"Karin, Tante. Ehm, Kak." Karin menyalami Puspa dan Winda sambil mengangguk kecil. Wajah Karin menampilkan senyum simpati yang terlatih, tapi sorot matanya menyimpan ambisi tersembunyi. Setelah pemakaman Rania, Karin merasa aneh karena sulit menghubungi Krisna, sehingga dia memutuskan untuk datang langsung."Siapa ya?" Belum ada yang mengenal Karin.Agung dan lainnya ada di rumah Krisna. Sejak kepergian Rania, mereka hampir tiap hari ada di sana selama sebulan ini. Terlebih Agung, dia malah tidur di rumah itu.“Aku sangat menyesal mendengar tentang Rania. Maaf baru datang menyampaikan belasungkawa. Kemarin kebetulan aku sakit dan baru sembuh.”Puspa menatap suka Karin. Suka pada penampilan dan cara bicara wanita itu. “Terima kasih, Karin. Kamu sangat baik masih datang meski baru sembuh. Kami memang kehilangan besar, tapi doa-doa dari teman-teman Rania sangat membantu.” Dia harus terlihat menyayangi Rania di depan suaminya.Agung hanya menatap diam Karin di ujung sofa. Sedang Krisna
"Apa yang terjadi pada istri saya waktu itu?"“Keguguran, Pak Krisna. Istri Anda datang dalam kondisi lemah setelah terjatuh. Kami sudah berusaha, tapi … janinnya tak bisa diselamatkan.”Deg! Keguguran? Krisna meremas tangannya yang berkeringat. Dadanya terus berdenyut. Rasa nyeri terus melintas di hatinya."Bisakah jelaskan lebih rinci?"Setiap kata yang keluar dari mulut dokter itu seakan menghantam dadanya, lebih keras dari sebelumnya.Krisna terpaku. Matanya kosong. Janin? Rania hamil? Pikirannya berputar-putar, menolak untuk menerima kenyataan yang baru saja diungkap.“Rania hamil?” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.Dokter mengangguk. "Ya. Dia datang sendiri dan pulang sendiri setelah perawatan singkat."Sendiri. Kata itu menghantamnya seperti palu godam. Dia membayangkan Rania berjalan sendiri ke rumah sakit, dalam keadaan kesakitan, tanpa dukungan siapa pun. Krisna merasa dunianya runtuh. Bayangan istrinya yang lemah terus menghantuinya. Dan di mana dia waktu itu? Di mana K
'Rania?' batin Krisna. Matanya membulat tegang saat melihat siapa wanita di depannya. Dia tersenyum, seperti kebahagiaan bisa melihat Rania lagi. Rasanya ingin menghambur memeluk, tapi ditahan kuat dan terus menyadarkan pikirannya kalau itu bukanlah istrinya.Krisna mengibas kepalanya menyadarkan diri kalau Rania istrinya sudah tidak ada. 'Wanita ini sungguh sangat mirip dengan Rania istriku. Hanya penampilannya yang berbeda, tapi suaranya .... Aku seperti sedang berhadapan dengan Rania-ku,' batinnya."Selamat si-" Mata Rania tertahan pada wajah yang selama ini terus mengganggunya. Dadanya langsung mendesir. Jantungnya berdegup kencang.Rania tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Krisna? Hatinya bergetar, teringat akan kenangan yang terlalu menyakitkan. Tapi dia harus cepat menguasai diri."Selamat datang di restoran kami, Pak." Rania berusaha setenang mungkin. Dia menghindari sorot mata Krisna yang terus menatapnya."Hem. Aku suka rumah makan ini," ucap rekan kerja Krisna."Terim
