“Dia benar-benar tak punya malu! Berani sekali dia masuk mobil pria lain di hadapanku!” Bara api amarah seolah siap menyambar. Krisna mengepal tangannya kuat. Apalagi saat pria lain membukakan pintu untuk Rania, dada Krisna terasa sesak, terdesak gejolak emosi.
Krisna masih mematung menatap nyalang istrinya yang baru saja masuk ke mobil seorang pria. Pikirannya dipenuhi prasangka buruk pada istrinya. “Aku tidak salah lihat? Mungkinkah Rania berani bermain di belakangku?” gumam lirih Krisna hanya terdengar dirinya sendiri. "Bukankah itu istrimu, Kris? Kukira dia mau pulang naik taksi, ternyata bersama pria lain. Apa itu teman atau saudaranya? Kenapa terlihat akrab sekali?" Karin tampak heran dengan menampilkan wajah lugu. “Kamu pikir begitu?” Karin mengangkat dua pundaknya “Aku hanya mengingatkan. Menurutku, tidak mungkin seorang pria membukakan pintu untuk wanita kalau tidak ada sesuatu di antara mereka. Kamu lihat sendiri, kan? Yang sangat aneh, istrimu seperti tidak menghormatimu yang juga ada di rumah sakit ini.” Krisna terdiam sesaat dan emosinya semakin memuncak. “Jadi kamu pikir, mereka sudah sering bertemu? Bukan hanya kali ini?” Karin tersenyum tipis cukup memperkuat prasangka Krisna. “Bisa jadi. Siapa tahu sudah lama dia menemui pria itu, tanpa kamu sadari. Dan apa mungkin mereka bersama di rumah sakit ini? ” Krisna mengatupkan rahangnya kuat-kuat, tatapannya jadi semakin gelap. “Tidak bisa dibiarkan. Dia harus kuberi pelajaran. Awas, saja nanti kalau aku pulang!” "Benar, Kris. Jangan sampai kamu dipandang rendah oleh istrimu. Tunjukkan kalau kamu itu punya martabat sebagai suami!" “Dia akan tahu akibatnya nanti!” Karin tersenyum tipis. ---------- Di mobil yang ditumpangi Rania. Rania duduk bersandar di mobil Indra, menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Dia masih berjuang menekan rasa nyeri karena sikap suaminya. Indra menoleh sebentar pada Rania. "Ran, kamu bahagia dengan pernikahanmu? Aku dan Ajeng sangat mengkhawatirkanmu. Apalagi kamu sulit kami temui, dan dilarang datang ke rumahmu." Bukan karena Rania melarang teman-temannya datang, tapi ibu mertuanya tidak mau teman atau saudara Rania yang dikatakan miskin itu menginjakkan rumah. "Entahlah, Dra. Apa aku terlihat bahagia?" "Ajeng sering mengeluh, katanya sejak kamu menikah, hidupmu seperti di penjara. Dia terus mengoceh, kamu itu istri atau pembantu. Begitu." Rania tertawa kecil. "Hidup di penjara? Mungkin dia tidak sepenuhnya salah." "Kamu nggak harus cerita sekarang kalau belum siap. Tapi nanti kalau kamu butuh seseorang untuk mendengarkan, aku dan Ajeng selalu ada. Jangan simpan semuanya sendiri." "Aku tahu. Dalam waktu dekat, aku pasti akan menghubungi kalian." Mobil sampai di depan rumah Rania. "Jaga dirimu. Sampai nanti." Rania mengangguk, membuka pintu mobil dan turun. "Makasih, Dra. Aku akan menghubungi Ajeng nanti." Rania berjalan tertatih setelah mobil Indra pergi. Wanita itu langsung ke kamar dan menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. "Huuufffff ...." Dia merasa tak punya sisa tenaga lagi. Dari tadi dia coba bertahan sekuat mungkin untuk tegak. Karena sangat lemah dan lelah, pelan kesadaran Rania menjauh. Dia terlelap. Tak selang lama, mobil Krisna masuk rumah itu. Krisna masuk ke rumah dengan langkah berat. Bayangan istrinya pulang dengan pria lain terus berputar di kepalanya. Pintu rumah dibanting keras, matanya liar mencari sosok Rania. "Rania! Di mana kamu?" Suaranya menggema ke seluruh rumah. Matanya nyalang ke setiap sudut ruang. Tak ada jawaban. Krisna semakin geram. Dia cepat ke kamar. "Ran! Rania!" Pria itu terus berteriak tak