Paginya, Lily sif pukul delapan. Langkahnya agak berat pagi ini, dia mengirim pesan ke Meredith, kalau akan menerima tawaran Axel.
“Nona Meredith, bisa kita bicara?” tulis Lily di pesannya. “Kau bisa datang menemuiku nanti di rumah Mrs. Margot.” Balas Meredith melalui pesan di ponsel. Lily berdoa dalam hati, semoga keputusannya kali ini tidak salah. Lily datang setengah jam sebelum sifnya. Mana sangka Meredith juga datang diwaktu yang sama. Mereka bertemu di depan gerbang rumah Mrs. Margot. “Nona Meredith, bisa kita bicara sekarang?” tanya Lily ragu. Meredith tahu hal apa yang akan dibicarakan Lily. “Baiklah. Ikut aku,” ujar Meredith suaranya selalu datar, dan terdengar tegas. Meredith menuju ke ruangan kerja Mrs. Margot, tempat biasa diselenggarakan rapat dengan para karyawannya kalau di rumah. “Duduk,” suruh Meredith. Lily menuruti perkataan Meredith. Semua ini demi utang. Dan Lily ingin hidupnya tenang tanpa ada para penagih yang kasar membuat hidupnya selalu penuh rasa takut.“Apa yang bisa aku bantu, Lily?” tanya Meredith, sambil memberikan secangkir teh hangat. “Aku akan—menerima tawaran Axel kemarin. Dia bilang bisa bicara denganmu soal itu.” Meredith tersenyum lebar. “Bagus kalau begitu. Aku akan memberitahu Mrs. Margot dan Axel.” Lily pasrah, mengangguk. “Apakah—nanti aku akan tinggal di sini? Atau tetap di apartemenku?” Meredith lagi-lagi tersenyum, Lily bukan gadis yang bodoh. Tapi dia terlalu naif dan juga lugu. “Mrs. Margot akan menyediakan satu griya tawang untukmu. Tadi malam, Axel bilang, apartemenmu sangat kumuh, tidak mungkinMrs. Margo membiarkan calon cucunya tumbuh di lingkungan seperti itu.” Penjelasan itu membuat Lily berdecak dalam hati. Apakah Mrs. Margot meremehkan dirinya? “Maaf, Lily, Mrs. Margot hanya ingin semuanya terjamin. Termasuk tempat tinggal, kesehatan mental dan fisik selama kamu mengandung cucunya. Tidak boleh ada yang kurang. Nanti di apartemen itu akan ada asisten yang membantumu. Semua yang kau lakukan untuk Axel, akan kami jamin kerahasiaannya. Jadi, pelayan yang ada di sini tidak akan ada yang tahu kalau kau mengandung anak Axel dan Bree, termasuk ... temanmu yang duluan bekerja di sini. Siapa namannya ...” “Kate,” sambung Lily cepat. “Ya, kami akan menyiapkan cerita dan skenario memyembunyikanmu.” “Menyembunyikan?” Meredith tertawa kecil. “Maksudku ... kau tahu, kan?” Lily mengangguk, “Ya, semua ini adalah rahasia, kan?” “Ya, bisa gawat jika ada seseorang yang tahu. Apalagi kompetitor perusahaan. Ini bisa dijadikan titik kelemahan.” Lily menenggak tehnya, rasanya sulit dipercaya. Padahal, kalau Lily perhatikan, semua orang yang mau hamil, tinggal hamil oleh suami. Atau pacarnya saja. Tidak pakai perjanjian seperti ini. “Nona Bree nantinya akan berpura-pura hamil, sekadar untuk status, jadi tidak ada kecurigaan ketika kamu melahirkan anak-anak Axel.” “Anak-anak?” ulang Lily lugu, “Apakah itu berarti lebih dari satu?” “Kalau bayi tabung memungkinkan kamu bisa melahirkan lebih dari satu anak. Tapi, kalau sekarang masih satu. Berarti kamu harus melahirkan satu atau dua lagi untuk Axel.” “Apa?” Lily hanya berpikir, dirinya akan terikat. “Apa kau pikir aku ini binatang, bisa dengan enaknya melahirkan anak?” Meredith sekali lagi tersenyum. “Tidak. Kami sangat menghargai dirimu, Lily. Kalau kamu bersedia, setiap anak akan kami bayar sesuai dengan permintaanmu. Tentu saja, untuk anak pertama sudah ditentukan bayaranmu dua juta dollar.” Lily terdiam pandangan matanya nanar seperti tidak mempercayai Meredith. “Percayalah, Lily. Saya sudah cukup lama bekerja