"Aku akan menjemputmu, Karin. Jangan kemana-mana. Jangan sedih lagi dong, Kamu 'kan masih punya aku." Jelas itu suara suaminya.
'Mas Krisna kapan pulang?' batin Rania dia bersembunyi di balik tembok. 'Ternyata, tebakkanku benar. Saat aku fokus memulihkan kondisi, Mas Krisna baik padaku karena tidak mau aku mengancam cerai lagi. Tapi di luar, dia masih seperti biasa dengan Karin,' batin Rania. "Jangan nangis, aku pasti datang kok? Masih sakit nggak? Nanti akan kuantar ke dokter. Pokoknya selama ada aku, kamu jangan takut. Aku pasti akan datang kalau kamu hubungi." Rania mengernyit dan tersenyum getir, dia menunggu apa lagi yang akan dikatakan suaminya. 'Mas Krisna pasti lagi teleponan dengan Karin,' batin wanita itu. Hatinya mendesir nyeri. Sambungan telepon dimatikan tanpa ada kata lagi dari suaminya. Rania lantas mendekat. "Mas, tadi memanggilku?" Rania tersenyum kaku. Kemarin, dia ingin mencoba bertahan demi ayah mertua. Dia mencoba berdamai dan mau memulai berkomunikasi lagi dengan suaminya. Meski masih minta waktu untuk kembali tidur di kamar yang sama. Wajah Krisna sebentar gugup, lalu tersenyum. "Oh, iya. Aku mencarimu tadi. Kamu dari mana saja?" Pria itu senang wajah istrinya tidak marah dan sudah kembali seperti biasa. Rania tersenyum tipis. Suaminya berbohong, tapi masih berusaha tenang. Mencari apanya? "Tadi kamu telepon sama siapa? Siapa yang sakit? Siapa yang lagi nangis? Mas mau antar orang itu? Dia Kiran, kan? Dia masih ganggu suami orang lagi?" cecar wanita itu. Terdiam. Alis Krisna berkerut hingga hampir terpaut. Dia terjebak pertanyaan istrinya. Dia menarik nafas dalam-dalam. Baru beberapa hari dia menekan emosi agar tidak berdebat, kini Rania membuatnya kesal lagi. Rania menyinggung Kiran, dan Krisna tidak terima. "Sejak kapan kamu datang, Ran? Lain kali jangan menguping. Karena aku Tidak macam-macam. Tadi itu-" Rania menunjukkan foto-foto di ponselnya. Wanita itu tak kehabisan akal untuk tahu Kiran dan suaminya masih lengket mesra atau profesional kerja. "Mas mau ketemu sama wanita ini, kan? Mau seperti ini lagi, kan? Mau jemput lalu nganterin dia lagi? Emang dia sakit apa sampai terus saja telepon suami orang?" Sekian hari malas bicara, kini dia ingin meluapkan gemuruh dadanya. Pria itu terdiam sesaat mencerna cecaran istrinya. Emosinya semakin naik. "Ran, dia itu te-man-ku! Teman lama sangat akrab. Kebetulan dia ada di kota ini beberapa bulan yang lalu. Kamu puas? Jadi jangan mikir macam-macam!" Rania menatap guratan wajah kaku, seperti menyembunyikan sesuatu pada suaminya. Beberapa bulan lalu? Rania jadi ingat kalau suaminya sering pulang telat berdalih lembur. Beberapa kali dia mampir ke tempat kerja suami katanya sedang keluar. Padahal masih jam kerja. Hanya saja, yang dimaksud beberapa bulan yang lalu, seingatnya sudah lebih dari 6 bulan. Jadi? "Teman? Wanita dan pria dewasa tidak ada yang namanya teman, Mas. Apalagi prianya sudah nikah. Sudah beda cara bergaul pria yang sudah nikah. MESKI DENGAN TEMAN AKRAB! Dan mana ada wanita dewasa mau diajak berdua aja sama suami orang tanpa ada aneh-aneh. Mas Krisna saja belum pernah menemaniku belanja, tapi malah mau menemani wanita itu. Aku sakit diragukan, dia pusing sedikit saja Mas bawa ke dokter." "Kamu nggak percaya sama suami sendiri? Pernikahan kita sudah hampir dua tahun. Apa kamu pernah lihat aku main sama wanita selama ini?" "Kalau aku percaya, memangnya Mas Krisna bisa dipercaya? Kalau Mas mau ketemu sama wanita itu sekarang ya udah silahkan. Tapi aku diajak