Setelah menghubungi orang untuk mengurus perpindahan Raisa dari rumah sakit tersebut, sang direktur menghubungi dokter anak yang menangani Sera, bayi yang datang bersama dengan Raisa ke rumah sakit tersebut."Apa semuanya sudah siap?" tanya sang dokter anak pada perawat yang telah dipercaya olehnya untuk membawa bayi mungil tersebut berpindah rumah sakit."Sudah, dok. Apa mau berangkat sekarang?" tanya perawat tersebut dengan menggendong sang bayi.Dokter perempuan tersebut menganggukkan kepalanya, dan mengajak sang perawat untuk berjalan di sebelahnya. "Ingat, bersikaplah cuek dan masa bodoh, tapi tetap lakukan pekerjaanmu dengan baik dan tanggung jawab. Tidak usah bertanya apa pun tentang mereka," tutur sang dokter lirih, sambil berjalan berdampingan dengan perawat tersebut."Tapi, dok. Bagaimana jika ada yang bertanya pada saya?" tanya perawat tersebut, di sela langkah kakinya yang beriringan dengan sang dokter.Kaki dokter perempuan itu berhenti melangkah. Badannya bergerak mengh
Sang perawat menatap kedua orang yang sedang berdiri di hadapannya. Seorang wanita dan seorang pria yang memakai jas putih. Dari name tag yang dipakainya, bisa dipastikan jika mereka berdua adalah seorang dokter. Melihat sang perawat yang masih diam memperhatikan mereka berdua, dokter wanita yang berusia tidak muda lagi itu, melangkah maju mendekatinya, dan tersenyum ramah padanya. Kemudian dia berkata,"Kami dokter yang bertugas untuk mengurus bayi ini dan ibunya. Bisa kami bawa bayinya?" Perawat itu pun memberikan bayi yang digendongnya pada dokter wanita tersebut, seraya berkata,"Apa bayi ini akan baik-baik saja di sini?"Sang dokter tersenyum sembari mengambil alih bayi dalam gendongan perawat tersebut. Dia pun berkata,"Kami akan merawatnya sebaik mungkin. Tenang saja, ada ibunya di sini.""Tapi, bukankah ibunya sedang ada gangguan mental, dok? Apa bayi ini akan baik-baik saja jika ada bersamanya?" tanya sang perawat tanpa sadar.Sang dokter kembali tersenyum. Dia menoleh ke a
Celine menatap muak pada pria yang kini sedang berlutut di hadapannya. Bahkan semua perkataannya seolah menjadi belati tajam yang menggores tepat di hatinya.Dengan keras dia menghempaskan tangan suaminya, dan berkata,"Bangunlah. Ini bukan seperti dirimu yang biasanya. Sean Mayer tidak akan pernah melakukan ini pada siapa pun."Sean meraih kembali tangan istrinya, seraya berkata,"Tidak. Kamu adalah istriku, belahan jiwaku. Kamu wanita spesial dalam hidupku. Jadi, aku harus berlutut di hadapanmu untuk meminta pengampunan mu."Sekali lagi Celine menghempaskan tangan sang suami, seraya berkata,"Terlambat! Ke mana saja kamu selama ini?! Apa kamu tidak ingat seberapa banyak dan dalamnya selama ini kamu menyakitiku?!"Sean melihat kemarahan yang begitu besar dari wajah istrinya. Amarah, kecewa, dan rasa kesal terlihat jelas dari wajahnya saat ini. Bahkan tatapan matanya penuh dengan kebencian pada sang suami yang masih berlutut di hadapannya."Maaf. Maafkan aku, Sayang. Aku tahu jika sem
Sesuai dengan arahan dokter yang menangani Raisa. Para perawat tidak ada yang berani mendekatinya, sebelum dia bersikap tenang. Akan tetapi, jika dalam keadaan darurat, mereka akan sigap untuk menolongnya. Hanya saja, dalam kondisi goncangan mentalnya saat ini, Raisa yang terkenal licik itu, tidak mempunyai pikiran untuk melakukannya. Jika dia menjadi Raisa yang biasanya, sudah pasti akan melakukan berbagai macam trik untuk mengelabuhi semua orang, demi tercapai keinginannya.Kini, dia hanya bisa pasrah, hingga ada orang yang datang membuka pintu ruangannya. "Sialan, kalian. Lihat saja. Aku akan membalasnya, lebih dari ini," gumam Raisa dengan mengeratkan gigi-giginya dan mengepalkan kedua tangannya.Di tempat lain, tepatnya di sebuah bangunan kuno yang ditempati oleh segerombolan pria-pria berbadan kekar dan bertato di beberapa bagian tubuhnya, seorang pria yang dijadikan tahanan mereka sedang berjuang untuk tetap bertahan hidup. Para pria tersebut tidak akan menyiksanya, tanpa peri
