"Kris ...." Nafas Karin kian berat. Dia memajukan wajahnya pada wajah Krisna.Krisna terpaku merasakan tarikan magnet dari sorot mata Karin. Dua tatapan saling terpaut sangat dalam. Keduanya sama-sama tengelam pada rasa masa lalu. Perasaan keduanya makin tak karuan, sangat ingin mengulang keromantisan dulu kala. Kamar itu terasa panas, hingga jantung Krisna berdetak sangat cepat.Kini, hembusan nafas keduanya menjadi satu saling menerpa wajah. Hanya sekian jarak saja wajah keduanya.Akhh! Seketika wajah Rania melintas dalam benak dan membuat mata Krisna menegang. Dia tersadar. Krisna memalingkan wajahnya canggung."Ehem! Kamu istirahatlah. Besok aku akan kembali. Hubungi aku kalau ada apa-apa." Jantung Krisna jadi tak karuan. Dia seperti maling yang ketahuan saja.Karin mencengkram kuat selimutnya dan cepat mengatur deru nafasnya."Kris, maaf kalau kamu jadi nggak nyaman." Karin menggeram dalam hati. Dia tidak hanya canggung, tapi jengkel serasa ditolak Krisna."Ehm, jangan dipikir
'Selamat tinggal, Mas. Sepertinya akulah orang ketiga diantara kalian. Aku tidak tahu kamu menyuruhku bertahan karena mencintaiku atau karena ayah. Akhh, pasti karena ayah. Bodohnya aku yang mengira kamu mencintaiku,' batin Rania.Rania menarik kopernya dengan langkah cepat, seolah tak ingin lagi menoleh ke belakang. Matanya memerah, tapi tidak ada air mata yang keluar. Baginya, cukup sudah semua itu.Krisna yang baru saja keluar dari kamar dan hendak ke kamar Rania mendengar suara koper diseret di lantai bawah. Dia gegas ke tangga dan melihat istrinya mau pergi. "Ran! Rania!" Krisna berlari cepat. Perasaannya makin tak karuan.Rania tak menoleh dan malah mempercepat langkahnya.“Rania, kamu mau ke mana?” Krisna memegang koper agar berhenti. Rania berhenti punggungnya masih membelakangi Krisna. "Aku sudah tidak bisa bertahan lagi, Mas. Aku akan pergi, kalau tetap di sini hanya akan lebih sakit hati."Krisna serasa tertampar keras, dia cepat berdiri di depan Rania, menghalangi jalan.
"Bulan madu bertiga. Dan aku orang ketiganya. Ya, aku istri yang tak tahu harus bagaimana diacara bulan madu bersama suamiku, karena dia lebih suka bersama dengan mantan kekasihnya."Rania bersembunyi di balik kerumunan orang-orang. Dia mengaktifkan rekam video ponselnya."Bukankah acara bulan madu kali ini harus diabadikan? Ya, harus!" Rania menahan diri untuk tidak keluar untuk merekam apa yang dilakukan suaminya dengan wanita lain. Wanita yang terus dikatakan teman oleh suaminya itu.Sayatan demi sayatan tertoreh di hatinya saat melihat adegan mesra suaminya dengan sang mantan.-----"Kamu ingat, Kris? Dulu kita pernah datang ke pantai ini?" "Tentu. Mana mungkin aku lupa. Kita sering duduk di sini sampai matahari terbenam, hanya berdua."Karin tertawa pelan, tatapannya terfokus pada garis cakrawala yang semakin berwarna oranye. "Waktu itu kita tidak pernah berpikir tentang apa-apa, hanya menikmati kebersamaan. Dan ... tidak pernah berpikir kalau akan berpisah.""Jangan bicara sepe
