"Apa saya benar-benar keguguran, dok?" tanya Rania, suaranya bergetar. Dia memekik tangis. Jika benar, maka suaminyalah yang membuat calon janin itu pergi.
Dokter menatap simpati. "Benar. Memang ada tanda-tanda awal pembuahan, tapi sayangnya tidak bisa bertahan." Rania ingat kalau dia sudah telat sekitar 2 Minggu. Dia belum sempat tes kehamilan, sekarang malah mendapat kabar seperti itu. Rasanya sangat menyayangkan kejadian ini. Pasalnya, kehamilan itu telah ditunggunya sejak lama. Entah kenapa, selama ini setiap dia telat datang bulan beberapa hari saja, sudah gagal lagi. Padahal pernikahannya sudah hampir 2 tahun. Sampai beberapa kali dikatakan mandul oleh mertua dan kerabat keluarga suaminya. Rania mencengkram erat tangannya sendiri, menekan sesak. "Apa penyebabnya karena jatuh tadi? Bukan karena hal lain?" "Keguguranmu ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, benturan keras saat kamu jatuh, dan posisimu saat jatuh tidak tepat untuk kondisi kehamilan yang masih sangat awal. Dan kedua, tekanan pikiran yang cukup berat juga jadi pemicu." Wanita itu terdiam sesaat. "Apa yang harus saya lakukan sekarang, dok?" "Yang terpenting sekarang adalah istirahat. Jangan sampai stres. Tubuhmu butuh waktu untuk pulih. Kesehatan fisik dan mentalmu sama pentingnya. Saya akan memberikan obat, dan harus diminum rutin," jelas dokter. "Berapa lama saya perlu istirahat, dok?" "Untuk saat ini, minimal satu hingga dua minggu tanpa aktivitas berat. Fokuslah pada pemulihan. Jangan ragu untuk kembali jika ada keluhan," jawab dokter. "Terima kasih, dok." Rania datang ke rumah sakit sendiri, tanpa ada yang mengantar. Dia naik taksi dan langsung ke UGD karena tak kuat lagi. Kini wanita itu juga pulang sendiri. Dia tertatih dengan wajah pucat. Bahkan pakaiannya sudah berganti. Tadi, dia sempat menyuruh seseorang untuk membelikan baju ganti karena bajunya terkena bercak darah. "Istirahat dengan baik? Jangan stres?" Rania tersenyum getir. Karena itu tak mungkin untuknya saat ini. Pandangan kosongnya membawa ingatannya soal ibu mertua. "Kalau memang berniat jadi ibu rumah tangga, kamu harus mau mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Jangan pakai pembantu!" "Tapi, Bu. Rumah ini lumayan besar, bagaimana aku akan bersih-bersih sendiri tiap hari. Minimal satu orang membantuku. Kalau aku kelelahan, takut tidak bisa mengurus Mas Krisna dengan baik." "Kalau kamu tidak sanggup ... ya sudah, jadi wanita karir saja! Bukan menggantungkan diri pada suami." Rania terdiam dengan helaan berat. "Jadi ibu rumah tangga itu bukan sekadar duduk diam dan mengurus anak. Apalagi kamu belum punya anak, memangnya cuma mau duduk-duduk main hape. Rumah besar kalau pinter aturnya, kamu nggak akan ngeluh seperti ini." "Tapi, Bu. Kalau waktuku habis untuk bersihkan rumah besar ini, aku tidak bisa mengembangkan potensi lain dan cari wawasan baru." “Banyak alasan. Kamu itu cuma lulusan SMA. Mau cari wawasan apa? Memangnya potensi apa yang kamu punya selain cuci piring dan baju? Kamu pikir bisa bersaing di luar sana dengan pendidikan minim?” Rania terdiam, bukan karena tak mampu menjawab. Kata-kata ibu mertuanya begitu menusuk hatinya. “Sudah jelas, bukan? Kamu memang lebih cocok di rumah. Jangan cuma pengen hidup enak dengan pembantu di rumah!” Bagaimana Rania akan istirahat dengan baik, kalau setiap hari dihadapkan dengan pekerjaan rumah? Dan soal stres? Itu lebih tidak mungkin lagi. Wanita itu tak mungkin pura-pura tidak tahu dengan apa yang sedang dilakukan suaminya saat ini. Apalagi setelah melihat sendiri kejadian itu. "Hah! Rania menghempas