sabar. Brakkk! Pintu dibuka kasar. Krisna melihat istrinya sedang berbaring di tempat tidur. Dadanya semakin bergemuruh. Bukannya iba, rasa marah semakin menguasai pikirannya. "Kamu tidur dengan tenang setelah pulang bersama pria lain?" Krisna menarik kasar tangan istrinya. "Apa yang kamu lakukan, Mas?" Rania terbangun dengan kaget. Tubuhnya masih terasa lemas, tapi dia mencoba duduk. "Kamu bertanya apa yang aku lakukan?! Aku yang harusnya bertanya padamu! Kamu pulang dengan pria lain. Kamu pikir aku bodoh, tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan di belakangku? Beraninya kamu selingkuh di belakangku!" bentak Krisna dengan bara api disorot matanya. Rania terbelalak, dia semakin heran dengan sikap dan pikiran suaminya. "Kamu bicara apa, Mas? Siapa yang selingkuh? Jangan ngawur. Aku pulang diantar teman dan itu hanya kebetulan bertemu di rumah sakit." "Teman? Sejak kapan kamu punya teman? Jangan buat alasan! Sudah berapa lama kamu selingkuh, ha?! Kamu kira aku bisa kamu kelabuhi?!" Rania semakin dibuat kesal, masih sangat pusing. "Mas Krisna jangan menuduh yang tidak-tidak. Aku tidak pernah mengkhianatimu! Kalau ada yang selingkuh di sini, mungkin justru kamu, Mas!" Krisna menyeringai dengen deru nafas semakin berat. "Oh, jadi sekarang kamu malah menuduhku? Kamu yang selingkuh malah menuduhku balik. Sepintar itu kamu ternyata!" Rania mulai muak dengan tuduhan-tuduhan suaminya. "Mas pikir aku tidak tahu kalau hubungan Mas Krisna dan Kiran tidak sesederhana itu. Aku tidak bisa kalian bodohi begitu saja dengan mengatasnamakan rekan kerja untuk menutupi hubungan kalian. Mas lebih peduli padanya dari pada istri sendiri! Jelas, bukan?" Krisna membelalak tajam. "Apa?! Aku dan Kiran? Kamu sudah gila, Rania! Kiran itu sakit dan kamu malah menuduh aku yang tidak-tidak! Lagi pula, Kiran itu-" Tiba-tiba saja, Krisna menghentikan kalimatnya sambil membuang pandangan ke arah lain. Rania menangkap sesuatu yang janggal dari sikap itu. "Kiran itu apa? Siapa, Mas? Kenapa tidak dilanjutkan?" Rania tertawa getir sambil menekan daerah perutnya. Krisna menyugar rambutnya kasar. "Haish! Jangan bicara omong kosong, Ran! Aku dan Kiran selain rekan kerja juga teman di masa lalu. Jadi wajar kalau kami memang dekat. Lagi pula kondisinya memang sedang sakit dan butuh perhatian lebih. Tidak ada yang salah dalam hubungan kami!" "Dia sakit? Sakit atau tidak, aku tahu ada yang tidak beres di antara kalian, Mas!" "Berhenti membahas Kiran, aku bertanya sekali lagi siapa pria itu dan sejak kapan kalian berhubungan?!" sentak Krisna. Rania memilih diam dan malah kembali membaringkan diri. Dadanya sesak dan merasa semakin pusing. Darah Krisna semakin mendidih, merasa istrinya tidak menghormati dan menyepelekannya. "Rania!" Krisna kembali menarik kasar istrinya, hingga Rania terguling dari tempat tidur. "Akhhh!" jerit Rania. Sakit sekali. Batinnya lebih sakit. Rania mengepal kuat dan menghela nafas berat. "Cepat bangun dan jawab pertanyaanku!" Rania menahan rasa sakit raga dan hatinya. Meskipun tubuhnya lemah, dia tetap berusaha bangkit. Wanita itu berdiri gemetar tempat di depan suaminya. Matanya nyalang dengan senyum getir. "Aku tidak akan diam diperlakukan seperti ini, Mas. Jika kamu menuduhku selingkuh dan lebih percaya dengan pikiranmu, terserah. Silahkan! Aku tidak melarangmu sama sekali. Dan aku lelah, mari kita terpisah saja!" Deg! Krisna jadi terdiam. Matanya yang nyalang pelan meredup. Pisah? Kata itu bak palu menghantam dadanya. Sedang Rania, semakin tak kuat menopang raganya. "Ran!""Rania!" Cepat Krisna menangkap tubuh istrinya yang terkulai lemas. Dia panik. "Kamu kenapa, Ran?" Krisna