"Mbak Rania?" Karin tersenyum. Dia hanya sebentar terkejut dan langsung menguasai dirinya. Wanita itu bahkan menyibak sisi rambutnya sambil mengibas kepalanya. Seolah sangat senang karena keberadaannya diketahui Rania.Dua wanita beradu tatapan tajam. Ingin sekali Rania menarik wajah Karin agar topeng itu terbuka jelas. Apalagi saat ini dia melihat wajah Karin sama sekali tak ada rasa bersalah. Bahkan malah menantang."Bagaimana rasanya sarapan dengan suamiku? Di lap bibirnya dengen suami orang. Menyenangkan?" Rania tersenyum kecut."Sarapan yang menyenangkan, apalagi dengan laki-laki perhatian. Jangan kaget, karena itu hal biasa bagi kami. Oh maaf, Mbak kalau kamu jadi nggak selera sarapan gara-gara sendirian. Tadi, Krisna mendadak ngajak sarapan. Dia maksa banget, jadi enak kalau nolak."Huh! Memang sejenis nenek sihir sangat menyebalkan. Harus dilawan dengan akal sehat."Kenapa tadi malam suamiku bisa ingat pulang ke kamarnya? Kamu gagal buat Mas Krisna menginap di kamarmu? Ehm, se
"Kris ... Kris ... A-a-aku ... aku nggak kuat lagi ....." Karin terdengar sesak nafas sambil merintis kesakitan. "Kris ... Krisna. Kenapa diam saja?" Suaranya terdengar sangat lemah dan lirih."Ini aku, Rania! Aku akan menghubungi dokter atau pihak hotel agar menyediakan tenaga medis ke kamarmu."Deg! Sambungan itu langsung terputus.Rania tersenyum tipis sambil menatap layar ponsel suaminya. Dia ingin menghapus riwayat panggilan terakhir Karin, tapi ponsel suaminya sudah berganti sandi.Akhh! Rania pasrah. Semoga suaminya tidak menyadari. Menyadari kedatangan suaminya, Rania cepat mengembalikan ponsel suaminya ke saku jas yang dia pegang. Wanita itu bersikap tenang."Maaf lama. Ayo pulang ke hotel," ajak Krisna."Kita pulang? Aku masih ingin ke suatu tempat."Krisna mengerutkan dahinya. Tadi istrinya sangat tidak bersemangat dan bersikap dingin. Sekarang malah mengajak ke suatu tempat. "Ehm, boleh. Katakan saja, kita akan ke sana sekarang." Dia belum melihat ponselnya.Rania hanya
"Kris ...." Karin memegang pelipisnya, saat melihat Krisna baru saja keluar dari kamar mandi.Krisna gegas mendekat. “Kamu masih pusing? Kita ke rumah sakit, Karin. Aku khawatir melihatmu seperti ini.” Dia duduk di sisi ranjang lalu, tangannya terulur menyentuh bahu Karin penuh perhatian.“Aku tidak perlu ke rumah sakit, Kris. Aku cukup minum obat dan istirahat sebentar. Kamu temani aku, itu sudah cukup. Saat ini aku nggak mau sendirian.”Krisna mengangguk. "Kamu yakin nggak mau ke rumah sakit?"“Aku baik-baik saja, sungguh. Kamu ada di sini, itu sudah membuatku lebih tenang.”Krisna hendak mengambil ponselnya di nakas untuk mengecek pesan, tapi tiba-tiba Karin merintih dan memegangi kepalanya. “Akhh. Aduh.”Krisna tidak jadi mengambil ponselnya. “Kamu mau aku ambilkan sesuatu? Air? Obat?”Karin menggeleng. “Tidak perlu, Kris. Duduk saja di sini. Aku cuma perlu kamu di dekatku.”"Baiklah. Kamu tidur saja, jangan duduk seperti ini."Karin menggeleng. Wajahnya sendu dan seketika matanya
"Jadi, dia tertabrak? Ha ha ha ha ha." Karin duduk sofa, masih menatap ponselnya dengan tatapan penuh kemenangan. Senyum puas muncul di bibirnya saat membaca pesan dari seseorang yang memberitahukan tentang kecelakaan Rania.Dia membuka kaleng soda, lalu meneguknya dengan puas. “Ahhhhh .... Sungguh kabar yang menggembirakan. Tidak ada yang bisa menghalangiku lagi sekarang. Krisna pasti hancur, dan siapa yang akan dia tuju untuk mencari kenyamanan? Ha ha ha ha ha.”Karin tertawa lepas, menggaung di kamar hotelnya. “Rania ... Rania! Kamu kira bisa menang dariku begitu saja? Lihat sekarang, siapa yang tertawa paling akhir?”“Bayangkan kalau dia ditemukan dalam keadaan menggemaskan? Ah, itu akan begitu ... menyenangkan.” Karin tertawa lagi, kali ini lebih pelan, seperti meresapi setiap kemungkinan yang muncul di benaknya.“Kalau dia selamat, mungkin dia akan lumpuh ... atau koma? Krisna pasti akan berduka dan mana mungkin mau punya istri cacat. Dan di saat itulah aku akan berada di sana,