ingatannya. Dia menggeleng sambil memegang dadanya. Lalu, wanita itu menengok ponselnya. Wajahnya tampak kecewa. "Bahkan Mas Krisna tidak tertarik untuk tahu keadaanku." Rania tersenyum getir. Wanita itu berjalan di sisi tembok sambil berpegangan, dia merambat pelan. "Rania?!" seru seorang pria di sana. Suaranya sangat Rania kenal. Rania tidak menyangka akan bertemu suaminya di rumah sakit. Dia melihat suaminya sedang menuntun Karin. Sangat telaten dan lembut. Pemandangan itu menorehkan sayatan di hati Rania. "Ternyata." Dia tersenyum miris dengan helaan nafas berat. Tubuhnya jadi makin terasa lemas. Dia sedang malas menemui dua orang itu dan berniat pergi menghindar saja. "Rania, tunggu!" Krisna menahan saat dia baru berbelok arah. Rania melihat Krisna mendudukan pelan Karin ke kursi tunggu sambil entah berkata apa, tapi kata-kata suaminya pada Karin pastinya lembut. Kini Krisna ada di sisi Rania. “Kenapa kamu ada di sini, Ran? Kenapa wajahmu pucat?” Haruskah Rania jujur?“Kenapa kamu ada di rumah sakit, Ran? Kamu membuntutiku?" Nada Krisna sedikit tinggi, matanya menatap selidik, membuat Rania jadi semakin malas. Bukannya khawatir atau bagaimana, malah seperti curiga. Bukankah melihat Rania saja sudah paham kalau istrinya sedang tidak baik-baik saja? Rania sebentar menatap Karin yang duduk tak jauh darinya. Karin jelas tampak bugar, duduk tegap dan tak ada wajah pucat sedikit pun. Rania jadi curiga pada wanita itu. "Ran, kenapa diam saja aku tanya. Kenapa kamu juga ganti baju? Pasti tadi melakukan hal yang tidak-tidak." Udara ditarik dalam-dalam agar rongga dada Rania tak sesak. "Mas Krisna kira aku kurang kerjaan mengawal kemesraan kalian. Kalau Mas Krisna tidak ada hal lain, aku pergi dulu." Krisna menahan lengan Rania. "Tunggu, kenapa kamu pucat begitu?" Rania tersenyum kaku dengan mata berkaca. “Mas Krisna tidak perlu khawatir padaku. Karin lebih butuh perhatian Mas.” "Apa maksudmu? Aku sedang bertanya dan kenapa kamu masih sensitif
“Dia benar-benar tak punya malu! Berani sekali dia masuk mobil pria lain di hadapanku!” Bara api amarah seolah siap menyambar. Krisna mengepal tangannya kuat. Apalagi saat pria lain membukakan pintu untuk Rania, dada Krisna terasa sesak, terdesak gejolak emosi.Krisna masih mematung menatap nyalang istrinya yang baru saja masuk ke mobil seorang pria. Pikirannya dipenuhi prasangka buruk pada istrinya.“Aku tidak salah lihat? Mungkinkah Rania berani bermain di belakangku?” gumam lirih Krisna hanya terdengar dirinya sendiri."Bukankah itu istrimu, Kris? Kukira dia mau pulang naik taksi, ternyata bersama pria lain. Apa itu teman atau saudaranya? Kenapa terlihat akrab sekali?" Karin tampak heran dengan menampilkan wajah lugu.“Kamu pikir begitu?” Karin mengangkat dua pundaknya “Aku hanya mengingatkan. Menurutku, tidak mungkin seorang pria membukakan pintu untuk wanita kalau tidak ada sesuatu di antara mereka. Kamu lihat sendiri, kan? Yang sangat aneh, istrimu seperti tidak menghormatimu y
"Rania!" Cepat Krisna menangkap tubuh istrinya yang terkulai lemas. Dia panik. "Kamu kenapa, Ran?" Krisna menepuk-nepuk pipi istrinya. Tak ada respon.Lalu Krisna meletakkan pelan tubuh istrinya ke atas tempat tidur. "Ran, kenapa kamu bisa seperti ini? Aku minta maaf buat kamu pingsan."Tangan Krisna menyentuh kening pucat Rania. "Panas? Kenapa kamu tidak bilang kalau sakit, Ran?" Krisna mengusap wajahnya kasar, dia frustasi dan bingung. "Aku harus panggil dokter. Ya, dokter." "Harusnya kamu sekalian periksa ke dokter saat kemarin di rumah sakit. Kenapa malah bersama pria lain?"Kontak dokter, ketemu.Akan tetapi, saat ingin menekan kontak itu, Krisna mendengar suara ayahnya."Krisna, Rania, kalian di dalam?" suara ayahnya terdengar dari balik pintu, membuat Krisna membelalak.Pria itu menatap istrinya yang terbaring lemah. Krisna panik, takut ayahnya tahu apa yang terjadi pada Rania dan menyalahkannya."Ayah nggak boleh tahu kalau orangnya pingsan."Krisna mengurungkan memanggil d
