"Bulan madu bertiga. Dan aku orang ketiganya. Ya, aku istri yang tak tahu harus bagaimana diacara bulan madu bersama suamiku, karena dia lebih suka bersama dengan mantan kekasihnya."Rania bersembunyi di balik kerumunan orang-orang. Dia mengaktifkan rekam video ponselnya."Bukankah acara bulan madu kali ini harus diabadikan? Ya, harus!" Rania menahan diri untuk tidak keluar untuk merekam apa yang dilakukan suaminya dengan wanita lain. Wanita yang terus dikatakan teman oleh suaminya itu.Sayatan demi sayatan tertoreh di hatinya saat melihat adegan mesra suaminya dengan sang mantan.-----"Kamu ingat, Kris? Dulu kita pernah datang ke pantai ini?" "Tentu. Mana mungkin aku lupa. Kita sering duduk di sini sampai matahari terbenam, hanya berdua."Karin tertawa pelan, tatapannya terfokus pada garis cakrawala yang semakin berwarna oranye. "Waktu itu kita tidak pernah berpikir tentang apa-apa, hanya menikmati kebersamaan. Dan ... tidak pernah berpikir kalau akan berpisah.""Jangan bicara sepe
"Mbak Rania?" Karin tersenyum. Dia hanya sebentar terkejut dan langsung menguasai dirinya. Wanita itu bahkan menyibak sisi rambutnya sambil mengibas kepalanya. Seolah sangat senang karena keberadaannya diketahui Rania.Dua wanita beradu tatapan tajam. Ingin sekali Rania menarik wajah Karin agar topeng itu terbuka jelas. Apalagi saat ini dia melihat wajah Karin sama sekali tak ada rasa bersalah. Bahkan malah menantang."Bagaimana rasanya sarapan dengan suamiku? Di lap bibirnya dengen suami orang. Menyenangkan?" Rania tersenyum kecut."Sarapan yang menyenangkan, apalagi dengan laki-laki perhatian. Jangan kaget, karena itu hal biasa bagi kami. Oh maaf, Mbak kalau kamu jadi nggak selera sarapan gara-gara sendirian. Tadi, Krisna mendadak ngajak sarapan. Dia maksa banget, jadi enak kalau nolak."Huh! Memang sejenis nenek sihir sangat menyebalkan. Harus dilawan dengan akal sehat."Kenapa tadi malam suamiku bisa ingat pulang ke kamarnya? Kamu gagal buat Mas Krisna menginap di kamarmu? Ehm, se
"Kris ... Kris ... A-a-aku ... aku nggak kuat lagi ....." Karin terdengar sesak nafas sambil merintis kesakitan. "Kris ... Krisna. Kenapa diam saja?" Suaranya terdengar sangat lemah dan lirih."Ini aku, Rania! Aku akan menghubungi dokter atau pihak hotel agar menyediakan tenaga medis ke kamarmu."Deg! Sambungan itu langsung terputus.Rania tersenyum tipis sambil menatap layar ponsel suaminya. Dia ingin menghapus riwayat panggilan terakhir Karin, tapi ponsel suaminya sudah berganti sandi.Akhh! Rania pasrah. Semoga suaminya tidak menyadari. Menyadari kedatangan suaminya, Rania cepat mengembalikan ponsel suaminya ke saku jas yang dia pegang. Wanita itu bersikap tenang."Maaf lama. Ayo pulang ke hotel," ajak Krisna."Kita pulang? Aku masih ingin ke suatu tempat."Krisna mengerutkan dahinya. Tadi istrinya sangat tidak bersemangat dan bersikap dingin. Sekarang malah mengajak ke suatu tempat. "Ehm, boleh. Katakan saja, kita akan ke sana sekarang." Dia belum melihat ponselnya.Rania hanya
