"Rania!" Cepat Krisna menangkap tubuh istrinya yang terkulai lemas. Dia panik.
"Kamu kenapa, Ran?" Krisna menepuk-nepuk pipi istrinya. Tak ada respon. Lalu Krisna meletakkan pelan tubuh istrinya ke atas tempat tidur. "Ran, kenapa kamu bisa seperti ini? Aku minta maaf buat kamu pingsan." Tangan Krisna menyentuh kening pucat Rania. "Panas? Kenapa kamu tidak bilang kalau sakit, Ran?" Krisna mengusap wajahnya kasar, dia frustasi dan bingung. "Aku harus panggil dokter. Ya, dokter." "Harusnya kamu sekalian periksa ke dokter saat kemarin di rumah sakit. Kenapa malah bersama pria lain?" Kontak dokter, ketemu. Akan tetapi, saat ingin menekan kontak itu, Krisna mendengar suara ayahnya. "Krisna, Rania, kalian di dalam?" suara ayahnya terdengar dari balik pintu, membuat Krisna membelalak. Pria itu menatap istrinya yang terbaring lemah. Krisna panik, takut ayahnya tahu apa yang terjadi pada Rania dan menyalahkannya. "Ayah nggak boleh tahu kalau orangnya pingsan." Krisna mengurungkan memanggil dokter dan langsung keluar dari kamar itu. "Ayah?" Krisna tersenyum kaku menyembunyikan kegugupannya. Dia berdiri sambil mengatur laju nafasnya yang bergetar. "Mana Rania? Biasanya dia langsung menyambut kalau ayah datang." "Rania? Dia ... dia bilang kecapean habis bersih-bersih rumah dan sekarang ketiduran." "Makanya, kamu itu carikan pembantu buat istrimu. Jangan dengarkan apa kata ibumu. Dulu ibumu juga berhenti kerja setelah menikah sama ayah. Di rumah juga ada dua pembantu dan satu tukang kebun. Apa nggak kasihan lihat istrimu setiap hari membersihkan rumah sebesar ini? Belum masak dan ngurusin kamu." Krisna malah baru sadar hal itu. Dia mengedarkan sisi ruang rumahnya, ternyata luas juga, membayangkan saat istrinya membersihkan rumah sebesar itu sendirian. "Ehm, duduk Pa." Agung, ayah Krisna memilih duduk di sofa lantai atas. "Jadi suami itu mikirnya bukan hanya kasih duwit ke istri. Pikirkan kebahagiaannya juga. Memangnya semua wanita bahagianya cukup dengan uang? Kalau wanita lainnya nggak tahu, tapi kalau Rania tidak. Dia tidak materialistis." Glek! Krisna menelan kasar ludahnya. Ekor matanya melirik pintu kamar, dan semakin cemas memikirkan Rania di dalam. "Kris, ayah mau bicara soal lain." "Ehm." Pikiran Krisna bercabang dan lebih terbayang istrinya yang pingsan dan sembunyikan. --- Sedang di kamar itu. Detik ke menit, hingga putaran puluhan menit. Rania mengerjap pelan. "Akhh!" Dia masih pusing, tubuhnya masih terasa lemah. Dia mengedar pandangan mencari sosok Krisna, Nihil! Rasa kecewa segera menyusup di hatinya. "Apa yang aku harapkan darinya. Huh!" Rania tersenyum getir. "Auwhh!" Susah payah Rania berusaha duduk di sisi ranjang. Tepat saat itu, pintu kamar terbuka, dan Krisna muncul. Dia kaget melihat Rania sudah terjaga. "Kamu sudah bangun, Ran?" Dia mendekat. Rania hanya memalingkan wajah, acuh. "Hem." "Aku akan panggil dokter dulu." Krisna menatap khawatir. Dia mencari keberadaan ponselnya. Ada di nakas, dan hendak mengambil, tapi tertahan. "Tidak perlu. Sudah terlambat. Aku sudah bangun." Rania menjawab dingin. Krisna terdiam, tampak bingung. "Tapi kamu masih kelihatan lemas. Seharusnya tadi kamu periksa dokter saat di rumah sakit. Kenapa malah cuma datang menemani pria itu?" Rania mendengkus kesal. Benar-benar heran dengan suaminya itu. "Lagi-lagi begitu. Mas Krisna masih saja terus begitu. Ya, aku memang sengaja tidak periksa karena ingin cari perhatianmu, Mas. Berencana pingsan agar Mas Krisna jadi memperhatikanku bukan malah-" Wanita itu malas meneruskan