Seluruh anggota keluarga Beauvoir memberikan kesempatan bagi Helena dan Benjamin untuk bicara.
Ada banyak hal yang harus mereka bicarakan. Tidak lagi berada di ruang tamu, mereka kini berada di taman samping rumah. “Hecel, aku harap kau benar-benar tidak menemui Alexander lagi. Sungguh, pria itu bukanlah pria yang baik. Sejak dia kecil, mungkin sikap tidak baik itu sudah mendarah daging di tubuhnya.” ungkap Benjamin. Ucapan Benjamin barusan benar-benar membuat dahi Helena mengernyit, menyadari jika selama ini dia belum bertanya kenapa Benjamin dan Alexander terkesan tidak akur. “Kalian tinggal di negara yang berbeda, bagaimana bisa kalian memiliki konflik seolah kalian memahami sekali antara satu dengan yang lain?” tanya Helena, penasaran. Mendengar pertanyaan itu,Helena menggedor pintu kamar Helios dengan tergesa-gesa, suaranya terdengar mendesak dan penuh kekhawatiran. “Kak Helios, bukakan pintu!” serunya. Setelah beberapa detik, pintu terbuka dan Helios berdiri di ambang dengan ekspresi datar. “Masuk,” ujarnya singkat. Helena melangkah masuk dan langsung memotong udara dengan pertanyaan yang sudah lama menggantung di hatinya. “Kak, apakah keluarga kita benar-benar menargetkan Rendy?” tanyanya, mata tajamnya mencoba menembus pertahanan Helios. Helios menghela napas, tampak berat untuk menjawab. Ia berjalan perlahan ke arah jendela, memandang keluar seakan mencari jawaban di luar sana. Helena, yang tidak sabar, mengikuti dan berdiri tepat di sampingnya, menuntut pandangan Helios. “Jawab aku, aku mohon jawab aku, Kak Helios! Ini penting.” Dengan raut muka yang berubah menjadi serius, Helios akhirnya menoleh. “Ya, Hecel. Itu benar,” akunya lembut. “A-apa?” Helena tak percaya, tubuhnya gemetar. “Kakak hanya mencoba memperingatkan Alex
“Monica, jangan membicarakan sesuatu yang tidak akan pernah mungkin terjadi kepada anakku. Jangan lupakan bahwa ada batasan yang tidak bisa kau terabas, paham?” peringat Alexander. Mendengar itu, Monica benar-benar hanya menanggapinya dengan santai. “Oke oke, aku paham. Lagi pula, aku juga tidak akan menjadi Ibu tiri karena aku tidak akan sanggup. Aku cuma akan menjadi kekasihmu saja, kok.” Alexander terdiam menahan kesal, membawa Rendy untuk menjauh dari Monica karna tatapan mata bocah itu benar-benar tajam. Sama seperti Alexander yang akan mudah menunjukkan ekspresi dingin, Rendy pun sama persis ekspresinya dengan Alexander. Namun, Rendy juga mudah bersikap manis untuk orang-orang tertentu. “Baiklah. Rendy tidak nyaman dengan keberadaan mu, baiknya kau pergi saja dulu.” ucap Alexander. Monica berdecih sebal, jelas tidak akan mendengar apa yang diucapkan Alexander. “Tidak mau! Aku akan di sini, aku mau menemani kalian berdua.” Rendy terus mengarahkan pandangannya, s
Sejak Helena menghilang, kehidupannya menjadi jauh lebih sulit dibanding sebelumnya. Berhasil mengelabuhi keluarga Wijaya, bersikap seolah dia manis dan baik. Tapi, pada akhirnya tetap saja kesulitan justru terjadi berkali lipat. Semua karyanya tak pernah dilirik, dianggap gagal desain hingga dikatai tak cocok menjadi desainer. Bukan hanya itu, kalimat yang paling membuat Sarah benci adalah, “Sial! Kalau saja kau bukan anggota keluarga Wijaya, enggan aku membiarkanmu bekerja di tempatku!” “Dulu, dia adalah orang yang paling sok hebat. Lihatlah sekarang, pada akhirnya tikus berkulit kelinci juga akan terlihat aslinya, kan?” Mengingat kalimat itu, Sarah benar-benar seperti ingin menghancurkan dunia. *** Helena duduk di antara kegelapan ruangan yang hanya disinari oleh cahaya lampu gantung klasik. Hendrick dan Helios duduk di sisi lain meja, sementara Tuan Beauvoir, mendominasi ujung meja dengan wajah yang serius. Udara di ruangan itu terasa begitu berat, seakan-ak