"Kris ...." Karin memegang pelipisnya, saat melihat Krisna baru saja keluar dari kamar mandi.Krisna gegas mendekat. “Kamu masih pusing? Kita ke rumah sakit, Karin. Aku khawatir melihatmu seperti ini.” Dia duduk di sisi ranjang lalu, tangannya terulur menyentuh bahu Karin penuh perhatian.“Aku tidak perlu ke rumah sakit, Kris. Aku cukup minum obat dan istirahat sebentar. Kamu temani aku, itu sudah cukup. Saat ini aku nggak mau sendirian.”Krisna mengangguk. "Kamu yakin nggak mau ke rumah sakit?"“Aku baik-baik saja, sungguh. Kamu ada di sini, itu sudah membuatku lebih tenang.”Krisna hendak mengambil ponselnya di nakas untuk mengecek pesan, tapi tiba-tiba Karin merintih dan memegangi kepalanya. “Akhh. Aduh.”Krisna tidak jadi mengambil ponselnya. “Kamu mau aku ambilkan sesuatu? Air? Obat?”Karin menggeleng. “Tidak perlu, Kris. Duduk saja di sini. Aku cuma perlu kamu di dekatku.”"Baiklah. Kamu tidur saja, jangan duduk seperti ini."Karin menggeleng. Wajahnya sendu dan seketika matanya
"Jadi, dia tertabrak? Ha ha ha ha ha." Karin duduk sofa, masih menatap ponselnya dengan tatapan penuh kemenangan. Senyum puas muncul di bibirnya saat membaca pesan dari seseorang yang memberitahukan tentang kecelakaan Rania.Dia membuka kaleng soda, lalu meneguknya dengan puas. “Ahhhhh .... Sungguh kabar yang menggembirakan. Tidak ada yang bisa menghalangiku lagi sekarang. Krisna pasti hancur, dan siapa yang akan dia tuju untuk mencari kenyamanan? Ha ha ha ha ha.”Karin tertawa lepas, menggaung di kamar hotelnya. “Rania ... Rania! Kamu kira bisa menang dariku begitu saja? Lihat sekarang, siapa yang tertawa paling akhir?”“Bayangkan kalau dia ditemukan dalam keadaan menggemaskan? Ah, itu akan begitu ... menyenangkan.” Karin tertawa lagi, kali ini lebih pelan, seperti meresapi setiap kemungkinan yang muncul di benaknya.“Kalau dia selamat, mungkin dia akan lumpuh ... atau koma? Krisna pasti akan berduka dan mana mungkin mau punya istri cacat. Dan di saat itulah aku akan berada di sana,
"Karin, Tante. Ehm, Kak." Karin menyalami Puspa dan Winda sambil mengangguk kecil. Wajah Karin menampilkan senyum simpati yang terlatih, tapi sorot matanya menyimpan ambisi tersembunyi. Setelah pemakaman Rania, Karin merasa aneh karena sulit menghubungi Krisna, sehingga dia memutuskan untuk datang langsung."Siapa ya?" Belum ada yang mengenal Karin.Agung dan lainnya ada di rumah Krisna. Sejak kepergian Rania, mereka hampir tiap hari ada di sana selama sebulan ini. Terlebih Agung, dia malah tidur di rumah itu.“Aku sangat menyesal mendengar tentang Rania. Maaf baru datang menyampaikan belasungkawa. Kemarin kebetulan aku sakit dan baru sembuh.”Puspa menatap suka Karin. Suka pada penampilan dan cara bicara wanita itu. “Terima kasih, Karin. Kamu sangat baik masih datang meski baru sembuh. Kami memang kehilangan besar, tapi doa-doa dari teman-teman Rania sangat membantu.” Dia harus terlihat menyayangi Rania di depan suaminya.Agung hanya menatap diam Karin di ujung sofa. Sedang Krisna
"Apa yang terjadi pada istri saya waktu itu?"“Keguguran, Pak Krisna. Istri Anda datang dalam kondisi lemah setelah terjatuh. Kami sudah berusaha, tapi … janinnya tak bisa diselamatkan.”Deg! Keguguran? Krisna meremas tangannya yang berkeringat. Dadanya terus berdenyut. Rasa nyeri terus melintas di hatinya."Bisakah jelaskan lebih rinci?"Setiap kata yang keluar dari mulut dokter itu seakan menghantam dadanya, lebih keras dari sebelumnya.Krisna terpaku. Matanya kosong. Janin? Rania hamil? Pikirannya berputar-putar, menolak untuk menerima kenyataan yang baru saja diungkap.“Rania hamil?” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.Dokter mengangguk. "Ya. Dia datang sendiri dan pulang sendiri setelah perawatan singkat."Sendiri. Kata itu menghantamnya seperti palu godam. Dia membayangkan Rania berjalan sendiri ke rumah sakit, dalam keadaan kesakitan, tanpa dukungan siapa pun. Krisna merasa dunianya runtuh. Bayangan istrinya yang lemah terus menghantuinya. Dan di mana dia waktu itu? Di mana K