kalimatnya. "Aku hanya khawatir, Ran. Memangnya salah?" "Mas Krisna tidak perlu repot-repot khawatir. Aku sudah sakit dari tadi, tapi Mas lebih sibuk dengan Kiran." Kata-kata Rania membuat Krisna tercengang. Ada rasa iba dalam sorot matanya, tapi terselip juga rasa kesal. "Kenapa kamu membahas ini lagi?" "Karena Mas lebih membela dan perhatian padanyaSeolah-olah aku ini tidak penting dan bukan istrimu." "Ran, sudah aku jelaskan sejak awal, aku tidak bermaksud begitu. Tolong mengerti posisiku. Kamu juga tahu kalau Kiran—" "Jangan sebut-sebut nama dia lagi! Aku sudah muak dengar nama dia." Rania memalingkan muka. Krisna terdiam, mencoba mengendalikan diri. "Aku cuma berusaha bagaimana caranya biar semua tetap baik. Jangan bertengkar lagi. Kita tetap suami istri dan kamu harus mengerti soal zona kerjaku. Jangan salah paham lagi. Kiran tidak seperti yang kamu pikirkan." "Tidak seperti yang aku pikirkan?" "Ran, cukup. Kamu masih lemah." "Kalau begitu, keputusanku untuk pisah memang tepat." Rania berkedip-kedip agar air matanya tidak tumpah. Krisna mengatup matanya sejenak. Dadanya berdenyut mendengarnya. "Jangan bahas itu lagi. Ayah baru saja datang, dia malah membahas cucu. Ayah mengatakan agar kita ikut program hamil, karena kamu belum hamil juga sampai saat ini. Aku tidak mau membuat ayah kecewa. Jadi jangan bahas hal itu lagi." Program hamil? Ingin sekali Rania mengatakan kalau dia kehilangan calon bayinya, tapi malas! Rania beranjak, tanpa kata. "Mau ke mana?" Krisna mencegat, dia merentangkan tangannya dengan tatapan sesal tak rela. "Aku mau istirahat, Mas. Jangan halangi aku." Rania menatap malas. "Kenapa mau jalan keluar? Tempat tidurnya di sini." "Karena yang lelah bukan cuma ragaku, tapi hatiku. Aku mau tidur di kamar lain, mau istirahatkan hati dan pikiranku." Rania menepis tangan Krisna yang menghadang. Deg! Krisna terdiam. Dia membiarkan tangannya disingkirkan. --------- Beberapa hari ini, Rania memilih tidur di kamar lain. Dia hanya membawa beberapa bajunya saja dan perlengkapan penting. Wanita itu memilih mengurung diri di kamarnya. Rania hanya keluar saat harus mengurus suaminya saja. Makanan, dia memilih yang simple atau pesan. "Ran. Kamu sudah baikan?" Rania juga irit bicara dan menampilkan wajah datar. Dia mengikat dasi suaminya. "Sudah." Hanya itu. Krisna merasa kosong. Apalagi saat malam, dia tidak bisa tidur. "Sarapan di rumah atau di kantor, Mas." "Di kantor. Ki- ... ehm aku ada meeting pagi." Rania tersenyum getir. Dia tahu apa yang akan dikatakan suaminya. Wanita itu tetap mengantar sampai depan. Kalau bukan karena ayah mertua yang sangat baik padanya, ingin sekali Rania kabur meski Krisna menolak berpisah. Namun, setelah tahu dia kurang sehat, ayah mertuanya datang dan memberinya perhatian bak anaknya sendiri. Rania jadi istri Krisna karena dibawa Agung, ayah mertuanya, kini dia dilema kalau harus membuat paruh baya yang menyayanginya kecewa. -------------- "Aku akan menjemputmu, Karin. Jangan kemana-mana. Jangan sedih lagi dong, Kamu 'kan masih punya aku." Jelas itu suara suaminya. 