Axel bangkit dari duduknya, bertolak pinggang kebingungan tidak menatap Bree. Setelah dia merasa cukup tenang, pandangannya kembali ke arah Bree.
“Mama meminta seseorang untuk menjadi ibu pengganti. Aku tidak akan sanggup kalau menikahi perempuan lain. Mama menyarankan teknologi bayi tabung. Aku tidak akan menyentuhnya.”
“Tapi, Axe ...” Bree menghampiri Axel, berharap dengan menggodanya akan membuat mama Axel mengubah keputusannya.
Dan Axel tampaknya sudah tahu gerak gerik Bree. Dia menolak godaan Bree. Membuat wanita itu membeliak. Begitu dahsyat pengaruh mamanya terhadap Axel. Dan Bree makin murka.
“Bree, kau tahu, kan mamaku seperti apa?” Axel menatap Bree dengan raut wajah yang tegang.
Bree ikutan terdiam, lalu menebak. “Kita tidak mungkin menolak semua perintahnya?”
Axel mengangguk dengan mantap. “Atau kita semua akan kehilangan semua kemewahan ini.”
Bree makin tidak bisa berkata-kata, semua yang tadi dia alami, kebahagiaannya menjadi istri Axel selama lima tahun sirna dalam hitungan menit. Sekarang yang ada dalam hati Bree adalah kemarahan. Serta makian untuk mama Axel. Bisa-bisanya wanita tua itu mengendalikan keidupan rumah tangganya.
“Harusnya ini menjadi malam kita. Dan harusnya tidak seorang pun bisa mengatur rumah tangga kita!” seru Bree. “Lagi pula, bukankah kau punya tabungan pribadi?”
Axel menghela napas, seperti mengatakan tidak ada harapan. “Kalau kau mati-matian menilak, maka yang akan kita bisa bawa hanyalah lima ratus dollar yang ada di dompetku sekarang.”
Sekali lagi Bree memaki dalam hati. Nenek tua itu sudah sepatutnya mati! pekik Bree dalam hati. Coba saja kalau ide ini bisa terealisasi.
“Kalau pun mamaku mati tiba-tiba, akan ada penangguhan selama dua tahun. Kalau memang aku punya anak, semua harta kekayaannya akan jatuh ke tanganku termasuk kebun anggur dan perusahaan distributornya. Kalau tidak ada anak, semuanya akan jatuh ke yayasan sosial. Termasuk uang dari rekening pribadiku.”
Kepala Bree tetiba sakit tak karuan. “Mengapa baru kau bilang sekarang?” Bree lalu menyadari kalau mengatakan hal itu seperti dia tidak mencintai Axel. “Maksudku ...”
“Ya, aku tahu, semua ini membuatmu bingung.”
Bree duduk lemas di tepian ranjang, mengangguk pelan seolah sedang merajuk.
“Aku pun bimgung. Tapi, mau bagaimana lagi? Kita tidak bisa melawan kehendak mama.” Axel menggenggam tangan Bree. “Kita bisa melewati ini semua, Bree, percayalah!” Axel berkata dengan lembut seperti biasa. “Dan, mama juga ingin semua prosesnya dimulai minggu ini.”
Bree mengangguk pelan sekali lagi, yang bisa dia lakukan memang hanya pasrah.
Kamar itu sesaat hening, tidak ada yang bersuara.
“Siapa wanita yang mamamu pilih untuk jadi ibu pengganti, Axe?”
Pikiran Axel melayang ke wajah Lily sekali lagi. Beberapa detik lelaki itu melamun. Dia bukan gadis seperti Bree, yang banyak diincar lelaki. Tentu saja, mana suka mamanya dengan perempuan macam itu.
“Axe?” panggil Bree, membuat Axel tersentak.
“Ya?” beberapa detik Axel membeku menatap Bree. “Astaga. Kau bertanya siapa dia?” ulang Axel sekali lagi. “Dia wanita pilihan mama. Kau tahu, kan? Mamaku adalah orang yang kolot. Jadi dia lebih menyukai wanita yang sederhana,” papar Axel dengan antusias.
Axel menutup mulutnya, matanya melebar, bagaimana mungkin dia menjelaskan wanita lain sebegini antusiasnya. Mustahil!
Bree mulai curiga, jarak usianya dengan Axel adalah lima tahun. Rasanya kalau Axel sekarang 35 tahun, dan menemukan wanita yang jauh lebih muda dari pada Bree, maka Bree punya saingan berat.
“Apa dia lebih cantik dari pada aku?” desak Bree, tetapi dia tidak bisa bersuara tinggi. Dia tidak ingin Axel balik membentaknya.