sekalian. Bagaimana?" Tatapan Rania menajam. "Kamu sungguh-" Krisna mengepal kuat tangannya di bawah. "Aku sudah menuruti apa kata Mas Krisna untuk bertahan dan coba percaya. Setidaknya aku bertahan karena ayah. Tapi, kalau seperti ini terus, apa aku kuat, Mas?" "Nggak usah banyak curiga dan menyudutkanku, Ran. Kamu sama sekali tidak tahu tentang hubunganku dengan Karin. Sudahlah, Rania, jangan terlalu cemburu buta. Lagi pula itu hanya foto dari seseorang, tanpa tau kebenarannya, lantas kamu jadi menuduhku yang bukan-bukan. Percaya itu sama suami, bukan percaya orang lain!" "Wajar jika aku cemburu. Aku ini istrimu dan tadi Mas bilang kalau akan ada setiap dia butuh. Mas juga bilang kalau dia itu punya Mas Krisna. Enak banget jadi dia. Bisa panggil suami orang seenaknya saja." Rania menaikkan intonasinya. "Stop, Rania. Jangan bahas ini lagi. Aku nggak mau kita berantem gara-gara pikiranmu yang penuh curiga nggak jelas. Tenangkan dirimu." "Aku? Curiga?" Bola mata Rania melebar sambil menunjuk wajahnya sendiri. Krisna mengusap wajahnya dengan helaan berat. "Dia lagi sakit, Ran. Dia membutuhkanku. Keluarganya tidak ada di sini. Sekarang dia lagi kumat di luar." Rania malah tertawa getir. "Kalau sakit ya suruh aja ke rumah sakit. Telepon dokter, bukan telepon suami orang." "Pokoknya aku nggak mau debat sama kamu, Ran. Jangan mikir macam-macam. Aku akan jemput Karin dan kamu pergi ke acara Om Soni. Nanti aku akan menghubungimu. Bilang sama ayah kalau aku ada perlu. Jangan ngadu." Krisna berlalu melewati bahu istrinya tanpa menoleh lagi. "Mas!" Air mata Rania yang tertahan sejak tadi luruh sambil menatap punggung suaminya hilang. "Mas, apa kamu benar-benar akan mendatangi wanita itu? Hah, sulit dipercaya. Teman? Lucu sekali." Rania tertawa dengan derai air mata. Bertambah nyeri saat mendengar deru mobil suaminya meninggalkan pelataran. Pria yang dicintainya benar-benar akan mendatangi Karin. [Pak Joko, minta tolong seperti biasanya. Buntuti suamiku. Dia baru saja keluar. Sebentar lagi pasti lewat pertigaan Pak Joko mangkal. Kalau sampai di mana lapor ya, Pak.] Untung saja, Rania kenal tukang ojek yang masih mangkal di dekat pertigaan perbatasan perumahan. Huh! Rania menghentak nafasnya kuat. Ya, dia harus datang ke acara keluarga suaminya. Ke acara yang sebenarnya sangat tidak disukainya. Jika saja bukan karena ayah mertua, dia ingin sekali menghindar. Kalau asalan sakit, Rania terlanjur mengatakan kalau sudah sembuh dan akan datang. --------------- Rania telah sampai di acara keluarga suaminya. Dia masih menunggu kabar dari pak Joko. Notifikasi masuk. [Bu Rania, Pak Krisna sedang masuk rumah makan bersama seorang wanita. Tadi saya ikuti, Pak Krisna menjemput wanita itu di pinggir jalan.] Deg! [Pak Joko tetap awasi sampai saya datang ke sana.] Rania gegas ingin pergi dari acara itu, meski baru saja tiba. Dia ingin membuat bukti lebih kalau hubungan suaminya dan Karin tak sekedar teman. Karena foto saja tak cukup. "Mau ke mana, Kamu? Nggak usah pergi!" Seorang wanita mencegat Rania. Apa Rania bisa keluar?"Mas Krisna!" teriak Rania tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Suaminya sedang berpelukan dengen wanita lain, bahkan suaminya berkali-kali mengecup rambut wanita itu."Rania?" kaget Krisna. Sontak dia mendorong Karin, wanita yang dalam pelukannya."Ini yang kamu bilang sedang meeting, Mas?!" suara Rania meninggi pecah, dia kecewa memekik gejolak emosi. Baru saja suaminya menyuruhnya mengantar berkas yang tertinggal, ternyata malah mendapati