"Kris, aku sudah di butik. Kita harus memilih model gaun dan jas untuk pertunangan nanti. Jangan lama-lama, ya."Krisna menghela berat, mendadak hatinya terasa sesak. Pertunangan. Kata itu bergema dalam pikirannya. Semakin dekat hari itu, semakin tak tenang. Sebelumnya, segalanya tampak jelas, Rania tiada dan dia mencoba hidup baru dengan bersama Kiran kembali.Tapi kini? Kemunculan wanita yang mirip Rania mengacaukan semuanya. Rasa sesal menuntut lebih ingin memperbaiki semuanya dan berharap wanita itu Rania.'Rania ...,' batinnya pelan. Wajah wanita di resto itu tak bisa hilang dari benaknya. Suara, gerak-geriknya, semuanya mengingatkannya pada Rania. "Kris ... Kris .... Kamu di mana?" Lamunan Krisna buyar. Ternyata masih tersambung.“Ehm, aku masih di jalan,” jawab Krisna datar, matanya kosong memandang keluar jendela.“Kamu nggak lupa, kan? Kita harus memilih model gaun hari ini.”“Aku ingat.” Suaranya kurang antusias.“Kamu baik-baik saja? Suaramu terdengar berbeda,” tanya Karin
“Bu, tamu VVIP tidak mau hidangan yang ada di menu. Dia ingin masakan yang kemarin,” ucap waiters itu hati-hati, takut membuat situasi lebih buruk.Deg! Jantung Rania berdegup kencang. Krisna. Nama itu langsung melintas di pikirannya. Pasti tamu VVIP itu Krisna, dan sekarang sudah mulai curiga.“Yang kemarin?” Rania menelan ludah. Dia menyesal telah terjun langsung ke dapur waktu menyiapkan makanan dengan rasa yang sama seperti dulu ketika menyajikan makanan untuk suaminya.Waiters mengangguk. “Benar, Bu. Dan sekarang tamu itu mulai marah-marah. Katanya, kalau bukan Anda yang masak, dia tidak mau makan. Dia bahkan mengancam akan membuat keributan di resto ini kalau permintaannya tidak dituruti.”Rania meremas jemarinya, pikirannya berputar cepat.'Mas Krisna benar-benar curiga. Apa yang harus aku lakukan? Jika aku tidak menurutinya, ini bisa jadi bencana,' batin Rania.Dia menatap waiters. “Baik, aku akan masak untuknya. Pastikan tamu-tamu lain tidak terganggu.”Dengan hati yang masi
"Aku yakin ... sangat yakin kalau dia Rania-ku. Akhh. Akhirnya .... Hah akhirnya .... Sekarang apa yang harus aku lakukan? Rania-ku malah-" Krisna termenung mengingat saat makan masakan bercampur udang.Pria itu terbaring lemah di atas brankar. Dia menatap kosong dengan pikirannya tidak berhenti memikirkan Rania. Dia sangat yakin wanita itu adalah istrinya. Tidak ada keraguan lagi. Tapi yang dia tidak mengerti adalah mengapa Rania begitu keras menolak mengakui keberadaannya?"Bayu, apa Rania cemas melihatku sesak? Apa dia terlihat khawatir?" Krisna menatap harap.“Pak, kenapa Anda harus nekat begitu? Anda tahu kalau alergi udang, tapi tetap memakannya."Aku harus tahu apa dia benar-benar tidak peduli padaku lagi. Dan ternyata ...." Wajah Krisna sangat kecewa.“Apa Anda berpikir dia sengaja, Pak? Saya tidak yakin dia ingin membahayakan Anda seperti itu kalau itu Bu Rania.”Krisna terdiam sejenak. "Aku yakin dia Rania. Aku tidak peduli dia memberiku udang atau racun, dia tetap Rania-ku.
