Helena mengetuk pintu hotel dengan panik, setelah susah payah dia menghindari orang-orang aneh yang mencoba untuk memperhatikan dirinya.
Toktok.... “Sial!” maki Helena, “kenapa lama sekali sih, membukanya?” Tangan Helena kembali terulur untuk mengetuk pintu, di saat itu lah pintu terbuka. Alexander di depan pintu, membuat Helena memalingkan wajah karena pria itu tak mengenakan pakaian atasnya. “Selamat datang, Istriku...” ucap Alexander, tersenyum. Helena sempat melihat senyum itu, dia merasa terkejut. Alexander jarang sekali tersenyum, jelas Helena tak biasa karenanya. “Orang gila, jangan beraninya menyebutku istrimu lagi!” tegas Helena. “Di mana Rendy?” Alexander membuka lebar pintunya, mempersilahkan Helena masuk. melewati Alexander begitu sajHelena selesai mengenakan pakaiannya, tapi dia benar-benar kesulitan untuk berdiri tegak karena kondisi tubuhnya yang tidak mendukung. Alexander benar-benar menghabiskan waktunya ingin mengerjai Helena. Wanita itu bahkan sampai tidak tahu kapan semua itu berakhir karena pingsan, kelelahan. Alexander hanya tersenyum tanpa kata, membuat Helena semakin menggerutu kesal. “Bajingan itu, bagaimana bisa dia tersenyum seperti anjing bodoh?” gumam Helena, jelas dia kesal. Helena berdiri dengan kaki yang gemetaran, tubuhnya sedikit membungkuk karena rasa sakit yang menusuk di pinggang. “Aduh...” keluhnya. Matanya berkaca-kaca, mencerminkan rasa sakit dan kelelahan yang mendalam. Alexander, dengan tatapan tajam, menahan
Helena melangkah masuk ke rumah dengan langkah yang ragu, tangannya sedikit gemetar saat memegang gagang pintu. “Aku benar-benar jadi waspada begini.” gumam Helena. Ruang tamu itu terasa lebih dingin dari biasanya, bukan karena AC, tapi karena tatapan yang dilemparkan oleh Helios, Hendrick, dan sang Ayah. mereka. Ada Benjamin juga di sana, sudah tidak heran karena melihat mobil Benjamin terparkir di halaman rumah. Mereka semua duduk dengan raut wajah yang keras dan mata yang dingin, seolah-olah setiap inci ruangan itu dipenuhi dengan kekecewaan yang tak terucap. “Sudah pulang rupanya,” ucap Tuan Beauvoir, dingin. “I-iya, Ayah.” sahut Helena. Helios, dengan suara yang serius dan tegas, meminta Helena untuk duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka. “Ada hal yang perlu kita bicarakan, Hecel,” ujarnya, suaranya menggema dengan autoritas.
Seluruh anggota keluarga Beauvoir memberikan kesempatan bagi Helena dan Benjamin untuk bicara. Ada banyak hal yang harus mereka bicarakan. Tidak lagi berada di ruang tamu, mereka kini berada di taman samping rumah. “Hecel, aku harap kau benar-benar tidak menemui Alexander lagi. Sungguh, pria itu bukanlah pria yang baik. Sejak dia kecil, mungkin sikap tidak baik itu sudah mendarah daging di tubuhnya.” ungkap Benjamin. Ucapan Benjamin barusan benar-benar membuat dahi Helena mengernyit, menyadari jika selama ini dia belum bertanya kenapa Benjamin dan Alexander terkesan tidak akur. “Kalian tinggal di negara yang berbeda, bagaimana bisa kalian memiliki konflik seolah kalian memahami sekali antara satu dengan yang lain?” tanya Helena, penasaran. Mendengar pertanyaan itu,
Helena menggedor pintu kamar Helios dengan tergesa-gesa, suaranya terdengar mendesak dan penuh kekhawatiran. “Kak Helios, bukakan pintu!” serunya. Setelah beberapa detik, pintu terbuka dan Helios berdiri di ambang dengan ekspresi datar. “Masuk,” ujarnya singkat. Helena melangkah masuk dan langsung memotong udara dengan pertanyaan yang sudah lama menggantung di hatinya. “Kak, apakah keluarga kita benar-benar menargetkan Rendy?” tanyanya, mata tajamnya mencoba menembus pertahanan Helios. Helios menghela napas, tampak berat untuk menjawab. Ia berjalan perlahan ke arah jendela, memandang keluar seakan mencari jawaban di luar sana. Helena, yang tidak sabar, mengikuti dan berdiri tepat di sampingnya, menuntut pandangan Helios. “Jawab aku, aku mohon jawab aku, Kak Helios! Ini penting.” Dengan raut muka yang berubah menjadi serius, Helios akhirnya menoleh. “Ya, Hecel. Itu benar,” akunya lembut. “A-apa?” Helena tak percaya, tubuhnya gemetar. “Kakak hanya mencoba memperingatkan Alex