"Aku akan menjemputmu, Karin. Jangan kemana-mana. Jangan sedih lagi dong, Kamu 'kan masih punya aku." Jelas itu suara suaminya.'Mas Krisna kapan pulang?' batin Rania dia bersembunyi di balik tembok.'Ternyata, tebakkanku benar. Saat aku fokus memulihkan kondisi, Mas Krisna baik padaku karena tidak mau aku mengancam cerai lagi. Tapi di luar, dia masih seperti biasa dengan Karin,' batin Rania."Jangan nangis, aku pasti datang kok? Masih sakit nggak? Nanti akan kuantar ke dokter. Pokoknya selama ada aku, kamu jangan takut. Aku pasti akan datang kalau kamu hubungi."Rania mengernyit dan tersenyum getir, dia menunggu apa lagi yang akan dikatakan suaminya.'Mas Krisna pasti lagi teleponan dengan Karin,' batin wanita itu. Hatinya mendesir nyeri.Sambungan telepon dimatikan tanpa ada kata lagi dari suaminya.Rania lantas mendekat."Mas, tadi memanggilku?" Rania tersenyum kaku. Kemarin, dia ingin mencoba bertahan demi ayah mertua. Dia mencoba berdamai dan mau memulai berkomunikasi lagi dengan
"Mau ke mana, Kamu? Nggak usah pergi! Di belakang saja?" Wanita paruh baya itu menekan bibirnya dengan tatapan intimidasi. Dia mencegat agar Rania tidak sampai keluar menemui tamu. Ya, dia Puspa, ibu mertua Rania.Rania diam sebentar, tidak mungkin dia mengatakan kamu mau pergi. Apalagi menyusul suaminya yang sedang bersama wanita lain."Aku mau menemui Ayah, Bu. Disuruh menemui beberapa orang. Katanya mau dikenalkan sebagai menantu." Rania tidak berbohong karena memang kenyataannya seperti itu.Puspa tertawa kecil remeh dengan wajah kecut. "Kamu? Mau dikenalkan? Untuk apa? Cuma buat malu Krisna dan kami saja.""Tapi aku kan istri sah Mas Krisna. Bukankah wajar jika aku dikenal oleh keluarga besar? Banyak yang belum tahu aku istrinya Mas Krisna." Puspa, ibu mertua Rania mendesah kesal. "Kamu ngerti nggak?! Yang hadir di acara ini adalah orang-orang kaya di daerah sini. Mending kamu tidak usah menyapa mereka. Kasihan Krisna kalau orang-orang kaya itu tahu istrinya seperti ini. Level
"Sungguh pas niat datang aku nggak tahu kalau kamu udah nikah, Kris. Aku datang ke kota ini karena ngerasa nggak punya selain kamu. Keluargaku sedang seperti itu, aku juga sedang sakit. Dengan kondisiku seperti ini, gimana aku harus hidup sendiri tanpa kamu?"Karin. Wanita itu mantan kekasih Krisna saat berada di ibu kota. Kini datang dengan membawa banyak hal tak terduga. Paras cantik dan rintikan air matanya telah menyihir Krisna hingga hatinya goyah dan dilema. Beberapa bulan ini, Krisna disibukan mengingat dan menyelami cerita cinta mereka dulu. Hingga dia lupa memperhatikan istrinya sendiri."Jangan ngomong gitu Karin. Aku masih bisa seperti dulu. Bilang saja kalau kamu kenapa-napa atau butuh sesuatu. Aku akan selalu ada untukmu.""Sekarang kamu tahu 'kan kenapa aku pergi tiba-tiba dan putusin kamu dulu?" Wajah Karin begitu sendu.Krisna ingat, dulu Karin tiba-tiba datang dan memutuskannya. Disaat cintanya pada Karin semakin dalam, disaat itu Karin pergi tanpa kabar. Dia patah ha
