"Mama?!" ujar Sera dengan suara yang bergetar.Perempuan muda itu berlari menghampiri seorang wanita paruh baya yang berpenampilan seksi, dan memakai makeup, lengkap dengan lipstik berwarna merah menyala. Dipeluknya wanita yang dipanggilnya dengan sebutan mama tersebut, dan berkata,"Sera takut, Ma."Air matanya menetes di pipi, dan mengenai baju wanita paruh baya yang dipeluknya. Hal yang paling dibenci oleh Raisa, kini dilakukan oleh putrinya. Raisa sangat marah jika bajunya terkena makeup orang lain pada saat berpelukan dengannya. Terlebih lagi jika air mata orang tersebut menempel di bajunya.Sang mama menjauhkan tubuh putrinya, dan memperhatikan penampilan perempuan muda tersebut yang masih sesenggukan mengeluarkan air mata. "Ada apa denganmu, Sera? Kenapa kamu seperti ini? Dan juga kenapa kamu berada di tempat ini?" tanya Raisa sembari menatap putrinya dengan heran.Sera menundukkan kepalanya, sembari mengusap kasar air mata yang menetes di kedua pipinya. Akan tetapi, dia tidak
Suara detak jantung dari seorang pasien pria yang terbaring di atas tempat tidur pasien, terdengar menggema dalam ruang ICU setelah mendapatkan operasi selama beberapa jam. Deraian air mata dari beberapa orang yang berada di luar ruang tesebut, tidak dapat didengarnya, seolah dunia mereka kini berbeda. Wanita tua yang berpenampilan modis dan terlihat lebih muda dari usianya, sedang berdiri di depan jendela kaca ruang ICU. Pandangan matanya tidak lepas dari pasien yang ada di dalam ruangan tersebut. Mata sembabnya masih saja mengeluarkan air mata, seolah tidak bisa merelakan apa yang dilihatnya saat ini. "Kenapa nasib Sean bisa begini, Pa?!" tanyanya dengan suara serak pada sang suami yang ada di sebelahnya. "Sabar, Ma. Papa yakin, Sean akan baik-baik saja. Sean adalah seorang Mayer. Dia pasti kuat dan berusaha untuk bertahan, agar bisa kembali pulang bersama dengan kita," tutur Antonio yang berusaha menenangkan hati istrinya. Deraian air mata yang membasahi pipi Anna, membuat
Brak!"Emmm ... Kenapa gelap sekali?" gumam Celine yang baru saja membuka matanya. Dia mendapati dirinya kini berada di sebuah ruangan yang tidak ada cahaya sama sekali.Wanita cantik itu menajamkan pendengarannya. Gendang telinganya samar-samar menangkap adanya suara langkah kaki yang terseret. Dia yakin jika orang tersebut berjalan terseok-seok akibat menabrak barang yang ada di dalam kamar itu."Sayang, apa itu kamu? Apa kamu sedang mabuk? Lalu, ada apa dengan lampunya? Apa sengaja kamu matikan agar aku tidak mengetahuinya?" Celine memberondong pertanyaan seraya mengusap kedua kelopak matanya agar bisa terbuka lebih lebar.Namun, orang tersebut tidak menyahuti pertanyaan darinya. Bahkan suara langkah orang tersebut terdengar semakin mendekat ke arahnya yang sedang berada di atas ranjang.Bruk!"Aaaah ...!" seru Celine dengan suara yang tertahan. Orang tersebut kini telah menindihnya. Sosok yang tidak dia ketahui itu, tak menghiraukan seruan Celine yang ada di bawah kungkungannya.