menepuk-nepuk pipi istrinya. Tak ada respon.Lalu Krisna meletakkan pelan tubuh istrinya ke atas tempat tidur. "Ran, kenapa kamu bisa seperti ini? Aku minta maaf buat kamu pingsan."Tangan Krisna menyentuh kening pucat Rania. "Panas? Kenapa kamu tidak bilang kalau sakit, Ran?" Krisna mengusap wajahnya kasar, dia frustasi dan bingung. "Aku harus panggil dokter. Ya, dokter." "Harusnya kamu sekalian periksa ke dokter saat kemarin di rumah sakit. Kenapa malah bersama pria lain?"Kontak dokter, ketemu.Akan tetapi, saat ingin menekan kontak itu, Krisna mendengar suara ayahnya."Krisna, Rania, kalian di dalam?" suara ayahnya terdengar dari balik pintu, membuat Krisna membelalak.Pria itu menatap istrinya yang terbaring lemah. Krisna panik, takut ayahnya tahu apa yang terjadi pada Rania dan menyalahkannya."Ayah nggak boleh tahu kalau orangnya pingsan."Krisna mengurungkan memanggil d
"Aku akan menjemputmu, Karin. Jangan kemana-mana. Jangan sedih lagi dong, Kamu 'kan masih punya aku." Jelas itu suara suaminya.'Mas Krisna kapan pulang?' batin Rania dia bersembunyi di balik tembok.'Ternyata, tebakkanku benar. Saat aku fokus memulihkan kondisi, Mas Krisna baik padaku karena tidak mau aku mengancam cerai lagi. Tapi di luar, dia masih seperti biasa dengan Karin,' batin Rania."Jangan nangis, aku pasti datang kok? Masih sakit nggak? Nanti akan kuantar ke dokter. Pokoknya selama ada aku, kamu jangan takut. Aku pasti akan datang kalau kamu hubungi."Rania mengernyit dan tersenyum getir, dia menunggu apa lagi yang akan dikatakan suaminya.'Mas Krisna pasti lagi teleponan dengan Karin,' batin wanita itu. Hatinya mendesir nyeri.Sambungan telepon dimatikan tanpa ada kata lagi dari suaminya.Rania lantas mendekat."Mas, tadi memanggilku?" Rania tersenyum kaku. Kemarin, dia ingin mencoba bertahan demi ayah mertua. Dia mencoba berdamai dan mau memulai berkomunikasi lagi dengan
"Mas Krisna!" teriak Rania tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Suaminya sedang berpelukan dengen wanita lain, bahkan suaminya berkali-kali mengecup rambut wanita itu."Rania?" kaget Krisna. Sontak dia mendorong Karin, wanita yang dalam pelukannya."Ini yang kamu bilang sedang meeting, Mas?!" suara Rania meninggi pecah, dia kecewa memekik gejolak emosi. Baru saja suaminya menyuruhnya mengantar berkas yang tertinggal, ternyata malah mendapati kenyataan mengejutkan."Kenapa kamu masuk tanpa ketuk pintu? Aku bilang letakkan saja berkasnya di bawah!" kesal Krisna.Rania tertawa getir. "Apa aku salah datang ke ruang kerja suamiku? Oh, karena Mas nggak mau aku mengganggu acara meeting mesra dengan wanita ini, kan?" "Sopan kamu dengan Karin, dia rekan kerjaku!" sentak Krisna.Karin tersenyum sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Karin, Mbak." Wanita itu tidak ada wajah bersalah sedikitpun.Mata Rania membeliak. "Ini yang Mas sebut rekan kerja? Berpelukan mesra itu yang Mas
"Apa saya benar-benar keguguran, dok?" tanya Rania, suaranya bergetar. Dia memekik tangis. Jika benar, maka suaminyalah yang membuat calon janin itu pergi.Dokter menatap simpati. "Benar. Memang ada tanda-tanda awal pembuahan, tapi sayangnya tidak bisa bertahan."Rania ingat kalau dia sudah telat sekitar 2 Minggu. Dia belum sempat tes kehamilan, sekarang malah mendapat kabar seperti itu. Rasanya sangat menyayangkan kejadian ini. Pasalnya, kehamilan itu telah ditunggunya sejak lama. Entah kenapa, selama ini setiap dia telat datang bulan beberapa hari saja, sudah gagal lagi. Padahal pernikahannya sudah hampir 2 tahun. Sampai beberapa kali dikatakan mandul oleh mertua dan kerabat keluarga suaminya.Rania mencengkram erat tangannya sendiri, menekan sesak. "Apa penyebabnya karena jatuh tadi? Bukan karena hal lain?""Keguguranmu ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, benturan keras saat kamu jatuh, dan posisimu saat jatuh tidak tepat untuk kondisi kehamilan yang masih sangat awal. Da