'Rania?' batin Krisna. Matanya membulat tegang saat melihat siapa wanita di depannya. Dia tersenyum, seperti kebahagiaan bisa melihat Rania lagi. Rasanya ingin menghambur memeluk, tapi ditahan kuat dan terus menyadarkan pikirannya kalau itu bukanlah istrinya.Krisna mengibas kepalanya menyadarkan diri kalau Rania istrinya sudah tidak ada. 'Wanita ini sungguh sangat mirip dengan Rania istriku. Hanya penampilannya yang berbeda, tapi suaranya .... Aku seperti sedang berhadapan dengan Rania-ku,' batinnya."Selamat si-" Mata Rania tertahan pada wajah yang selama ini terus mengganggunya. Dadanya langsung mendesir. Jantungnya berdegup kencang.Rania tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Krisna? Hatinya bergetar, teringat akan kenangan yang terlalu menyakitkan. Tapi dia harus cepat menguasai diri."Selamat datang di restoran kami, Pak." Rania berusaha setenang mungkin. Dia menghindari sorot mata Krisna yang terus menatapnya."Hem. Aku suka rumah makan ini," ucap rekan kerja Krisna."Terim
"Rania?!" Ane membelalak. Sekian detik, tubuhnya membeku. Lalu, dengan cepat, dia berusaha tampak tenang.Rania berdiri di depan lift, tersenyum tipis, lalu melangkah masuk. Sikapnya tenang seperti tak mengenal Ane, tapi sorotnya memicing tajam.'Apa yang terjadi? Kenapa bisa-' batin Ane, tangannya mengepal kuat di bawah. Dadanya bergemuruh hebat. Dia tak terima jika kalah dengan Rania.Jantung Ane berdegup makin keras. Seharusnya ini tidak mungkin. Seharusnya Rania sudah habis. Laporan yang diterimanya tadi menyatakan semuanya beres. Lalu, bagaimana wanita itu bisa berdiri di sini dengan wajah tenang seolah tak terjadi apa-apa?"Ehem!" Rania berdiri di sebelah Ane. Dia memilih diam. Niatnya memang hanya mau muncul di depan wanita yang dia curigai. Ingin tahu seperti apa reaksinya.Lift bergerak. Hening.Ane bisa merasakan tatapan Rania tadi begitu tajam dan tidak biasa.Hening, sampai pintu lift terbuka.Mereka melangkah keluar di lantai yang sama. Ane melirik ke samping, memastikan
[Jangan berani memberi tahu Krisna. Atau kamu tidak akan bertemu denganku.]Satu lagi pesan masuk. Rania mengerutkan keningnya."Aku jadi makin penasaran, siapa orang ini. Kalau aku bilang sama mas Krisna pun, dia lagi sangat sibuk sama proyek barunya. Dan pasti melarangku menemui orang ini. Yang ada, dia malah nggak jadi menampakkan diri."Rania menghentak napasnya dengan tatapan tajam ke depan. Dia terus terbayang calon anaknya yang hilang dan berpikir kalau akar masalahnya tidak disingkirkan, maka jika hamil lagi pun akan jadi incarannya."Apa mas Krisna lagi dekat sama wanita lain? Atau ada wanita yang suka sama mas Krisna? Aku harus tetap tenang."Rania bersiap diri sambil menghubungi seseorang. Tidak munafik kalau dia tidak akan mampu menghadapi hal seperti ini sendirian. Bagaimana kalau nanti ada apa-apa?Ya, meski Krisna pasti sangat bersedia membantunya, tapi musuh ingin Krisna tidak tahu.Sekian saat, Rania siap berangkat.Dia meraih tasnya. Lalu, ke bagian dapur menemui pem