“Monica, jangan membicarakan sesuatu yang tidak akan pernah mungkin terjadi kepada anakku. Jangan lupakan bahwa ada batasan yang tidak bisa kau terabas, paham?” peringat Alexander. Mendengar itu, Monica benar-benar hanya menanggapinya dengan santai. “Oke oke, aku paham. Lagi pula, aku juga tidak akan menjadi Ibu tiri karena aku tidak akan sanggup. Aku cuma akan menjadi kekasihmu saja, kok.” Alexander terdiam menahan kesal, membawa Rendy untuk menjauh dari Monica karna tatapan mata bocah itu benar-benar tajam. Sama seperti Alexander yang akan mudah menunjukkan ekspresi dingin, Rendy pun sama persis ekspresinya dengan Alexander. Namun, Rendy juga mudah bersikap manis untuk orang-orang tertentu. “Baiklah. Rendy tidak nyaman dengan keberadaan mu, baiknya kau pergi saja dulu.” ucap Alexander. Monica berdecih sebal, jelas tidak akan mendengar apa yang diucapkan Alexander. “Tidak mau! Aku akan di sini, aku mau menemani kalian berdua.” Rendy terus mengarahkan pandangannya, s
Sejak Helena menghilang, kehidupannya menjadi jauh lebih sulit dibanding sebelumnya. Berhasil mengelabuhi keluarga Wijaya, bersikap seolah dia manis dan baik. Tapi, pada akhirnya tetap saja kesulitan justru terjadi berkali lipat. Semua karyanya tak pernah dilirik, dianggap gagal desain hingga dikatai tak cocok menjadi desainer. Bukan hanya itu, kalimat yang paling membuat Sarah benci adalah, “Sial! Kalau saja kau bukan anggota keluarga Wijaya, enggan aku membiarkanmu bekerja di tempatku!” “Dulu, dia adalah orang yang paling sok hebat. Lihatlah sekarang, pada akhirnya tikus berkulit kelinci juga akan terlihat aslinya, kan?” Mengingat kalimat itu, Sarah benar-benar seperti ingin menghancurkan dunia. *** Helena duduk di antara kegelapan ruangan yang hanya disinari oleh cahaya lampu gantung klasik. Hendrick dan Helios duduk di sisi lain meja, sementara Tuan Beauvoir, mendominasi ujung meja dengan wajah yang serius. Udara di ruangan itu terasa begitu berat, seakan-ak
Di sebuah restauran mewah, Helena memandangi piringnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mendera. Benjamin, yang duduk di depannya, mencoba memecah keheningan dengan bercerita tentang rencana masa depan mereka. “Akan indah, Hecel, aku yakin benar.” ucapnya penuh semangat. Namun, Helena hanya bisa memaksakan senyum, hatinya terasa berat, bercampur aduk dengan ketakutan dan kebingungan. “Ayahmu menceritakan banyak hal padaku. Meski aku tahu masa lalu mu sangat berat, nyatanya masa depan kita akan bahagia, kan?” timpal Benjamin, seolah begitu ingin membuat Helena yakin akan dirinya. “Ah, baiklah. Kalau kau terus memperingatkan begitu, aku merasa tidak punya hak untuk tidak percaya.” ungkap Helena. Lagi-lagi, ia hanya bisa menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Setelah makan malam, Benjamin mengantarkan Helena pulang. Perjalanan yang seharusnya tenang, mendadak menjadi tegang saat Benjamin mulai berbicara tentang detail pernikahan yang akan datang. Dalam k
“Benar. Dibanding siapapun, orang yang pantas menghukum Sarah adalah Helena. Aku hanya sedang memperparah kondisinya dalam segala hal supaya mempermudah Helena jika ingin balas dendam.” ucap Alexander, matanya menerawang jauh. Penyelidikan yang Alexander dan Han lakukan secara besar-besaran untuk mencari keberadaan Helena, justru berakhir dengan banyaknya cerita luar biasa mengejutkan. Hanya saja, Alexander akan tetap bersabar dan menunggu waktunya tiba. Menghancurkan seseorang tidak boleh setengah-setengah, yang penting gerak gerik Sarah berada di bawah pantau nya. “Baiklah. Saya paham, Tuan.” ucap Han. Pria itu kini benar-benar serius dalam segala hal mengenai Helena. Han mulai memahami seperti apa Alexander yang sebenarnya, segala h
Helena keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan. Di depan pintu, Alexander terlihat mondar-mandir, wajahnya jelas menunjukkan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Ketika pintu terbuka, dia langsung menatap Helena dengan penuh harap. “Bagaimana hasilnya, Sayang?” tanyanya cepat, suaranya sedikit bergetar. Helena berdiri diam tanpa ekspresi, membuat Alexander semakin tegang. Untuk beberapa detik, ruangan itu terasa sunyi, hanya diisi dengan napas tertahan Alexander. Namun, perlahan, bibir Helena melengkung menjadi senyuman. Dia mengangkat alat uji kehamilan yang digenggamnya, menunjukkan garis dua yang jelas. “Positif,” ujar Helena dengan suara lembut. Alexander membeku sejenak, lalu dalam hitungan detik dia melangkah cepat ke arah Helena dan memeluknya erat. Tubuhnya bergetar, dan suara tangis kecil terdengar dari pria yang biasanya selalu tenang dan tegar.
