rania jadi semakin malas.Bukannya khawatir atau bagaimana, malah seperti curiga. Bukankah melihat Rania saja sudah paham kalau istrinya sedang tidak baik-baik saja?Rania sebentar menatap Karin yang duduk tak jauh darinya. Karin jelas tampak bugar, duduk tegap dan tak ada wajah pucat sedikit pun. Rania jadi curiga pada wanita itu. "Ran, kenapa diam saja aku tanya. Kenapa kamu juga ganti baju? Pasti tadi melakukan hal yang tidak-tidak."Udara ditarik dalam-dalam agar rongga dada Rania tak sesak. "Mas Krisna kira aku kurang kerjaan mengawal kemesraan kalian. Kalau Mas Krisna tidak ada hal lain, aku pergi dulu."Krisna menahan lengan Rania. "Tunggu, kenapa kamu pucat begitu?"Rania tersenyum kaku dengan mata berkaca. “Mas Krisna tidak perlu khawatir padaku. Karin lebih butuh perhatian Mas.”"Apa maksudmu? Aku sedang bertanya dan kenapa kamu masih sensitif saja. Kalau a
“Dia benar-benar tak punya malu! Berani sekali dia masuk mobil pria lain di hadapanku!” Bara api amarah seolah siap menyambar. Krisna mengepal tangannya kuat. Apalagi saat pria lain membukakan pintu untuk Rania, dada Krisna terasa sesak, terdesak gejolak emosi.Krisna masih mematung menatap nyalang istrinya yang baru saja masuk ke mobil seorang pria. Pikirannya dipenuhi prasangka buruk pada istrinya.“Aku tidak salah lihat? Mungkinkah Rania berani bermain di belakangku?” gumam lirih Krisna hanya terdengar dirinya sendiri."Bukankah itu istrimu, Kris? Kukira dia mau pulang naik taksi, ternyata bersama pria lain. Apa itu teman atau saudaranya? Kenapa terlihat akrab sekali?" Karin tampak heran dengan menampilkan wajah lugu.“Kamu pikir begitu?” Karin mengangkat dua pundaknya “Aku hanya mengingatkan. Menurutku, tidak mungkin seorang pria membukakan pintu untuk wanita kalau tidak ada sesuatu di antara mereka. Kamu lihat sendiri, kan? Yang sangat aneh, istrimu seperti tidak menghormatimu y
"Rania!" Cepat Krisna menangkap tubuh istrinya yang terkulai lemas. Dia panik. "Kamu kenapa, Ran?" Krisna menepuk-nepuk pipi istrinya. Tak ada respon.Lalu Krisna meletakkan pelan tubuh istrinya ke atas tempat tidur. "Ran, kenapa kamu bisa seperti ini? Aku minta maaf buat kamu pingsan."Tangan Krisna menyentuh kening pucat Rania. "Panas? Kenapa kamu tidak bilang kalau sakit, Ran?" Krisna mengusap wajahnya kasar, dia frustasi dan bingung. "Aku harus panggil dokter. Ya, dokter." "Harusnya kamu sekalian periksa ke dokter saat kemarin di rumah sakit. Kenapa malah bersama pria lain?"Kontak dokter, ketemu.Akan tetapi, saat ingin menekan kontak itu, Krisna mendengar suara ayahnya."Krisna, Rania, kalian di dalam?" suara ayahnya terdengar dari balik pintu, membuat Krisna membelalak.Pria itu menatap istrinya yang terbaring lemah. Krisna panik, takut ayahnya tahu apa yang terjadi pada Rania dan menyalahkannya."Ayah nggak boleh tahu kalau orangnya pingsan."Krisna mengurungkan memanggil d