'Mas Krisna kapan pulang?' batin Rania dia bersembunyi di balik tembok."Aku akan menjemputmu, Karin. Jangan kemana-mana. Jangan sedih lagi dong, Kamu 'kan masih punya aku." Jelas itu suara suaminya.'Mas Krisna kapan pulang?' batin Rania dia bersembunyi di balik tembok.'Ternyata, tebakkanku benar. Saat aku fokus memulihkan kondisi, Mas Krisna baik padaku karena tidak mau aku mengancam cerai lagi. Tapi di luar, dia masih seperti biasa dengan Karin,' batin Rania."Jangan nangis, aku pasti datang kok? Masih sakit nggak? Nanti akan kuantar ke dokter. Pokoknya selama ada aku, kamu jangan takut. Aku pasti akan datang kalau kamu hubungi."Rania mengernyit dan tersenyum getir, dia menunggu apa lagi yang akan dikatakan suaminya.'Mas Krisna pasti lagi teleponan dengan Karin,' batin wanita itu. Hatinya mendesir nyeri.Sambungan telepon dimatikan tanpa ada kata lagi dari suaminya.Rania lantas mendekat."Mas, tadi memanggilku?" Rania tersenyum kaku. Kemarin, dia ingin mencoba bertahan demi ayah mertua. Dia mencoba berdamai dan mau memulai berkomunikasi lagi dengan
"Mas Krisna!" teriak Rania tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Suaminya sedang berpelukan dengen wanita lain, bahkan suaminya berkali-kali mengecup rambut wanita itu."Rania?" kaget Krisna. Sontak dia mendorong Karin, wanita yang dalam pelukannya."Ini yang kamu bilang sedang meeting, Mas?!" suara Rania meninggi pecah, dia kecewa memekik gejolak emosi. Baru saja suaminya menyuruhnya mengantar berkas yang tertinggal, ternyata malah mendapati kenyataan mengejutkan."Kenapa kamu masuk tanpa ketuk pintu? Aku bilang letakkan saja berkasnya di bawah!" kesal Krisna.Rania tertawa getir. "Apa aku salah datang ke ruang kerja suamiku? Oh, karena Mas nggak mau aku mengganggu acara meeting mesra dengan wanita ini, kan?" "Sopan kamu dengan Karin, dia rekan kerjaku!" sentak Krisna.Karin tersenyum sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Karin, Mbak." Wanita itu tidak ada wajah bersalah sedikitpun.Mata Rania membeliak. "Ini yang Mas sebut rekan kerja? Berpelukan mesra itu yang Mas
"Apa saya benar-benar keguguran, dok?" tanya Rania, suaranya bergetar. Dia memekik tangis. Jika benar, maka suaminyalah yang membuat calon janin itu pergi.Dokter menatap simpati. "Benar. Memang ada tanda-tanda awal pembuahan, tapi sayangnya tidak bisa bertahan."Rania ingat kalau dia sudah telat sekitar 2 Minggu. Dia belum sempat tes kehamilan, sekarang malah mendapat kabar seperti itu. Rasanya sangat menyayangkan kejadian ini. Pasalnya, kehamilan itu telah ditunggunya sejak lama. Entah kenapa, selama ini setiap dia telat datang bulan beberapa hari saja, sudah gagal lagi. Padahal pernikahannya sudah hampir 2 tahun. Sampai beberapa kali dikatakan mandul oleh mertua dan kerabat keluarga suaminya.Rania mencengkram erat tangannya sendiri, menekan sesak. "Apa penyebabnya karena jatuh tadi? Bukan karena hal lain?""Keguguranmu ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, benturan keras saat kamu jatuh, dan posisimu saat jatuh tidak tepat untuk kondisi kehamilan yang masih sangat awal. Da
“Kenapa kamu ada di rumah sakit, Ran? Kamu membuntutiku?" Nada Krisna sedikit tinggi, matanya menatap selidik, membuat Rania jadi semakin malas.Bukannya khawatir atau bagaimana, malah seperti curiga. Bukankah melihat Rania saja sudah paham kalau istrinya sedang tidak baik-baik saja?Rania sebentar menatap Karin yang duduk tak jauh darinya. Karin jelas tampak bugar, duduk tegap dan tak ada wajah pucat sedikit pun. Rania jadi curiga pada wanita itu. "Ran, kenapa diam saja aku tanya. Kenapa kamu juga ganti baju? Pasti tadi melakukan hal yang tidak-tidak."Udara ditarik dalam-dalam agar rongga dada Rania tak sesak. "Mas Krisna kira aku kurang kerjaan mengawal kemesraan kalian. Kalau Mas Krisna tidak ada hal lain, aku pergi dulu."Krisna menahan lengan Rania. "Tunggu, kenapa kamu pucat begitu?"Rania tersenyum kaku dengan mata berkaca. “Mas Krisna tidak perlu khawatir padaku. Karin lebih butuh perhatian Mas.”"Apa maksudmu? Aku sedang bertanya dan kenapa kamu masih sensitif saja. Kalau a
