"Aku yakin ... sangat yakin kalau dia Rania-ku. Akhh. Akhirnya .... Hah akhirnya .... Sekarang apa yang harus aku lakukan? Rania-ku malah-" Krisna termenung mengingat saat makan masakan bercampur udang.Pria itu terbaring lemah di atas brankar. Dia menatap kosong dengan pikirannya tidak berhenti memikirkan Rania. Dia sangat yakin wanita itu adalah istrinya. Tidak ada keraguan lagi. Tapi yang dia tidak mengerti adalah mengapa Rania begitu keras menolak mengakui keberadaannya?"Bayu, apa Rania cemas melihatku sesak? Apa dia terlihat khawatir?" Krisna menatap harap.“Pak, kenapa Anda harus nekat begitu? Anda tahu kalau alergi udang, tapi tetap memakannya."Aku harus tahu apa dia benar-benar tidak peduli padaku lagi. Dan ternyata ...." Wajah Krisna sangat kecewa.“Apa Anda berpikir dia sengaja, Pak? Saya tidak yakin dia ingin membahayakan Anda seperti itu kalau itu Bu Rania.”Krisna terdiam sejenak. "Aku yakin dia Rania. Aku tidak peduli dia memberiku udang atau racun, dia tetap Rania-ku.
"Dari Bu Puspa, Pak Krisna. Apa Anda akan mengangkatnya?" Bayu memberikan ponsel Krisna.Krisna bersandar di brankar dan langsung mengangkatnya. "Ya, Bu.""Cepat pulang. Kalau kamu tidak pulang lagi malam ini, ibu akan langsung ke perusahaanmu.""Aku akan pulang sekarang."Krisna langsung menyuruh Bayu untuk ngurus administrasi. Dia tidak mau menimbulkan kecurigaan sedikitpun. Berharap Ibunya dan Winda tidak tahu soal keberadaan Rania. Sayang sekali, Krisna tidak tahu kalau takdir berkata lain.-----“Ibu akan mengajukan pertunanganmu dengan Karin minggu depan!” lantang Puspa seperti tak mau dibantah.Krisna terbelalak. "Minggu depan? Bukannya bulan depan, Bu?" Dia menatap ibunya bingung.“Ibu sudah bicara dengan Karin. Dia setuju untuk mempercepat. Tidak ada alasan menunda-nunda.”Krisna langsung menggeleng. "Tidak, Bu. Aku tidak bisa. Aku belum siap untuk itu. Aku juga masih punya urusan yang harus diselesaikan dulu."Puspa mengerutkan kening. Tadi Winda hanya menjelaskan soal wanit
"Kamu. Kamu. Rania?" Karin tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Rania tersenyum lebar dalam hati. Pertemuan pertama, Rania senang melihat respon dan ekspresi Karin."Maaf, mungkin Anda salah orang. Saya Nia, pemilik resto ini. Ada yang bisa saya bantu?"Rania tetap menjaga senyum tipis di bibirnya.Karin mengamati Rania dari ujung kepala sampai kaki. Yang dikatakan Winda benar-benar nyata. Ada wanita yang mirip Rania hanya penampilan dan nasibnya yang berbeda.'Aku harus memastikannya dulu. Benarkah wanita ini Rania, atau seperti yang dikatakan Winda, ada dugaan dunia punya kembaran?' batin Karin."Jangan berpura-pura. Aku tahu siapa kamu. Kamu pikir bisa sembunyi selamanya? Aku yakin kamu adalah Rania. Nia? Oh, Ra dan Nia. Cukup pintar."Rania tetap tenang, seakan tidak terpengaruh oleh perkataan Karin. "Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan. Tapi kalau Anda perlu bantuan soal pesanan atau hal lain, dengan senang hati saya akan membantu."Mata Karin menyipit mencoba mencari c
