Axel diam-diam mengikuti Lily sampai apartemen tempat gadis itu tinggal. Axel yang selalu hidup dalam kemewahan menilai, apartemen tempat Lily tinggal kumuh, tidak teratur dan padat penghuni. Lagi pula, gedungnya kecil, catnya kusam. Membuat napas Axel sedikit sesak ketika masuk ke gedung apartemen itu.
“Bagaimana mungkin ada manusia yang tinggal di sini?” gerutu Axel dengan sombong. Matanya terus mengikuti gerakan Lily yang naik ke lantai tiga. Dia menjaga jarak, agar Lily tidak tahu kalau sedang diikuti. “Mana tidak ada lift,” keluhnya lagi. Tujuan Axel mengikuti Lily sebenarnya ingin membuktikan kalau Lily adalah gadis yang buruk. Mungkin saja dia tinggal bersama seorang lelaki, dan berbuat zina setiap hari. Axel sudah menyiapkan kamera untuk memotret kehidupan Lily dari jauh. Dia cukup tersenyum ketika ada dua pria yang menghampiri Lily. “Itu dia,” katanya tersenyum menang. “Apa kubilang, dia bukan gadis baik-baik seperti dugaan mama.” Axel mulai mengarahkan kameranya ke Lily dan dua pria yang badannya besar-besar. Bukan kemesraan yang Axel rekam, lama kelamaan Axel menyadari kalau Lily sedang diancam, atau semacamnya. Tubuh Lily yang kecil dihempas ke dinding hingga gadis itu terlihat meringis kesakitan. Sebagai seorang lelaki, Axel merasa harus membela Lily. Jadi, Axel berlari dengan cepat ke arah Lily. “Hei, hentikan!” serunya. Tanpa berpikir panjang.***
Lily baru saja akan membuka pintu apartemennya. Kerja seharian membuatnya lelah, rencananya malam ini dia ingin memanfaatkan waktu untuk istirahat dan memikirkan tawaran Alex Margot.
“Bayar utang!” sentak penagih pertama, suaranya yang kencang membuat Lily kaget. Tangan si debt collector menahan pintu agar Lily tidak bisa masuk.Salah satu debt collector itu memaksa Lily agar membalik badan, lalu menghempasnya ke dinding, membuat Lily meringis kesakitan. “Mana, uang kita, hah? Mau cari masalah?” ancam yang satu lagi, tangannya mencengkeram wajah Lily. Matanya yang merah menyala menatap Lily yang ketakutan. “Atau gadis kayak kamu, kita serahkan saja ke bos. Supaya bisa dilelang?” “Ide bagus,” sahut yang satu lagi sambil tertawa puas melihat wajah Lily yang ketakutan. “Jadi, kita tidak perlu repot lagi tagih utang kamu.” Lily melepaskan tangan itu sekuat tenaga. “Tidak!” sentaknya. “Saya baru saja dapat pekerjaan, saya mohon, beri saya waktu, agar bisa mencicil utang itu.” Bebannya makin bertambah, uang sewa apartemen dua bulan belum dia bayar. Pasti sebentar lagi ada yang datang menagih. Wajah si penagih utang itu, berubah menjadi galak, matanya liar menatap tubuh Lily yang elok. “Gue bisa pastikan, elo cuma jadi seonggok daging yang tidak berharga dimangsa banyak lelaki hidung belang. Kebanyakan, perempuan yang ada dalam genggaman bos kita, tidak akan kembali dalam keadaan hidup. Mereka tidak akan tahu akan terus hidup, atau mati sia-sia.”Lily menelan ludah, badannya gemetar ketakutan. Matanya memelotot, sok berani, berharap ada pangeran yang menolongnya dari jeratan utang renternir ini. Namun, Lily percaya itu hanya cerita dongeng yang tidak pernah jadi nyata. “Pokoknya akan aku bayar!” teriak Lily tidak peduli akan ancaman dua penagih utang itu. “Kita nggak percaya. Sudah berapa kali kita tagih tapi tidak ada hasilnya. Lo selalu bilang, kalau sudah dapat pekerjaan, Tapi nyatanya, sudah beberapa bulan tidak bayar. Bunganya terus bertambah, jumlah pinjamannya pun makin besar. Bagaimana caranya lo mau bayar, hah?” badan besar itu makin membuat tubuh Lily terhimpit ke dinding. Dengan sangat terpaksa, tangan Lily ke saku celana tempat dia menyimpan cek gajinya. “Hei, hentikan!” seruan itu membuat para debt collector dan Lily menoleh ke arah suara. Axel yang tidak tahan melihat Lily disiksa, berlari menghampiri Lily. “Lepaskan dia.” Perhatian dua debt collector itu sekarang beralih ke Axel yang sedang terengah-engah. “Siapa kau? Pacarnya?” Mata kedua debt collector itu melihat penampilan Axel yang rapi, dengan setelan. “Sepertinya kau orang kaya?” kata saah satu debt collector itu. Mata Lily memelotot melihat Axel ada di tempatnya, apakah ini mimpi? Tanya Lily dalam hati. Rasanya bukan.