"Karin, Tante. Ehm, Kak." Karin menyalami Puspa dan Winda sambil mengangguk kecil. Wajah Karin menampilkan senyum simpati yang terlatih, tapi sorot matanya menyimpan ambisi tersembunyi. Setelah pemakaman Rania, Karin merasa aneh karena sulit menghubungi Krisna, sehingga dia memutuskan untuk datang langsung."Siapa ya?" Belum ada yang mengenal Karin.Agung dan lainnya ada di rumah Krisna. Sejak kepergian Rania, mereka hampir tiap hari ada di sana selama sebulan ini. Terlebih Agung, dia malah tidur di rumah itu.“Aku sangat menyesal mendengar tentang Rania. Maaf baru datang menyampaikan belasungkawa. Kemarin kebetulan aku sakit dan baru sembuh.”Puspa menatap suka Karin. Suka pada penampilan dan cara bicara wanita itu. “Terima kasih, Karin. Kamu sangat baik masih datang meski baru sembuh. Kami memang kehilangan besar, tapi doa-doa dari teman-teman Rania sangat membantu.” Dia harus terlihat menyayangi Rania di depan suaminya.Agung hanya menatap diam Karin di ujung sofa. Sedang Krisna
Ponsel Rania bergetar. Nama Ajeng muncul di layar.“Restoranmu udah di ujung tanduk. Winda gila, Ran. Ada pramusasi resign karena nggak tahan. Ada supplier berhenti kirim bahan. Kamu harus datang sekarang. Jangan tunggu dia naik satu tingkat lagi gilanya.”Rania terdiam. Pandangannya kosong menatap jendela.Selama ini dia memang membiarkan Winda berbuat sesukanya. Diam, pura-pura tak tahu. Bahkan menyuruh Ajeng tak usah datang. Bukan karena takut—karena dia ingin Winda merasa menang lebih dulu. Supaya semua bukti terkumpul rapi.“Aku akan ke sana Sudah waktunya benalu itu dituntaskan.”Rania menatap layar laptop di meja yang berisi laporan dari orang kepercayaannya. Foto-foto, rekaman, catatan manipulasi laporan keuangan. Semua kekacauan yang dilakukan Winda, ibunya Krisna, dan orang-orang titipannya. Tentu saja semua itu dilakukan di belakang Krisna. “Sekalian kita bahas soal Ane,” ucap Rania.“Siap. Aku tunggu di restoran.”Panggilan berakhir. Rania berdiri pelan. Kepalanya menund
"Jika aku nggak datang, kamu pasti akan menikmati wanita seksi itu, Mas. Sepertinya penyakit lamamu soal wanita kambuh lagi." Rania tampak tenang.Krisna menyandarkan punggung pada jok mobil, menatap istrinya dengan alis terangkat. “Kamu cemburu?”Rania mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap kelamnya malam yang memantul samar di kaca.“Di restoran kamu bilang nggak cemburu. Aku sedikit kecewa mendengarnya.”Rania menghela napas, pelan tapi dalam. Tidak ada jawaban. Hanya diam yang jadi bentuk protesnya.Krisna mendekat, lengannya melingkari bahu Rania dan menariknya ke dalam pelukan.“Aku nggak akan pernah jadikan wanita lain sebagai objek menarik kecemburuan kamu. Aku nggak sebodoh itu, Sayang. Kalau kamu marah, tentu aku sendiri yang repot.”Lengan Rania tetap kaku di sisi tubuhnya. "Aku memang marah, tapi nggak cemburu. Cemburu sama wanita seperti Veni itu bukan kelasku. Sudah tahu suami orang, masih pede banget bilang hal biasa. Untung aja aku inget kalau kamu lagi puny