Pagi itu. Di depan rumah, Krisna berdiri, menatap lembut dan penuh cinta pada istrinya. "Kamu hati-hati di jalan. Kalau udah nyampe jangan lupa kabari aku." Rania merapikan dasi suaminya yang hendak berangkat kerja. Di tersenyum lebar dan manis.Sengaja, Rania menahan diri tidak bercerita soal apa yang dilakukan Winda karena suatu alasan.Krisna tersenyum lebar. Jemarinya menggenggam tangan istrinya erat. "Doamu memang luar biasa, Sayang. Aku dapat klien baru dan itu punya nilai keuntungan di atas 10 miliar. Mungkin ini berkat punya istri baik dan sabar sepertimu. Makasih kamu masih mau ada di sisi suami yang brengsek ini."Rania tersenyum kecil. "Selamat. Semoga lancar, Mas. Aku akan selalu mendukung suami tampanku ini."Krisna menatapnya lebih lama, enggan pergi. Lengan kekarnya menarik tubuh Rania ke dalam dekapan erat. "Aku malas ke kantor. Mau di rumah saja sama kamu."Rania tertawa pelan, pipinya terasa panas. "Kamu ini Mas. Cepat pergi, nanti terlambat. Kalau kesiangan jalanan
"Sayang, sepertinya aku akan makan siang di luar. Nggak bisa pulang seperti janjiku. Kamu nggak apa-apa, kan?"Krisna sedang menelepon istrinya. Sebenarnya dia janji akan pulang siang hari menemani istrinya makan. Dan akan melanjutkan pekerjaan di rumah."Nggak apa-apa, Mas." Suara Rania begitu lemas."Kok rasanya kamu lagi nggak semangat, Sayang. Kamu nggak kecapekan, kan?""Nggak kok. Cuma masih lemes saja.""Ya udah, kamu istirahat saja dulu."Rania meletakkan ponselnya di nakas. Dia bukan terlalu lelah dan itu tidak mungkin karena saat ini Krisna telah mempekerjakan 2 pembantu dan 1 tukang kebun.Rania hanya sedang bingung menghadapi situasi saat ini. Di saat dia dan Krisna berdamai, malah ada duri dalam manisnya madu. Sulit dipercaya, ternyata kesabarannya kembali diuji. Apa dia akan bertahan kuat di sisi Krisna kali ini? Yang jelas, dia lelah, enggan kembali dipermainkan dan diremehkan.Yang Rania garis bawahi dalam prinsip hidupnya kali ini, kebahagiaan berumah tangga tak sert
Ane masih duduk di sofa dengan kaki bersilang. Senyum miring terlukis di wajahnya saat dia menatap suaminya yang sedang menuangkan wine ke gelas kristal."Sayang, aku bagaimana kalau kita membuat kerja sama dengan perusahaan Krisna? Dan biarkan aku yang mengurus langsung kerja sama itu."Suaminya berhenti sejenak. Matanya menyipit menatap Ane. "Kenapa harus kamu? Aku bisa menyuruh orang lain."Ane tersenyum. Jari-jarinya lentiknya melingkar di bahu suaminya, memberikan sentuhan lembut yang selalu membuat pria itu luluh."Aku yang lebih paham bagaimana menghadapi Krisna. Dia pria yang bisa dimanipulasi jika disentuh di titik yang tepat. Jangan khawatir, aku bisa jaga diri dan tidak akan membuatmu kecewa."Suaminya terdiam, memutar gelas di tangannya. "Kerja sama ini memang bisa membawa keuntungan besar. Tapi aku tidak mau kamu terlalu terlibat, jika hanya untuk urusan pribadi. Kamu tahu sendiri, urusan bisnis tidak bisa kamu campur dengan keinginanmu itu. Aku akan bantu kamu membalas d
"Anak kita, Mas. Apa dia-" Dada Rania sampai bergetar karena terisak. Dia menggeleng. "Nggak! Nggak mungkin."Krisna terdiam. Dadanya bergemuruh. Dia langsung memeluk istrinya. "Jangan pikirkan hal itu dulu. Pikirkan kesehatanmu saat ini."Rania menggigit bibirnya, tangannya semakin menekan perutnya yang terasa hampa. Airmatanya jatuh, tapi dia tidak mengeluarkan suara. Krisna menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Kita bicarakan hal itu nanti lagi, Sayang. Sekarang, yang penting kamu harus pulih dulu.”Rania memejamkan mata. Dadanya naik turun menahan sesak yang lebih menyakitkan dari fisiknya sendiri. “Dia sudah tidak ada, kan?”Krisna tak bisa menjawab.“Aku bahkan nggak bisa melindungi anakku sendiri. Dia pergi lagi.” Suaranya begitu lirih, tapi menusuk langsung ke hati Krisna."Aku yang nggak becus menjaga kalian. Maaf, Sayang." Krisna mendongak mengedip-ngedipkan matanya. Pria itu hampir menangis.Krisna sesak mendengarnya. Ya, dia ingat betul. Dulu Rania juga kegug