"Dari Bu Puspa, Pak Krisna. Apa Anda akan mengangkatnya?" Bayu memberikan ponsel Krisna.Krisna bersandar di brankar dan langsung mengangkatnya. "Ya, Bu.""Cepat pulang. Kalau kamu tidak pulang lagi malam ini, ibu akan langsung ke perusahaanmu.""Aku akan pulang sekarang."Krisna langsung menyuruh Bayu untuk ngurus administrasi. Dia tidak mau menimbulkan kecurigaan sedikitpun. Berharap Ibunya dan Winda tidak tahu soal keberadaan Rania. Sayang sekali, Krisna tidak tahu kalau takdir berkata lain.-----“Ibu akan mengajukan pertunanganmu dengan Karin minggu depan!” lantang Puspa seperti tak mau dibantah.Krisna terbelalak. "Minggu depan? Bukannya bulan depan, Bu?" Dia menatap ibunya bingung.“Ibu sudah bicara dengan Karin. Dia setuju untuk mempercepat. Tidak ada alasan menunda-nunda.”Krisna langsung menggeleng. "Tidak, Bu. Aku tidak bisa. Aku belum siap untuk itu. Aku juga masih punya urusan yang harus diselesaikan dulu."Puspa mengerutkan kening. Tadi Winda hanya menjelaskan soal wanit
"Kamu. Kamu. Rania?" Karin tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Rania tersenyum lebar dalam hati. Pertemuan pertama, Rania senang melihat respon dan ekspresi Karin."Maaf, mungkin Anda salah orang. Saya Nia, pemilik resto ini. Ada yang bisa saya bantu?"Rania tetap menjaga senyum tipis di bibirnya.Karin mengamati Rania dari ujung kepala sampai kaki. Yang dikatakan Winda benar-benar nyata. Ada wanita yang mirip Rania hanya penampilan dan nasibnya yang berbeda.'Aku harus memastikannya dulu. Benarkah wanita ini Rania, atau seperti yang dikatakan Winda, ada dugaan dunia punya kembaran?' batin Karin."Jangan berpura-pura. Aku tahu siapa kamu. Kamu pikir bisa sembunyi selamanya? Aku yakin kamu adalah Rania. Nia? Oh, Ra dan Nia. Cukup pintar."Rania tetap tenang, seakan tidak terpengaruh oleh perkataan Karin. "Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan. Tapi kalau Anda perlu bantuan soal pesanan atau hal lain, dengan senang hati saya akan membantu."Mata Karin menyipit mencoba mencari c
Rania menarik napas dan melangkah mundur. Dia tahu maksud Ajeng dan Indra bukan sekedar ikut campur. Dua temannya itu pasti kesal karena suaminya terlalu percaya pada Winda.Krisna menoleh cepat. “Sayang, suruh mereka menyingkir.” Sambil mendorong Indra.Rania malah tersenyum tipis, dengan kepalanya menggeleng pelan."Sayang. Apa-apaan ini? Kenapa mereka begini?""Sssstttt! Kamu ini harus kami verifikasi soal kejantanan. Hish! Selalu saja begini. Bikin aku kesel dan pengen kamu jadi duda saja." Ajeng menggeleng."Kamu-" Krisna melotot, geram pada Ajeng.Indra maju dan telunjuknya menekan dada Krisna. “Kamu pikir kamu pantas berdiri di samping Rania sekarang? Kamu terus saja teledor. Sebenarnya kamu itu bodoh atau kurang waras atau otakmu berkarat? Masa mbak Winda yang kaya nenek lampir kamu percaya gitu aja. Gimana dengan masalah lainnya?""Buat apa kamu ikut campur urusanku? Tahu apa kamu dengan apa yang aku lakukan saat ini? Ok, aku memang terlewat dalam hal ini, tapi tidak untuk ya
Krisna menutup keras pintu ruang kerja Rania. Sorot matanya tidak bisa lagi menyembunyikan emosi yang menumpuk."Lalu apa ini, Mbak Winda. Kamu masih bilang restoran nggak kenapa-napa. Tiap aku tanya, kamu selalu bilang aman. Aku percaya sama kamu, apalagi kemarin kamu kasih laporan keuangan resto. Tapi kenapa beda sama yang ini?"Krisna tak diam saja selama ini. Di samping dia sibuk soal perusahaan, ditambah kemarin quality time dengan istri, dia masih menyempatkan mengontrol restoran. Namun, setelah Winda memberikan laporan keuangan palsu, dan ibunya membujuk agar percaya pada Winda, Krisna mulai kendor mengawasi soal restoran."Restoran ini memang nggak ada masalah, Kris. Cuma butuh tambahan biaya buat promosi. Kamu nggak usah nylolot gitu lah," kesal Winda.Rania makin geram dengan Winda. "Memangnya Mbak Winda nggak bisa bedain mana usaha yang sehat dan yang kacau? Kalau keuntungan terus diambil untuk keperluan pribadi, dan setiap hari mengundang banyak teman untuk makan-makan, di