dengan Mrs. Margot. Jadi saya cukup tahu semuanya.” “Bagaimana dengan bayarannya? Saya perlu melunasi utangku juga. Kalau menunggu sembilan bulan lagi, aku tidak bisa,” tantang Lily. “Soal pembayaran, kami bisa membayarmu lima puluh persen ketika kau menandatangani kontrak. Setengahnya lagi setelah kau melahirkan.” Lily mulai memercayai Meredith, meski masih ada rasa gugup dalam hatinya. Hatinya juga masih berdebar dengan kencang. “Baik, kalau begitu. Aku menerima semua persyaratan itu.” “Baik. Aku akan memberitahu Axel dan Mrs. Margot.” ***Mrs. Margot menyambut gembira persetujuan Lily. Wajahnya berseri, harapannya semua akan terkabul. “Lily tidak sebodoh yang aku kira,” gumamnya. “Kau bisa siapkan kontraknya, dan segala sesuatunya agar membuat Lily nyaman.” “Sudah, saya sudah menjadwalkan pemeriksaan di klinik kesuburan tempat proses IVF nanti dilaksanakan.” “Kerja bagus, Meredith. Dan pekerjaanmu selalu gemilang.” “Terima kasih pujiannya, Nyonya.” “Kalau begitu, adakan pesta ulang tahun pernikahan untuk Axel. Kecil-kecilan saja, kau tentu sudah tahu, Mer. Undang Keluarga Triton, aku ingin berkumpul dengan teman almarhum suamiku.” “Baik, Bu,” jawab si asisten andalan itu. “Jangan lupa juga, kabar ini kau sampaikan ke Axel.” “Baik,” jawab Meredith sambil menunduk. “Kalau begitu, aku ingin ke kantor dulu. Tolong siapkan kendaraan. Dan, kamu atur, saya ingin mentraktir karyawan yang ada di parbik makan siang. Ini semua adalah anugrah,” kata Mrs. Margot dengan riang sambil berjalan keluar dari rumah mewahnya. ***Sementara, di kediaman Diego. Bree Baru saja akan menghubungi sekretaris Margot, tapi ponselnya tetiba berdering, nama yang tampil di layar adalah, Axel. Wajahnya menjadi tegang, jangan-jangan Axel sudah tahu segala rencananya. Diego menatap Bree, “Siapa yang menelepon?” wajahnya juga ikutan tegang. “Ini Axel,” jawab Bree. Langsung menggeser tombol untuk menerima telepon dari Axel. Wanita itu memberi kode agar Diego tetap diam. “Jawab saja dengan tenang tidak perlu tergesa-gesa,” ujar Diego yang seolah tahu dari mana sumber ketegangan di wajah Bree. Wanita itu mengangguk, lalu menarik napas, suaranya dia buat se-netral mungkin. “Hallo?” sapa Bree. “Hai, Sayang, kau di mana?” tanya Axel, suaranya serak seperti baru bangun tidur. “Sudah selesai dengan sarapan?” tanya suaminya mencerocos. “Hampir saja, ada apa memangnya?” tanya Bree dengan dahi yang mengerut. “Aku hampir lupa. Nanti malam mama akan mengundang beberapa orang untuk makan malam. Dalam rangka ulang tahun pernikahan kita,” ucapan Axel membuat Bree tersenyum seperti menang. Diego yang melihat senyuman itu penasaran. Tidak sabar ingin mendengar kabar yang disampaikan oleh Axel. “Berapa banyak orang yang mamamu undang?” tanya Bree lagi.“Entah, ini hanya makan malam saja, rasanya tidak banyak orang yang datang. Bersiap, lah,” kata Axel lagi. Kalimat terakhir Axel membuat Bree tersenyum dengan lebarnya. Arti dari bersiap itu, adalah Bree bisa melakukan apa saja, termasuk belanja baju, sepatu dan yang lain. “Baiklah. Kau akan menjemputku nanti?” “Ya, jam enam sore sudah siap, aku akan jemput kau di rumah,” papar Axel lagi. “Oke, sampai nanti jam enam,” Bree menutup telepon. Lalu menceritakan rencananya kepada Diego dengan antusias“Jadi, aku tidak perlu repot-repot menelepon sekretarisnya yang galak itu.”
Diego lalu tersenyum tak kalah lebarnya. “Bagus kalau begitu.”Hai, hai, readers! Salam kenal semuanya! Ini karya terbaruku, please komennya, terus jangan lupa add di library supaya ada notifikasi kalo aku update. Thank you!