"Rania?" Krisna menatap lebar tak berpaling dari penampilan istrinya kali ini.Biasanya Rania hanya akan berpenampilan sederhana. Hanya memakai sunscreen, bedak tabur dan lipblam natural. Namun, sebenarnya penampilan sederhana Rania sudah terbilang manis dan cantik. Nyaman dan betah dipandang. Apalagi yang sekarang? Membuat beberapa pria di sekitarnya terpana.Karin tersenyum kaku dengan mata lebar. Dia menangkap wajah tidak nyaman pada Krisna. Seperti maling ketangkap basah."Maaf ganggu. Boleh 'kan aku ikut duduk di sini?" Tanpa menunggu jawaban dari siapapun, Rania menarik sebuah kursi dan duduk di antara mereka. Dia duduk tenang menatap Krisna dan Karin bergantian. Karin diam dan trus tersenyum kaku pada Rania. Wanita ini juga tampak tenang, tak ada gurat wajah bersalah.Krisna tercengang melihat penampilan istrinya. Dia bahkan tak berkedip sekian detik."Mas Krisna." Rania tersenyum manis, dia berusaha tetap tenang dan terus mengatakan pada hatinya agar jangan menangis.Krisna g
"Sebenarnya, yang membuat dia tidak jadi sakit itu, datang ke rumah makan atau suamiku?" Rania menertawakan diri sendiri. Krisna sedang heboh dengan keadaan Karin. "Karin! Karin! Kamu masih mendengarku?" "Nggak apa-apa, Kris. Aku cuma-" Karin lemas begitu saja. Rania beranjak dan menatap adegan itu. Tercengang kembali. Tidak habis pikir dia akan melihat suaminya yang langsung mengangkat wanita lain ala bridal style di tempat umum. Dan ... meninggalkannya. Pergi! Suaminya sudah pergi. Rania mematung hingga suaminya tak terlihat lagi. "Bu Rania. Gimana sekarang? Saya sudah merekam semuanya termasuk saat Bu Rania tadi berantem dengan Pak Krisna. Dan saat Pak Krisna mengejar wanita itu dan pergi. Semuanya akan saya kirim ke Ibu." Pak Joko membuyarkan lamunan Rania. Rania tersenyum tipis. "Makasih ya, Pak. Saya akan transfer seperti kemarin. Besok kalau saat butuh, Bapak harus siap lagi. Dan rahasiakan semua ini. Nanti akan saya tambah bonus." "Sama-sama, Bu. Yang sabar ya.
"Rania?!" Ane membelalak. Sekian detik, tubuhnya membeku. Lalu, dengan cepat, dia berusaha tampak tenang.Rania berdiri di depan lift, tersenyum tipis, lalu melangkah masuk. Sikapnya tenang seperti tak mengenal Ane, tapi sorotnya memicing tajam.'Apa yang terjadi? Kenapa bisa-' batin Ane, tangannya mengepal kuat di bawah. Dadanya bergemuruh hebat. Dia tak terima jika kalah dengan Rania.Jantung Ane berdegup makin keras. Seharusnya ini tidak mungkin. Seharusnya Rania sudah habis. Laporan yang diterimanya tadi menyatakan semuanya beres. Lalu, bagaimana wanita itu bisa berdiri di sini dengan wajah tenang seolah tak terjadi apa-apa?"Ehem!" Rania berdiri di sebelah Ane. Dia memilih diam. Niatnya memang hanya mau muncul di depan wanita yang dia curigai. Ingin tahu seperti apa reaksinya.Lift bergerak. Hening.Ane bisa merasakan tatapan Rania tadi begitu tajam dan tidak biasa.Hening, sampai pintu lift terbuka.Mereka melangkah keluar di lantai yang sama. Ane melirik ke samping, memastikan
[Jangan berani memberi tahu Krisna. Atau kamu tidak akan bertemu denganku.]Satu lagi pesan masuk. Rania mengerutkan keningnya."Aku jadi makin penasaran, siapa orang ini. Kalau aku bilang sama mas Krisna pun, dia lagi sangat sibuk sama proyek barunya. Dan pasti melarangku menemui orang ini. Yang ada, dia malah nggak jadi menampakkan diri."Rania menghentak napasnya dengan tatapan tajam ke depan. Dia terus terbayang calon anaknya yang hilang dan berpikir kalau akar masalahnya tidak disingkirkan, maka jika hamil lagi pun akan jadi incarannya."Apa mas Krisna lagi dekat sama wanita lain? Atau ada wanita yang suka sama mas Krisna? Aku harus tetap tenang."Rania bersiap diri sambil menghubungi seseorang. Tidak munafik kalau dia tidak akan mampu menghadapi hal seperti ini sendirian. Bagaimana kalau nanti ada apa-apa?Ya, meski Krisna pasti sangat bersedia membantunya, tapi musuh ingin Krisna tidak tahu.Sekian saat, Rania siap berangkat.Dia meraih tasnya. Lalu, ke bagian dapur menemui pem