Ponsel Rania bergetar. Nama Ajeng muncul di layar.“Restoranmu udah di ujung tanduk. Winda gila, Ran. Ada pramusasi resign karena nggak tahan. Ada supplier berhenti kirim bahan. Kamu harus datang sekarang. Jangan tunggu dia naik satu tingkat lagi gilanya.”Rania terdiam. Pandangannya kosong menatap jendela.Selama ini dia memang membiarkan Winda berbuat sesukanya. Diam, pura-pura tak tahu. Bahkan menyuruh Ajeng tak usah datang. Bukan karena takut—karena dia ingin Winda merasa menang lebih dulu. Supaya semua bukti terkumpul rapi.“Aku akan ke sana Sudah waktunya benalu itu dituntaskan.”Rania menatap layar laptop di meja yang berisi laporan dari orang kepercayaannya. Foto-foto, rekaman, catatan manipulasi laporan keuangan. Semua kekacauan yang dilakukan Winda, ibunya Krisna, dan orang-orang titipannya. Tentu saja semua itu dilakukan di belakang Krisna. “Sekalian kita bahas soal Ane,” ucap Rania.“Siap. Aku tunggu di restoran.”Panggilan berakhir. Rania berdiri pelan. Kepalanya menund
"Jika aku nggak datang, kamu pasti akan menikmati wanita seksi itu, Mas. Sepertinya penyakit lamamu soal wanita kambuh lagi." Rania tampak tenang.Krisna menyandarkan punggung pada jok mobil, menatap istrinya dengan alis terangkat. “Kamu cemburu?”Rania mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap kelamnya malam yang memantul samar di kaca.“Di restoran kamu bilang nggak cemburu. Aku sedikit kecewa mendengarnya.”Rania menghela napas, pelan tapi dalam. Tidak ada jawaban. Hanya diam yang jadi bentuk protesnya.Krisna mendekat, lengannya melingkari bahu Rania dan menariknya ke dalam pelukan.“Aku nggak akan pernah jadikan wanita lain sebagai objek menarik kecemburuan kamu. Aku nggak sebodoh itu, Sayang. Kalau kamu marah, tentu aku sendiri yang repot.”Lengan Rania tetap kaku di sisi tubuhnya. "Aku memang marah, tapi nggak cemburu. Cemburu sama wanita seperti Veni itu bukan kelasku. Sudah tahu suami orang, masih pede banget bilang hal biasa. Untung aja aku inget kalau kamu lagi puny
“Anda mengenal Karin?” Tatapan Rania tajam, menembus balik senyum manis yang terlalu manis di bibir Ane.Ane mengangkat alis sambil menyesap minumannya perlahan. Senyum sinis tipis itu masih melekat di wajahnya.“Siapa yang tidak kenal? Kabar pertunangan Pak Krisna dengan Karin jadi trending topik di kalangan pengusaha. Tentu saja saya tahu.”Krisna diam dengan picingan tajam. Tangannya yang satu mengepal di bawah. Andai tidak sedang ada kerja sama, dia akan memaki-maki Ane karena membuat wajah istrinya gelisah. 'Siapa sebenarnya Ane ini. Harus aku cari tahu. Sikap pengusaha nggak akan seperti ini,' batinnya.Detak jantung Rania melambat, itu bukan sekadar menyebut nama masa lalu. Namun, seperti membuka kembali luka yang seharusnya sudah dikubur.Matanya tetap menatap Ane. Dalam hatinya, Rania mulai merangkai benang merah yang terasa makin mengarah ke satu titik. 'Ane. Karin. Bayiku yang keguguran dan kejadian di kamar hotel kemarin. Memang tidak kebetulan,' batinnya.Lalu, Rania mena
