Di sebuah gedung, akhirnya Helena memutuskan untuk mengumpulkan semua wartawan yang terus saja mencoba untuk meliput semua kegiatan dan mencari kebenaran tentang dirinya dalam konferensi pers.
Dengan raut wajah yang tegang namun berusaha untuk tetap tenang, Helena berdiri di podium yang sudah disiapkan di dalam ruangan yang dipenuhi oleh wartawan dari berbagai media.Mikrofon di hadapannya seakan menjadi saksi bisu atas pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan kepadanya, satu demi satu, tanpa henti.“Laporan apa yang menyebutkan aku memiliki hubungan gelap? Hingga detik ini, aku benar-benar masih menunggu bukti-bukti itu dimunculkan. Tapi, masih belum ada yang bisa membuktikannya, kan? Aku ingin Anda semua tahu bahwa itu tidak benar,” ucap Helena dengan tegas, menatap lurus ke arah para wartawan yang berusaha mencari celah dalam setiap jawabannya.Suasana di ruangan itu terasa begitu berat, tekanan dari setiap pandangan yang tertuju kepadanya seAlexander berdiri di dekat jendela kamar hotelnya, tatapannya kosong melihat keramaian kota di bawah sana sambil menggenggam erat cincin pernikahan yang pernah dia berikan kepada Helena. “Helena, kenapa aku merasa gelisah seperti ini? Sungguh, apa terjadi sesuatu denganmu?” gumam Alexander. Pikirannya melayang jauh mengingat semua momen yang telah tercipta bersama. Tiba-tiba, ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. “Masuk!” sahut Alexander, sudah tahu siapa yang datang. Han membuka pintu kamar hotel, tampak tergesa-gesa memasuki ruangan dengan wajah cemas. “Maaf mengganggu, Tuan Alexander, tetapi ada masalah mendesak di kantor. Ada kebocoran rahasia perusahaan yang membuat para pesaing mendapatkan keuntungan. Kondisi perusahaan kita berada dalam bahaya besar,” ujar Han dengan nada serius. Alexander merasa jantungnya berdegup kencang, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia melirik ke cincin di tangannya sejenak, lalu dengan berat hati meletakkann
Di perusahaan Smith, seisi ruangan menjadi hening ketika Alexander melangkah masuk dengan langkah yang berat dan penuh wibawa. Semua yang hadir dengan segera bangkit berdiri, memberikan hormat yang terasa lebih seperti rasa takut daripada penghormatan. Han mengiringi langkah Alexander di balik punggung pria itu. Alexander duduk di kursi utama, dengan ekspresi wajah yang dingin dan mata yang menyala-nyala dengan kemarahan yang tak terucapkan. Han memberikan isyarat agar yang lainnya juga duduk. Tanpa membuang waktu, Alexander memotong keheningan yang memekakkan dengan suara rendah dan berat. “Bagaimana mungkin perusahaan kita yang memiliki sistem keamanan yang valid bisa mengalami kebocoran data?” tanyanya, suaranya tegas dan penuh kekecewaan. Para anggota rapat saling pandang, kebingungan terpampang di wajah mereka, tak ada yang berani menjawab atau bahkan berani menatap langsung ke arah Alexander. Suasana tegang menggantung di ruangan itu, setiap detik terasa seperti me
Malam itu, di pesta ulang tahun Hailey. Helena melangkah perlahan memasuki ruangan megah tempat pesta ulang tahun Hailey diadakan. Lampu gantung berkilauan menambah kemewahan dan bunyi tawa serta suara musik mengisi ruangan. Di sana, Benjamin dan anggota keluarga lain sudah berkumpul sesuai dengan keinginan Tuan Beauvoir. Jessica, yang berdiri di dekat pintu masuk, menyambut Tuan Beauvoir dan para tamu dengan senyum yang terpahat manis di wajahnya. Helena, Hendrick, dan Helios, juga mengikuti langkah yang sama, membalas senyuman Jessica dengan sikap ramah. Nyatanya, itu hanyalah topeng yang dipasang pada wajah mereka. Mereka berbasa-basi, berbicara tentang hal-hal yang ringan sambil menunggu acara inti dimulai. Namun, seiring malam ber