"Aku akan menjemputmu, Karin. Jangan kemana-mana. Jangan sedih lagi dong, Kamu 'kan masih punya aku." Jelas itu suara suaminya.'Mas Krisna kapan pulang?' batin Rania dia bersembunyi di balik tembok.'Ternyata, tebakkanku benar. Saat aku fokus memulihkan kondisi, Mas Krisna baik padaku karena tidak mau aku mengancam cerai lagi. Tapi di luar, dia masih seperti biasa dengan Karin,' batin Rania."Jangan nangis, aku pasti datang kok? Masih sakit nggak? Nanti akan kuantar ke dokter. Pokoknya selama ada aku, kamu jangan takut. Aku pasti akan datang kalau kamu hubungi."Rania mengernyit dan tersenyum getir, dia menunggu apa lagi yang akan dikatakan suaminya.'Mas Krisna pasti lagi teleponan dengan Karin,' batin wanita itu. Hatinya mendesir nyeri.Sambungan telepon dimatikan tanpa ada kata lagi dari suaminya.Rania lantas mendekat."Mas, tadi memanggilku?" Rania tersenyum kaku. Kemarin, dia ingin mencoba bertahan demi ayah mertua. Dia mencoba berdamai dan mau memulai berkomunikasi lagi dengan
"Aku akan menjemputmu, Karin. Jangan kemana-mana. Jangan sedih lagi dong, Kamu 'kan masih punya aku." Jelas itu suara suaminya.'Mas Krisna kapan pulang?' batin Rania dia bersembunyi di balik tembok.'Ternyata, tebakkanku benar. Saat aku fokus memulihkan kondisi, Mas Krisna baik padaku karena tidak mau aku mengancam cerai lagi. Tapi di luar, dia masih seperti biasa dengan Karin,' batin Rania."Jangan nangis, aku pasti datang kok? Masih sakit nggak? Nanti akan kuantar ke dokter. Pokoknya selama ada aku, kamu jangan takut. Aku pasti akan datang kalau kamu hubungi."Rania mengernyit dan tersenyum getir, dia menunggu apa lagi yang akan dikatakan suaminya.'Mas Krisna pasti lagi teleponan dengan Karin,' batin wanita itu. Hatinya mendesir nyeri.Sambungan telepon dimatikan tanpa ada kata lagi dari suaminya.Rania lantas mendekat."Mas, tadi memanggilku?" Rania tersenyum kaku. Kemarin, dia ingin mencoba bertahan demi ayah mertua. Dia mencoba berdamai dan mau memulai berkomunikasi lagi dengan
"Rania!" Cepat Krisna menangkap tubuh istrinya yang terkulai lemas. Dia panik. "Kamu kenapa, Ran?" Krisna menepuk-nepuk pipi istrinya. Tak ada respon.Lalu Krisna meletakkan pelan tubuh istrinya ke atas tempat tidur. "Ran, kenapa kamu bisa seperti ini? Aku minta maaf buat kamu pingsan."Tangan Krisna menyentuh kening pucat Rania. "Panas? Kenapa kamu tidak bilang kalau sakit, Ran?" Krisna mengusap wajahnya kasar, dia frustasi dan bingung. "Aku harus panggil dokter. Ya, dokter." "Harusnya kamu sekalian periksa ke dokter saat kemarin di rumah sakit. Kenapa malah bersama pria lain?"Kontak dokter, ketemu.Akan tetapi, saat ingin menekan kontak itu, Krisna mendengar suara ayahnya."Krisna, Rania, kalian di dalam?" suara ayahnya terdengar dari balik pintu, membuat Krisna membelalak.Pria itu menatap istrinya yang terbaring lemah. Krisna panik, takut ayahnya tahu apa yang terjadi pada Rania dan menyalahkannya."Ayah nggak boleh tahu kalau orangnya pingsan."Krisna mengurungkan memanggil d
“Dia benar-benar tak punya malu! Berani sekali dia masuk mobil pria lain di hadapanku!” Bara api amarah seolah siap menyambar. Krisna mengepal tangannya kuat. Apalagi saat pria lain membukakan pintu untuk Rania, dada Krisna terasa sesak, terdesak gejolak emosi.Krisna masih mematung menatap nyalang istrinya yang baru saja masuk ke mobil seorang pria. Pikirannya dipenuhi prasangka buruk pada istrinya.“Aku tidak salah lihat? Mungkinkah Rania berani bermain di belakangku?” gumam lirih Krisna hanya terdengar dirinya sendiri."Bukankah itu istrimu, Kris? Kukira dia mau pulang naik taksi, ternyata bersama pria lain. Apa itu teman atau saudaranya? Kenapa terlihat akrab sekali?" Karin tampak heran dengan menampilkan wajah lugu.“Kamu pikir begitu?” Karin mengangkat dua pundaknya “Aku hanya mengingatkan. Menurutku, tidak mungkin seorang pria membukakan pintu untuk wanita kalau tidak ada sesuatu di antara mereka. Kamu lihat sendiri, kan? Yang sangat aneh, istrimu seperti tidak menghormatimu y