“Berapa utangnya?” sentak Axel dengan berani. Dia sudah bersiap kalau-kalau dia debt collector itu menyerangnya. Lily menggeleng, tidak mau kalau Axel tahu berapa banyak dia berutang kepada renternir. “Apa kau akan membayarnya?” tantang debt collector itu menantang Axel dengan bertolak pinggang. Axel merasa kedua debt collector itu mempunyai kekuatan seimbang, jadi dia tidak takut dengan ancaman. “Tidak.” Lily sedikit kecewa ketika Axel berkata tidak. Dia menghela napas, lemas badannya. “Tapi, aku bisa menjamin kalau dia bisa melunasinya dalam waktu dekat.” “Bagaimana kau bisa menjaminnya? Kau bukan kekasihnya, bagaimana aku bisa percaya? Hey, Bung, kami juga punya tanggung jawab untuk menyetor uang itu ke bos kami.” Axel menatap Lily yang tampak kecewa. Sekilas, ada rasa kasihan dalam hatinya, meski dia tidak bisa menebak, apa yang membuat Lily kecewa. Dia menelan ludah, ingat akan istrinya di rumah. “Ya, aku kekasihnya,” kata Axel sambil menatap Lily, lalu matanya mendelik ke arah dia debt collector itu secara bergantian. Perkataan Axel membuat detak jantung Lily berhenti beberapa saat. Lehernya seperti tercekik dan tidak bisa bernapas. Axel mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya. Lalu mengambil beberapa lembar seratus dolar. “Ini, ambillah. Sisanya, dia akan mencicilnya.” Si debt collector itu mengambil uang yang diberikan oleh Axel. Lalu menghitungnya. “Ini cicilan yang lumayan, dari pada kemarin kau hanya memberi kita lima puluh dollar.” Lily menarik napas. “Itu juga hasil kerja kerasku, kau tahu?” “Kalau kau punya kekasih kaya seperti dia, untuk apa kau bekerja keras?” Dua debt collector itu tertawa. “Pergilah! Bukan urusanmu menasihatinya,” usir Axel dengan galak.“Baiklah. Ingat, minggu depan kita datang lagi.” Dua debt collector itu lalu meninggalkan Lily dan Axel. Suasana canggung ada di antara Axel dan Lily setelah kedua debt collector itu pergi. “Sebaiknya kau pertimbangkan penawaran dariku,” kata Axel dengan cepat, matanya tidak mau lagi menatap Lily. Tapi, wanita itu yang nantinya akan mengandung calon anaknya. “Sepertinya tindakanku sudah benar, untuk gadis sepertimu, uang sebesar itu sangat menguntungkanmu.”Lily membeku semua perkataan tertahan di tenggorokannya. Maksudnya Axel tadi mengaku sebagai kekasihnya apa? Axel tidak berkata apa-apa lagi, langsung pergi meninggalkan Lily. Aneka pertanyaan ada dalam benak Lily, apa maksud Axel mengaku kalau dia adalah kekasih Lily? Apakah yang harus Lily lakukan, apakah memang harus menerima tawaran dari Alex Margot? Lily meraba perutnya yang masih rata. Sebentar lagi, perut yang rata tersebut akan ada calon bayi di dalamnya. Dan itu anak Axel.Axel tidak bisa memilih kepada siapa dia berpihak, ibu atau istrinya. Satu sisi ibunya banyak membiayai hidupnya, apalagi ketika baru menikah. Sebut saja, apartemen mewah, mobil, dan juga kartu kredit yang tidak ada batasnya. Kedudukan yang mumpuni di perusahaan distributor anggur dengan gaji yang tinggi juga. Axel sudah mengatur makan malam di apartemen untuk wedding anniversarynya malam ini. “Kamu di mana?” tanya Axel