“Kenapa kamu ada di rumah sakit, Ran? Kamu membuntutiku?" Nada Krisna sedikit tinggi, matanya menatap selidik, membuat Rania jadi semakin malas.Bukannya khawatir atau bagaimana, malah seperti curiga. Bukankah melihat Rania saja sudah paham kalau istrinya sedang tidak baik-baik saja?Rania sebentar menatap Karin yang duduk tak jauh darinya. Karin jelas tampak bugar, duduk tegap dan tak ada wajah pucat sedikit pun. Rania jadi curiga pada wanita itu. "Ran, kenapa diam saja aku tanya. Kenapa kamu juga ganti baju? Pasti tadi melakukan hal yang tidak-tidak."Udara ditarik dalam-dalam agar rongga dada Rania tak sesak. "Mas Krisna kira aku kurang kerjaan mengawal kemesraan kalian. Kalau Mas Krisna tidak ada hal lain, aku pergi dulu."Krisna menahan lengan Rania. "Tunggu, kenapa kamu pucat begitu?"Rania tersenyum kaku dengan mata berkaca. “Mas Krisna tidak perlu khawatir padaku. Karin lebih butuh perhatian Mas.”"Apa maksudmu? Aku sedang bertanya dan kenapa kamu masih sensitif saja. Kalau a
"Aku akan menjemputmu, Karin. Jangan kemana-mana. Jangan sedih lagi dong, Kamu 'kan masih punya aku." Jelas itu suara suaminya.'Mas Krisna kapan pulang?' batin Rania dia bersembunyi di balik tembok.'Ternyata, tebakkanku benar. Saat aku fokus memulihkan kondisi, Mas Krisna baik padaku karena tidak mau aku mengancam cerai lagi. Tapi di luar, dia masih seperti biasa dengan Karin,' batin Rania."Jangan nangis, aku pasti datang kok? Masih sakit nggak? Nanti akan kuantar ke dokter. Pokoknya selama ada aku, kamu jangan takut. Aku pasti akan datang kalau kamu hubungi."Rania mengernyit dan tersenyum getir, dia menunggu apa lagi yang akan dikatakan suaminya.'Mas Krisna pasti lagi teleponan dengan Karin,' batin wanita itu. Hatinya mendesir nyeri.Sambungan telepon dimatikan tanpa ada kata lagi dari suaminya.Rania lantas mendekat."Mas, tadi memanggilku?" Rania tersenyum kaku. Kemarin, dia ingin mencoba bertahan demi ayah mertua. Dia mencoba berdamai dan mau memulai berkomunikasi lagi dengan
"Rania!" Cepat Krisna menangkap tubuh istrinya yang terkulai lemas. Dia panik. "Kamu kenapa, Ran?" Krisna menepuk-nepuk pipi istrinya. Tak ada respon.Lalu Krisna meletakkan pelan tubuh istrinya ke atas tempat tidur. "Ran, kenapa kamu bisa seperti ini? Aku minta maaf buat kamu pingsan."Tangan Krisna menyentuh kening pucat Rania. "Panas? Kenapa kamu tidak bilang kalau sakit, Ran?" Krisna mengusap wajahnya kasar, dia frustasi dan bingung. "Aku harus panggil dokter. Ya, dokter." "Harusnya kamu sekalian periksa ke dokter saat kemarin di rumah sakit. Kenapa malah bersama pria lain?"Kontak dokter, ketemu.Akan tetapi, saat ingin menekan kontak itu, Krisna mendengar suara ayahnya."Krisna, Rania, kalian di dalam?" suara ayahnya terdengar dari balik pintu, membuat Krisna membelalak.Pria itu menatap istrinya yang terbaring lemah. Krisna panik, takut ayahnya tahu apa yang terjadi pada Rania dan menyalahkannya."Ayah nggak boleh tahu kalau orangnya pingsan."Krisna mengurungkan memanggil d