"Malam, Nia." Krisna tersenyum lebar.Mata Rania melebar tegang. Bagaimana bisa Krisna tahu rumahnya? Jantungnya berdegup kencang, nafasnya tercekat. Gegas Rania menyadarkan diri kalau masih mode pura-pura tidak kenal."Kenapa Anda datang ke sini malam-malam begini, Pak Krisna?" "Aku harus bicara denganmu, Nia. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ada yang perlu dijelaskan." Krisna menatap sangat lekat, tak mau berpaling dari wajah Rania."Tidak ada yang perlu dijelaskan dan kita tidak punya urusan apa-apa. Saya tidak kenal Anda, jadi lebih baik Anda pergi sekarang. Tidak baik menerima tamu orang asing di malam hari."Krisna terkesiap kecewa. "Orang asing? Kamu serius? Setelah semua yang terjadi, kamu masih menganggapku orang asing?"Rania menyembunyikan kegugupannya dibalik wajah tenang. "Itu kenyataannya, Pak. Jadi sekarang tolong pergi. Maaf, saya mau istirahat."Rania hendak menutup pintunya, tapi Krisna menahan sangat kuat."Tunggu! Apa aku boleh masuk?" Krisna terus menahan
"Dia?" Sebelum Krisna sempat membuka pintu mobil, sorot matanya tertumbuk pada sosok lain yang mendekat ke arah rumah Rania. Seorang pria-Indra.Krisna langsung mengurungkan niatnya untuk pergi, nafasnya tercekat memburu. Dia tahu siapa Indra, pria yang pernah mengantar istrinya. Wajahnya memerah karena cemburu dan emosi yang hampir tak terbendung. Dia memutar tubuhnya, menghampiri Indra dengan langkah panjang."Berhenti!" Suara Krisna meledak, tangannya terangkat mencegat langkah Indra.Indra yang tadinya santai kini menatap Krisna dingin. Dia meremas kepalan tangannya di bawah."Apa urusanmu melarangku? Aku bebas ke rumah Nia kapan pun aku mau." Nada tak acuh. Membuat Krisna semakin geram.Krisna menggertakkan giginya. "Jangan panggil dia Nia di depanku! Dan aku melarangmu datang ke sini malam-malam!"Indra mengangkat bahu, seolah-olah amarah Krisna adalah sesuatu yang tak perlu dipedulikan. "Itu bukan urusanmu. Kalau Nia membolehkan aku datang, siapa kamu yang berhak melarang?"Kri
"Karin? Bagaimana aku bisa membuatnya mundur?""Huuufff ...." Krisna merutuki dirinya."Rania ... kamu benar, aku yang sudah menghancurkan segalanya." Suaranya serak penuh sesal.Krisna menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang semakin keras. Hingga bergetar. "Aku bodoh! Terlalu bodoh untuk menyadari betapa berharganya kamu. Calon bayi kita ... Tuhan, aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri."Krisna memejamkan mata, mengingat hari itu. Hari di mana kecelakaan itu terjadi. Semua terasa kabur, kecuali satu hal yang terus menghantui benaknya—dia yang menyebabkan semua itu. Dia yang membuat Rania kehilangan segalanya. Dia sendiri yang membuat Rania pergi darinya."Kalau saja ... kalau saja aku tak mengabaikanmu ... kalau saja aku lebih mendengarkanmu, kalau saja aku lebih peduli padamu. Kalau saja aku tidak goyah pada Karin." Krisna meremas kertas itu.Penyesalan merobek setiap lapisan hati yang tersisa. "Kenapa aku begitu lemah? Kenapa aku begitu buta pada rasa sakitmu? S
"Kami mau resto-mu mengurus hidangan untuk pertunangan Krisna dan Karin."Detak jantung Rania tiba-tiba melambat, seperti waktu berhenti sesaat. Dia hampir terhuyung, tapi cepat-cepat menguatkan diri, menenangkan batinnya. Kata-kata itu bagai tamparan keras. Permintaan yang begitu keji. Menyuruhnya menyediakan hidangan di pertunangan suami dengan wanita lain.Winda dan Puspa jelas-jelas ingin melihatnya jatuh dan hancur. Rania menelan ludah, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak di dadanya. "Baik, saya akan mengurusnya." Dia tersenyum tipis, meski dalam hati penuh perih.Winda tersenyum puas. "Bagus. Jangan sampai ada masalah. Pertunangan ini harus sempurna.""Kalau tidak ..." Puspa menatap tajam. "Jangan harap restoranmu akan bertahan lama. Kami bisa pastikan bisnis ini hancur dalam sekejap.""Saya mengerti.""Aku mau hidangan mewah. Pokoknya menu kampungan di resto ini jangan kamu keluarkan. Berikan padaku proposalnya secepatnya. Aku mau lihat menu rekomendasi
