“Salah sangka?” ulang Axel. “Kamu sadar, Lily! Sadar sebagai ibu pengganti bagi anakku, itu sama saja meneken kontrak kalau kamu milikku! Meski hanya setahun. Aku membayarmu untuk itu.”
Lily diam, jantungnya saat ini akan meledak. Mau tidak mau, Lily menuruti Axel. Lily mulai menarik tangan Axel agar lelaki itu bisa duduk dengan tenang. Tetapi gagal, Axel tidak bisa menegakkan badan. “Kau harus lebih berusaha, Lily,” perkataan Axel yang begini mirip ledekan. Wajahnya juga menyebalkan saat ini. Kalau bukan majikan, mungkin Lily sudah menamparnya. Lily kesal, meski Axel tampan, badannya ideal dan sebentar lagi Lily dan Axel akan terikat oleh sebuah perjanjian, tetap saja, Lily harus menjaga jarak. Dia tidak boleh aji mumpung. Lily berusaha sekali memasukkan kepala Axel ke kaus. Mengangkat kepalanya sulit sekali. Badannya berat. Napas Lily yang terengah terdengar oleh Axel, membuat lelaki itu tertawa. Pikirannya masih menerawang, malam ini harusnya dia merayakan hari pernikahannya dengan Bree. Namun, Bree malah memilih Wanda untuk diajak minum. Meninggalkan Axel, dan lelaki itu sangat sebal ditinggalkan seperti itu oleh Bree. “Bree ... Bree,” rutuk Axel sambil tertawa konyol. Sementara kausnya belum bisa terpakai, karena Lily kesulitan mengangkat kepala Axel. Axel, menangkap tangan Lily, menaruhnya di dadanya yang bidang. Wajah Lily merona, hangat. Namun, sekujur tubuhnya panas dan dingin. “Lily ...” panggil Axel dengan lirih, tangan Axel yang bebas membelai wajah Lily. “Maaf, tuan aku harus pulang,” ucapnya. Axel malah menarik Lily ke dalam pelukannya. “Kau temani saja saya di sini. Apakah kau tahu kalau sesungguhnya kau sangat cantik, murni dan tulus.” Lily menganggap kalau Axel sedang membual karena sedang mabuk. Jadi, wanita itu mengangkat wajahnya. Menatap Axel tajam. Andai saja, Axel sedang tidak mabuk malam ini. Jarak wajah Lily dan Axel hanya dua senti. Mata Axel berkilat, kepalanya dia majukan, mengikis jarak yang memang sudah sangat dekat. Lily hampir tidak bisa bernapas dengan benar. Menelan ludahnya susah payah. Bukannya menjauh, tubuh Lily seperti beku dan membiarkan Axel melakukan semua yang Axel mau. Seperti dihipnotis, Lily harusnya menolak sentuhan pertama Axel. “Tuan, sebaiknya kita berhenti,” ucap Lily memohon. “Kenapa harus berhenti? Nantinya kamu akan mengandung anakku. Kita lakukan saja sekarang, apa kau tahu prosedur IVF sangat menyakitkan,” bujuk Axel, tangannya terus menjelajah wajah halus wanita itu. Juga bagian tubuh yang lain. Axel menikmati aroma tubuh Lily. Membuat Axel ketagihan. Sekuat tenaga Axel membalik posisi hingga dia berada di atas Lily. “Kamu sangat manis dan cantik, Sayang,” ucapan Axel, mirip racauan. Matanya sayu, ini yang membuat Lily khawatir, apakah ketika besok terbangun, Tuan Axel akan mengingat dirinya? Lily memejam ketika kepala Axel berhenti di bawah perut Lily.Wanita itu mengerang. Axel membiarkan, tapi mamanya bisa terbangun kalau Lily berteriak. Jadi Axel membungkam mulut Lily dengan ciuman. “Sst, kita tidak ingin membuat Mama terbangun,” bisikan Axel membuat Lily patuh. Lily makin tidak bisa berkutik, entah mengapa sentuhan Axel terasa begitu menggoda. Lily memejam, menikmati atau malah menyesalinya. Axel merangkak ke atas tubuh Lily, seperti mengunci tubuh Lily. Tubuh Axel saat ini tanpa penutup apa pun. “Pertama kali?” tebak Axel, karena wanita itu masih kaku, dan terlihat takut. Badannya gemetar. Axel bisa merasakannya. Lily mengangguk, tidak bisa berteriak minta tolong, atau dia terancam akan dipecat, dan semua kontrak itu akan dibatalkan sama sekali. Kalau sidah begitu, semua kesempatan Lily