“Aku tidak ingin bertanya lebih banyak lagi. Aku akan berhenti sampai di sini, tidak ingin merasakan kemarahan lebih daripada ini!” ucap Hendrick, tatapan matanya masih marah kepada Benjamin.
Pria itu membantu Helena untuk bangkit dari posisinya. Menggandeng tangan Helena, mengajaknya keluar dari ruangan itu. Bruk! Benjamin jatuh duduk di sofa. Sambil mengusap wajahnya, dia tengah merutuki kebodohannya sendiri. Padahal, niatnya adalah demi bisa segera menikahi wanita yang ia inginkan. “Sial! Ini benar-benar gila. Kenapa, kenapa aku melakukannya?!” rutuk Benjamin. Tidak ingin banyak bicara, Hendrick pun langsung membawa Helena meninggalkan pesta tersebut. Sudah cukup berbasa-basi di sana, apapun yang akan terjadi selanjutnya biarkan Helios yang menyelesaikannya. “Masuk, Hecel!” titah Hendrick begituMalam itu, di dalam kamar. Helena menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam gejolak di dalam hatinya. Ia memandang ponsel yang baru saja diletakkannya di meja dengan tatapan tajam. Kegaduhan di media sosial setelah pesta ulang tahun Hailey membuat hatinya panas. Semua berita dan komentar itu seakan-akan memaksa dirinya dan Benjamin untuk segera menikah. Tidak hanya itu, ada pula komentar yang menyakitkan hati, mengatakan bahwa Helena menikahi Benjamin, seorang pria yang status kekayaannya tidak sepadan dengan keluarga Helena, hanya karena tidak ada pria lain yang mau dengan Helena. “Dia memiliki anak karena hubungan gelapnya. Masa lalunya begitu tidak baik, wajar jika menikah dengan pria yang kekayaannya di bawah keluarganya.” “Padahal dia sangat cantik, sayangnya dia suka bermain pria!” “Heceline pasti bingung sekali siapa Ayah dari anaknya, kan?” “Kemarin a
Sore hari, perusahaan keluarga Beauvoir. Benjamin dan Helena duduk berhadapan, berseberangan meja. Mata mereka memancarkan pemikiran yang dalam. “Hecel, kenapa kau tidak mengatakan apapun? Apakah kabar tentang pernikahanmu itu benar?” tanya Benjamin, menunggu dengan serius tanggapan dari Benjamin. Untuk beberapa saat Helena masih terdiam, ada senyum tipis yang muncul di wajahnya. “Benjamin, seberapa dalam kau terlibat dalam hal itu?” Benjamin tercekat. “Awalnya, aku berpikir akan mencobanya. Tapi, Semakin lama aku justru semakin meragukan mu. Apa kau tahu, Benjamin? Melihat tatapan matamu yang sedih itu saat membicarakan Alexander, peringatan mu padaku untuk tidak memilih Alexander, kau benar-benar membuatku takut. Kau tidak mencintaiku dengan tulus, kau hanya tidak ingin harga dirimu kembali terluka jika aku kembali menjalin hubungan dengan Alexander, bukan?” timpal Helena.
Pagi itu Alexander, dengan napas terengah-engah, berlari menuju meja informasi di bandara begitu pesawatnya mendarat. Han mengikuti di belakang, tangannya menyeret dua koper besar milik Alexander. “Tuan, tolong berhati-hatilah.” pinta Han. Tidak jauh dari mereka, seorang pengasuh menggandeng Rendy. Matanya terlihat panik dan raut wajahnya pucat, seakan-akan dia baru saja mendengar kabar terburuk dalam hidupnya. “Han, cari tahu di gedung mana Helena menikah, sekarang juga!” perintahnya pada Han yang setia berada di sampingnya. “Baik, Tuan.” sahut Han. Han, yang juga terlihat cemas, mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari informasi dengan cepat. Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, Han akhirnya menemukan alamat gedung pernikahan Helena. “Sudah, Tuan. Gedung Grand Ballroom Emerald, sekitar 20 menit dari sini,” ucapnya sambil menunjukkan layar ponselnya. Tanpa membuang waktu, Alexander bergegas menuju pintu keluar bandara. Dia meminta kunci mobil