"Bagaimana istri dan anak saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" Krisna tersenyum miris dengan mata berkaca-kaca menatap dokter itu dan berharap mendapat jawaban seperti keinginannya.Dokter itu menghela napas berat. "Maaf, kami hanya bisa menyelamatkan ibunya. Anak Anda-""Tidak! Tidak mungkin, Dok. Dia nggak mungkin pergi. Kami sangat menantikannya.""Keguguran pasien diduga karena mengkonsumsi semacam obat atau ramuan penggugur kandungan."Krisna berdiri membeku. Kakinya lemas, dadanya sesak, pikirannya berputar liar. Obat penggugur kandungan?Napasnya memburu, menatap dokter yang baru saja menjatuhkan kabar buruk itu. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.“Dok, apa maksud Anda? Istri saya tidak mungkin minum obat seperti itu. Dia sangat menjaga kehamilannya.” Suaranya bergetar.Dokter menghela napas panjang. “Kami belum bisa menyimpulkan sepenuhnya. Kami butuh hasil laboratorium. Tapi dari gejalanya, ini sangat mengarah ke sana.”Krisna merasakan dadanya terbakar. Tidak mungkin
Krisna telah menyiapkan kejutan spesial. Sebuah meja makan dengan lilin-lilin kecil di sekelilingnya, di restoran out door.Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga yang diletakkan di tengah meja."Sebentar lagi, Sayang."Krisna menutup mata istrinya hingga tiba di meja itu "Udah belum, Mas?" Wanita itu terus tersenyum.Pelan Krisna melepas tangannya dari mata Rania.Rania menutup mulutnya ketika melihat kejutan itu. Matanya berkaca-kaca. “Mas ... ini indah sekali.”"Kamu suka? Maaf, aku terlambat melakukan semua ini padamu."Rania menggeleng. "Ini cukup. Aku senang, Mas."Krisna menarik kursi untuk Rania dan mempersilakannya duduk. Mereka akan menikmati makan malam romantis.Sesekali Krisna menyentuh tangan Rania, memastikan bahwa wanita di hadapannya ini benar-benar nyata dan miliknya."Ran, tetap di sisiku.""Memangnya aku mau ke mana, Mas?""Aku senang melihat senyum kamu seperti ini, Sayang. Tetap tersenyum."Krisna berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah Rania. Dia
"Mas, apa ini?"Sebuah paket bulan madu. Agung rupanya telah menyiapkan paket untuk mereka berdua.Krisna mengembangkan senyumnya. Lalu, dia memegang dua bahu istrinya.Rania menatap paket bulan madu itu dengan mata berkaca-kaca. Dia masih ingat bagaimana dulu saat bulan madu dengan kehadiran Karin dan berakhir dia kecelakaan.Lalu, Krisna memeluk istrinya. Dia tahu apa yang dirasakan Rania saat ini. "Maafkan aku untuk masa lalu. Aku sangat ingin menghapus jejak kebodohanku dulu. Ran, paket bulan madu ini, untuk bulan depan. Setelah aku benar-benar pulih. Nanti, aku akan menghapus kesedihanmu di masa lalu dengan kebahagiaan, Ran. Aku sangat mencintaimu."Rania mengangguk dalam pelukan. "Jangan seperti dulu lagi, Mas."“Bulan madu nanti, aku akan buat kamu nggak bisa berhenti tersenyum, Sayang. Romantis dan hanya kamu dan aku.”Rania menarik napas dalam-dalam. Dia tidak mau larut dalam kesedihan. Toh, Karin telah dikabarkan sudah tiada. Jadi tidak akan ada lagi yang mengganggunya nant