Hotel itu dipenuhi dengan dekorasi elegan, mencerminkan suasana bahagia dan sakral yang tengah dirasakan semua orang. Hari ini adalah hari pernikahan Patricia dan Helios. Meski perjalanan menuju hari ini penuh dengan perdebatan dan perbedaan pendapat di antara keluarga, akhirnya semuanya berakhir dengan keputusan untuk mendukung pasangan tersebut. Patricia, dengan perut yang mulai terlihat membesar, tampak cantik dalam gaun putih sederhana namun anggun. Helios, yang biasanya dingin dan kaku, menunjukkan sisi yang lebih lembut hari ini. Pandangannya penuh cinta saat menatap Patricia berjalan di altar, menggandeng Tuan Beauvoir yang mengantar menantunya dengan senyuman bangga. Di antara tamu undangan, Rendy dan Angel mencuri perhatian. Kedua anak Helena dan Alexander itu mengenakan pakaian formal yang membuat mereka terlihat sangat menggemaskan. Angel dengan gaun putihnya dan Rendy dengan setelan jas mini membuat para tamu tak henti-hentinya m
Emily tersenyum lembut, menggenggam tangan Han yang terasa hangat di jemarinya. Mereka berjalan beriringan di lorong apartemen menuju pintu unit mereka. Sudah dua bulan sejak mereka memutuskan untuk tinggal bersama, sebuah langkah besar yang diambil setelah melewati masa lalu yang penuh luka. “Pikirkan, kita akan jadi koki malam ini,” ujar Han dengan nada bercanda, membuat Emily tertawa kecil. “Jangan lupa siapa yang paling ahli di dapur,” balas Emily sambil mengangkat alis, menggodanya. Di dalam apartemen, mereka segera memulai persiapan makan malam. Han dengan serius mengolah steak daging sapi di dapur, sementara Emily sibuk menyiapkan meja makan, meletakkan piring, gelas, dan lilin kecil untuk suasana yang lebih hangat. Setelah selesai, Han membawa dua piring steak ke meja dan meletakkannya dengan hati-hati. “Makan malam istimewa untuk kita,” katanya dengan nada puas. Emily meletakkan gelas di depan masing
Sinar mentari pagi perlahan menghangatkan udara, menciptakan kilauan indah di atas laut yang tenang. Di tengah keindahan itu, Alexander berdiri di hadapan Helena dengan mata penuh cinta. Di tangannya, sebuah cincin berlian bersinar, memantulkan cahaya pagi. Helena menatap Alexander, matanya berbinar namun berkabut oleh air mata haru. “Apa ini, Alexander?” bisiknya, suaranya bergetar. Alexander menggenggam tangan Helena dengan lembut. “Ini bukan hanya cincin, Sayang. Ini adalah janji. Janji bahwa aku akan selalu mencintaimu, melindungimu, dan menjadi pendampingmu dalam suka dan duka. Apakah kau bersedia untuk terus bersamaku?” Helena tidak mampu menahan air matanya. Dengan penuh keyakinan, dia mengangguk. “Ya, Alexander. Aku bersedia.” Alexander menyematkan cincin itu di jari manis Helena. Sentuhan dingin berlian bercampur dengan kehangatan cinta mereka. Setelahnya, Alexander menarik Helena ke dalam pelukannya,
Pagi itu, langit cerah tanpa awan, angin sepoi-sepoi dari laut menghembus lembut, menyambut keluarga Alexander yang tiba di sebuah pantai yang luar biasa indah. Pasir putih bersih terbentang sejauh mata memandang, berpadu dengan birunya laut yang jernih dan tenang. Angel dan Rendy berlari ke arah air dengan penuh semangat, membawa sekop kecil dan ember mainan mereka. “Ibu! Ayah! Lihat kami membuat istana pasir terbesar di dunia!” teriak Angel dengan tawa ceria. Helena tertawa kecil, melambaikan tangan pada anak-anaknya. “Hati-hati di dekat air, ya!” Alexander membawa tikar piknik dan membentangkannya di bawah bayangan pohon kelapa. Dia menatap Helena, yang mengenakan gaun pantai berwarna pastel, tampak anggun dan mempesona. “Duduklah, Sayang. Mari kita nikmati momen ini,” ajaknya lembut. Helena menurut, duduk di samping Alexander sambil memperhatikan anak-anak mereka bermain. Angel dan Rendy terlihat asyik membangun r
