"Dia?" Sebelum Krisna sempat membuka pintu mobil, sorot matanya tertumbuk pada sosok lain yang mendekat ke arah rumah Rania. Seorang pria-Indra.Krisna langsung mengurungkan niatnya untuk pergi, nafasnya tercekat memburu. Dia tahu siapa Indra, pria yang pernah mengantar istrinya. Wajahnya memerah karena cemburu dan emosi yang hampir tak terbendung. Dia memutar tubuhnya, menghampiri Indra dengan langkah panjang."Berhenti!" Suara Krisna meledak, tangannya terangkat mencegat langkah Indra.Indra yang tadinya santai kini menatap Krisna dingin. Dia meremas kepalan tangannya di bawah."Apa urusanmu melarangku? Aku bebas ke rumah Nia kapan pun aku mau." Nada tak acuh. Membuat Krisna semakin geram.Krisna menggertakkan giginya. "Jangan panggil dia Nia di depanku! Dan aku melarangmu datang ke sini malam-malam!"Indra mengangkat bahu, seolah-olah amarah Krisna adalah sesuatu yang tak perlu dipedulikan. "Itu bukan urusanmu. Kalau Nia membolehkan aku datang, siapa kamu yang berhak melarang?"Kri
"Karin? Bagaimana aku bisa membuatnya mundur?""Huuufff ...." Krisna merutuki dirinya."Rania ... kamu benar, aku yang sudah menghancurkan segalanya." Suaranya serak penuh sesal.Krisna menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang semakin keras. Hingga bergetar. "Aku bodoh! Terlalu bodoh untuk menyadari betapa berharganya kamu. Calon bayi kita ... Tuhan, aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri."Krisna memejamkan mata, mengingat hari itu. Hari di mana kecelakaan itu terjadi. Semua terasa kabur, kecuali satu hal yang terus menghantui benaknya—dia yang menyebabkan semua itu. Dia yang membuat Rania kehilangan segalanya. Dia sendiri yang membuat Rania pergi darinya."Kalau saja ... kalau saja aku tak mengabaikanmu ... kalau saja aku lebih mendengarkanmu, kalau saja aku lebih peduli padamu. Kalau saja aku tidak goyah pada Karin." Krisna meremas kertas itu.Penyesalan merobek setiap lapisan hati yang tersisa. "Kenapa aku begitu lemah? Kenapa aku begitu buta pada rasa sakitmu? S
"Kami mau resto-mu mengurus hidangan untuk pertunangan Krisna dan Karin."Detak jantung Rania tiba-tiba melambat, seperti waktu berhenti sesaat. Dia hampir terhuyung, tapi cepat-cepat menguatkan diri, menenangkan batinnya. Kata-kata itu bagai tamparan keras. Permintaan yang begitu keji. Menyuruhnya menyediakan hidangan di pertunangan suami dengan wanita lain.Winda dan Puspa jelas-jelas ingin melihatnya jatuh dan hancur. Rania menelan ludah, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang tiba-tiba menyeruak di dadanya. "Baik, saya akan mengurusnya." Dia tersenyum tipis, meski dalam hati penuh perih.Winda tersenyum puas. "Bagus. Jangan sampai ada masalah. Pertunangan ini harus sempurna.""Kalau tidak ..." Puspa menatap tajam. "Jangan harap restoranmu akan bertahan lama. Kami bisa pastikan bisnis ini hancur dalam sekejap.""Saya mengerti.""Aku mau hidangan mewah. Pokoknya menu kampungan di resto ini jangan kamu keluarkan. Berikan padaku proposalnya secepatnya. Aku mau lihat menu rekomendasi