Di sebuah restauran mewah, Helena memandangi piringnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang mendera. Benjamin, yang duduk di depannya, mencoba memecah keheningan dengan bercerita tentang rencana masa depan mereka. “Akan indah, Hecel, aku yakin benar.” ucapnya penuh semangat. Namun, Helena hanya bisa memaksakan senyum, hatinya terasa berat, bercampur aduk dengan ketakutan dan kebingungan. “Ayahmu menceritakan banyak hal padaku. Meski aku tahu masa lalu mu sangat berat, nyatanya masa depan kita akan bahagia, kan?” timpal Benjamin, seolah begitu ingin membuat Helena yakin akan dirinya. “Ah, baiklah. Kalau kau terus memperingatkan begitu, aku merasa tidak punya hak untuk tidak percaya.” ungkap Helena. Lagi-lagi, ia hanya bisa menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Setelah makan malam, Benjamin mengantarkan Helena pulang. Perjalanan yang seharusnya tenang, mendadak menjadi tegang saat Benjamin mulai berbicara tentang detail pernikahan yang akan datang. Dalam k
“Benar. Dibanding siapapun, orang yang pantas menghukum Sarah adalah Helena. Aku hanya sedang memperparah kondisinya dalam segala hal supaya mempermudah Helena jika ingin balas dendam.” ucap Alexander, matanya menerawang jauh. Penyelidikan yang Alexander dan Han lakukan secara besar-besaran untuk mencari keberadaan Helena, justru berakhir dengan banyaknya cerita luar biasa mengejutkan. Hanya saja, Alexander akan tetap bersabar dan menunggu waktunya tiba. Menghancurkan seseorang tidak boleh setengah-setengah, yang penting gerak gerik Sarah berada di bawah pantau nya. “Baiklah. Saya paham, Tuan.” ucap Han. Pria itu kini benar-benar serius dalam segala hal mengenai Helena. Han mulai memahami seperti apa Alexander yang sebenarnya, segala h
Matahari pagi baru saja mengintip di balik gorden kantor Helena ketika dia tiba, tas tangan berisi dokumen di satu tangan dan secangkir kopi di tangan lainnya. Semalaman dia terjaga, memikirkan segala gosip yang terus menerpa kehidupannya. Berita tentang dirinya yang tak pernah reda membuat hatinya semakin terkoyak. Helena duduk di kursi kerjanya, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak di dalam dada. Ponselnya bergetar tanpa henti, notifikasi dari berbagai media sosial dan pesan masuk membanjiri layarnya. Berita tentang dirinya yang terus menjadi sorotan dan ditambah lagi dengan kabar rencana pernikahan Alexander dan Monica yang semakin membuatnya merasa terpojok. “Dia benar-benar akan menikah dengan wanita itu, kenapa dia terus meniduri ku dengan paksa sebenarnya? Apa dia memiliki fantasi gila?” gumamnya. Helena men
Di sebuah gedung, akhirnya Helena memutuskan untuk mengumpulkan semua wartawan yang terus saja mencoba untuk meliput semua kegiatan dan mencari kebenaran tentang dirinya dalam konferensi pers. Dengan raut wajah yang tegang namun berusaha untuk tetap tenang, Helena berdiri di podium yang sudah disiapkan di dalam ruangan yang dipenuhi oleh wartawan dari berbagai media. Mikrofon di hadapannya seakan menjadi saksi bisu atas pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan kepadanya, satu demi satu, tanpa henti. “Laporan apa yang menyebutkan aku memiliki hubungan gelap? Hingga detik ini, aku benar-benar masih menunggu bukti-bukti itu dimunculkan. Tapi, masih belum ada yang bisa membuktikannya, kan? Aku ingin Anda semua tahu bahwa itu tidak benar,” ucap Helena dengan tegas, menatap lurus ke arah para wartawan yang berusaha mencari celah dalam setiap jawabannya. Suasana di ruangan itu terasa begitu berat, tekanan dari setiap pandangan yang tertuju kepadanya se
Alexander berdiri di dekat jendela kamar hotelnya, tatapannya kosong melihat keramaian kota di bawah sana sambil menggenggam erat cincin pernikahan yang pernah dia berikan kepada Helena. “Helena, kenapa aku merasa gelisah seperti ini? Sungguh, apa terjadi sesuatu denganmu?” gumam Alexander. Pikirannya melayang jauh mengingat semua momen yang telah tercipta bersama. Tiba-tiba, ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. “Masuk!” sahut Alexander, sudah tahu siapa yang datang. Han membuka pintu kamar hotel, tampak tergesa-gesa memasuki ruangan dengan wajah cemas. “Maaf mengganggu, Tuan Alexander, tetapi ada masalah mendesak di kantor. Ada kebocoran rahasia perusahaan yang membuat para pesaing mendapatkan keuntungan. Kondisi perusahaan kita berada dalam bahaya besar,” ujar Han dengan nada serius. Alexander merasa jantungnya berdegup kencang, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia melirik ke cincin di tangannya sejenak, lalu dengan berat hati meletakkann