untuk bebas dari renternir akan hilang. Axel mengerti bagaimana harus memperlakukan Lily. Ya, lelaki itu memperlakukan Lily seperti sesuatu yang istimewa dan sangat berharga. Untuk Lily dan Axel, ini adalah malam terpanjang dalam hidup mereka. ***Paginya, Lily bangun terlambat. Kaget ketika melihat jam yang ada di nakas, sudah pukul tujuh pagi dan dia baru ingat ini bukan di kamarnya sendiri. Kepalanya menoleh ke kiri, ada Axel yang masih pulas. Sepertinya di luar kamar ini para pelayan sudah bersiap. Lily tahu betul ritme pelayan di rumah ini. Bagaimana ini? Lily ketakutan sendiri. Lily mencoba bergerak, tapi tangannya terasa berat. Ternyata Axel memeluk lengan Lily. Wajah lelaki itu sangat tampan, bahkan ketika tidur seperti ini. Lily melepaskan tangan Axel perlahan, agar lelaki itu tidak terbangun. Tubuhnya tidak berbusana sama sekali. Wajah Lily makin memerah, secepat kilat memakai baju dan pergi dari kamar itu. Meski berat, bayang kejadian tadi malam sulit sekali dilupakan. Mungkin Axel akan melupakannya. Yah, dia kan sudah punya istri yang cantiknya melebihi Lily. “Selamat tinggal. Tuan Axel,” ucap Lily lirih. Wanita itu turun ke lantai bawah dan menuju pantri. Izin ke kepala pelayan, kalau hari ini dia sakit. ***“Selamat pagi, Tuan!” Sapaan itu membangunkan Axel, selain sinar matahari yang menyilaukan matanya. Tangannya meraba samping kirinya. Walau mabuk, Axel rasanya bisa ingat tadi malam siapa yang mengantarnya ke kamar. “Mana Lily?” tanyanya menatap ke arah pelayan yang membawakan kopi. Kebetulan sekali Kate—sahabat Lily yang mengantar kopi ke kamar Axel. “Lily?” Axel baru tersadar setelah beberapa detik melamun melihat Kate. “Maksud saya, Bree,” ralatnya, sambil mengucek mata. Dia baru ingat pesta kecil-kecilan yang dia buat besama Alden Triton dan pegawai yang lain.“Nyonya Bree belum terlihat pagi ini, Tuan,” sahut Kate. “Baiklah, cepat keluar, saya mau mandi dulu. Suruh pelayan yang lain siapkan sarapan di bawah,” perintahnya. “Baik, Tuan.” Axel menatap Kate sampai gadis itu menghilang dari pandangannya. Lelaki itu lantas menghela napas, melihat badannya sendiri yang tertutup selimut. “Ah ... dosa apa aku tadi malam?” tanyanya sendiri. Dan ponselnya yang ada di nakas berdering. Nama yang muncul di layarnya adalah, Bree!Bisa gawat kalau Bree tahu sebelum waktunya. Axel berdeham, dan bangun menegakkan badan. “Hallo?” “Axe ...” panggil manja Bree. “Dari mana saja kau tadi malam?” “Kau sendiri dari mana?” tanya bali Axel. “Kau tahu aku mabuk sampai hilang kesadaran, tapi kau tidak ada?” “Apa? Lalu? Apa kau ...” Bree kali ini benar-benar khawatir, pasalnya, Axel kalau mabuk selalu ingin bercinta habis-habisan! Wanita itu menarik napas mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan kepada suaminya. “Bartender yang membawaku ke kamar. Apa aku harus bercinta dengannya?” omel Axel kesal. Kesalahan apa yang dia buat tadi malam, tidak lain itu juga kesalahan Bree. Dan baru kali ini Axel bisa semarah ini kepada istrinya. Bree makin serba salah. “Eng ... Aku hanya ... dengan Wanda, kau tahu? Kita hanya ke ...” “Dengan Wanda? Apa yang kau lakukan, Bree?” nada suara Axel ditekan. Saking kesalnya.“Apa yang kau lakukan, Bree?” nada suara Axel ditekan. Giginya gemeletak karena marah.Andai saja malam tadi Bree tidak pergi, pasti tidak ada kejadian dirinya berakhir dengan Lily.“Kami hanya ke klub langgananku. Kau tahu, kan di mana klub itu?”Bree dan Wanda memang ke klub langganan.***Beberapa jam yang lalu ...Bree mendadani Wanda, memakaikannya baju minim dan merias wajahnya dengan cantik. Semua Bree lakukan setelah makan malam.“Rambutmu terlalu indah, Wanda,” ucap Bree sambil mengangkat rambut blondie-nya. Hingga lehernya yang jenjang dan mulus.Wanda merasa senang ada yang peduli dan memerhatikannya.Memulas wajahnya yang pucat menjadi lebih bersinar. Meski pulasannya tipis, tapi menonjolkan wajah Wanda yang memang cantik.“Kau terlihat cantik,” ujar Bree sambil melihat pantulan wajah Wanda di cermin.“Ya