“Tentu saja lebih cantik kau. Dia hanya gadis ... kolot yang kumuh dan juga culun.”
Dalam hati Bree sedikit ada tanya, mengapa Axel bisa menjelaskan dengan lugas soal wanita itu?
“Bagaimana mungkin, mamamu memilihkan gadis yang kotor untuk mengandung anak kita? Apa kau tidak takut nanti kelakuannya akan menurun kepada anak kita?”
“Maksudku, bukan dirinya yang kotor, tapi tempat tinggalnya.”
“Jadi kau tahu tempat tinggalnya?” sembur Bree menatap Axel dengan galak. Ada rasa cemburu dalam hatinya. Dia mendengus lalu memalingkan wajahnya dari Axel. Kesal.
Axel mengalihkan perhatian Bree dengan menangkup wajah wanita itu agar bisa saling bertatapan. “Aku tahu dari pelayan senior yang ada di sana.”
Bree lantas menghela napas lega.
“Aku mau ganti baju dulu, hari ini sangat melelahkan. Apalagi setelah bertemu dengan mama.” Dia beranjak dari tepian ranjang. Membuka lemari untuk mengambil baju ganti. Sembari menghela napas, ujung matanya mengawasi Bree yang masih duduk di tepian ranjang.
Bree masih menatap Axel curiga. Lelaki itu merasakan tatapan istrinya yang tajam. Jadi dia berbalik badan.
“Bree, kau bisa pegang semua kata-kataku.” Axel mendekati Bree, menggenggan kedua tangannya. “Aku akan selalu mencintaimu.”
Bree mengangguk, matanya berkaca-kaca.
“Kita pasti akan melewati ini, Bree,” kata Axel dengan lembut lalu memeluk istrinya yang sedang rapuh itu. “Kau percaya padaku, kan?” bisiknya.
“Ya. Aku juga mencintai kamu, Axe. Kamu cinta pertama dan terakhirku,” janji Bree tulus. “Aku hanya khawatir kalau kau akan berpaling dariku,” isak Bree manja.
Axel melepas pelukannya, membelai wajah istrinya yang terlihat cantik malam ini. “Terima kasih atas semuanya, Sayang. Dan kau tidak akan pernah kehilangan aku. Percayalah.”
Bree mengangguk, sambil mengusap air matanya. “Baiklah.”
“Terima kasih,” ucap Axel sekali lagi.
***
Bree banyak merenung, malam itu. Kalau Axel tertidur setelah bertengkar tadi, Bree malah tidak bisa tidur. Bagaimana kalau dia akan kehilangan semua kemewahan ini? Bisa-bisa hidup di jalanan.
Axel yang pasti akan berhubungan dengan ibu pengganti selama sembilan bulan—bukan waktu yang singkat. Apa pun bisa terjadi dalam kurun waktu itu. Dan Bree tidak mau kalau Axel jatuh cinta dengan perempuan itu. Terbersit dalam benaknya kalau Mrs. Margot harus mati, agar semua rencana ini gagal. Soal anak, bisa dipikirkan nanti, Bree bisa pura-pura hamil. Dan mengadopsi anak orang lain.
Pagi ini, untuk melancarkan semua rencananya, Bree bangun lebih pagi dari Axel.
“Sayang, aku akan bertemu dengan teman-teman. Sarapan bersama,” bisik Bree di telinga Axel yang masih pulas tertidur.
Axel menggumam, sambil mengangguk. Setelah itu, Bree meninggalkan Axel di kamar.
Bree memilih pergi sendirian, berjalan beberapa blok untuk sampai kesebuah apartemen.
Apartemen yang dia sewa tanpa sepengetahuan Axel, untuk tinggal bersama Diego, kekasih gelapnya.
Bree selalu menilai kalau Diego selalu punya cara keluar dari masalahnya.
Diego tidak seperti Axel yang hidup teratur. Diego hidup bergantung dari Bree, dan sekarang karena Bree menelepon sebelum berangkat, terpaksa sekali harus bangun pagi.
Diego langsung membukakan pintu begitu Bree membunyikan bel apartemennya.
“Hai ...” Diego hendak mencium pipi dan memeluk wanita itu seperti biasa. Namun, karena kekesalan Bree belum habis, wanita itu melewati Diego dan langsung masuk ke dalam apartemennya.
“Well ...” sebagai gundik yang dapat uang dari Bree, Diego hanya bisa mengedikkan bahu.
Bree membanting tas di sofa, dan duduk sambil mendengkus. Menatap tajam Diego.