Malam itu, gemerlap pesta ulang tahun Hailey masih membawa suasana yang riuh dan penuh kebahagiaan. Dengan gaun malam yang menawan, Hailey bergerak lincah di antara tamu yang hadir, senyumnya yang manis seolah menutupi niat licik yang tersimpan di dalam hatinya. Sambil memegang gelas wine, Hailey menghampiri salah satu pelayan yang sibuk mengisi minuman. Dengan suara yang hanya cukup terdengar oleh sang pelayan, Hailey berbisik, “Tolong berikan ini pada Helena atau Heceline, pastikan dia meminumnya.” Di tangan kanannya, ia menyerahkan sebotol wine yang telah dicampuri obat perangsang. Pelayan itu mengangguk singkat, menyembunyikan kecurigaan di wajahnya. Dengan hati-hati, ia berjalan menuju Helena yang sedang tertawa lepas dengan Helios dan Benjamin. Sejatinya, mereka tak benar-benar merasa bahagia. Pelayan itu sudah memindahkan wine ke gelas, menyerahkan k
Brak! Hendrick menerobos masuk, pintu kamar Helena terbuka lebar dengan suara dentang yang keras. Benjamin yang tengah berjongkok di samping tempat sofa Helena berada, tiba-tiba terperanjat dan terpental sedikit ke belakang. Wajahnya memucat, matanya terbuka lebar penuh kebingungan. “Apa yang sedang ingin kau lakukan kepada adikku, Benjamin?!” tanya Hendrick, penuh kemarahan nada bicaranya. Gegas pria itu mendekati Helena, memastikan keadaan adiknya baik-baik saja. “Hendrick, aku... aku hanya...” Benjamin mencoba menjelaskan, suaranya tercekat. “Jawab, jangan bertele-tele! Apa yang kau lakukan dengan adikku?!” teriak Hendrick lagi, amarahnya memuncak. Nafasnya memburu, tangannya terkepal kuat seolah ingin memukul. “Tunggu, dengarkan aku! Hecel... dia mengatakan bahwa dia merasa sangat panas dan tidak nyaman. Dia minta tolong padaku untuk...” Benjamin berusaha menenangkan situasi, tangannya terangkat seolah memberi isyarat agar Hendrick mendengarkan dulu. “Untuk apa
“Aku tidak ingin bertanya lebih banyak lagi. Aku akan berhenti sampai di sini, tidak ingin merasakan kemarahan lebih daripada ini!” ucap Hendrick, tatapan matanya masih marah kepada Benjamin. Pria itu membantu Helena untuk bangkit dari posisinya. Menggandeng tangan Helena, mengajaknya keluar dari ruangan itu. Bruk! Benjamin jatuh duduk di sofa. Sambil mengusap wajahnya, dia tengah merutuki kebodohannya sendiri. Padahal, niatnya adalah demi bisa segera menikahi wanita yang ia inginkan. “Sial! Ini benar-benar gila. Kenapa, kenapa aku melakukannya?!” rutuk Benjamin. Tidak ingin banyak bicara, Hendrick pun langsung membawa Helena meninggalkan pesta tersebut. Sudah cukup berbasa-basi di sana, apapun yang akan terjadi selanjutnya biarkan Helios yang menyelesaikannya. “Masuk, Hecel!” titah Hendrick begitu
Malam itu, di dalam kamar. Helena menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam gejolak di dalam hatinya. Ia memandang ponsel yang baru saja diletakkannya di meja dengan tatapan tajam. Kegaduhan di media sosial setelah pesta ulang tahun Hailey membuat hatinya panas. Semua berita dan komentar itu seakan-akan memaksa dirinya dan Benjamin untuk segera menikah. Tidak hanya itu, ada pula komentar yang menyakitkan hati, mengatakan bahwa Helena menikahi Benjamin, seorang pria yang status kekayaannya tidak sepadan dengan keluarga Helena, hanya karena tidak ada pria lain yang mau dengan Helena. “Dia memiliki anak karena hubungan gelapnya. Masa lalunya begitu tidak baik, wajar jika menikah dengan pria yang kekayaannya di bawah keluarganya.” “Padahal dia sangat cantik, sayangnya dia suka bermain pria!” “Heceline pasti bingung sekali siapa Ayah dari anaknya, kan?” “Kemarin a
Sore hari, perusahaan keluarga Beauvoir. Benjamin dan Helena duduk berhadapan, berseberangan meja. Mata mereka memancarkan pemikiran yang dalam. “Hecel, kenapa kau tidak mengatakan apapun? Apakah kabar tentang pernikahanmu itu benar?” tanya Benjamin, menunggu dengan serius tanggapan dari Benjamin. Untuk beberapa saat Helena masih terdiam, ada senyum tipis yang muncul di wajahnya. “Benjamin, seberapa dalam kau terlibat dalam hal itu?” Benjamin tercekat. “Awalnya, aku berpikir akan mencobanya. Tapi, Semakin lama aku justru semakin meragukan mu. Apa kau tahu, Benjamin? Melihat tatapan matamu yang sedih itu saat membicarakan Alexander, peringatan mu padaku untuk tidak memilih Alexander, kau benar-benar membuatku takut. Kau tidak mencintaiku dengan tulus, kau hanya tidak ingin harga dirimu kembali terluka jika aku kembali menjalin hubungan dengan Alexander, bukan?” timpal Helena.