“Aku hanya mengajak Wanda ke kelab langgananku. Itu saja, karena kita mabuk, aku tidak ingin kembali ke rumah mamamu, bisa-bisa dia marah besar. Jadi ... aku dan Wanda kembali ke apartemen.”Kemarahan Axel belum reda juga, lelaki itu juga heran, mengapa penjelasan Bree serasa makin membakar dadanya.“Honey, apa kau sudah siap untuk pulang? Aku masih di jalan, kalau kau mau, aku akan jemput kau pulang sekarang,” jelas Bree.Kali ini Axel yang panik, dirinya masih polos, belum mandi, rasanya bau percintaan. Namun, Axel tidak mau menghilangkan bau itu. Axel suka.“Kurasa aku akan menginap semalam lagi di sini. Akan ada kontrak yang harus kuurus, kau ingat, kan?”Bree menghela napas, kalau ingat itu Bree kesal sekali!“Aku tidak mau menginap di sana bersamamu,” ujar Bree merajuk. Dia menepikan mobilnya. “Kau ingat, kan betapa aku membenci usul ...”&ld
Kate menatap Axel bertanya-tanya. “Apa—apa ...” “Jangan banyak bertanya, turuti saja perintahku. Atau kau dipecat!” “B—baik, Tuan,” jawab Kate sambil menundukkan badan. ***Membuang rasa bersalah, Lily pergi tergesa kembali ke apartemennya. Baru kali ini Lily merasakan kalau dia tidak menyadari apa yang dia lakukan. Wanita itu berlari ke apartemennya, dia berharap dengan berlari, bayangan kejadian tadi malam akan sirna dari ingatannya. Namun, semakin dia ingin melupakan, bayangan itu makin jelas berkelebat. Desahan Axel, sentuhannya. Atau erangan lelaki itu yang terasa syahdu. “Ah!” Lily memaki-maki dalam hati. Percuma saja berlari, hanya membuat semua badannya makin sakit, dan kakinya pegal. Lagi pula, belum tentu Axel akan mengingat kejadian itu. Dan Lily hanya seorang pelayan di sana. Jadi mudah saja bagi Axel kalau ingin menyingkirkan Lily. Lily jadi berang sendiri. Dia merasa kalau dirinya kotor. Sambil menggosok badan di bawah pancuran air, Lily ingat wajah Mrs. Margot yan
Lily pergi ke kamar, berbeda dengan Kate—yang ketakutan. Demi membela Lily dan melindunginya, Kate membuka dompetnya. “Mungkin ini bisa mencegah si penagih utang itu. “Sial sekali hanya ada lima dolar? Kenapa aku semiskin ini?” keluh Kate, tidak tega kepada Lily. “Bagaimana ini?”“BUKA PINTUNYA!” pekik si penagih utang itu lagi. Kate makin gemetar, lagi pula, telinga Kate pengang karena teriakan di depan pintu. Jadi, gadis itu cepat-cepat membuka pintu apartemen. Begitu melihat wajah sangar si penagih utang, Kate berlutut, memohon agar sahabatnya nanti diampuni.“Ampun! Tolonglah kami, kami belum ada uang!” mohon Kate, tangannya menangkup di depan wajahnya. Berlutut dan memejam, kalau saja si penagih itu akan memukulnya hari ini, Kate rela. Dari pada Lily yang sedang sakit dipukul. “Heh, Nona manis, untuk apa kau berlutut begitu, hah? Memangnya kami akan membunuhmu?” tanya salah satu penagih lalu tertawa terbahak-bahak. Seolah menghina Kate. “Sudah! Jangan menghina temanku sepert