Diego yang melihat wajah galak Bree, menyusul duduk di sampingnya. “Ada apa, Sayang? Bukankan seharunya tadi malam kamu bersenang-senang dengan Axel—sialan itu?”
“Bagaimana aku bisa bersenang-senang? Kalau Margot ingin Axel punya anak.”
“Jadi, mertuamu ingin kamu punya anak dengan Axel? Kenapa kamu tidak mau punya anak denganku?” Diego balik bertanya sambil bercanda, tangannya merangkul pundak Bree.
Bree memutar bola mata. “Tidak mungkin! Aku benci punya anak. Dan tidak ingin badanku rusak karena harus melahirkan, kau tahu kan?”
“Tentu saja aku tahu, Sayang. Mertuamu yang meminta saja, kamu tidak mau, apalagi aku.”
Bree mendesah, lelah. “Sudahlah, aku masih kesal! Aku ingin wanita tua itu mati. Kalau perlu sekarang,” ucap Bree kesal setengah mati. “Tapi, aku tidak ingin mengotori tanganku.”
“Apa?” Diego mendekatkan wajahnya ke arah Bree. “Aku tidak salah dengar, kan?”
Bree lalu menatap dalam mata Diego. Bree juga masih bimbang, omongan Axe yang menagatakan kalau hartanya akan ditangguhkan, menjadi beban pikirannya. Lalu, soal mengadopsi bayi, mungkin itu akan menjadi solusinya.
“Tapi harta kekayaan Axel akan jatuh ke yayasan sosial kalau Margot mati dan aku tidak punya anak!” desak Bree frustasi sendiri. “Aku akan menjadi miskin!”
Diego terdiam, menggigit bibir bawahnya, berpikir. “Itu hal yang mudah. Kau bisa pura-pura hamil, lalu nanti bisa mengadopsi anak.”
“Aku juga berpikiran begitu,” sahut Bree. “Tapi, tidak semudah itu meyingkirkan Margot, kau tahu? Dia selalu dikelilingi karyawannya, terutama asistennya.”
“Kalau begitu, aku akan mengurusnya,” sahut Diego dengan lantang. Lelaki itu lantas mengangkat telepon. “Aku akan menghubungi kawanku, dia bisa membuat racun yang bisa menyerap ke organ. Jadi, kalau Margot meninggal, tidak akan ada yang curiga, efek dari racun ini seperti serangan jantung belaka.”
Mata Bree membeliak. “Apa kau yakin?” tanya Bree setengah berteriak, rasanya sulit sekali dia percaya. Ternyata bisa dengan cepat menyingkirkan wanita tua itu. Bree menyesal sekarang, kenapa tidak dari dulu dia tanya Diego? Axel saja yang terlalu bodoh, mau saja menuruti perintah mamanya.
“Percaya saja kepadaku. Kita akan dengan cepat menyingkirkan dia, dan kita akan tetap bisa menikmati harta kekayaan suamimu!”
Diego lalu bercakap-cakap di telepon, dengan bahasa Spanyol. Bree mengerti sedikit, yang dia tahu obat itu akan diantar nanti sekitar pukul sebelas siang.
Diego tersenyum menatap Bree, begitu menutup telepon.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” tanya Bree terbata, ada buncahan bahagia dalam hatinya. Tidak bisa berdusta, bayangan bergelimangan harta sudah ada dalam benak Bree.
“Santai dulu, Manis. Nanti temanku akan mengantar racun itu ke sini. Kamu bisa mencampurnya dimakanan yang akan Margot makan.”
“Kalau begitu aku akan hubungi sekretarisnya, kalau aku akan datang untuk makan siang dengan Margot,” usul Bree dengan antusias.
“Gerak cepat, itu bagus, Sayang,” puji Diego dengan suara yang berat, lalu mengerling ke arah Bree.
Bree tersenyum dengan lebar, terbayang dia akan bisa menikmati semua harta milik suaminya segera setelah Mrs. Margot meninggal dunia. “Ya, sebentar lagi semua akan menjadi milik kita, Diego. Sebentar lagi!”