Pagi itu. Di depan rumah, Krisna berdiri, menatap lembut dan penuh cinta pada istrinya. "Kamu hati-hati di jalan. Kalau udah nyampe jangan lupa kabari aku." Rania merapikan dasi suaminya yang hendak berangkat kerja. Di tersenyum lebar dan manis.Sengaja, Rania menahan diri tidak bercerita soal apa yang dilakukan Winda karena suatu alasan.Krisna tersenyum lebar. Jemarinya menggenggam tangan istrinya erat. "Doamu memang luar biasa, Sayang. Aku dapat klien baru dan itu punya nilai keuntungan di atas 10 miliar. Mungkin ini berkat punya istri baik dan sabar sepertimu. Makasih kamu masih mau ada di sisi suami yang brengsek ini."Rania tersenyum kecil. "Selamat. Semoga lancar, Mas. Aku akan selalu mendukung suami tampanku ini."Krisna menatapnya lebih lama, enggan pergi. Lengan kekarnya menarik tubuh Rania ke dalam dekapan erat. "Aku malas ke kantor. Mau di rumah saja sama kamu."Rania tertawa pelan, pipinya terasa panas. "Kamu ini Mas. Cepat pergi, nanti terlambat. Kalau kesiangan jalanan
"Sayang, sepertinya aku akan makan siang di luar. Nggak bisa pulang seperti janjiku. Kamu nggak apa-apa, kan?"Krisna sedang menelepon istrinya. Sebenarnya dia janji akan pulang siang hari menemani istrinya makan. Dan akan melanjutkan pekerjaan di rumah."Nggak apa-apa, Mas." Suara Rania begitu lemas."Kok rasanya kamu lagi nggak semangat, Sayang. Kamu nggak kecapekan, kan?""Nggak kok. Cuma masih lemes saja.""Ya udah, kamu istirahat saja dulu."Rania meletakkan ponselnya di nakas. Dia bukan terlalu lelah dan itu tidak mungkin karena saat ini Krisna telah mempekerjakan 2 pembantu dan 1 tukang kebun.Rania hanya sedang bingung menghadapi situasi saat ini. Di saat dia dan Krisna berdamai, malah ada duri dalam manisnya madu. Sulit dipercaya, ternyata kesabarannya kembali diuji. Apa dia akan bertahan kuat di sisi Krisna kali ini? Yang jelas, dia lelah, enggan kembali dipermainkan dan diremehkan.Yang Rania garis bawahi dalam prinsip hidupnya kali ini, kebahagiaan berumah tangga tak sert
Ane masih duduk di sofa dengan kaki bersilang. Senyum miring terlukis di wajahnya saat dia menatap suaminya yang sedang menuangkan wine ke gelas kristal."Sayang, aku bagaimana kalau kita membuat kerja sama dengan perusahaan Krisna? Dan biarkan aku yang mengurus langsung kerja sama itu."Suaminya berhenti sejenak. Matanya menyipit menatap Ane. "Kenapa harus kamu? Aku bisa menyuruh orang lain."Ane tersenyum. Jari-jarinya lentiknya melingkar di bahu suaminya, memberikan sentuhan lembut yang selalu membuat pria itu luluh."Aku yang lebih paham bagaimana menghadapi Krisna. Dia pria yang bisa dimanipulasi jika disentuh di titik yang tepat. Jangan khawatir, aku bisa jaga diri dan tidak akan membuatmu kecewa."Suaminya terdiam, memutar gelas di tangannya. "Kerja sama ini memang bisa membawa keuntungan besar. Tapi aku tidak mau kamu terlalu terlibat, jika hanya untuk urusan pribadi. Kamu tahu sendiri, urusan bisnis tidak bisa kamu campur dengan keinginanmu itu. Aku akan bantu kamu membalas d