“Anda mengenal Karin?” Tatapan Rania tajam, menembus balik senyum manis yang terlalu manis di bibir Ane.Ane mengangkat alis sambil menyesap minumannya perlahan. Senyum sinis tipis itu masih melekat di wajahnya.“Siapa yang tidak kenal? Kabar pertunangan Pak Krisna dengan Karin jadi trending topik di kalangan pengusaha. Tentu saja saya tahu.”Krisna diam dengan picingan tajam. Tangannya yang satu mengepal di bawah. Andai tidak sedang ada kerja sama, dia akan memaki-maki Ane karena membuat wajah istrinya gelisah. 'Siapa sebenarnya Ane ini. Harus aku cari tahu. Sikap pengusaha nggak akan seperti ini,' batinnya.Detak jantung Rania melambat, itu bukan sekadar menyebut nama masa lalu. Namun, seperti membuka kembali luka yang seharusnya sudah dikubur.Matanya tetap menatap Ane. Dalam hatinya, Rania mulai merangkai benang merah yang terasa makin mengarah ke satu titik. 'Ane. Karin. Bayiku yang keguguran dan kejadian di kamar hotel kemarin. Memang tidak kebetulan,' batinnya.Lalu, Rania mena
"Apa yang kamu lakukan, Mas?!" Rania menekan katanya. Tatapannya tajam dengan tangan terkepal di bawah. Dadanya bergemuruh hebat, dia terus menarik napas agar jangan sampai emosinya meledak.“Sayang?” Krisna terkejut. Tubuhnya refleks berdiri hingga wanita di pangkuannya terpelanting ke lantai. "Hish!" Veni, wanita itu mengaduh keras, memegangi pergelangan tangannya dengan memicing tajam pada Rania.Tapi Krisna tidak peduli dengan Veni yang jatuh tersungkur. Fokusnya hanya pada wanita yang kini berdiri membeku menatapnya—istrinya. Sayang, mas bisa jelaskan soal tadi."'Kobaran api akan kembali menyala. Memangnya aku akan kalah secepat itu? Arwah Karin akan menangis kalau sampai aku gagal membuat kalian menderita. Dan ini cuma prolog percikan api. Kamu akan lihat nanti selanjutnya,' batin Ane dengan senyum miring. Rania melangkah pelan, sorot matanya masih tajam. Napasnya pelan tapi berat, menyimpan amarah yang siap meledak. Dia menatap ke arah suaminya, lalu ke arah wanita yang tadi
"Rania?!" Ane membelalak. Sekian detik, tubuhnya membeku. Lalu, dengan cepat, dia berusaha tampak tenang.Rania berdiri di depan lift, tersenyum tipis, lalu melangkah masuk. Sikapnya tenang seperti tak mengenal Ane, tapi sorotnya memicing tajam.'Apa yang terjadi? Kenapa bisa-' batin Ane, tangannya mengepal kuat di bawah. Dadanya bergemuruh hebat. Dia tak terima jika kalah dengan Rania.Jantung Ane berdegup makin keras. Seharusnya ini tidak mungkin. Seharusnya Rania sudah habis. Laporan yang diterimanya tadi menyatakan semuanya beres. Lalu, bagaimana wanita itu bisa berdiri di sini dengan wajah tenang seolah tak terjadi apa-apa?"Ehem!" Rania berdiri di sebelah Ane. Dia memilih diam. Niatnya memang hanya mau muncul di depan wanita yang dia curigai. Ingin tahu seperti apa reaksinya.Lift bergerak. Hening.Ane bisa merasakan tatapan Rania tadi begitu tajam dan tidak biasa.Hening, sampai pintu lift terbuka.Mereka melangkah keluar di lantai yang sama. Ane melirik ke samping, memastikan
[Jangan berani memberi tahu Krisna. Atau kamu tidak akan bertemu denganku.]Satu lagi pesan masuk. Rania mengerutkan keningnya."Aku jadi makin penasaran, siapa orang ini. Kalau aku bilang sama mas Krisna pun, dia lagi sangat sibuk sama proyek barunya. Dan pasti melarangku menemui orang ini. Yang ada, dia malah nggak jadi menampakkan diri."Rania menghentak napasnya dengan tatapan tajam ke depan. Dia terus terbayang calon anaknya yang hilang dan berpikir kalau akar masalahnya tidak disingkirkan, maka jika hamil lagi pun akan jadi incarannya."Apa mas Krisna lagi dekat sama wanita lain? Atau ada wanita yang suka sama mas Krisna? Aku harus tetap tenang."Rania bersiap diri sambil menghubungi seseorang. Tidak munafik kalau dia tidak akan mampu menghadapi hal seperti ini sendirian. Bagaimana kalau nanti ada apa-apa?Ya, meski Krisna pasti sangat bersedia membantunya, tapi musuh ingin Krisna tidak tahu.Sekian saat, Rania siap berangkat.Dia meraih tasnya. Lalu, ke bagian dapur menemui pem