kenyataan mengejutkan."Kenapa kamu masuk tanpa ketuk pintu? Aku bilang letakkan saja berkasnya di bawah!" kesal Krisna.Rania tertawa getir. "Apa aku salah datang ke ruang kerja suamiku? Oh, karena Mas nggak mau aku mengganggu acara meeting mesra dengan wanita ini, kan?" "Sopan kamu dengan Karin, dia rekan kerjaku!" sentak Krisna.Karin tersenyum sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Karin, Mbak." Wanita itu tidak ada wajah bersalah sedikitpun.Mata Rania membeliak. "Ini yang Mas sebut rekan kerja? Berpelukan mesra itu yang Mas
"Apa saya benar-benar keguguran, dok?" tanya Rania, suaranya bergetar. Dia memekik tangis. Jika benar, maka suaminyalah yang membuat calon janin itu pergi.Dokter menatap simpati. "Benar. Memang ada tanda-tanda awal pembuahan, tapi sayangnya tidak bisa bertahan."Rania ingat kalau dia sudah telat sekitar 2 Minggu. Dia belum sempat tes kehamilan, sekarang malah mendapat kabar seperti itu. Rasanya sangat menyayangkan kejadian ini. Pasalnya, kehamilan itu telah ditunggunya sejak lama. Entah kenapa, selama ini setiap dia telat datang bulan beberapa hari saja, sudah gagal lagi. Padahal pernikahannya sudah hampir 2 tahun. Sampai beberapa kali dikatakan mandul oleh mertua dan kerabat keluarga suaminya.Rania mencengkram erat tangannya sendiri, menekan sesak. "Apa penyebabnya karena jatuh tadi? Bukan karena hal lain?""Keguguranmu ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, benturan keras saat kamu jatuh, dan posisimu saat jatuh tidak tepat untuk kondisi kehamilan yang masih sangat awal. Da
“Kenapa kamu ada di rumah sakit, Ran? Kamu membuntutiku?" Nada Krisna sedikit tinggi, matanya menatap selidik, membuat Rania jadi semakin malas.Bukannya khawatir atau bagaimana, malah seperti curiga. Bukankah melihat Rania saja sudah paham kalau istrinya sedang tidak baik-baik saja?Rania sebentar menatap Karin yang duduk tak jauh darinya. Karin jelas tampak bugar, duduk tegap dan tak ada wajah pucat sedikit pun. Rania jadi curiga pada wanita itu. "Ran, kenapa diam saja aku tanya. Kenapa kamu juga ganti baju? Pasti tadi melakukan hal yang tidak-tidak."Udara ditarik dalam-dalam agar rongga dada Rania tak sesak. "Mas Krisna kira aku kurang kerjaan mengawal kemesraan kalian. Kalau Mas Krisna tidak ada hal lain, aku pergi dulu."Krisna menahan lengan Rania. "Tunggu, kenapa kamu pucat begitu?"Rania tersenyum kaku dengan mata berkaca. “Mas Krisna tidak perlu khawatir padaku. Karin lebih butuh perhatian Mas.”"Apa maksudmu? Aku sedang bertanya dan kenapa kamu masih sensitif saja. Kalau a
“Dia benar-benar tak punya malu! Berani sekali dia masuk mobil pria lain di hadapanku!” Bara api amarah seolah siap menyambar. Krisna mengepal tangannya kuat. Apalagi saat pria lain membukakan pintu untuk Rania, dada Krisna terasa sesak, terdesak gejolak emosi.Krisna masih mematung menatap nyalang istrinya yang baru saja masuk ke mobil seorang pria. Pikirannya dipenuhi prasangka buruk pada istrinya.“Aku tidak salah lihat? Mungkinkah Rania berani bermain di belakangku?” gumam lirih Krisna hanya terdengar dirinya sendiri."Bukankah itu istrimu, Kris? Kukira dia mau pulang naik taksi, ternyata bersama pria lain. Apa itu teman atau saudaranya? Kenapa terlihat akrab sekali?" Karin tampak heran dengan menampilkan wajah lugu.“Kamu pikir begitu?” Karin mengangkat dua pundaknya “Aku hanya mengingatkan. Menurutku, tidak mungkin seorang pria membukakan pintu untuk wanita kalau tidak ada sesuatu di antara mereka. Kamu lihat sendiri, kan? Yang sangat aneh, istrimu seperti tidak menghormatimu y