"Anak kita, Mas. Apa dia-" Dada Rania sampai bergetar karena terisak. Dia menggeleng. "Nggak! Nggak mungkin."Krisna terdiam. Dadanya bergemuruh. Dia langsung memeluk istrinya. "Jangan pikirkan hal itu dulu. Pikirkan kesehatanmu saat ini."Rania menggigit bibirnya, tangannya semakin menekan perutnya yang terasa hampa. Airmatanya jatuh, tapi dia tidak mengeluarkan suara. Krisna menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. “Kita bicarakan hal itu nanti lagi, Sayang. Sekarang, yang penting kamu harus pulih dulu.”Rania memejamkan mata. Dadanya naik turun menahan sesak yang lebih menyakitkan dari fisiknya sendiri. “Dia sudah tidak ada, kan?”Krisna tak bisa menjawab.“Aku bahkan nggak bisa melindungi anakku sendiri. Dia pergi lagi.” Suaranya begitu lirih, tapi menusuk langsung ke hati Krisna."Aku yang nggak becus menjaga kalian. Maaf, Sayang." Krisna mendongak mengedip-ngedipkan matanya. Pria itu hampir menangis.Krisna sesak mendengarnya. Ya, dia ingat betul. Dulu Rania juga kegug
"Bagaimana istri dan anak saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" Krisna tersenyum miris dengan mata berkaca-kaca menatap dokter itu dan berharap mendapat jawaban seperti keinginannya.Dokter itu menghela napas berat. "Maaf, kami hanya bisa menyelamatkan ibunya. Anak Anda-""Tidak! Tidak mungkin, Dok. Dia nggak mungkin pergi. Kami sangat menantikannya.""Keguguran pasien diduga karena mengkonsumsi semacam obat atau ramuan penggugur kandungan."Krisna berdiri membeku. Kakinya lemas, dadanya sesak, pikirannya berputar liar. Obat penggugur kandungan?Napasnya memburu, menatap dokter yang baru saja menjatuhkan kabar buruk itu. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.“Dok, apa maksud Anda? Istri saya tidak mungkin minum obat seperti itu. Dia sangat menjaga kehamilannya.” Suaranya bergetar.Dokter menghela napas panjang. “Kami belum bisa menyimpulkan sepenuhnya. Kami butuh hasil laboratorium. Tapi dari gejalanya, ini sangat mengarah ke sana.”Krisna merasakan dadanya terbakar. Tidak mungkin
Krisna telah menyiapkan kejutan spesial. Sebuah meja makan dengan lilin-lilin kecil di sekelilingnya, di restoran out door.Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga yang diletakkan di tengah meja."Sebentar lagi, Sayang."Krisna menutup mata istrinya hingga tiba di meja itu "Udah belum, Mas?" Wanita itu terus tersenyum.Pelan Krisna melepas tangannya dari mata Rania.Rania menutup mulutnya ketika melihat kejutan itu. Matanya berkaca-kaca. “Mas ... ini indah sekali.”"Kamu suka? Maaf, aku terlambat melakukan semua ini padamu."Rania menggeleng. "Ini cukup. Aku senang, Mas."Krisna menarik kursi untuk Rania dan mempersilakannya duduk. Mereka akan menikmati makan malam romantis.Sesekali Krisna menyentuh tangan Rania, memastikan bahwa wanita di hadapannya ini benar-benar nyata dan miliknya."Ran, tetap di sisiku.""Memangnya aku mau ke mana, Mas?""Aku senang melihat senyum kamu seperti ini, Sayang. Tetap tersenyum."Krisna berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah Rania. Dia
"Mas, apa ini?"Sebuah paket bulan madu. Agung rupanya telah menyiapkan paket untuk mereka berdua.Krisna mengembangkan senyumnya. Lalu, dia memegang dua bahu istrinya.Rania menatap paket bulan madu itu dengan mata berkaca-kaca. Dia masih ingat bagaimana dulu saat bulan madu dengan kehadiran Karin dan berakhir dia kecelakaan.Lalu, Krisna memeluk istrinya. Dia tahu apa yang dirasakan Rania saat ini. "Maafkan aku untuk masa lalu. Aku sangat ingin menghapus jejak kebodohanku dulu. Ran, paket bulan madu ini, untuk bulan depan. Setelah aku benar-benar pulih. Nanti, aku akan menghapus kesedihanmu di masa lalu dengan kebahagiaan, Ran. Aku sangat mencintaimu."Rania mengangguk dalam pelukan. "Jangan seperti dulu lagi, Mas."“Bulan madu nanti, aku akan buat kamu nggak bisa berhenti tersenyum, Sayang. Romantis dan hanya kamu dan aku.”Rania menarik napas dalam-dalam. Dia tidak mau larut dalam kesedihan. Toh, Karin telah dikabarkan sudah tiada. Jadi tidak akan ada lagi yang mengganggunya nant