Langit cerah menemani aktivitas Helena. Harinya terasa lebih ringan, entah apa alasan yang sebenarnya, mungkin karena kebahagiaan semalam bisa tidur bersama Angel dan Rendy.
Sayangnya, Helena tidak bisa lebih lama lagi bersama mereka, pekerjaan sudah menantinya. Beberapa hari tidak ke kantor, Helena memiliki masa yang panjang hari ini untuk bekerja. “Jadwalkan ulang meeting untuk besok. Pagi hari kita juga harus rapat, kan? Juga,” Helena menyodorkan dokumen kepada seorang pegawainya, “pastikan dokumen ini segera sampai ke kak Helios.” “Baik, Nona.” jawabnya patuh. Gegas pegawai itu meninggalkan ruangan Helena. Kembali dengan laptopnya, Helena sudah berjanji akan menyelesaikan desain produk terbaru perusahaan Beauvoir seorang diri. Tok tok! Ketukan pintu itu membuat konsentrasi Helena terganggu, laluSetelah kepergian Hailey, Helena melanjutkan pekerjaannya. Ponsel Helena trus berdering, namun ia memilih untuk fokus saja. Benjamin, Alexander, dua pria itu benar-benar seperti kebanyakan waktu senggang. Entah sudah berapa banyak mereka menghubungi. Tidak akan menyentuh ponsel kalau bukan pengasuhnya Angel yang menghubungi. Pukul 6 sore, Helena pun benar-benar sangat kelelahan. “Hecel, ayo pulang!” ajak Hendrick. Helena tesenyum sambil menganggukkan kepalanya. “Oke!” Mereka berdua berjalan bersama karena Helios masih ada yang harus dikerjakan. Hendrick membukakan pintu mobil, Helena bersiap untuk masuk tiba-tiba saja Benjamin muncul entah dari arah mana. “Hecel,” panggil Benjamin. Hendrick dan Helena me
Cahaya remang-remang kamar itu menambah suasana romantis di antara mereka. Alexander dengan lembut mendekatkan wajahnya ke Helena, memandang dalam-dalam ke mata wanita itu sebelum akhirnya mengecup bibirnya dengan penuh kelembutan. Helena yang awalnya terkejut, kini mulai larut dalam hangatnya ciuman tersebut. Ia membiarkan Alexander memperdalam ciuman, menikmati setiap sentuhan yang membawa aliran hangat di tubuhnya.‘Aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri.’ batin Helena. Napas Alexander semakin cepat, menandakan betapa dalamnya perasaan yang ia rasakan. Ciuman itu bukan hanya sekedar sentuhan fisik, tapi lebih merupakan ungkapan hati yang paling jujur dari Alexander. Dengan mata terpejam, Helena bisa merasakan setiap denyut nadi yang berpacu lebih cepat, hatinya dipenuhi oleh gelombang emosi yang tak terkira. Ini adalah sebuah ciuman pertama yang begitu tulus dan hangat yang bisa dirasakan keduanya, terhubung tidak hanya melalui fisik, tapi juga jiwa. Alexander dengan hati
Hari masih sore, tetapi langit tampak begitu mendung seolah turut merasakan kesedihan mendalam keluarga dan para pelayat di area pemakaman Heaven Memorial. Mereka masih tak percaya bahwa mereka harus mengantar nona pertama Keluarga Wijaya ke peristirahatan terakhir. “Ya ampun, dia masih muda….” “Bagaimana bisa dia kecelakaan? Bukankah, mobilnya sudah menggunakan teknologi pelindung paling mutakhir?” “Ada yang menyabotase mobilnya. Kudengar Tuan Alexander sedang mencari orang paling bersalah dari kematian istrinya itu.” “Ya, bisa jadi itu saingan bisnis Keluarga Smith. Mereka berhasil mendapat tender paling besar tahun ini. Pasti, iri membuat mereka....” Beberapa kerabat jauh terus berbisik sembari mengamati Alexander Smith yang tampak berdiri di samping pusara sang istri yang baru saja tertutup tanah. Yang jelas, tak seorang pun berani mendekati ahli waris Smith Group itu, kecuali satu orang … adik sepupu sang istri. “Kak … Rachel sudah tidak ada lagi. Untuk apa, kau
Tak siap akan tamparan itu, Helena terhuyung. Namun, tak ada yang peduli padanya.“Kembalikan anakku!” teriak Nyonya Wijaya lagi, “kenapa kau melakukan ini, kenapa kau menghilangkan nyawa anakku yang selama ini baik padamu?!” Wanita itu tampak frustasi, hingga membuat Helena tak berani mengatakan apapun. Hanya saja, Helena menyadari tatapan dari pelayat yang tersisa jelas seperti menghakimi dirinya. “Dia tidak akan bisa mengatakan apapun, dia pasti sedang menyesali perbuatannya!” timpal Sarah tiba-tiba. Seperti sedang menyiram bensin pada kobaran api, sepupu Rachel itu tak henti membuat orang-orang di sekitarnya memilki arah pikiran yang sama. Entah mengapa, Helena merasa tubuhnya lemas dan gemetar. Bahkan, dia merasa kedua kakinya melayang di udara. Sementara itu, Alexander masih berdiri di tempatnya. Sorot mata pria tampan itu nampak begitu dalam. Dan keterdiamannya itu ... justru membuat Sarah semakin merajalela. “Bi, lebih baik kita kirim saja dia ke penja