kepada Bree di sambungan telepon. “Kamu tidak lupa, kan? Ini hari jadi kita,” lelaki itu menelepon saat semua hal yang menjadi bahan kejutannya sudah siap. “Tentu saja aku ingat. Aku hanya mempersiapkan diri untuk makan malam,” jawabnya dengan centil. “Baiklah, aku tunggu kau.” Axel lantas memutus sambungan telepon. Axel malam ini memanggil chef idola Bree dari restoran favoritnya. Ada beberapa orang membantu Axel untuk membuat kejutan ini. Hal makan malam ini harusnya membuat Axel gembira dan antusias. Namun, permintaan mamanya membuat Axel murung.Para pelayan y
Axel bangkit dari duduknya, bertolak pinggang kebingungan tidak menatap Bree. Setelah dia merasa cukup tenang, pandangannya kembali ke arah Bree. “Mama meminta seseorang untuk menjadi ibu pengganti. Aku tidak akan sanggup kalau menikahi perempuan lain. Mama menyarankan teknologi bayi tabung. Aku tidak akan menyentuhnya.” “Tapi, Axe ...” Bree menghampiri Axel, berharap dengan menggodanya akan membuat mama Axel mengubah keputusannya. Dan Axel tampaknya sudah tahu gerak gerik Bree. Dia menolak godaan Bree. Membuat wanita itu membeliak. Begitu dahsyat pengaruh mamanya terhadap Axel. Dan Bree makin murka. “Bree, kau tahu, kan mamaku seperti apa?” Axel menatap Bree dengan raut wajah yang tegang. Bree ikutan terdiam, lalu menebak. “Kita tidak mungkin menolak semua perintahnya?” Axel mengangguk dengan mantap. “Atau kita semua akan kehilangan semua kemewahan ini.” Bree makin tidak bisa berkata-kata, semua yang tadi dia alami, kebahagiaannya menjadi istri Axel selama lima tahun sirna da
Paginya, Lily sif pukul delapan. Langkahnya agak berat pagi ini, dia mengirim pesan ke Meredith, kalau akan menerima tawaran Axel. “Nona Meredith, bisa kita bicara?” tulis Lily di pesannya. “Kau bisa datang menemuiku nanti di rumah Mrs. Margot.” Balas Meredith melalui pesan di ponsel. Lily berdoa dalam hati, semoga keputusannya kali ini tidak salah. Lily datang setengah jam sebelum sifnya. Mana sangka Meredith juga datang diwaktu yang sama. Mereka bertemu di depan gerbang rumah Mrs. Margot. “Nona Meredith, bisa kita bicara sekarang?” tanya Lily ragu. Meredith tahu hal apa yang akan dibicarakan Lily. “Baiklah. Ikut aku,” ujar Meredith suaranya selalu datar, dan terdengar tegas. Meredith menuju ke ruangan kerja Mrs. Margot, tempat biasa diselenggarakan rapat dengan para karyawannya kalau di rumah. “Duduk,” suruh Meredith. Lily menuruti perkataan Meredith. Semua ini demi utang. Dan Lily ingin hidupnya tenang tanpa ada para penagih yang kasar membuat hidupnya selalu penuh rasa taku
“Selamat datang, Tuan Axel,” sambut salah satu pelayan yang ada di rumah Mrs. Margot. Pelayan itu membungkuk tidak menatap Axel dan istrinya. Axel pantang sekali menatap pelayan, Bree datang juga bersamanya. Wanita itu hendak melepas mantelnya yang terbuat dari bulu. Pelayan yang ada di sekitarnya sigap membantu Bree, Lily yang pertama kali maju mengambil mantelnya untuk disimpan. “Saya bantu, Nyonya,” katanya dengan sopan. Bree langsung melepas mantel bulunya itu. Namun, Lily tidak sengaja terpeleset hingga mengenai nampan yang ada anggurnya. Mantel yang dia pegang, hampir terkena anggur yang tumpah. Untung saja Lily bergerak dengan cepat hingga bisa menghindari anggur itu, mantel bulu Bree terlindungi. Mata Bree melotot, “Hei, hati-hati kalau bergerak. Gaji kamu seumur hidup tidak akan bisa mengganti mantel itu, tahu? Kamu pelayan baru, ya, di sini?” omelnya. Lily gelagapan, jantungnya berdetak dengan keras, namun dia mengangguk pelan. Kena omelan begini, membuat Lily takut dip