“Dia benar-benar tak punya malu! Berani sekali dia masuk mobil pria lain di hadapanku!” Bara api amarah seolah siap menyambar. Krisna mengepal tangannya kuat. Apalagi saat pria lain membukakan pintu untuk Rania, dada Krisna terasa sesak, terdesak gejolak emosi.Krisna masih mematung menatap nyalang istrinya yang baru saja masuk ke mobil seorang pria. Pikirannya dipenuhi prasangka buruk pada istrinya.“Aku tidak salah lihat? Mungkinkah Rania berani bermain di belakangku?” gumam lirih Krisna hanya terdengar dirinya sendiri."Bukankah itu istrimu, Kris? Kukira dia mau pulang naik taksi, ternyata bersama pria lain. Apa itu teman atau saudaranya? Kenapa terlihat akrab sekali?" Karin tampak heran dengan menampilkan wajah lugu.“Kamu pikir begitu?” Karin mengangkat dua pundaknya “Aku hanya mengingatkan. Menurutku, tidak mungkin seorang pria membukakan pintu untuk wanita kalau tidak ada sesuatu di antara mereka. Kamu lihat sendiri, kan? Yang sangat aneh, istrimu seperti tidak menghormatimu y
"Aku akan menjemputmu, Karin. Jangan kemana-mana. Jangan sedih lagi dong, Kamu 'kan masih punya aku." Jelas itu suara suaminya.'Mas Krisna kapan pulang?' batin Rania dia bersembunyi di balik tembok.'Ternyata, tebakkanku benar. Saat aku fokus memulihkan kondisi, Mas Krisna baik padaku karena tidak mau aku mengancam cerai lagi. Tapi di luar, dia masih seperti biasa dengan Karin,' batin Rania."Jangan nangis, aku pasti datang kok? Masih sakit nggak? Nanti akan kuantar ke dokter. Pokoknya selama ada aku, kamu jangan takut. Aku pasti akan datang kalau kamu hubungi."Rania mengernyit dan tersenyum getir, dia menunggu apa lagi yang akan dikatakan suaminya.'Mas Krisna pasti lagi teleponan dengan Karin,' batin wanita itu. Hatinya mendesir nyeri.Sambungan telepon dimatikan tanpa ada kata lagi dari suaminya.Rania lantas mendekat."Mas, tadi memanggilku?" Rania tersenyum kaku. Kemarin, dia ingin mencoba bertahan demi ayah mertua. Dia mencoba berdamai dan mau memulai berkomunikasi lagi dengan
"Rania!" Cepat Krisna menangkap tubuh istrinya yang terkulai lemas. Dia panik. "Kamu kenapa, Ran?" Krisna menepuk-nepuk pipi istrinya. Tak ada respon.Lalu Krisna meletakkan pelan tubuh istrinya ke atas tempat tidur. "Ran, kenapa kamu bisa seperti ini? Aku minta maaf buat kamu pingsan."Tangan Krisna menyentuh kening pucat Rania. "Panas? Kenapa kamu tidak bilang kalau sakit, Ran?" Krisna mengusap wajahnya kasar, dia frustasi dan bingung. "Aku harus panggil dokter. Ya, dokter." "Harusnya kamu sekalian periksa ke dokter saat kemarin di rumah sakit. Kenapa malah bersama pria lain?"Kontak dokter, ketemu.Akan tetapi, saat ingin menekan kontak itu, Krisna mendengar suara ayahnya."Krisna, Rania, kalian di dalam?" suara ayahnya terdengar dari balik pintu, membuat Krisna membelalak.Pria itu menatap istrinya yang terbaring lemah. Krisna panik, takut ayahnya tahu apa yang terjadi pada Rania dan menyalahkannya."Ayah nggak boleh tahu kalau orangnya pingsan."Krisna mengurungkan memanggil d