“Dia benar-benar tak punya malu! Berani sekali dia masuk mobil pria lain di hadapanku!” Bara api amarah seolah siap menyambar. Krisna mengepal tangannya kuat. Apalagi saat pria lain membukakan pintu untuk Rania, dada Krisna terasa sesak, terdesak gejolak emosi.Krisna masih mematung menatap nyalang istrinya yang baru saja masuk ke mobil seorang pria. Pikirannya dipenuhi prasangka buruk pada istrinya.“Aku tidak salah lihat? Mungkinkah Rania berani bermain di belakangku?” gumam lirih Krisna hanya terdengar dirinya sendiri."Bukankah itu istrimu, Kris? Kukira dia mau pulang naik taksi, ternyata bersama pria lain. Apa itu teman atau saudaranya? Kenapa terlihat akrab sekali?" Karin tampak heran dengan menampilkan wajah lugu.“Kamu pikir begitu?” Karin mengangkat dua pundaknya “Aku hanya mengingatkan. Menurutku, tidak mungkin seorang pria membukakan pintu untuk wanita kalau tidak ada sesuatu di antara mereka. Kamu lihat sendiri, kan? Yang sangat aneh, istrimu seperti tidak menghormatimu y
“Kenapa kamu ada di rumah sakit, Ran? Kamu membuntutiku?" Nada Krisna sedikit tinggi, matanya menatap selidik, membuat Rania jadi semakin malas.Bukannya khawatir atau bagaimana, malah seperti curiga. Bukankah melihat Rania saja sudah paham kalau istrinya sedang tidak baik-baik saja?Rania sebentar menatap Karin yang duduk tak jauh darinya. Karin jelas tampak bugar, duduk tegap dan tak ada wajah pucat sedikit pun. Rania jadi curiga pada wanita itu. "Ran, kenapa diam saja aku tanya. Kenapa kamu juga ganti baju? Pasti tadi melakukan hal yang tidak-tidak."Udara ditarik dalam-dalam agar rongga dada Rania tak sesak. "Mas Krisna kira aku kurang kerjaan mengawal kemesraan kalian. Kalau Mas Krisna tidak ada hal lain, aku pergi dulu."Krisna menahan lengan Rania. "Tunggu, kenapa kamu pucat begitu?"Rania tersenyum kaku dengan mata berkaca. “Mas Krisna tidak perlu khawatir padaku. Karin lebih butuh perhatian Mas.”"Apa maksudmu? Aku sedang bertanya dan kenapa kamu masih sensitif saja. Kalau a
"Apa saya benar-benar keguguran, dok?" tanya Rania, suaranya bergetar. Dia memekik tangis. Jika benar, maka suaminyalah yang membuat calon janin itu pergi.Dokter menatap simpati. "Benar. Memang ada tanda-tanda awal pembuahan, tapi sayangnya tidak bisa bertahan."Rania ingat kalau dia sudah telat sekitar 2 Minggu. Dia belum sempat tes kehamilan, sekarang malah mendapat kabar seperti itu. Rasanya sangat menyayangkan kejadian ini. Pasalnya, kehamilan itu telah ditunggunya sejak lama. Entah kenapa, selama ini setiap dia telat datang bulan beberapa hari saja, sudah gagal lagi. Padahal pernikahannya sudah hampir 2 tahun. Sampai beberapa kali dikatakan mandul oleh mertua dan kerabat keluarga suaminya.Rania mencengkram erat tangannya sendiri, menekan sesak. "Apa penyebabnya karena jatuh tadi? Bukan karena hal lain?""Keguguranmu ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, benturan keras saat kamu jatuh, dan posisimu saat jatuh tidak tepat untuk kondisi kehamilan yang masih sangat awal. Da
"Mas Krisna!" teriak Rania tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Suaminya sedang berpelukan dengen wanita lain, bahkan suaminya berkali-kali mengecup rambut wanita itu."Rania?" kaget Krisna. Sontak dia mendorong Karin, wanita yang dalam pelukannya."Ini yang kamu bilang sedang meeting, Mas?!" suara Rania meninggi pecah, dia kecewa memekik gejolak emosi. Baru saja suaminya menyuruhnya mengantar berkas yang tertinggal, ternyata malah mendapati kenyataan mengejutkan."Kenapa kamu masuk tanpa ketuk pintu? Aku bilang letakkan saja berkasnya di bawah!" kesal Krisna.Rania tertawa getir. "Apa aku salah datang ke ruang kerja suamiku? Oh, karena Mas nggak mau aku mengganggu acara meeting mesra dengan wanita ini, kan?" "Sopan kamu dengan Karin, dia rekan kerjaku!" sentak Krisna.Karin tersenyum sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Karin, Mbak." Wanita itu tidak ada wajah bersalah sedikitpun.Mata Rania membeliak. "Ini yang Mas sebut rekan kerja? Berpelukan mesra itu yang Mas