Paginya, Lily sif pukul delapan. Langkahnya agak berat pagi ini, dia mengirim pesan ke Meredith, kalau akan menerima tawaran Axel. “Nona Meredith, bisa kita bicara?” tulis Lily di pesannya. “Kau bisa datang menemuiku nanti di rumah Mrs. Margot.” Balas Meredith melalui pesan di ponsel. Lily berdoa dalam hati, semoga keputusannya kali ini tidak salah. Lily datang setengah jam sebelum sifnya. Mana sangka Meredith juga datang diwaktu yang sama. Mereka bertemu di depan gerbang rumah Mrs. Margot. “Nona Meredith, bisa kita bicara sekarang?” tanya Lily ragu. Meredith tahu hal apa yang akan dibicarakan Lily. “Baiklah. Ikut aku,” ujar Meredith suaranya selalu datar, dan terdengar tegas. Meredith menuju ke ruangan kerja Mrs. Margot, tempat biasa diselenggarakan rapat dengan para karyawannya kalau di rumah. “Duduk,” suruh Meredith. Lily menuruti perkataan Meredith. Semua ini demi utang. Dan Lily ingin hidupnya tenang tanpa ada para penagih yang kasar membuat hidupnya selalu penuh rasa taku
“Selamat datang, Tuan Axel,” sambut salah satu pelayan yang ada di rumah Mrs. Margot. Pelayan itu membungkuk tidak menatap Axel dan istrinya. Axel pantang sekali menatap pelayan, Bree datang juga bersamanya. Wanita itu hendak melepas mantelnya yang terbuat dari bulu. Pelayan yang ada di sekitarnya sigap membantu Bree, Lily yang pertama kali maju mengambil mantelnya untuk disimpan. “Saya bantu, Nyonya,” katanya dengan sopan. Bree langsung melepas mantel bulunya itu. Namun, Lily tidak sengaja terpeleset hingga mengenai nampan yang ada anggurnya. Mantel yang dia pegang, hampir terkena anggur yang tumpah. Untung saja Lily bergerak dengan cepat hingga bisa menghindari anggur itu, mantel bulu Bree terlindungi. Mata Bree melotot, “Hei, hati-hati kalau bergerak. Gaji kamu seumur hidup tidak akan bisa mengganti mantel itu, tahu? Kamu pelayan baru, ya, di sini?” omelnya. Lily gelagapan, jantungnya berdetak dengan keras, namun dia mengangguk pelan. Kena omelan begini, membuat Lily takut dip
Benar apa yang dikatakan Lily, Mrs. Margot memberi tanda ke arah Meredith untuk membawa pergi cangkir ini. Dan sekali lagi, Bree berang merasa dipermalukan, apalagi sudah ada tamu-tamu yang lain. Mereka adalah kolega mamanya, ada juga karyawan di perusahaan kebun anggur Mrs. Margot. Tentu saja, Bree memandang rendah mereka. Mungkin yang kastanya sama hanya Keluarga Triton saja. Saat sedang makan malam, Bree juga menjatuhnya piring tidak sengaja. Axel sebagai suami ingin menenangkan istrinya, namun tatapan Mrs. Margot yang seperti menyindir, membuat Bree tidak ingin hidup. “Kamu tidak apa-apa, kan, Sayang?” tanya Axel dengan lembut. Bree mengangguk, “Ya,tentu saja. Rumah ini sudah ada yang melayani, harusnya tidak perlu khawatir, kan?” ucap wanita itu sarkas. Beberapa kolega Mrs. Margot yang datang adalah staf-staf ahli di bidang pemasaran, keuangan, ada sekitar dua puluh orang yang hadir. Mrs. Margot membuka pidato setelah makanan pembuka. “Jadi, malam ini, kita merayakan li
“Salah sangka?” ulang Axel. “Kamu sadar, Lily! Sadar sebagai ibu pengganti bagi anakku, itu sama saja meneken kontrak kalau kamu milikku! Meski hanya setahun. Aku membayarmu untuk itu.” Lily diam, jantungnya saat ini akan meledak. Mau tidak mau, Lily menuruti Axel. Lily mulai menarik tangan Axel agar lelaki itu bisa duduk dengan tenang. Tetapi gagal, Axel tidak bisa menegakkan badan. “Kau harus lebih berusaha, Lily,” perkataan Axel yang begini mirip ledekan. Wajahnya juga menyebalkan saat ini. Kalau bukan majikan, mungkin Lily sudah menamparnya. Lily kesal, meski Axel tampan, badannya ideal dan sebentar lagi Lily dan Axel akan terikat oleh sebuah perjanjian, tetap saja, Lily harus menjaga jarak. Dia tidak boleh aji mumpung. Lily berusaha sekali memasukkan kepala Axel ke kaus. Mengangkat kepalanya sulit sekali. Badannya berat. Napas Lily yang terengah terdengar oleh Axel, membuat lelaki itu tertawa. Pikirannya masih menerawang, malam ini harusnya dia merayakan hari pernikahannya