Benar apa yang dikatakan Lily, Mrs. Margot memberi tanda ke arah Meredith untuk membawa pergi cangkir ini. Dan sekali lagi, Bree berang merasa dipermalukan, apalagi sudah ada tamu-tamu yang lain. Mereka adalah kolega mamanya, ada juga karyawan di perusahaan kebun anggur Mrs. Margot. Tentu saja, Bree memandang rendah mereka. Mungkin yang kastanya sama hanya Keluarga Triton saja. Saat sedang makan malam, Bree juga menjatuhnya piring tidak sengaja. Axel sebagai suami ingin menenangkan istrinya, namun tatapan Mrs. Margot yang seperti menyindir, membuat Bree tidak ingin hidup. “Kamu tidak apa-apa, kan, Sayang?” tanya Axel dengan lembut. Bree mengangguk, “Ya,tentu saja. Rumah ini sudah ada yang melayani, harusnya tidak perlu khawatir, kan?” ucap wanita itu sarkas. Beberapa kolega Mrs. Margot yang datang adalah staf-staf ahli di bidang pemasaran, keuangan, ada sekitar dua puluh orang yang hadir. Mrs. Margot membuka pidato setelah makanan pembuka. “Jadi, malam ini, kita merayakan li
“Salah sangka?” ulang Axel. “Kamu sadar, Lily! Sadar sebagai ibu pengganti bagi anakku, itu sama saja meneken kontrak kalau kamu milikku! Meski hanya setahun. Aku membayarmu untuk itu.” Lily diam, jantungnya saat ini akan meledak. Mau tidak mau, Lily menuruti Axel. Lily mulai menarik tangan Axel agar lelaki itu bisa duduk dengan tenang. Tetapi gagal, Axel tidak bisa menegakkan badan. “Kau harus lebih berusaha, Lily,” perkataan Axel yang begini mirip ledekan. Wajahnya juga menyebalkan saat ini. Kalau bukan majikan, mungkin Lily sudah menamparnya. Lily kesal, meski Axel tampan, badannya ideal dan sebentar lagi Lily dan Axel akan terikat oleh sebuah perjanjian, tetap saja, Lily harus menjaga jarak. Dia tidak boleh aji mumpung. Lily berusaha sekali memasukkan kepala Axel ke kaus. Mengangkat kepalanya sulit sekali. Badannya berat. Napas Lily yang terengah terdengar oleh Axel, membuat lelaki itu tertawa. Pikirannya masih menerawang, malam ini harusnya dia merayakan hari pernikahannya
“Apa yang kau lakukan, Bree?” nada suara Axel ditekan. Giginya gemeletak karena marah.Andai saja malam tadi Bree tidak pergi, pasti tidak ada kejadian dirinya berakhir dengan Lily.“Kami hanya ke klub langgananku. Kau tahu, kan di mana klub itu?”Bree dan Wanda memang ke klub langganan.***Beberapa jam yang lalu ...Bree mendadani Wanda, memakaikannya baju minim dan merias wajahnya dengan cantik. Semua Bree lakukan setelah makan malam.“Rambutmu terlalu indah, Wanda,” ucap Bree sambil mengangkat rambut blondie-nya. Hingga lehernya yang jenjang dan mulus.Wanda merasa senang ada yang peduli dan memerhatikannya.Memulas wajahnya yang pucat menjadi lebih bersinar. Meski pulasannya tipis, tapi menonjolkan wajah Wanda yang memang cantik.“Kau terlihat cantik,” ujar Bree sambil melihat pantulan wajah Wanda di cermin.“Ya
“Aku hanya mengajak Wanda ke kelab langgananku. Itu saja, karena kita mabuk, aku tidak ingin kembali ke rumah mamamu, bisa-bisa dia marah besar. Jadi ... aku dan Wanda kembali ke apartemen.”Kemarahan Axel belum reda juga, lelaki itu juga heran, mengapa penjelasan Bree serasa makin membakar dadanya.“Honey, apa kau sudah siap untuk pulang? Aku masih di jalan, kalau kau mau, aku akan jemput kau pulang sekarang,” jelas Bree.Kali ini Axel yang panik, dirinya masih polos, belum mandi, rasanya bau percintaan. Namun, Axel tidak mau menghilangkan bau itu. Axel suka.“Kurasa aku akan menginap semalam lagi di sini. Akan ada kontrak yang harus kuurus, kau ingat, kan?”Bree menghela napas, kalau ingat itu Bree kesal sekali!“Aku tidak mau menginap di sana bersamamu,” ujar Bree merajuk. Dia menepikan mobilnya. “Kau ingat, kan betapa aku membenci usul ...”&ld