"Mau apa? Rania lagi semedi! Nggak bisa diganggu!" Ajeng berdiri di ambang pintu dengan tatapan dingin."Aku cuma mau ketemu Rania. Tolong, Jeng. Biar aku bicara sama dia.""Rania nggak mau ketemu kamu. Dia sudah selesai sama kamu. Kalau masih punya sedikit rasa malu, mending pergi sekarang."Krisna mengerutkan kening, nyeri dadanya semakin menjadi. "Ajeng, tolong. Aku cuma mau bicara. Aku tahu aku salah, aku tahu aku sudah menyakitinya. Tapi aku nggak bisa diam saja, harus memperbaiki semuanya."Ajeng mendengkus sinis. "Kamu pikir dengan bicara, semuanya bakal baik-baik aja? Terus masa lalu bakal berubah? Kamu sudah menyakiti Rania bukan cuma sekali, tapi berkali-kali. Sekarang kamu mau apa? Minta maaf dan berharap semuanya kembali seperti dulu? Bullshit!"Indra muncul dari dalam rumah, mendekat dengan tatapan tajam. "Dengar, Kris. Kami sudah cukup bersabar denganmu. Kalau masih menghargai Rania, kamu kasih dia waktu sendiri."Krisna menunduk, rahangnya mengeras. "Aku cuma mau bica
“Kamu harus bercerai dengan Krisna secepatnya! Dan sebelum resmi cerai, jangan menggoda Krisna lagi!” Puspa menatap nyalang Rania dengan senyum kecut. Di sebelahnya, Winda menyeringai puas.“Dan jangan berani merusak hubungan Krisna dengan Karin. Aku akan mengawasimu, Rania!” Tatapan Winda tajam penuh ancaman.Akan tetapi, Rania tetap duduk tenang, gertakan mereka tak mampu mengidemitasinya. Meskipun hatinya gelisah dan nyeri, dia tidak mau menunjukkan kelemahan di depan mereka. Tangannya meremas pelan baju di atas pangkuannya. Senyum tipis tak pernah lepas dari bibirnya. Harus tetap tenang, meski hatinya berkecamuk."Kalian memang benar-benar! Rania itu-" “Tahan, Jeng,” bisik Rania, senyum masih terlukis di wajahnya.Ajeng mendesah frustrasi, terpaksa menahan diri. "Hish! Kamu terlalu sabar, Nia!""Kenapa? Masih mau diam-diam menggoda Krisna? Mau pake cara sok kalem, sok jadi wanita lemah, tapi licik? Jangan kira kamu nggak tahu trik wanita miskin sepertimu. Mendadak kaya punya res
'Sebentar lagi, aku akan jadi masa lalumu, Mas.' Puspa menyengol Winda. Winda langsung tersenyum puas."Dia harus paham posisinya, Bu. Wanita murahan. Cepat atau lambat dunia akan tahu kalau dia itu cemilan Om Om.""Yang ibu bilang kemarin sudah kamu siapkan, kan? Mereka benar-benar datang, kan?"Winda tersenyum miring dengan dua alis terangkat. "Tentu saja, Bu. Itu akan jadi pertunjukan menarik. Nggak sabar deh lihat orang-orang tahu siapa Rania. Dan sudah aku sebarkan gosip, kalau Rania itu sebenarnya pura-pura kecelakaan dan pura-pura mati, tapi ternyata dia lari sama Om Om. Lalu, mendadak kaya dan mendadak punya Resto.""Ibu juga nggak sabar. Wanita munafik tak tahu malu itu harus kita permalukan di depan orang."Rania melangkah elegan dengan senyum menawan. Kebaya modern gold memantulkan auranya ke segala sudut ruangan, menjadikannya pusat perhatian seluruh tamu undangan. Di tangannya ada kotak tipis persegi panjang cukup besar, menciptakan tanda tanya mereka yang melihat.Henta
"Ternyata rumor itu benar. Kalau gitu aku males ke Resto itu lagi. Takut kecipratan kualat. Modalnya aja dari hasil jual diri. Hish ....""Dia emang jadi simpanan pengusaha. Lihat saja sekarang, dia emang gila. Seakrab itu sama Om Om di pesta suaminya. Cih, penampilannya cuma buat kedok.""Aku yakin, nggak lama lagi dia bakal kena batunya. Istri para pengusaha kalau bertindak nggak main-main. Rania bakal hancur dan kualat sama kelakuannya sendiri.""Salah sendiri. Udah punya suami tampan dan mapan, masih jelalatan cari Om Om. Rakus banget jadi wanita.""Eh, cuma kok Pak Krisna nggak langsung ceraikan Bu Rania? Aneh.""Kena pelet pastinya. Lihat saja itu, bukan cuma suaminya yang jadi penurut, tapi suami orang juga lengket."Suara itu bukan cuma berbisik, tapi sengaja dikeraskan dan mendengar Rania serta tamu lainnya.Bisik-bisik tamu semakin gaduh mencibir Rania.Rania tetap tampak tenang dan malah tersenyum pada dua pria paruh baya itu.Satu demi satu, tatapan sinis mulai terarah pad