"Rania!" Cepat Krisna menangkap tubuh istrinya yang terkulai lemas. Dia panik. "Kamu kenapa, Ran?" Krisna menepuk-nepuk pipi istrinya. Tak ada respon.Lalu Krisna meletakkan pelan tubuh istrinya ke atas tempat tidur. "Ran, kenapa kamu bisa seperti ini? Aku minta maaf buat kamu pingsan."Tangan Krisna menyentuh kening pucat Rania. "Panas? Kenapa kamu tidak bilang kalau sakit, Ran?" Krisna mengusap wajahnya kasar, dia frustasi dan bingung. "Aku harus panggil dokter. Ya, dokter." "Harusnya kamu sekalian periksa ke dokter saat kemarin di rumah sakit. Kenapa malah bersama pria lain?"Kontak dokter, ketemu.Akan tetapi, saat ingin menekan kontak itu, Krisna mendengar suara ayahnya."Krisna, Rania, kalian di dalam?" suara ayahnya terdengar dari balik pintu, membuat Krisna membelalak.Pria itu menatap istrinya yang terbaring lemah. Krisna panik, takut ayahnya tahu apa yang terjadi pada Rania dan menyalahkannya."Ayah nggak boleh tahu kalau orangnya pingsan."Krisna mengurungkan memanggil d
"Aku akan menjemputmu, Karin. Jangan kemana-mana. Jangan sedih lagi dong, Kamu 'kan masih punya aku." Jelas itu suara suaminya.'Mas Krisna kapan pulang?' batin Rania dia bersembunyi di balik tembok.'Ternyata, tebakkanku benar. Saat aku fokus memulihkan kondisi, Mas Krisna baik padaku karena tidak mau aku mengancam cerai lagi. Tapi di luar, dia masih seperti biasa dengan Karin,' batin Rania."Jangan nangis, aku pasti datang kok? Masih sakit nggak? Nanti akan kuantar ke dokter. Pokoknya selama ada aku, kamu jangan takut. Aku pasti akan datang kalau kamu hubungi."Rania mengernyit dan tersenyum getir, dia menunggu apa lagi yang akan dikatakan suaminya.'Mas Krisna pasti lagi teleponan dengan Karin,' batin wanita itu. Hatinya mendesir nyeri.Sambungan telepon dimatikan tanpa ada kata lagi dari suaminya.Rania lantas mendekat."Mas, tadi memanggilku?" Rania tersenyum kaku. Kemarin, dia ingin mencoba bertahan demi ayah mertua. Dia mencoba berdamai dan mau memulai berkomunikasi lagi dengan
"Rania!" Cepat Krisna menangkap tubuh istrinya yang terkulai lemas. Dia panik. "Kamu kenapa, Ran?" Krisna menepuk-nepuk pipi istrinya. Tak ada respon.Lalu Krisna meletakkan pelan tubuh istrinya ke atas tempat tidur. "Ran, kenapa kamu bisa seperti ini? Aku minta maaf buat kamu pingsan."Tangan Krisna menyentuh kening pucat Rania. "Panas? Kenapa kamu tidak bilang kalau sakit, Ran?" Krisna mengusap wajahnya kasar, dia frustasi dan bingung. "Aku harus panggil dokter. Ya, dokter." "Harusnya kamu sekalian periksa ke dokter saat kemarin di rumah sakit. Kenapa malah bersama pria lain?"Kontak dokter, ketemu.Akan tetapi, saat ingin menekan kontak itu, Krisna mendengar suara ayahnya."Krisna, Rania, kalian di dalam?" suara ayahnya terdengar dari balik pintu, membuat Krisna membelalak.Pria itu menatap istrinya yang terbaring lemah. Krisna panik, takut ayahnya tahu apa yang terjadi pada Rania dan menyalahkannya."Ayah nggak boleh tahu kalau orangnya pingsan."Krisna mengurungkan memanggil d