"Apa yang kamu lakukan, Mas?!" Rania menekan katanya. Tatapannya tajam dengan tangan terkepal di bawah. Dadanya bergemuruh hebat, dia terus menarik napas agar jangan sampai emosinya meledak.“Sayang?” Krisna terkejut. Tubuhnya refleks berdiri hingga wanita di pangkuannya terpelanting ke lantai. "Hish!" Veni, wanita itu mengaduh keras, memegangi pergelangan tangannya dengan memicing tajam pada Rania.Tapi Krisna tidak peduli dengan Veni yang jatuh tersungkur. Fokusnya hanya pada wanita yang kini berdiri membeku menatapnya—istrinya. Sayang, mas bisa jelaskan soal tadi."'Kobaran api akan kembali menyala. Memangnya aku akan kalah secepat itu? Arwah Karin akan menangis kalau sampai aku gagal membuat kalian menderita. Dan ini cuma prolog percikan api. Kamu akan lihat nanti selanjutnya,' batin Ane dengan senyum miring. Rania melangkah pelan, sorot matanya masih tajam. Napasnya pelan tapi berat, menyimpan amarah yang siap meledak. Dia menatap ke arah suaminya, lalu ke arah wanita yang tadi
"Rania?!" Ane membelalak. Sekian detik, tubuhnya membeku. Lalu, dengan cepat, dia berusaha tampak tenang.Rania berdiri di depan lift, tersenyum tipis, lalu melangkah masuk. Sikapnya tenang seperti tak mengenal Ane, tapi sorotnya memicing tajam.'Apa yang terjadi? Kenapa bisa-' batin Ane, tangannya mengepal kuat di bawah. Dadanya bergemuruh hebat. Dia tak terima jika kalah dengan Rania.Jantung Ane berdegup makin keras. Seharusnya ini tidak mungkin. Seharusnya Rania sudah habis. Laporan yang diterimanya tadi menyatakan semuanya beres. Lalu, bagaimana wanita itu bisa berdiri di sini dengan wajah tenang seolah tak terjadi apa-apa?"Ehem!" Rania berdiri di sebelah Ane. Dia memilih diam. Niatnya memang hanya mau muncul di depan wanita yang dia curigai. Ingin tahu seperti apa reaksinya.Lift bergerak. Hening.Ane bisa merasakan tatapan Rania tadi begitu tajam dan tidak biasa.Hening, sampai pintu lift terbuka.Mereka melangkah keluar di lantai yang sama. Ane melirik ke samping, memastikan
[Jangan berani memberi tahu Krisna. Atau kamu tidak akan bertemu denganku.]Satu lagi pesan masuk. Rania mengerutkan keningnya."Aku jadi makin penasaran, siapa orang ini. Kalau aku bilang sama mas Krisna pun, dia lagi sangat sibuk sama proyek barunya. Dan pasti melarangku menemui orang ini. Yang ada, dia malah nggak jadi menampakkan diri."Rania menghentak napasnya dengan tatapan tajam ke depan. Dia terus terbayang calon anaknya yang hilang dan berpikir kalau akar masalahnya tidak disingkirkan, maka jika hamil lagi pun akan jadi incarannya."Apa mas Krisna lagi dekat sama wanita lain? Atau ada wanita yang suka sama mas Krisna? Aku harus tetap tenang."Rania bersiap diri sambil menghubungi seseorang. Tidak munafik kalau dia tidak akan mampu menghadapi hal seperti ini sendirian. Bagaimana kalau nanti ada apa-apa?Ya, meski Krisna pasti sangat bersedia membantunya, tapi musuh ingin Krisna tidak tahu.Sekian saat, Rania siap berangkat.Dia meraih tasnya. Lalu, ke bagian dapur menemui pem
Pagi itu. Di depan rumah, Krisna berdiri, menatap lembut dan penuh cinta pada istrinya. "Kamu hati-hati di jalan. Kalau udah nyampe jangan lupa kabari aku." Rania merapikan dasi suaminya yang hendak berangkat kerja. Di tersenyum lebar dan manis.Sengaja, Rania menahan diri tidak bercerita soal apa yang dilakukan Winda karena suatu alasan.Krisna tersenyum lebar. Jemarinya menggenggam tangan istrinya erat. "Doamu memang luar biasa, Sayang. Aku dapat klien baru dan itu punya nilai keuntungan di atas 10 miliar. Mungkin ini berkat punya istri baik dan sabar sepertimu. Makasih kamu masih mau ada di sisi suami yang brengsek ini."Rania tersenyum kecil. "Selamat. Semoga lancar, Mas. Aku akan selalu mendukung suami tampanku ini."Krisna menatapnya lebih lama, enggan pergi. Lengan kekarnya menarik tubuh Rania ke dalam dekapan erat. "Aku malas ke kantor. Mau di rumah saja sama kamu."Rania tertawa pelan, pipinya terasa panas. "Kamu ini Mas. Cepat pergi, nanti terlambat. Kalau kesiangan jalanan