“Selamat datang, Tuan Axel,” sambut salah satu pelayan yang ada di rumah Mrs. Margot. Pelayan itu membungkuk tidak menatap Axel dan istrinya. Axel pantang sekali menatap pelayan, Bree datang juga bersamanya. Wanita itu hendak melepas mantelnya yang terbuat dari bulu. Pelayan yang ada di sekitarnya sigap membantu Bree, Lily yang pertama kali maju mengambil mantelnya untuk disimpan. “Saya bantu, Nyonya,” katanya dengan sopan. Bree langsung melepas mantel bulunya itu. Namun, Lily tidak sengaja terpeleset hingga mengenai nampan yang ada anggurnya. Mantel yang dia pegang, hampir terkena anggur yang tumpah. Untung saja Lily bergerak dengan cepat hingga bisa menghindari anggur itu, mantel bulu Bree terlindungi. Mata Bree melotot, “Hei, hati-hati kalau bergerak. Gaji kamu seumur hidup tidak akan bisa mengganti mantel itu, tahu? Kamu pelayan baru, ya, di sini?” omelnya. Lily gelagapan, jantungnya berdetak dengan keras, namun dia mengangguk pelan. Kena omelan begini, membuat Lily takut dip
Benar apa yang dikatakan Lily, Mrs. Margot memberi tanda ke arah Meredith untuk membawa pergi cangkir ini. Dan sekali lagi, Bree berang merasa dipermalukan, apalagi sudah ada tamu-tamu yang lain. Mereka adalah kolega mamanya, ada juga karyawan di perusahaan kebun anggur Mrs. Margot. Tentu saja, Bree memandang rendah mereka. Mungkin yang kastanya sama hanya Keluarga Triton saja. Saat sedang makan malam, Bree juga menjatuhnya piring tidak sengaja. Axel sebagai suami ingin menenangkan istrinya, namun tatapan Mrs. Margot yang seperti menyindir, membuat Bree tidak ingin hidup. “Kamu tidak apa-apa, kan, Sayang?” tanya Axel dengan lembut. Bree mengangguk, “Ya,tentu saja. Rumah ini sudah ada yang melayani, harusnya tidak perlu khawatir, kan?” ucap wanita itu sarkas. Beberapa kolega Mrs. Margot yang datang adalah staf-staf ahli di bidang pemasaran, keuangan, ada sekitar dua puluh orang yang hadir. Mrs. Margot membuka pidato setelah makanan pembuka. “Jadi, malam ini, kita merayakan li
“Salah sangka?” ulang Axel. “Kamu sadar, Lily! Sadar sebagai ibu pengganti bagi anakku, itu sama saja meneken kontrak kalau kamu milikku! Meski hanya setahun. Aku membayarmu untuk itu.” Lily diam, jantungnya saat ini akan meledak. Mau tidak mau, Lily menuruti Axel. Lily mulai menarik tangan Axel agar lelaki itu bisa duduk dengan tenang. Tetapi gagal, Axel tidak bisa menegakkan badan. “Kau harus lebih berusaha, Lily,” perkataan Axel yang begini mirip ledekan. Wajahnya juga menyebalkan saat ini. Kalau bukan majikan, mungkin Lily sudah menamparnya. Lily kesal, meski Axel tampan, badannya ideal dan sebentar lagi Lily dan Axel akan terikat oleh sebuah perjanjian, tetap saja, Lily harus menjaga jarak. Dia tidak boleh aji mumpung. Lily berusaha sekali memasukkan kepala Axel ke kaus. Mengangkat kepalanya sulit sekali. Badannya berat. Napas Lily yang terengah terdengar oleh Axel, membuat lelaki itu tertawa. Pikirannya masih menerawang, malam ini harusnya dia merayakan hari pernikahannya
“Apa yang kau lakukan, Bree?” nada suara Axel ditekan. Giginya gemeletak karena marah.Andai saja malam tadi Bree tidak pergi, pasti tidak ada kejadian dirinya berakhir dengan Lily.“Kami hanya ke klub langgananku. Kau tahu, kan di mana klub itu?”Bree dan Wanda memang ke klub langganan.***Beberapa jam yang lalu ...Bree mendadani Wanda, memakaikannya baju minim dan merias wajahnya dengan cantik. Semua Bree lakukan setelah makan malam.“Rambutmu terlalu indah, Wanda,” ucap Bree sambil mengangkat rambut blondie-nya. Hingga lehernya yang jenjang dan mulus.Wanda merasa senang ada yang peduli dan memerhatikannya.Memulas wajahnya yang pucat menjadi lebih bersinar. Meski pulasannya tipis, tapi menonjolkan wajah Wanda yang memang cantik.“Kau terlihat cantik,” ujar Bree sambil melihat pantulan wajah Wanda di cermin.“Ya