"Mau apa? Rania lagi semedi! Nggak bisa diganggu!" Ajeng berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin."Aku cuma mau ketemu Rania. Tolong, Jeng. Biar aku bicara sama dia.""Rania nggak mau ketemu kamu. Dia sudah selesai sama kamu. Kalau masih punya sedikit rasa malu, mending pergi sekarang."Krisna mengerutkan kening, nyeri dadanya semakin menjadi. "Ajeng, tolong. Aku cuma mau bicara. Aku tahu aku salah, aku tahu aku sudah menyakitinya. Tapi aku nggak bisa diam saja, harus memperbaiki semuanya."Ajeng mendengkus sinis. "Kamu pikir dengan bicara, semuanya bakal baik-baik aja? Terus masa lalu bakal berubah? Kamu sudah menyakiti Rania bukan cuma sekali, tapi berkali-kali. Sekarang kamu mau apa? Minta maaf dan berharap semuanya kembali seperti dulu? Bullshit!"Indra muncul dari dalam rumah, mendekat dengan tatapan tajam. "Dengar, Kris. Kami sudah cukup bersabar denganmu. Kalau masih menghargai Rania, kamu kasih dia waktu sendiri."Krisna menunduk, rahangnya mengeras. "Aku cuma mau bica
“Terima kasih, karena Anda masih mau mempertimbangkan Pak Krisna, Bu Rania.”Rania hanya mengangguk pelan. Nafas panjang dihembuskannya berat. Ruang ICU dipenuhi suara monitor yang berdetak pelan, seakan memantau sisa hidup Krisna. Di sisi brankar, Rania duduk dengan tangan menggenggam erat jemari Krisna yang terasa dingin. Hatinya ngilu setiap kali suara bip dari monitor terdengar, takut detak itu mungkin bisa berhenti kapan saja.“Kamu harus bangun, Mas. Kalau kamu benar-benar mau menebus semuanya, kalau kamu benar-benar ingin membahagiakanku. Cepat bangun. Jangan biarkan aku menunggu lebih lama lagi.”Air mata mengalir di pipinya. Jari-jarinya mengusap lembut tangan Krisna.“Aku sudah membatalkan perceraian kita, Mas. Jadi, kumohon, jangan pergi sekarang. Jangan ketika aku sudah memutuskan untuk bertahan.”Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara mesin yang terus berdetak monoton.Bayu, yang sejak tadi berdiri di dekat pintu, melangkah perlahan mendekati Rania.“Selama ini, Pak Kri
“Siapa yang bertanggung jawab atas pasien ini?”"Krisna brengsek .... Rania, aku akan membunuhmu ...." Karin terus maracau lirih, dengan kekehan lirih dan air matanya.Karin berhasil ditangkap polisi, dalam pengejaran itu. Namun, yang di luar dugaan, Karin pingsan dan saat dibawa ke rumah sakit, kondisinya memprihatinkan.Seorang dokter berdiri di depan ruang ICU dengan wajah serius. Tatapannya tertuju pada tubuh lemah Karin yang terbaring di ranjang dengan borgol besi melilit pergelangan tangannya. Wajah wanita itu pucat, bibirnya membiru, dan selang oksigen terpasang di hidungnya. Ada monitor jantung yang merantaunya.Seorang polisi maju selangkah. “Kami yang bertanggung jawab, Dok. Bagaimana kondisinya sekarang? Apa masih ada harapan? Kami menemukan obat-obatan di tasnya kemarin. Obat sakit kepala dosis tinggi, yang seharusnya dengan resep dokter, tapi tidak ada keterangan dokter yang memberikannya.”“Tumor otak stadium akhir. Sepertinya selama ini dia tidak memperhatikan kondisiny