“Dia benar-benar tak punya malu! Berani sekali dia masuk mobil pria lain di hadapanku!” Bara api amarah seolah siap menyambar. Krisna mengepal tangannya kuat. Apalagi saat pria lain membukakan pintu untuk Rania, dada Krisna terasa sesak, terdesak gejolak emosi.Krisna masih mematung menatap nyalang istrinya yang baru saja masuk ke mobil seorang pria. Pikirannya dipenuhi prasangka buruk pada istrinya.“Aku tidak salah lihat? Mungkinkah Rania berani bermain di belakangku?” gumam lirih Krisna hanya terdengar dirinya sendiri."Bukankah itu istrimu, Kris? Kukira dia mau pulang naik taksi, ternyata bersama pria lain. Apa itu teman atau saudaranya? Kenapa terlihat akrab sekali?" Karin tampak heran dengan menampilkan wajah lugu.“Kamu pikir begitu?” Karin mengangkat dua pundaknya “Aku hanya mengingatkan. Menurutku, tidak mungkin seorang pria membukakan pintu untuk wanita kalau tidak ada sesuatu di antara mereka. Kamu lihat sendiri, kan? Yang sangat aneh, istrimu seperti tidak menghormatimu y
“Kenapa kamu ada di rumah sakit, Ran? Kamu membuntutiku?" Nada Krisna sedikit tinggi, matanya menatap selidik, membuat Rania jadi semakin malas.Bukannya khawatir atau bagaimana, malah seperti curiga. Bukankah melihat Rania saja sudah paham kalau istrinya sedang tidak baik-baik saja?Rania sebentar menatap Karin yang duduk tak jauh darinya. Karin jelas tampak bugar, duduk tegap dan tak ada wajah pucat sedikit pun. Rania jadi curiga pada wanita itu. "Ran, kenapa diam saja aku tanya. Kenapa kamu juga ganti baju? Pasti tadi melakukan hal yang tidak-tidak."Udara ditarik dalam-dalam agar rongga dada Rania tak sesak. "Mas Krisna kira aku kurang kerjaan mengawal kemesraan kalian. Kalau Mas Krisna tidak ada hal lain, aku pergi dulu."Krisna menahan lengan Rania. "Tunggu, kenapa kamu pucat begitu?"Rania tersenyum kaku dengan mata berkaca. “Mas Krisna tidak perlu khawatir padaku. Karin lebih butuh perhatian Mas.”"Apa maksudmu? Aku sedang bertanya dan kenapa kamu masih sensitif saja. Kalau a
"Apa saya benar-benar keguguran, dok?" tanya Rania, suaranya bergetar. Dia memekik tangis. Jika benar, maka suaminyalah yang membuat calon janin itu pergi.Dokter menatap simpati. "Benar. Memang ada tanda-tanda awal pembuahan, tapi sayangnya tidak bisa bertahan."Rania ingat kalau dia sudah telat sekitar 2 Minggu. Dia belum sempat tes kehamilan, sekarang malah mendapat kabar seperti itu. Rasanya sangat menyayangkan kejadian ini. Pasalnya, kehamilan itu telah ditunggunya sejak lama. Entah kenapa, selama ini setiap dia telat datang bulan beberapa hari saja, sudah gagal lagi. Padahal pernikahannya sudah hampir 2 tahun. Sampai beberapa kali dikatakan mandul oleh mertua dan kerabat keluarga suaminya.Rania mencengkram erat tangannya sendiri, menekan sesak. "Apa penyebabnya karena jatuh tadi? Bukan karena hal lain?""Keguguranmu ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, benturan keras saat kamu jatuh, dan posisimu saat jatuh tidak tepat untuk kondisi kehamilan yang masih sangat awal. Da
"Mas Krisna!" teriak Rania tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Suaminya sedang berpelukan dengen wanita lain, bahkan suaminya berkali-kali mengecup rambut wanita itu."Rania?" kaget Krisna. Sontak dia mendorong Karin, wanita yang dalam pelukannya."Ini yang kamu bilang sedang meeting, Mas?!" suara Rania meninggi pecah, dia kecewa memekik gejolak emosi. Baru saja suaminya menyuruhnya mengantar berkas yang tertinggal, ternyata malah mendapati kenyataan mengejutkan."Kenapa kamu masuk tanpa ketuk pintu? Aku bilang letakkan saja berkasnya di bawah!" kesal Krisna.Rania tertawa getir. "Apa aku salah datang ke ruang kerja suamiku? Oh, karena Mas nggak mau aku mengganggu acara meeting mesra dengan wanita ini, kan?" "Sopan kamu dengan Karin, dia rekan kerjaku!" sentak Krisna.Karin tersenyum sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Karin, Mbak." Wanita itu tidak ada wajah bersalah sedikitpun.Mata Rania membeliak. "Ini yang Mas sebut rekan kerja? Berpelukan mesra itu yang Mas