"Siapa pria itu? Kenapa seperti dekat sama istriku?"Di tengah keriuhan pesta, Krisna melangkah mendekati Rania, tapi langkahnya tertahan saat dua pria lebih dulu tiba di hadapan istrinya. Salah satu pria menatap kagum yang membuat dada Krisna panas. Apalagi Rania tampak nyaman."Nia, kamu luar biasa," ucap pria itu dengan senyum lebar.Krisna tahu pria yang satunya. Dia, Indra. Tapi sosok pria muda yang berdiri di samping Indra, yang bersorot tajam dan percaya diri, membuat hati Krisna semakin resah. Pria itu menatap Rania sangat intens, tatapan yang terlalu penuh arti untuk dianggap wajar."Adrian, kamu datang juga. Kukira kamu benar-benar sibuk." Rania tersenyum pada pria itu.Krisna menatap dengan jantung berdetak kencang. Dia takut istrinya sudah berpaling hati dan tidak mencintainya lagi. Apalagi gugatan cerai telah siap.Mereka berjabat tangan dan bukan sekadar jabat tangan biasa. Jabat tangan itu terlalu lama bagi Krisna. Ada kilasan keakraban antara keduanya yang membuat dara
"Rania?!" Ane membelalak. Sekian detik, tubuhnya membeku. Lalu, dengan cepat, dia berusaha tampak tenang.Rania berdiri di depan lift, tersenyum tipis, lalu melangkah masuk. Sikapnya tenang seperti tak mengenal Ane, tapi sorotnya memicing tajam.'Apa yang terjadi? Kenapa bisa-' batin Ane, tangannya mengepal kuat di bawah. Dadanya bergemuruh hebat. Dia tak terima jika kalah dengan Rania.Jantung Ane berdegup makin keras. Seharusnya ini tidak mungkin. Seharusnya Rania sudah habis. Laporan yang diterimanya tadi menyatakan semuanya beres. Lalu, bagaimana wanita itu bisa berdiri di sini dengan wajah tenang seolah tak terjadi apa-apa?"Ehem!" Rania berdiri di sebelah Ane. Dia memilih diam. Niatnya memang hanya mau muncul di depan wanita yang dia curigai. Ingin tahu seperti apa reaksinya.Lift bergerak. Hening.Ane bisa merasakan tatapan Rania tadi begitu tajam dan tidak biasa.Hening, sampai pintu lift terbuka.Mereka melangkah keluar di lantai yang sama. Ane melirik ke samping, memastikan
[Jangan berani memberi tahu Krisna. Atau kamu tidak akan bertemu denganku.]Satu lagi pesan masuk. Rania mengerutkan keningnya."Aku jadi makin penasaran, siapa orang ini. Kalau aku bilang sama mas Krisna pun, dia lagi sangat sibuk sama proyek barunya. Dan pasti melarangku menemui orang ini. Yang ada, dia malah nggak jadi menampakkan diri."Rania menghentak napasnya dengan tatapan tajam ke depan. Dia terus terbayang calon anaknya yang hilang dan berpikir kalau akar masalahnya tidak disingkirkan, maka jika hamil lagi pun akan jadi incarannya."Apa mas Krisna lagi dekat sama wanita lain? Atau ada wanita yang suka sama mas Krisna? Aku harus tetap tenang."Rania bersiap diri sambil menghubungi seseorang. Tidak munafik kalau dia tidak akan mampu menghadapi hal seperti ini sendirian. Bagaimana kalau nanti ada apa-apa?Ya, meski Krisna pasti sangat bersedia membantunya, tapi musuh ingin Krisna tidak tahu.Sekian saat, Rania siap berangkat.Dia meraih tasnya. Lalu, ke bagian dapur menemui pem