Rania membuka pintu dengan tatapan tajam dan waspada. Dua sosok yang berdiri di hadapannya—Puspa dan Winda, terlihat lusuh. Mata mereka bengkak, wajah pucat. Namun, bagi Rania, itu tak menghapus jejak luka yang telah mereka tinggalkan di hatinya."Tante Puspa dan … Nona Winda. Ada perlu apa datang sepagi ini? Kalau mau buat masalah, maaf. Aku tidak punya waktu. Dan satu hal yang akan aku pastikan, hari ini aku sangat yakin kalau gugatan ceraiku akan dikabulkan. Jadi, jangan datang kemari lagi hanya untuk mengingatkanku.""Rania ...." Puspa terisak pelan, bahunya bergetar. Dia belum bisa berkata apa-apa. Hanya terus menggeleng karena masih sesak terbayang anaknya yang masuk ruang operasi bersimpah darah dan dinyatakan kritis."Ada apa, Tante?" Rania menekan panggilan Tante agar semakin jelas jarak mereka. Winda yang biasanya berwajah angkuh, kini menunduk. Tak ada kilatan sinis di matanya. Tidak ada kata merendahkan pada Rania."Tante .... Kalau tidak ada urusan penting, sebaiknya si
"Nyonya Krisna .... kenapa sembunyi? Emang nggak mau nyusul suami ke kuburan? Ha ha ha ha ha ha."Rania gemetar di balik pintu yang telah ditahan dengan meja dan kursi. Ketukan keras bercampur suara tawa para pria di luar semakin membuat nyalinya ciut."Rania! Nyonya Krisna! Keluar! Kita main-main! Masa tamu nggak boleh masuk!"Mereka terus memanggil namanya, jadi semakin takut. "Siapa mereka dan mau apa?"Jari-jarinya gemetar saat mencoba menelepon Ajeng dan Indra, berharap mereka segera datang."Jeng, cepat datang. Aku dalam bahaya!" Anehnya, Rania tidak menghubungi Adrian."Rania! Cepat buka pintunya! Kami tahu kamu ada di dalam!" teriakan itu semakin memekakkan telinga, diiringi gedoran dan dorongan yang hampir meruntuhkan pintu.Air mata Rania mulai mengalir. Dia melihat gagang pintu mulai bergerak terus."Jangan masuk .... Jangan masuk .... Mas .... Mas Krisna .... Kenapa kamu nggak datang ...."Lalu pintu itu didobrak keras.BRAKKK BRAKKK BRAKKK"Mas! Mas Krisna! Aku takut!" p
"Aku minta maaf atas kejadian semalam, Nia. Bayu sudah menjelaskan semuanya padaku soal apa yang terjadi. Aku sungguh menyesal nggak bisa jagain kamu." Adrian menatap Rania menyesal.Rania menggeleng pelan, mencoba tersenyum meski terlihat hambar. "Aku baik-baik saja. Nggak perlu dipikirkan lagi soal semalam."Adrian mendesah, menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Tapi tetap saja, aku kecewa. Harusnya aku yang menyelamatkanmu, bukan Krisna. Dia .… Apa yang dia lakukan sama kamu semalam?"Rania terdiam. Matanya menatap arah jendela, tapi pikirannya melayang pada kejadian tadi malam. Kilasan ingatan tentang sentuhan lembut suaminya, bisikan kecil yang menenangkan, dan kehangatan itu kembali terngiang seperti mimpi yang terlalu nyata.Seperti mimpi, tapi rasa malam itu dan kehangatannya, melekat di hati.Adrian mengangkat alis. "Nia?"Rania cepat mengembalikan fokusnya."Maaf, aku nggak tahu harus jawab apa." Adrian mengangguk pelan, mencoba menerima. "Oke. Yang penting kamu selamat, itu suda
"Kamu memang milikku, Rania ...."Deru nafas tak terbendung lagi. Rania terus berusaha memprovokasi suaminya, hingga pria itu tak tahan lagi."Mas ....." Hampir hilang kesadaran, tapi Rania seperti paham suara suaminya. Suara suaminya itu kemungkinan tertancap dalam memori hatinya."Aku di sini, Sayang ...."Krisna mengangkat pelan Rania keranjang, lalu melempar jasnya sembarangan. Matanya menatap wajah Rania. Dengan lembut Krisna menghujani wajah itu dengan kecupan."Aku mencintaimu, Sayang. Sangat mencintaimu.""Mas, ..... Aku ...."Di kamar remang, udara malam dipenuhi kehangatan yang terpendam lama. Batasan yang selama ini dipahat ego dan salah paham mulai retak.Di antara nafas yang saling bergelung, Krisna merasakan rindu yang lama tertahan meluap tak terkendali.Menjelang pagi sebelum mentari bersinar, Rania terbangun. Matanya mengerjap pelan, menyadari dirinya dalam dekapan Krisna.'Mas Krisna? Berarti tadi malam bukan mimpi,' batinnya.Hatinya berdegup kencang ketika menyadar