“Aku hanya mengajak Wanda ke kelab langgananku. Itu saja, karena kita mabuk, aku tidak ingin kembali ke rumah mamamu, bisa-bisa dia marah besar. Jadi ... aku dan Wanda kembali ke apartemen.”Kemarahan Axel belum reda juga, lelaki itu juga heran, mengapa penjelasan Bree serasa makin membakar dadanya.“Honey, apa kau sudah siap untuk pulang? Aku masih di jalan, kalau kau mau, aku akan jemput kau pulang sekarang,” jelas Bree.Kali ini Axel yang panik, dirinya masih polos, belum mandi, rasanya bau percintaan. Namun, Axel tidak mau menghilangkan bau itu. Axel suka.“Kurasa aku akan menginap semalam lagi di sini. Akan ada kontrak yang harus kuurus, kau ingat, kan?”Bree menghela napas, kalau ingat itu Bree kesal sekali!“Aku tidak mau menginap di sana bersamamu,” ujar Bree merajuk. Dia menepikan mobilnya. “Kau ingat, kan betapa aku membenci usul ...”&ld
Kate menatap Axel bertanya-tanya. “Apa—apa ...” “Jangan banyak bertanya, turuti saja perintahku. Atau kau dipecat!” “B—baik, Tuan,” jawab Kate sambil menundukkan badan. ***Membuang rasa bersalah, Lily pergi tergesa kembali ke apartemennya. Baru kali ini Lily merasakan kalau dia tidak menyadari apa yang dia lakukan. Wanita itu berlari ke apartemennya, dia berharap dengan berlari, bayangan kejadian tadi malam akan sirna dari ingatannya. Namun, semakin dia ingin melupakan, bayangan itu makin jelas berkelebat. Desahan Axel, sentuhannya. Atau erangan lelaki itu yang terasa syahdu. “Ah!” Lily memaki-maki dalam hati. Percuma saja berlari, hanya membuat semua badannya makin sakit, dan kakinya pegal. Lagi pula, belum tentu Axel akan mengingat kejadian itu. Dan Lily hanya seorang pelayan di sana. Jadi mudah saja bagi Axel kalau ingin menyingkirkan Lily. Lily jadi berang sendiri. Dia merasa kalau dirinya kotor. Sambil menggosok badan di bawah pancuran air, Lily ingat wajah Mrs. Margot yan
Lily pergi ke kamar, berbeda dengan Kate—yang ketakutan. Demi membela Lily dan melindunginya, Kate membuka dompetnya. “Mungkin ini bisa mencegah si penagih utang itu. “Sial sekali hanya ada lima dolar? Kenapa aku semiskin ini?” keluh Kate, tidak tega kepada Lily. “Bagaimana ini?”“BUKA PINTUNYA!” pekik si penagih utang itu lagi. Kate makin gemetar, lagi pula, telinga Kate pengang karena teriakan di depan pintu. Jadi, gadis itu cepat-cepat membuka pintu apartemen. Begitu melihat wajah sangar si penagih utang, Kate berlutut, memohon agar sahabatnya nanti diampuni.“Ampun! Tolonglah kami, kami belum ada uang!” mohon Kate, tangannya menangkup di depan wajahnya. Berlutut dan memejam, kalau saja si penagih itu akan memukulnya hari ini, Kate rela. Dari pada Lily yang sedang sakit dipukul. “Heh, Nona manis, untuk apa kau berlutut begitu, hah? Memangnya kami akan membunuhmu?” tanya salah satu penagih lalu tertawa terbahak-bahak. Seolah menghina Kate. “Sudah! Jangan menghina temanku sepert
Mata Lily membesar, melihat tangan Axel yang melingkar di pergelangan tangannya. “Tu—tuan?” Lily ketakutan. Bukan ketakutan lebih tepatnya bingung, kaget. Dan apa maksud Axel menahannya di kamar ini. “Kamar ini sedang dibersihkan.” Axel mendengkus, lalu memutar bola mata. Tanpa Lily tahu apa maksud Axel menahannya di kamar ini. Dan tangan Axel yang bebas menutup pintu kamar. Sekarang, dua tangannya mengurung tubuh Lily yang bersandar di tembok. Napas Lily makin tidak beraturan, sebisa mungkin menghindari tatapan Axel. Menunduk dan menggeleng. “Tolong lepaskan saya, Tuan.” Axel menghela napas, sulit sekali mengendalikan Lily ternyata. Axel hanya berpikir, akan semudah kelihatannya. “Saya rasa apa yang terjadi kemarin malam ...” “Sstt ...” Axel menempel telunjuk di bibir Lily yang ranum. “Jangan berkata-kata. Saya coba jelaskan tentang tadi malam.” Lilu mengangguk ketakutan. Namun disaat yang bersamaan, Lily juga bersiap kalau Axel mau mengulangi kejadian tadi malam.“Kejadian k
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a