Pagi itu. Di depan rumah, Krisna berdiri, menatap lembut dan penuh cinta pada istrinya. "Kamu hati-hati di jalan. Kalau udah nyampe jangan lupa kabari aku." Rania merapikan dasi suaminya yang hendak berangkat kerja. Di tersenyum lebar dan manis.Sengaja, Rania menahan diri tidak bercerita soal apa yang dilakukan Winda karena suatu alasan.Krisna tersenyum lebar. Jemarinya menggenggam tangan istrinya erat. "Doamu memang luar biasa, Sayang. Aku dapat klien baru dan itu punya nilai keuntungan di atas 10 miliar. Mungkin ini berkat punya istri baik dan sabar sepertimu. Makasih kamu masih mau ada di sisi suami yang brengsek ini."Rania tersenyum kecil. "Selamat. Semoga lancar, Mas. Aku akan selalu mendukung suami tampanku ini."Krisna menatapnya lebih lama, enggan pergi. Lengan kekarnya menarik tubuh Rania ke dalam dekapan erat. "Aku malas ke kantor. Mau di rumah saja sama kamu."Rania tertawa pelan, pipinya terasa panas. "Kamu ini Mas. Cepat pergi, nanti terlambat. Kalau kesiangan jalanan
"Sayang, sepertinya aku akan makan siang di luar. Nggak bisa pulang seperti janjiku. Kamu nggak apa-apa, kan?"Krisna sedang menelepon istrinya. Sebenarnya dia janji akan pulang siang hari menemani istrinya makan. Dan akan melanjutkan pekerjaan di rumah."Nggak apa-apa, Mas." Suara Rania begitu lemas."Kok rasanya kamu lagi nggak semangat, Sayang. Kamu nggak kecapekan, kan?""Nggak kok. Cuma masih lemes saja.""Ya udah, kamu istirahat saja dulu."Rania meletakkan ponselnya di nakas. Dia bukan terlalu lelah dan itu tidak mungkin karena saat ini Krisna telah mempekerjakan 2 pembantu dan 1 tukang kebun.Rania hanya sedang bingung menghadapi situasi saat ini. Di saat dia dan Krisna berdamai, malah ada duri dalam manisnya madu. Sulit dipercaya, ternyata kesabarannya kembali diuji. Apa dia akan bertahan kuat di sisi Krisna kali ini? Yang jelas, dia lelah, enggan kembali dipermainkan dan diremehkan.Yang Rania garis bawahi dalam prinsip hidupnya kali ini, kebahagiaan berumah tangga tak sert
Ane masih duduk di sofa dengan kaki bersilang. Senyum miring terlukis di wajahnya saat dia menatap suaminya yang sedang menuangkan wine ke gelas kristal."Sayang, aku bagaimana kalau kita membuat kerja sama dengan perusahaan Krisna? Dan biarkan aku yang mengurus langsung kerja sama itu."Suaminya berhenti sejenak. Matanya menyipit menatap Ane. "Kenapa harus kamu? Aku bisa menyuruh orang lain."Ane tersenyum. Jari-jarinya lentiknya melingkar di bahu suaminya, memberikan sentuhan lembut yang selalu membuat pria itu luluh."Aku yang lebih paham bagaimana menghadapi Krisna. Dia pria yang bisa dimanipulasi jika disentuh di titik yang tepat. Jangan khawatir, aku bisa jaga diri dan tidak akan membuatmu kecewa."Suaminya terdiam, memutar gelas di tangannya. "Kerja sama ini memang bisa membawa keuntungan besar. Tapi aku tidak mau kamu terlalu terlibat, jika hanya untuk urusan pribadi. Kamu tahu sendiri, urusan bisnis tidak bisa kamu campur dengan keinginanmu itu. Aku akan bantu kamu membalas d