“Apa yang kau lakukan, Bree?” nada suara Axel ditekan. Giginya gemeletak karena marah.Andai saja malam tadi Bree tidak pergi, pasti tidak ada kejadian dirinya berakhir dengan Lily.“Kami hanya ke klub langgananku. Kau tahu, kan di mana klub itu?”Bree dan Wanda memang ke klub langganan.***Beberapa jam yang lalu ...Bree mendadani Wanda, memakaikannya baju minim dan merias wajahnya dengan cantik. Semua Bree lakukan setelah makan malam.“Rambutmu terlalu indah, Wanda,” ucap Bree sambil mengangkat rambut blondie-nya. Hingga lehernya yang jenjang dan mulus.Wanda merasa senang ada yang peduli dan memerhatikannya.Memulas wajahnya yang pucat menjadi lebih bersinar. Meski pulasannya tipis, tapi menonjolkan wajah Wanda yang memang cantik.“Kau terlihat cantik,” ujar Bree sambil melihat pantulan wajah Wanda di cermin.“Ya
“Aku hanya mengajak Wanda ke kelab langgananku. Itu saja, karena kita mabuk, aku tidak ingin kembali ke rumah mamamu, bisa-bisa dia marah besar. Jadi ... aku dan Wanda kembali ke apartemen.”Kemarahan Axel belum reda juga, lelaki itu juga heran, mengapa penjelasan Bree serasa makin membakar dadanya.“Honey, apa kau sudah siap untuk pulang? Aku masih di jalan, kalau kau mau, aku akan jemput kau pulang sekarang,” jelas Bree.Kali ini Axel yang panik, dirinya masih polos, belum mandi, rasanya bau percintaan. Namun, Axel tidak mau menghilangkan bau itu. Axel suka.“Kurasa aku akan menginap semalam lagi di sini. Akan ada kontrak yang harus kuurus, kau ingat, kan?”Bree menghela napas, kalau ingat itu Bree kesal sekali!“Aku tidak mau menginap di sana bersamamu,” ujar Bree merajuk. Dia menepikan mobilnya. “Kau ingat, kan betapa aku membenci usul ...”&ld
Kate menatap Axel bertanya-tanya. “Apa—apa ...” “Jangan banyak bertanya, turuti saja perintahku. Atau kau dipecat!” “B—baik, Tuan,” jawab Kate sambil menundukkan badan. ***Membuang rasa bersalah, Lily pergi tergesa kembali ke apartemennya. Baru kali ini Lily merasakan kalau dia tidak menyadari apa yang dia lakukan. Wanita itu berlari ke apartemennya, dia berharap dengan berlari, bayangan kejadian tadi malam akan sirna dari ingatannya. Namun, semakin dia ingin melupakan, bayangan itu makin jelas berkelebat. Desahan Axel, sentuhannya. Atau erangan lelaki itu yang terasa syahdu. “Ah!” Lily memaki-maki dalam hati. Percuma saja berlari, hanya membuat semua badannya makin sakit, dan kakinya pegal. Lagi pula, belum tentu Axel akan mengingat kejadian itu. Dan Lily hanya seorang pelayan di sana. Jadi mudah saja bagi Axel kalau ingin menyingkirkan Lily. Lily jadi berang sendiri. Dia merasa kalau dirinya kotor. Sambil menggosok badan di bawah pancuran air, Lily ingat wajah Mrs. Margot yan
Lily pergi ke kamar, berbeda dengan Kate—yang ketakutan. Demi membela Lily dan melindunginya, Kate membuka dompetnya. “Mungkin ini bisa mencegah si penagih utang itu. “Sial sekali hanya ada lima dolar? Kenapa aku semiskin ini?” keluh Kate, tidak tega kepada Lily. “Bagaimana ini?”“BUKA PINTUNYA!” pekik si penagih utang itu lagi. Kate makin gemetar, lagi pula, telinga Kate pengang karena teriakan di depan pintu. Jadi, gadis itu cepat-cepat membuka pintu apartemen. Begitu melihat wajah sangar si penagih utang, Kate berlutut, memohon agar sahabatnya nanti diampuni.“Ampun! Tolonglah kami, kami belum ada uang!” mohon Kate, tangannya menangkup di depan wajahnya. Berlutut dan memejam, kalau saja si penagih itu akan memukulnya hari ini, Kate rela. Dari pada Lily yang sedang sakit dipukul. “Heh, Nona manis, untuk apa kau berlutut begitu, hah? Memangnya kami akan membunuhmu?” tanya salah satu penagih lalu tertawa terbahak-bahak. Seolah menghina Kate. “Sudah! Jangan menghina temanku sepert
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a