Pagi itu. Di depan rumah, Krisna berdiri, menatap lembut dan penuh cinta pada istrinya. "Kamu hati-hati di jalan. Kalau udah nyampe jangan lupa kabari aku." Rania merapikan dasi suaminya yang hendak berangkat kerja. Di tersenyum lebar dan manis.Sengaja, Rania menahan diri tidak bercerita soal apa yang dilakukan Winda karena suatu alasan.Krisna tersenyum lebar. Jemarinya menggenggam tangan istrinya erat. "Doamu memang luar biasa, Sayang. Aku dapat klien baru dan itu punya nilai keuntungan di atas 10 miliar. Mungkin ini berkat punya istri baik dan sabar sepertimu. Makasih kamu masih mau ada di sisi suami yang brengsek ini."Rania tersenyum kecil. "Selamat. Semoga lancar, Mas. Aku akan selalu mendukung suami tampanku ini."Krisna menatapnya lebih lama, enggan pergi. Lengan kekarnya menarik tubuh Rania ke dalam dekapan erat. "Aku malas ke kantor. Mau di rumah saja sama kamu."Rania tertawa pelan, pipinya terasa panas. "Kamu ini Mas. Cepat pergi, nanti terlambat. Kalau kesiangan jalanan
"Sayang, sepertinya aku akan makan siang di luar. Nggak bisa pulang seperti janjiku. Kamu nggak apa-apa, kan?"Krisna sedang menelepon istrinya. Sebenarnya dia janji akan pulang siang hari menemani istrinya makan. Dan akan melanjutkan pekerjaan di rumah."Nggak apa-apa, Mas." Suara Rania begitu lemas."Kok rasanya kamu lagi nggak semangat, Sayang. Kamu nggak kecapekan, kan?""Nggak kok. Cuma masih lemes saja.""Ya udah, kamu istirahat saja dulu."Rania meletakkan ponselnya di nakas. Dia bukan terlalu lelah dan itu tidak mungkin karena saat ini Krisna telah mempekerjakan 2 pembantu dan 1 tukang kebun.Rania hanya sedang bingung menghadapi situasi saat ini. Di saat dia dan Krisna berdamai, malah ada duri dalam manisnya madu. Sulit dipercaya, ternyata kesabarannya kembali diuji. Apa dia akan bertahan kuat di sisi Krisna kali ini? Yang jelas, dia lelah, enggan kembali dipermainkan dan diremehkan.Yang Rania garis bawahi dalam prinsip hidupnya kali ini, kebahagiaan berumah tangga tak sert
Ane masih duduk di sofa dengan kaki bersilang. Senyum miring terlukis di wajahnya saat dia menatap suaminya yang sedang menuangkan wine ke gelas kristal."Sayang, aku bagaimana kalau kita membuat kerja sama dengan perusahaan Krisna? Dan biarkan aku yang mengurus langsung kerja sama itu."Suaminya berhenti sejenak. Matanya menyipit menatap Ane. "Kenapa harus kamu? Aku bisa menyuruh orang lain."Ane tersenyum. Jari-jarinya lentiknya melingkar di bahu suaminya, memberikan sentuhan lembut yang selalu membuat pria itu luluh."Aku yang lebih paham bagaimana menghadapi Krisna. Dia pria yang bisa dimanipulasi jika disentuh di titik yang tepat. Jangan khawatir, aku bisa jaga diri dan tidak akan membuatmu kecewa."Suaminya terdiam, memutar gelas di tangannya. "Kerja sama ini memang bisa membawa keuntungan besar. Tapi aku tidak mau kamu terlalu terlibat, jika hanya untuk urusan pribadi. Kamu tahu sendiri, urusan bisnis tidak bisa kamu campur dengan keinginanmu itu. Aku akan bantu kamu membalas d
"Anak kita, Mas. Apa dia-" Dada Rania sampai bergetar karena terisak. Dia menggeleng. "Nggak! Nggak mungkin."Krisna terdiam. Dadanya bergemuruh. Dia langsung memeluk istrinya. "Jangan pikirkan hal itu dulu. Pikirkan kesehatanmu saat ini."Rania menggigit bibirnya, tangannya semakin menekan perutnya yang terasa hampa. Airmatanya jatuh, tapi dia tidak mengeluarkan suara. Krisna menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Kita bicarakan hal itu nanti lagi, Sayang. Sekarang, yang penting kamu harus pulih dulu.”Rania memejamkan mata. Dadanya naik turun menahan sesak yang lebih menyakitkan dari fisiknya sendiri. “Dia sudah tidak ada, kan?”Krisna tak bisa menjawab.“Aku bahkan nggak bisa melindungi anakku sendiri. Dia pergi lagi.” Suaranya begitu lirih, tapi menusuk langsung ke hati Krisna."Aku yang nggak becus menjaga kalian. Maaf, Sayang." Krisna mendongak mengedip-ngedipkan matanya. Pria itu hampir menangis.Krisna sesak mendengarnya. Ya, dia ingat betul. Dulu Rania juga kegug