Helena menjatuhkan buket bunganya dengan guncangan yang keras. Wanita itu langsung berlari dengan langkah tak tentu, menerobos kedua kakak laki-lakinya dan Ayahnya, menuju pintu. Helena menatap nanar Alexander yang masih berdiri terpaku di depan pintu dengan wajah dan pakaian penuh darah. Tangannya gemetar dan jantungnya berdegup kencang, matanya melotot penuh kekhawatiran. “Berani-beraninya kau akan menikahi pria lain, Helena!” protes Alexander. Mengabaikan saja, ini bukan waktu yang tepat untuk membahas soal itu. Dengan langkah yang bahkan tidak stabil, Helena meraih lengan Alexander dan memeluk pinggangnya, mencari dukungan untuk berdiri dengan benar. Suaranya tercekat, “Alexander, apa yang terjadi padamu?!” Alexander terdiam, menatap Helena yang kini memeluknya untuk menahan tubuhnya. Helena jelas terlihat sangat khawatir hingga sulit mata Alexander teralihkan. Helena menjatuhkan air mata, dia sangat khawatir. “Sial! Kenapa kau sangat cantik dengan pakaian
Helena langsung masuk ke ruangan di mana Alexander berada. Pria itu mendapatkan perban di beberapa luka yang dimilikinya. Meski berbaring dengan santai, nyatanya pria itu juga cukup kasihan untuk dilihat. Helena mematung di ambang pintu, menahan diri untuk tidak menunjukkan keinginannya memeluk Alexander. ‘Aku benar-benar sudah gila!’ maki Helena di dalam hati. Alexander terus menatap Helena yang tidak kunjung datang padanya. Padahal, dia cukup menunggu wanita itu untuk datang dan memeluk dirinya, menunjukkan betapa khawatirnya Helena dengan kondisinya saat ini. Namun, Helena justru seperti terus menahan diri, Alexander pun yakin kalau akan sia-sia saja harapannya menunggu Helena datang padanya. “Apa kau tidak ingin bertanya bagaimana keadaanku sekarang, Sayang?” ucap Alexander, coba ia mencairkan suasana. Dengan langkah yang gontai, Helena mendekati Alexander yang masih terbaring di brankar rumah sakit. “Mulutmu itu belakangan ini sangat hebat dengan terus mema
Malam itu, suasana di rumah sakit terasa mencekam bagi Helena. Dia masih terpaku di kursi ruang tunggu, jantungnya berdebar keras, enggan melangkah ke kamar Alexander meskipun dia tahu pria itu hanya mengalami luka ringan. Helena menyadari, meski terluka, Alexander tidak akan melewatkan kesempatan untuk menggoda dirinya dengan lelucon dan senyum nakalnya yang selalu membuatnya merasa gugup.Sementara itu, kedua kakak laki-lakinya dan Ayahnya sudah kembali ke rumah. “Jangan salahkan aku, kau dengan segala kegilaan mu membuatku malas untuk menemanimu di dalam.” gumam Helena, pelan. Tiba-tiba, suara nafas terengah-engah memecah kesunyian malam. Han berlari kecil mendekati Helena. Wajahnya pucat, matanya memancarkan kepanikan. Dia berhenti tepat di samping Helena dan memegangi lututnya, berusaha mengatur napas yang tersengal-sengal.
Masih di ruangan rumah sakit. Malam itu hujan tiba-tiba saja turun. Hawa dinginnya seolah masuk ke ruangan tersebut. Helena terus menatap wajah Alexander, matanya seolah terkunci. “Karena kau begitu penasaran dengan nasib malang pria gemulai itu, maka aku pun terpaksa menjelaskannya padamu.” Alexander menarik Helena, membuat mereka jatuh bersamaan di sofa yang berada di ujung ruangan. “Ya ampun!” pekik Helena, dia mencoba untuk bangkit karena tidak ingin membuat Alexander kesakitan saat dia jatuh dipangkuan pria itu. Namun, apalah daya karena nyatanya Alexander sendiri yang tidak ingin Helena bangkit. “Tetaplah begini, Helena. Tapi, kalau kau memaksa, aku yang dalam keadaan seperti sekarang ini pun bisa dengan mudah membuatmu lemas.” Mendengar ancaman itu, Helena benar-benar hanya bisa menahan k
Masih di rumah sakit tempat Alexander mendapatkan perawatan. Malam itu, Alexander sama sekali tak melepaskan Helena dari pelukannya. Tidak peduli seberapa banyak wanita itu memberontak, memohon untuk dilepaskan karena ingin pulang ke rumah. Pada akhirnya, Helena hanya bisa menuruti Alexander karena meski dalam keadaan terluka pria itu begitu hebat menahan tubuhnya dengan kekuatan yang begitu besar. “Alexander,” Panggil Helena, tak kunjung dia bisa tertidur. “Hem...” sahutnya, singkat. “Kenapa semuanya jadi seperti ini? Padahal, sebelumnya aku sangat takut padamu. Namun, sekarang aku jadi lebih condong ke kesal.” ungkap Helena. Senyum tipis timbul di bibir Alexander. Meski mata pria itu terpejam, nyatanya dia setia mendengarkan apa yang ingin Helena ucapkan. “Aku justru lebih suka kau kesal padaku daripada kau takut padaku,” jawabnya, jujur.