Mata Lily membesar, melihat tangan Axel yang melingkar di pergelangan tangannya. “Tu—tuan?” Lily ketakutan. Bukan ketakutan lebih tepatnya bingung, kaget. Dan apa maksud Axel menahannya di kamar ini. “Kamar ini sedang dibersihkan.” Axel mendengkus, lalu memutar bola mata. Tanpa Lily tahu apa maksud Axel menahannya di kamar ini. Dan tangan Axel yang bebas menutup pintu kamar. Sekarang, dua tangannya mengurung tubuh Lily yang bersandar di tembok. Napas Lily makin tidak beraturan, sebisa mungkin menghindari tatapan Axel. Menunduk dan menggeleng. “Tolong lepaskan saya, Tuan.” Axel menghela napas, sulit sekali mengendalikan Lily ternyata. Axel hanya berpikir, akan semudah kelihatannya. “Saya rasa apa yang terjadi kemarin malam ...” “Sstt ...” Axel menempel telunjuk di bibir Lily yang ranum. “Jangan berkata-kata. Saya coba jelaskan tentang tadi malam.” Lilu mengangguk ketakutan. Namun disaat yang bersamaan, Lily juga bersiap kalau Axel mau mengulangi kejadian tadi malam.“Kejadian k
“Ya, Tuan Axel meminta dibuatkan sup untuk Lily setelah mereka mabuk bersama,” para pelayan berkata saling bebisik tapi telinga Bree bisa mendengar dengan jelas. Bree kaget, dadanya berdetak tak menentu. “Apa?” desisnya. Axel, suami yang selama ini dia cintai, ternyata ... ternyata ... Napas Bree terengah-engah pikirannya kacau seketika. Sebagai istri yang mendampingi Axel selama lima tahun, Bree tahu sekali perangai Axel. Dan selama ini ada sisi buruk dari Axel yang tidak pernah Bree tahu. Dasar lelaki hidung belang, di mana pun sama saja! pekik Bree dalam hati. Tangannya mengepal di samping badan, Dari tempat Bree berdiri, terlihat Axel yang saling tertawa bersama Margot. Sialan! Umpat Bree. Bree tidak ingin mendengar lagi semua perkataan para pelayan itu. Yang jelas dia tahu sekarang kalau suaminya juga lelaki brengsek.Dan satu hal yang jelas, Bree tidak bisa marah kepada Axel. Jadi yang dia lakukan adalah langsung kembali ke kamar, tanpa pamit. Dia hanya bilang kesalah satu
Menyebalkan!Bree mengertakkan gigi-giginya, meremat serbet yang ada di pangkuan. Apakah Axel harus selalu mendesaknya? “Ya, hanya saja aku takut nanti akan merepotkan keluargamu kalau ibuku datang.” “Maksud mamaku, mungkin mamamu nanti bisa tinggal bersama kita selama Lily mengandung.” Lily lagi, Lily lagi, gerutu Bree dalam hati. Apalah tidak ada bahan obrolan lain selain Lily? Lagian, Lily rela mengandung karena dibayar, coba saja, hamil secara suka rela, mana ada wanita yang mau? omelan Bree berlanjut. “Bukannya Lily akan tinggal di apartemen yang sama dengan kita?” “Ya, benar. Aku hanya takut kau nanti kesepian kalau aku ...” Axel tidak mau menyakiti perasaan Bree. “Kau tahu, kan?” “Axel, Axel ... kau kan sudah dewasa, harusnya kau bisa membagi waktumu dengan wanita itu.” Ah ... Bree tidak sanggup mendengar atau mengucap namanya. “Aku tidak perlu siapa pun untuk menemaniku di apartemen. Aku baik-baik saja.” Bree berkata dengan tenang. “Kau yakin?” Bree makin kesal. Dia
Lily tidak mampu menjawab pertanyaan Kate yang penuh selidik. Dia langsung berlari ke kamar mandi. Tidak sempat menjawab pertanyaan Kate. Kate khawatir, dia mengikuti Lily di belakang. Sampai Lily di kamar mandi, Kate menepuk-nepuk punggung sahabatnya, sementara Lily terus mengeluarkan isi perutnya. Setelah itu, Lily lemas, Kate memapahnya agar bisa ke kamar untuk istirahat. “Minum dulu,” Kate menyodorkan segelas air dingin. Air dingin ternyata menyegarkan untuk Lily, namun tubuhnya seperti kehabisan tenaga.“Apa kau baik-baik saja? Mau aku ambilkan obat lambung?”Lily mengangguk. Lily menyembunyikan proses IVF ini dari Kate. Proses memasukkan bayi ke dalam rahim Lily sudah dilakukan, tapi, Lily belum memeriksa apakah ini tanda kehamilan atau bukan.Obat lambung? Apakah boleh? Saat ini mual dan rasa pahit masih terasa di lidah Lily. Harus bertanya kepada siapa? Kate tergopoh-gopoh kembali ke kamar. Panik dan khawatir bercampur jadi satu. “Ini, minumlah. Apa perlu kita ke dokter?
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a