“Dia benar-benar tak punya malu! Berani sekali dia masuk mobil pria lain di hadapanku!” Bara api amarah seolah siap menyambar. Krisna mengepal tangannya kuat. Apalagi saat pria lain membukakan pintu untuk Rania, dada Krisna terasa sesak, terdesak gejolak emosi.Krisna masih mematung menatap nyalang istrinya yang baru saja masuk ke mobil seorang pria. Pikirannya dipenuhi prasangka buruk pada istrinya.“Aku tidak salah lihat? Mungkinkah Rania berani bermain di belakangku?” gumam lirih Krisna hanya terdengar dirinya sendiri."Bukankah itu istrimu, Kris? Kukira dia mau pulang naik taksi, ternyata bersama pria lain. Apa itu teman atau saudaranya? Kenapa terlihat akrab sekali?" Karin tampak heran dengan menampilkan wajah lugu.“Kamu pikir begitu?” Karin mengangkat dua pundaknya “Aku hanya mengingatkan. Menurutku, tidak mungkin seorang pria membukakan pintu untuk wanita kalau tidak ada sesuatu di antara mereka. Kamu lihat sendiri, kan? Yang sangat aneh, istrimu seperti tidak menghormatimu y
“Kenapa kamu ada di rumah sakit, Ran? Kamu membuntutiku?" Nada Krisna sedikit tinggi, matanya menatap selidik, membuat Rania jadi semakin malas.Bukannya khawatir atau bagaimana, malah seperti curiga. Bukankah melihat Rania saja sudah paham kalau istrinya sedang tidak baik-baik saja?Rania sebentar menatap Karin yang duduk tak jauh darinya. Karin jelas tampak bugar, duduk tegap dan tak ada wajah pucat sedikit pun. Rania jadi curiga pada wanita itu. "Ran, kenapa diam saja aku tanya. Kenapa kamu juga ganti baju? Pasti tadi melakukan hal yang tidak-tidak."Udara ditarik dalam-dalam agar rongga dada Rania tak sesak. "Mas Krisna kira aku kurang kerjaan mengawal kemesraan kalian. Kalau Mas Krisna tidak ada hal lain, aku pergi dulu."Krisna menahan lengan Rania. "Tunggu, kenapa kamu pucat begitu?"Rania tersenyum kaku dengan mata berkaca. “Mas Krisna tidak perlu khawatir padaku. Karin lebih butuh perhatian Mas.”"Apa maksudmu? Aku sedang bertanya dan kenapa kamu masih sensitif saja. Kalau a
"Apa saya benar-benar keguguran, dok?" tanya Rania, suaranya bergetar. Dia memekik tangis. Jika benar, maka suaminyalah yang membuat calon janin itu pergi.Dokter menatap simpati. "Benar. Memang ada tanda-tanda awal pembuahan, tapi sayangnya tidak bisa bertahan."Rania ingat kalau dia sudah telat sekitar 2 Minggu. Dia belum sempat tes kehamilan, sekarang malah mendapat kabar seperti itu. Rasanya sangat menyayangkan kejadian ini. Pasalnya, kehamilan itu telah ditunggunya sejak lama. Entah kenapa, selama ini setiap dia telat datang bulan beberapa hari saja, sudah gagal lagi. Padahal pernikahannya sudah hampir 2 tahun. Sampai beberapa kali dikatakan mandul oleh mertua dan kerabat keluarga suaminya.Rania mencengkram erat tangannya sendiri, menekan sesak. "Apa penyebabnya karena jatuh tadi? Bukan karena hal lain?""Keguguranmu ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, benturan keras saat kamu jatuh, dan posisimu saat jatuh tidak tepat untuk kondisi kehamilan yang masih sangat awal. Da
"Mas Krisna!" teriak Rania tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Suaminya sedang berpelukan dengen wanita lain, bahkan suaminya berkali-kali mengecup rambut wanita itu."Rania?" kaget Krisna. Sontak dia mendorong Karin, wanita yang dalam pelukannya."Ini yang kamu bilang sedang meeting, Mas?!" suara Rania meninggi pecah, dia kecewa memekik gejolak emosi. Baru saja suaminya menyuruhnya mengantar berkas yang tertinggal, ternyata malah mendapati kenyataan mengejutkan."Kenapa kamu masuk tanpa ketuk pintu? Aku bilang letakkan saja berkasnya di bawah!" kesal Krisna.Rania tertawa getir. "Apa aku salah datang ke ruang kerja suamiku? Oh, karena Mas nggak mau aku mengganggu acara meeting mesra dengan wanita ini, kan?" "Sopan kamu dengan Karin, dia rekan kerjaku!" sentak Krisna.Karin tersenyum sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Karin, Mbak." Wanita itu tidak ada wajah bersalah sedikitpun.Mata Rania membeliak. "Ini yang Mas sebut rekan kerja? Berpelukan mesra itu yang Mas