Malam itu, suasana di rumah sakit terasa mencekam bagi Helena.
Dia masih terpaku di kursi ruang tunggu, jantungnya berdebar keras, enggan melangkah ke kamar Alexander meskipun dia tahu pria itu hanya mengalami luka ringan. Helena menyadari, meski terluka, Alexander tidak akan melewatkan kesempatan untuk menggoda dirinya dengan lelucon dan senyum nakalnya yang selalu membuatnya merasa gugup.Sementara itu, kedua kakak laki-lakinya dan Ayahnya sudah kembali ke rumah. “Jangan salahkan aku, kau dengan segala kegilaan mu membuatku malas untuk menemanimu di dalam.” gumam Helena, pelan. Tiba-tiba, suara nafas terengah-engah memecah kesunyian malam. Han berlari kecil mendekati Helena. Wajahnya pucat, matanya memancarkan kepanikan. Dia berhenti tepat di samping Helena dan memegangi lututnya, berusaha mengatur napas yang tersengal-sengal.Masih di ruangan rumah sakit. Malam itu hujan tiba-tiba saja turun. Hawa dinginnya seolah masuk ke ruangan tersebut. Helena terus menatap wajah Alexander, matanya seolah terkunci. “Karena kau begitu penasaran dengan nasib malang pria gemulai itu, maka aku pun terpaksa menjelaskannya padamu.” Alexander menarik Helena, membuat mereka jatuh bersamaan di sofa yang berada di ujung ruangan. “Ya ampun!” pekik Helena, dia mencoba untuk bangkit karena tidak ingin membuat Alexander kesakitan saat dia jatuh dipangkuan pria itu. Namun, apalah daya karena nyatanya Alexander sendiri yang tidak ingin Helena bangkit. “Tetaplah begini, Helena. Tapi, kalau kau memaksa, aku yang dalam keadaan seperti sekarang ini pun bisa dengan mudah membuatmu lemas.” Mendengar ancaman itu, Helena benar-benar hanya bisa menahan k
Masih di rumah sakit tempat Alexander mendapatkan perawatan. Malam itu, Alexander sama sekali tak melepaskan Helena dari pelukannya. Tidak peduli seberapa banyak wanita itu memberontak, memohon untuk dilepaskan karena ingin pulang ke rumah. Pada akhirnya, Helena hanya bisa menuruti Alexander karena meski dalam keadaan terluka pria itu begitu hebat menahan tubuhnya dengan kekuatan yang begitu besar. “Alexander,” Panggil Helena, tak kunjung dia bisa tertidur. “Hem...” sahutnya, singkat. “Kenapa semuanya jadi seperti ini? Padahal, sebelumnya aku sangat takut padamu. Namun, sekarang aku jadi lebih condong ke kesal.” ungkap Helena. Senyum tipis timbul di bibir Alexander. Meski mata pria itu terpejam, nyatanya dia setia mendengarkan apa yang ingin Helena ucapkan. “Aku justru lebih suka kau kesal padaku daripada kau takut padaku,” jawabnya, jujur.
Helena menatap Alexander dengan mata berkaca-kaca, hatinya terasa seperti teriris oleh seribu pisau. Keluarganya pun tidak terlihat merasa bersalah untuk persyaratan yang diajukannya. “Kak, Ayah, jangan seperti itu. Harta milik keluarga Smith dan pribadi Alexander jelas-jelas berlebihan.” Helena mencoba untuk tenang, mempertahankan satu sama lain tanpa ada yang dijatuhkan. “Alexander pasti sedang kacau sekarang karena luka di tubuhnya. Jadi, jangan membahas apapun lagi.” Helios tersenyum lalu menjawab, “Tampang menyebalkan pria itu sudah cukup menjelaskan kalau dia tidak sedang main-main, Hecel.” Helena menatap Alexander, memperhatikan ekspresi wajah pria itu. Dengan postur tegap dan ekspresi tenang, seolah tak terganggu oleh beratnya keputusan yang baru saja diucapkannya. “Alexander, sadarlah!” bentak Helena. “Kau benar-benar akan meny
Sore harinya, masih di rumah sakit tempat Alexander dirawat. Han datang ke rumah sakit membawa Rendy yang sejak kemarin terus merengek mencari keberadaan Ayahnya. Melihat ada Helena di sana, Rendy benar-benar terlihat bahagia. Saat membuka pintu ruang perawatan, Rendy sampai bengong melihat Helena dan langsung berlari memeluk Helena. “Ibu!!” panggil Rendy saat itu. Helena yang juga terkejut langsung mendapatkan kesadarannya, menyesuaikan posisinya untuk bisa berpelukan dengan Rendy. “Ya Tuhan... Sepertinya anak tampan ini semakin tumbuh tinggi, ya?” ucap Helena sambil erat memeluk Rendy. Alexander benar-benar terlihat dingin dan kesal, tatapannya yang seperti i