"Dave?" tanya Sean balik pada mamanya."Iya, Dave, kakakmu. Apa kalian melihatnya?" tanya kembali wanita paruh baya tersebut dengan menatap Sean dan Celine secara bergantian.Sean mengernyitkan dahinya. Dia Menatap sang mama dan berkata,"Sean baru pulang, Ma. Jadi, mana Sean tahu di mana Dave berada."Anna, seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek berwarna ash brown, dan memakai dress longgar selutut, merupakan ibu kandung dari Dave dan Sean. Dia menatap ke arah menantunya, seraya berkata,"Celine, apa kamu juga tidak bertemu dengan Dave?" Seketika tubuh Celine menegang. Dadanya terasa sesak, seolah sedang ketahuan melakukan sesuatu. "Emmm ... Dave, saya ti-tidak tahu Ma," jawab Celine terbata-bata, dan terlihat gugup.Sean tersenyum tipis, dan merangkul pundak istrinya, sehingga pundak mereka saling berdempetan. "Celine sedari tadi ada di dalam kamar, Ma. Jadi, tidak mungkin dia tau di mana Dave berada," tukas Sean ketika melihat tatapan curiga sang mama pada menantunya."B
"Siapa yang memberi tanda merah di situ?!" tanya Sean dengan menatap geram pada istrinya, seraya menunjuk bagian dadanya.Sontak saja sang istri terperanjat dan melihat ke arah dadanya. Matanya terbelalak tatkala retina matanya menangkap tanda merah yang terhias dengan indahnya pada kedua aset berharganya. Lidahnya kelu, sehingga tidak bisa menjawab pertanyaan suaminya. Bukan hanya itu saja, dia juga tidak tahu harus menjawab apa."Jawab!" bentak Sean dengan mengeratkan gigi-giginya.Celine tersentak dan ketakutan melihat kilatan amarah yang terlihat dalam mata suaminya. Sungguh dia tidak pernah melihat sang suami marah hingga menyeramkan seperti saat ini.Mata Sean semakin tajam dan menggertak, seolah menyuruh istrinya agar secepatnya menjawab pertanyaan yang diberikannya. Sontak saja sang istri secara spontan membuka bibirnya dan menjawab cepat, tanpa sempat memikirkan apa yang akan dikatakannya."Aku tidak tahu. Mungkin saja nyamuk atau semut yang menggigit di situ," ucapnya terbata
Dave meletakkan cangkir kopinya kembali di atas meja. Kemudian dia melihat ke arah Sean, dan berkata,"Aku pulang semalam. Ada apa?""Benarkah? Lalu, kenapa Mama mencari mu seperti orang hilang?" tanya Sean balik dengan menatap heran pada Dave, kemudian beralih menatap sang mama dan bertanya padanya."Ma, ada apa sebenarnya?"Celine hanya diam dan duduk di kursi yang biasa didudukinya. Dia tidak berniat sama sekali untuk ikut dalam pembicaraan mereka seperti biasanya. "Semalam, setelah kalian masuk ke dalam kamar, Mama kembali menghubungi Dave. Ternyata dia berada di dalam kamarnya," jawab Anna disertai helaan nafasnya, sembari melihat ke arah Dave yang sama sekali tidak merasa bersalah telah membuat cemas seluruh anggota keluarganya.Dave telah menjadi duda enam bulan yang lalu, sejak meninggalnya Levina, istri sahnya dikarenakan kecelakaan bersama dengannya. Rasa bersalah pada mendiang istrinya, masih saja membayanginya hingga saat ini pun tidak bisa melupakannya.Seketika Sean me
"Kenapa dia meneleponku?"Bimbang. Saat ini Celine merasa bingung hanya karena telepon dari seseorang. Jarinya bergerak hendak menekan tombol hijau, tapi seketika diurungkannya. "Aku jawab atau tidak?" gumam Celine yang terlihat bingung pada wajahnya.Namun, ekspresi wajah Celine terlihat kehilangan ketika panggilan telepon tersebut berakhir dengan panggilan tak terjawab.Seketika dia terkesiap tatkala melihat layar ponselnya kembali menyala dan menampilkan nama si penelepon. Tanpa sadar, jemari lentiknya menyentuh tombol hijau, sehingga panggilan telepon itu pun terjawab olehnya. 'Halo.'Terdengar suara seorang pria yang sangat familiar di telinganya. Tanpa sadar pun dia menjawab sapaan si penelepon."Halo, Dave."'Bagaimana hasil pemeriksaannya? Apa kamu sedang hamil?' Pertanyaan Dave membuat Celine tercengang. Tanpa sadar Celine pun bertanya balik padanya."Kenapa kamu bertanya, Dave?"'Aku hanya ingin memastikan saja. Takutnya semalam--'"Cukup, Dave!" sahut Celine dengan cepat.
"Bagaimana hasil pemeriksaannya, Celine?" Suara sang ibu mertua menghentikan langkah Celine ketika hendak berjalan menuju kamarnya. Celine pun mendekati sang mertua dan memegang kedua tangannya, menampakkan wajah sedihnya dengan matanya yang berkaca-kaca, seraya berkata,"Maaf, Ma. Celine belum bisa memberikan cucu pada Mama."Senyum Anna pudar. Terlihat raut kekecewaan di wajah cantiknya meskipun sudah berusia senja. "Tidak masalah. Ini bukan salahmu. Mungkin belum saatnya Tuhan memberikan keturunan pada keluarga ini," tutur Anna dengan lemah lembut pada menantunya.Celine memeluk tubuh ibu mertuanya dengan air matanya yang menetes. Dalam hati dia meminta maaf padanya, karena melakukan malam panas dengan kakak iparnya di dalam kamarnya. Anna mengurai pelukan mereka. Diusapnya air mata sang menantu dengan lembut, seraya bertanya padanya."Lalu, kenapa tadi merasa mual dan sedikit pucat? Apa kamu sakit? Apa dokter sudah memberikanmu obat?" Celine menganggukkan kepalanya tanpa menjaw