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Alexander dipenuhi semangat dan kegembiraan. Helena tengah memeriksa koper terakhir sambil memastikan semua dokumen perjalanan sudah siap. Angel dan Rendy berlarian di sekitar ruang tamu, terlalu antusias memikirkan liburan yang akan mereka jalani. Alexander turun dari tangga dengan kemeja santai, membawa beberapa dokumen yang masih harus ia selesaikan. Namun, senyumnya yang hangat menunjukkan bahwa bahkan urusan pekerjaan tidak bisa mengurangi antusiasmenya untuk perjalanan ini. “Semua siap?” tanyanya kepada Helena. Helena mengangguk sambil tersenyum. “Ya, semuanya sudah rapi. Aku juga sudah mengatur siapa yang akan menangani perusahaan ku selama kita pergi.” Selama mereka pergi, perusahaan Smith akan berada di bawah kendali penuh Tuan Smith dan para eksekutif senior yang sudah dipercaya keluarga Alexander selama bertahun-tahun. Alura Fashion Group, perusahaan f
Sore itu, suasana kantor mulai lengang. Para karyawan satu per satu meninggalkan meja mereka, bersiap pulang setelah hari yang panjang. Alexander baru saja menyadari bahwa ada dokumen penting yang tertinggal di ruangannya. Ia meminta Helena menunggu di dekat lobi sementara ia kembali ke ruang kerjanya.“Sayang, ada yang tertinggal. Kau tunggu sini saja, aku akan segera kembali!”“Ya,” jawab Helena. Helena berdiri di dekat lift, matanya mengamati gedung kantor yang mulai sepi. Tak lama kemudian, ia melihat Vera keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Perempuan itu tampak terkejut melihat Helena, namun segera menyapa dengan sopan. “Selamat sore, Nyonya Helena,” ujar Vera sambil sedikit membungkuk. Helena mengangguk kecil, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Sore juga, Vera.” Ketika Vera melangkah menjauh, Helena tanpa sadar memanggilnya. “Vera.” Langkah Vera terhenti, dan ia berba
Helena melangkah masuk ke kantor Alexander dengan langkah ringan. Sudah hampir seminggu libur sekolah dimulai, dan Rendy memilih tinggal di rumah Tuan dan Nyonya Wijaya. Angel juga ikut serta karena tidak mau jauh dari kakaknya. Tuan dan Nyonya Wijaya, dengan kasih sayang tulus mereka, memperlakukan Angel seperti cucu kandung sendiri.Itu pun lah yang membuat Helena meminta Angel memanggil Taun dan Nyonya Wijaya dengan sebutan, ‘kakak dan nenek’. Bagi Helena, situasi ini adalah berkah terselubung. Rumah yang biasanya penuh dengan tawa anak-anak kini terasa sepi, dan ia merasa bosan jika hanya duduk tanpa melakukan apa-apa. Oleh karena itu, ia menerima ajakan Alexander untuk ikut ke kantor dan membantunya bekerja. Namun, Alexander memiliki aturan khusus. “Kau boleh bantu aku, tapi ada syaratnya,” ucapnya dengan senyum khas yang selalu berhasil membuat Helena menggeleng tak percaya. “Syarat apa lagi, sih
Menjelang sore, Alexander mengajak Helena dan kedua anak mereka, Angel dan Rendy, untuk meninggalkan kantor dan pergi ke pusat perbelanjaan. Alexander merasa sudah terlalu lama tenggelam dalam pekerjaan, dan ia ingin memberikan waktu berkualitas untuk keluarganya. Di pusat perbelanjaan, Angel dan Rendy langsung bersemangat saat melihat tempat permainan anak-anak. “Ibu, Atah, aku mau main itu!” seru Angel sambil menunjuk area permainan. Alexander tersenyum. “Ayo kita biarkan mereka bermain,” katanya kepada Helena. Beruntung, tepat di sebelah tempat permainan itu ada sebuah restoran. Alexander memutuskan untuk mengajak Helena duduk di sana, menikmati makanan ringan sambil memperhatikan kedua anak mereka bermain. Helena tersenyum bahagia, merasa momen seperti ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak ternilai. Namun, suasana berubah ketika seorang pria tiba-tiba mendekati meja mereka. “Maaf, apakah ini benar Hece