“Kalau Rania bukan wanita baik, bagaimana denganmu, Puspa? Apa yang harus aku lakukan ketika punya istri sepertimu? Selama ini kamu hanya bisa membuat masalah!”“Cukup, Mas! Jangan teruskan lagi! Aku nggak mau mendengar apa pun dari mulutmu.” Puspa menjerit sambil menutup telinganya.Agung mengatur laju nafasnya yang berat. Dia menyipitkan mata, sudut bibirnya tertarik membentuk senyum remeh. "Kamu takut aku bicara lebih banyak? Kalau nggak berani menghadapi jawaban itu, jangan pernah menekan anakmu sendiri untuk membuat keputusan salah!"Puspa terdiam. Tubuhnya gemetar, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Nafasnya berat menahan ledakan emosi dan ketakutan yang bercampur jadi satu.Agung menggeram, menatap istrinya dengan penuh kemarahan. “Aku peringatkan satu hal, Puspa. Kalau kamu masih terus berbuat sesuatu yang menghancurkan Krisna atau Rania, aku tidak segan-segan melakukan hal yang lebih gila dari yang pernah kamu bayangkan!”Winda mematung, wajahnya memucat. Dia tak bera
"Siapa lagi kalau bukan Adrian, Ran? Cuma dia laki-laki waras yang sangat peduli dan tulus padamu.”Rania berhenti sejenak, menatap Ajeng ragu. “Kamu yakin?”“Pasti dia. Adrian kan orang yang paling peduli sama kamu sekarang. Dia mungkin diam-diam membantu lewat relasinya. Sebagai permintaan maaf karena dia nggak ada sisimu.”Rania menghela nafas. Senyum tipis muncul di bibirnya, meski di hatinya terselip keraguan. Dia bersyukur restoran ini akhirnya mulai ada pengunjung. Tapi, ya masih penasaran siapa sebenarnya orang yang merekomendasikan.---PRANGGG! TAAARRRR! Barang-barang melayang di apartemen mewah itu. Gelas kaca, vas bunga, bingkai foto—semua menghantam dinding dan lantai hingga pecah berantakan. Nafas Karin memburu, matanya memerah seperti api yang siap melahap apa saja.“Kalian berdua ... dasar sialan!” Karin memekik sambil melemparkan remote televisi hingga menghantam layar dan menciptakan retakan besar.“Rania! Krisna! Kalian pikir bisa menghancurkan hidupku begitu saja?
“Aku akan coba memberi kesempatan untukmu.”Adrian membelalak tertegun, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Benarkah nasib berpihak padanya."Sungguh?" Mata Adrian melebar binar.Rania mengangguk dengan senyum tipis. “Tapi jangan salah paham dulu. Aku tidak berani menjanjikan apa-apa. Kamu harus menungguku sampai aku benar-benar bisa membuka hati. Jika kamu mau.”Adrian tersenyum lebar, sorot matanya sangat hangat. “Aku akan menunggu. Berapa lama pun itu. Karena kamu pantas ditunggu.”Rania menghela nafas lega, meski dalam hatinya tetap ada kekhawatiran. Dia tahu Adrian pria baik, tapi trauma masa lalu membuatnya sulit membuka hati. Namun, kali ini dia akan berusaha melupakan Krisna. Harus! Karena dia tidak mau direndahkan lagi.“Untuk sekarang, aku mau fokus mengembalikan restoran ini. Setelah konferensi pers kemarin, aku yakin publik akan mulai percaya lagi.”“Kita bisa buat strategi promosi baru. Media sosial, diskon khusus, atau acara kecil-kecilan untuk me