“Kenapa kamu ada di rumah sakit, Ran? Kamu membuntutiku?" Nada Krisna sedikit tinggi, matanya menatap selidik, membuat Rania jadi semakin malas.Bukannya khawatir atau bagaimana, malah seperti curiga. Bukankah melihat Rania saja sudah paham kalau istrinya sedang tidak baik-baik saja?Rania sebentar menatap Karin yang duduk tak jauh darinya. Karin jelas tampak bugar, duduk tegap dan tak ada wajah pucat sedikit pun. Rania jadi curiga pada wanita itu. "Ran, kenapa diam saja aku tanya. Kenapa kamu juga ganti baju? Pasti tadi melakukan hal yang tidak-tidak."Udara ditarik dalam-dalam agar rongga dada Rania tak sesak. "Mas Krisna kira aku kurang kerjaan mengawal kemesraan kalian. Kalau Mas Krisna tidak ada hal lain, aku pergi dulu."Krisna menahan lengan Rania. "Tunggu, kenapa kamu pucat begitu?"Rania tersenyum kaku dengan mata berkaca. “Mas Krisna tidak perlu khawatir padaku. Karin lebih butuh perhatian Mas.”"Apa maksudmu? Aku sedang bertanya dan kenapa kamu masih sensitif saja. Kalau a
"Apa saya benar-benar keguguran, dok?" tanya Rania, suaranya bergetar. Dia memekik tangis. Jika benar, maka suaminyalah yang membuat calon janin itu pergi.Dokter menatap simpati. "Benar. Memang ada tanda-tanda awal pembuahan, tapi sayangnya tidak bisa bertahan."Rania ingat kalau dia sudah telat sekitar 2 Minggu. Dia belum sempat tes kehamilan, sekarang malah mendapat kabar seperti itu. Rasanya sangat menyayangkan kejadian ini. Pasalnya, kehamilan itu telah ditunggunya sejak lama. Entah kenapa, selama ini setiap dia telat datang bulan beberapa hari saja, sudah gagal lagi. Padahal pernikahannya sudah hampir 2 tahun. Sampai beberapa kali dikatakan mandul oleh mertua dan kerabat keluarga suaminya.Rania mencengkram erat tangannya sendiri, menekan sesak. "Apa penyebabnya karena jatuh tadi? Bukan karena hal lain?""Keguguranmu ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, benturan keras saat kamu jatuh, dan posisimu saat jatuh tidak tepat untuk kondisi kehamilan yang masih sangat awal. Da
"Mas Krisna!" teriak Rania tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Suaminya sedang berpelukan dengen wanita lain, bahkan suaminya berkali-kali mengecup rambut wanita itu."Rania?" kaget Krisna. Sontak dia mendorong Karin, wanita yang dalam pelukannya."Ini yang kamu bilang sedang meeting, Mas?!" suara Rania meninggi pecah, dia kecewa memekik gejolak emosi. Baru saja suaminya menyuruhnya mengantar berkas yang tertinggal, ternyata malah mendapati kenyataan mengejutkan."Kenapa kamu masuk tanpa ketuk pintu? Aku bilang letakkan saja berkasnya di bawah!" kesal Krisna.Rania tertawa getir. "Apa aku salah datang ke ruang kerja suamiku? Oh, karena Mas nggak mau aku mengganggu acara meeting mesra dengan wanita ini, kan?" "Sopan kamu dengan Karin, dia rekan kerjaku!" sentak Krisna.Karin tersenyum sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Karin, Mbak." Wanita itu tidak ada wajah bersalah sedikitpun.Mata Rania membeliak. "Ini yang Mas sebut rekan kerja? Berpelukan mesra itu yang Mas