"Bagaimana istri dan anak saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" Krisna tersenyum miris dengan mata berkaca-kaca menatap dokter itu dan berharap mendapat jawaban seperti keinginannya.Dokter itu menghela napas berat. "Maaf, kami hanya bisa menyelamatkan ibunya. Anak Anda-""Tidak! Tidak mungkin, Dok. Dia nggak mungkin pergi. Kami sangat menantikannya.""Keguguran pasien diduga karena mengkonsumsi semacam obat atau ramuan penggugur kandungan."Krisna berdiri membeku. Kakinya lemas, dadanya sesak, pikirannya berputar liar. Obat penggugur kandungan?Napasnya memburu, menatap dokter yang baru saja menjatuhkan kabar buruk itu. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.“Dok, apa maksud Anda? Istri saya tidak mungkin minum obat seperti itu. Dia sangat menjaga kehamilannya.” Suaranya bergetar.Dokter menghela napas panjang. “Kami belum bisa menyimpulkan sepenuhnya. Kami butuh hasil laboratorium. Tapi dari gejalanya, ini sangat mengarah ke sana.”Krisna merasakan dadanya terbakar. Tidak mungkin
Krisna telah menyiapkan kejutan spesial. Sebuah meja makan dengan lilin-lilin kecil di sekelilingnya, di restoran out door.Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga yang diletakkan di tengah meja."Sebentar lagi, Sayang."Krisna menutup mata istrinya hingga tiba di meja itu "Udah belum, Mas?" Wanita itu terus tersenyum.Pelan Krisna melepas tangannya dari mata Rania.Rania menutup mulutnya ketika melihat kejutan itu. Matanya berkaca-kaca. “Mas ... ini indah sekali.”"Kamu suka? Maaf, aku terlambat melakukan semua ini padamu."Rania menggeleng. "Ini cukup. Aku senang, Mas."Krisna menarik kursi untuk Rania dan mempersilakannya duduk. Mereka akan menikmati makan malam romantis.Sesekali Krisna menyentuh tangan Rania, memastikan bahwa wanita di hadapannya ini benar-benar nyata dan miliknya."Ran, tetap di sisiku.""Memangnya aku mau ke mana, Mas?""Aku senang melihat senyum kamu seperti ini, Sayang. Tetap tersenyum."Krisna berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah Rania. Dia
"Mas, apa ini?"Sebuah paket bulan madu. Agung rupanya telah menyiapkan paket untuk mereka berdua.Krisna mengembangkan senyumnya. Lalu, dia memegang dua bahu istrinya.Rania menatap paket bulan madu itu dengan mata berkaca-kaca. Dia masih ingat bagaimana dulu saat bulan madu dengan kehadiran Karin dan berakhir dia kecelakaan.Lalu, Krisna memeluk istrinya. Dia tahu apa yang dirasakan Rania saat ini. "Maafkan aku untuk masa lalu. Aku sangat ingin menghapus jejak kebodohanku dulu. Ran, paket bulan madu ini, untuk bulan depan. Setelah aku benar-benar pulih. Nanti, aku akan menghapus kesedihanmu di masa lalu dengan kebahagiaan, Ran. Aku sangat mencintaimu."Rania mengangguk dalam pelukan. "Jangan seperti dulu lagi, Mas."“Bulan madu nanti, aku akan buat kamu nggak bisa berhenti tersenyum, Sayang. Romantis dan hanya kamu dan aku.”Rania menarik napas dalam-dalam. Dia tidak mau larut dalam kesedihan. Toh, Karin telah dikabarkan sudah tiada. Jadi tidak akan ada lagi yang mengganggunya nant