“Setelah wanita itu melahirkan anakmu dan Rachel, pastikan kau mengirimnya ke penjara!” titah Tuan Smith begitu Alexander tiba di tempat yang dikehendaki pria tua itu. Kalimat itu benar-benar membuat Alexander menatapnya dengan dingin. Namun, ada senyum tipis penuh arti di bibirnya, seolah tengah mencemooh Tuan Smith yang selalu saja mudah mengatakan apapun tanpa berkedip. “Ingat! Segera lakukan ucapanku barusan, Alexander. Hal ini penting agar Keluarga Wijaya berada di genggaman kita,” tambah Tuan Smith, "Kau tahu kalau--" “Aku akan menghukum Helena dengan caraku sendiri. Tidak perlu membawa wanita itu ke penjara, Ayah," ungkap Alexander pada akhirnya.Hal ini membuat dahi Tuan Smith mengerut.Sorot matanya yang tajam menjelaskan bahwa dia sangat tidak setuju dengan ucapan Alexander barusan. “Apa kau sedang bercanda, Alexander?” Gegas Alexander menggelengkan kepalanya. Dia tidak bisa mengirimkan Helena ke penjara walaupun semua orang menginginkannya. “Apa kau sudah gila
Alexander menghela napas. "Ada sesuatu yang perlu kulakukan.."Meski tak mengerti, asisten Alexander itu mengangguk.Namun, ia yakin itu akan sangat berpengaruh besar bagi hidup Helena.***"Tuan Alexander?" gumam Helena kala melihat Alexander datang.Tubuhnya masih lemas. Ada rasa sakit yang terasa dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Tapi, apalah daya jika mulutnya bahkan tidak memiliki hak untuk mengeluh?Helena lantas memilih menghindari tatapan matanya dari Alexander sebelum dia merasakan sakit pada dadanya. Di sisi lain, Alexander terus menatap Helena. Langkah kakinya mulai mendekati bayi yang dilahirkan Helena melalui bedah caesar. Bayi laki-laki yang saat ini sedang tertidur dengan tenang, membuat Alexander tersenyum puas. “Baguslah. Wajahmu sangat mirip dengan Rachel, ini adalah sebuah keberuntungan, bukan?” bisiknya. “Selamat datang di dunia yang penuh dengan kejutan ini, Nak.” Helena tersentak. Namun, ia menoleh ke arah lain, tidak berani mendengarkan pembicaraa
“Berhentilah untuk mengatakan hal tidak penting, Sarah,” peringat Alexander. “Di hari kelahiran putraku, aku tak mau ada kata-kata buruk yang terucap.” Kaget, Sarah langsung menutup mulutnya rapat.Jika terus mengatakan sesuatu tentang Helena, jelas dialah yang akan ditendang keluar dari ruangan itu. Untungnya, situasi kembali kondusif kala Keluarga Wijaya kembali fokus dengan Rendy.Mereka memuja wajah bayi laki-laki yang rupanya persis seperti Rachel. Lemparan pujian terus terdengar, membuat Alexander pun merasa lega. Waktu semakin berlalu.Kam untuk mengunjungi pasien sudah habis, membuat keluarga Wijaya memutuskan keluar dari ruangan tersebut. “Alex, bagaimana jika Rendy biar kami saja yang merawatnya?” tanya Tuan Wijaya penuh harap. Sudah kehilangan putri semata wayangnya, keluarga Wijaya pun berharap dapat merawat keturunan dari Rachel. Tentu saja dengan cepat Alexander menggelengkan kepalanya. Mimik wajahnya nampak bersalah. “Maaf, tapi aku sendiri juga baru
"Kenapa semuanya menjadi seperti ini?" isak Helena, seorang diri setelah Alexander dan bawahannya berlalu.Tak pernah ia bayangkan keinginannya untuk menyelamatkan sang ibu, malah membuat hidupnya berakhir berantakan. Meski tanpa kata, ia tahu Alexander pasti tak akan membuat hidupnya tenang dalam pernikahan ini.Belum lagi dengan keluarga Wijaya yang membencinya."Rachel, apa yang harus kulakukan?" gumamnya pedih. Sungguh, Helena ingin kabur jika tak teringat janjinya pada sahabat. Bahkan hingga hari di mana ia mengikuti Alexander dan Rendy ke Kediaman pria itu, gadis itu masih saja tak tenang.** “Selamat datang, Tuan,” sapa pelayan rumah begitu membukakan pintu untuk Alexander.Pria itu hanya menganggukkan kepalanya membalas sapaan dari pelayan rumah.Ia lalu berjalan menuju ke sebuah kamar yang akan ditempati Rendy dan Helena. “Shhhh....” desis Helena pelan.Jahitan pada perutnya benar-benar terasa ngilu. Langkah kakinya jelas tak bisa cepat, hingga tertinggal jauh dari