Helena masih menangkup wajah Rendy, terus berusaha untuk memberikan pengertian kepada bocah itu. “Nak, Angel itu hanya belum memahami siapa kau untuknya. Jadi, karena Angel juga belum pernah bertemu denganmu, bagaimana kalau kita temui dia sekarang?” usul Helena. Seketika itu wajah Rendy kembali bersemangat, menganggukkan kepalanya, setuju. “Mau, aku mau, Ibu...” ucapnya, girang. “Aku juga ikut!” ucap Alexander. Sontak saja membuat Helena menatap ke arahnya dengan maksud tak setuju. “Aku tidak akan membuat gara-gara, Helena. Jangan melotot begitu, oke...” bujuknya. “Jangan lupa kalau kau sedang menerima perawatan luka mu, Alexander.” peringat Helena. “Aku baik-baik saja, Helena.” ujar Alexander. “Mataku tidak buta, jangan bohong, Alexander!” tegas Helena. Alexander pun tersenyum. “Bagaimana bisa kau bilang tidak buta kalau masih melarang ku, Helena? Apa aku terlihat seperti orang yang sedang sekarat?” Alexander menoleh kepada Han. “Apa aku terlihat sekarat, Han?” H
Tuan Beauvoir hanya bisa menatap dari kejauhan bersama dengan Hendrick dan Helios. Alexander tengah duduk diantara Angel dan Rendy, sedang Helena berada tidak jauh dari mereka. Angel masih takut dengan Alexander, maka itu membutuhkan Helena di sana. “Angel, Rendy, karena ini sudah malam, kalian pergi tidur, ya.” bujuk Helena. Rendy terlihat lesu, tapi bocah itu cepat mengangguk setuju. Helena tersenyum, sadar dengan perasaan tidak rela yang dirasakan bocah itu. “Sayang, besok boleh main lagi, kok.” ujarnya. Rendy pun tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. “Oke. Tapi, malam ini aku tidur di rumah Ibu atau di hotel bersama Ayah lagi?” Helena menatap Alexander, mengarahkan pandangannya itu kepada Rendy saat Alexander juga menatapnya. Alexander tersenyum. “Jadi, kau maunya tidur di mana, Rendy?” tanyanya, jelas memiliki tujuan terselebung. Rendy menatap Helena, matanya memancarkan keinginan yang sudah jelas apa maunya. “Aku boleh tidur di sini kan, Bu?” Mohonnya.
Langit cerah menemani aktivitas Helena. Harinya terasa lebih ringan, entah apa alasan yang sebenarnya, mungkin karena kebahagiaan semalam bisa tidur bersama Angel dan Rendy. Sayangnya, Helena tidak bisa lebih lama lagi bersama mereka, pekerjaan sudah menantinya. Beberapa hari tidak ke kantor, Helena memiliki masa yang panjang hari ini untuk bekerja. “Jadwalkan ulang meeting untuk besok. Pagi hari kita juga harus rapat, kan? Juga,” Helena menyodorkan dokumen kepada seorang pegawainya, “pastikan dokumen ini segera sampai ke kak Helios.” “Baik, Nona.” jawabnya patuh. Gegas pegawai itu meninggalkan ruangan Helena. Kembali dengan laptopnya, Helena sudah berjanji akan menyelesaikan desain produk terbaru perusahaan Beauvoir seorang diri. Tok tok! Ketukan pintu itu membuat konsentrasi Helena terganggu, lalu
Setelah kepergian Hailey, Helena melanjutkan pekerjaannya. Ponsel Helena trus berdering, namun ia memilih untuk fokus saja. Benjamin, Alexander, dua pria itu benar-benar seperti kebanyakan waktu senggang. Entah sudah berapa banyak mereka menghubungi. Tidak akan menyentuh ponsel kalau bukan pengasuhnya Angel yang menghubungi. Pukul 6 sore, Helena pun benar-benar sangat kelelahan. “Hecel, ayo pulang!” ajak Hendrick. Helena tesenyum sambil menganggukkan kepalanya. “Oke!” Mereka berdua berjalan bersama karena Helios masih ada yang harus dikerjakan. Hendrick membukakan pintu mobil, Helena bersiap untuk masuk tiba-tiba saja Benjamin muncul entah dari arah mana. “Hecel,” panggil Benjamin. Hendrick dan Helena me