Brak!Semua benda yang berada di atas meja kerja Sean telah menjadi pelampiasan amarahnya. "Bodoh! Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik?!" bentak sang CEO perusahaan MY pada pria yang selama ini telah menjadi asistennya."Kita sudah berusaha sebaik mungkin, Pak. Tapi, kerugian kita begitu besar, sehingga saya hanya bisa menyarankan satu-satunya cara untuk lepas dari kebangkrutan," tutur Rendy, sang asisten yang merangkap sebagai sekretaris pribadi Sean selama memimpin perusahaan tersebut."Apa hanya cara itu saja yang bisa kalian sarankan?!" tanya sang CEO dengan berapi-api.Semuanya hanya menunduk ketakutan. Tidak berani menatap mata sang CEO yang sedang dipenuhi dengan amarah."Apa sebenarnya kerja kalian selama ini?!""Kenapa semua orang tidak becus bekerja?!""Apa selama ini kalian makan gaji buta?!""Di mana otak kalian semua, hah?!" "Percuma saja menggaji besar kalian kalau kerja kalian gak becus seperti ini!"Makian-makian dari sang CEO membuat semua yang ada di ruangan te
Pertanyaan yang tidak dijawab oleh sang kakak, membuat Sean semakin penasaran. Pasalnya, situasi perusahaan dan kehidupan rumah tangganya sedang di ujung tanduk. "Shit! Apa sebenarnya rencana dia?!" Sean mengumpat kasar dan menjambak rambutnya sebagai pelampiasan kemarahan. Dia beranjak dari duduknya, dan berseru,"Kenapa ini semua terjadi padaku?!" Ruangan menjadi hening seketika. Tidak ada yang menjawab pertanyaannya. Tidak ada pula manusia yang ada di dalam ruangan tersebut. Dia menatap nanar pada sebuah plakat yang tergeletak di lantai bersama dengan beberapa map dan kertas-kertas yang berserakan di sekitarnya. Diambilnya plakat yang tertera namanya sebagai CEO dari perusahaan tersebut, dan ditatapnya dengan lekat, seraya berkata,"Apa aku harus melepaskannya, dan merelakan semua ini?"Tidak ada kata ikhlas atau pun rela dalam hatinya saat ini. Akan tetapi, semua seolah memaksanya untuk bisa melepaskan semua yang dimilikinya. Dibawanya plakat nama itu duduk di kursi kebesarann
Celine merasa seolah menjadi tawanan saat ini. Rencana yang sudah disusun dengan baik, tidak bisa dilakukannya begitu saja. "Aku harus mencari cara agar bisa keluar dari sini. Bagaimanapun caranya, aku harus bisa bertemu dengannya," gumam Celine sembari berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya.Terdengar suara celotehan dari sang putra. Bayi mungil yang menjadi kebanggaan keluarga Mayer dan Federick itu, terlihat sangat bahagia. Kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak lincah diiringi dengan tawa riang di atas ranjang sang mama. Seketika perhatian wanita yang sedang kebingungan itu, tertuju pada sang bayi. Tanpa sadar, bibirnya melengkung ke atas melihat betapa riang dan bahagianya sang buah hati. "Hero, Sayang. Tolong bantu Mama untuk segera bisa menyelesaikan semua ini. Mama janji akan membuatmu selalu bahagia dan tidak akan pernah kekurangan sedikit pun," ucapnya lirih, seraya mengusap lembut dan perlahan pipi mulus sang buah hati.Bayi mungil nan berparas tampan itu tersenyum me
Ternyata sang menantu tidak bisa menipu mertuanya. Anna, mengendus sesuatu ketika sang menantu kesayangan meminta ijin padanya. Perhatian wanita paruh baya tersebut tidak lepas dari layar ponselnya. Pertanyaan seputar sang pria yang sedang bersama dengan menantunya, membuat sang nyonya besar kecewa padanya.Tentu saja dia tidak melepas pria tersebut begitu saja. Orang kepercayaannya telah diutus untuk mencari tahu segala sesuatu tentang sang pria.Merasa tidak tenang, sang nyonya besar pun beranjak dari duduknya, dan menjinjing tas branded yang berada di sampingnya."Mama akan pergi ke mana?" Pertanyaan dari seorang pria, membuat kaki wanita paruh baya tersebut membatalkan niatnya untuk melangkah. "Mama mau menjemput Celine dan Hero di rumah orang tuanya," jawab sang nyonya besar, sembari merapikan pakaiannya. "Mereka ada di sana?" tanya kembali Dave dengan rasa ingin tahunya.Sang mama menganggukkan kepalanya, seraya berkata,"Sudah beberapa jam yang lalu mereka berangkat.""Lalu,