“Aku hanya mengajak Wanda ke kelab langgananku. Itu saja, karena kita mabuk, aku tidak ingin kembali ke rumah mamamu, bisa-bisa dia marah besar. Jadi ... aku dan Wanda kembali ke apartemen.”
Kemarahan Axel belum reda juga, lelaki itu juga heran, mengapa penjelasan Bree serasa makin membakar dadanya. “Honey, apa kau sudah siap untuk pulang? Aku masih di jalan, kalau kau mau, aku akan jemput kau pulang sekarang,” jelas Bree. Kali ini Axel yang panik, dirinya masih polos, belum mandi, rasanya bau percintaan. Namun, Axel tidak mau menghilangkan bau itu. Axel suka. “Kurasa aku akan menginap semalam lagi di sini. Akan ada kontrak yang harus kuurus, kau ingat, kan?” Bree menghela napas, kalau ingat itu Bree kesal sekali! “Aku tidak mau menginap di sana bersamamu,” ujar Bree merajuk. Dia menepikan mobilnya. “Kau ingat, kan betapa aku membenci usul ...” &ldKate menatap Axel bertanya-tanya. “Apa—apa ...” “Jangan banyak bertanya, turuti saja perintahku. Atau kau dipecat!” “B—baik, Tuan,” jawab Kate sambil menundukkan badan. ***Membuang rasa bersalah, Lily pergi tergesa kembali ke apartemennya. Baru kali ini Lily merasakan kalau dia tidak menyadari apa yang dia lakukan. Wanita itu berlari ke apartemennya, dia berharap dengan berlari, bayangan kejadian tadi malam akan sirna dari ingatannya. Namun, semakin dia ingin melupakan, bayangan itu makin jelas berkelebat. Desahan Axel, sentuhannya. Atau erangan lelaki itu yang terasa syahdu. “Ah!” Lily memaki-maki dalam hati. Percuma saja berlari, hanya membuat semua badannya makin sakit, dan kakinya pegal. Lagi pula, belum tentu Axel akan mengingat kejadian itu. Dan Lily hanya seorang pelayan di sana. Jadi mudah saja bagi Axel kalau ingin menyingkirkan Lily. Lily jadi berang sendiri. Dia merasa kalau dirinya kotor. Sambil menggosok badan di bawah pancuran air, Lily ingat wajah Mrs. Margot yan
Lily pergi ke kamar, berbeda dengan Kate—yang ketakutan. Demi membela Lily dan melindunginya, Kate membuka dompetnya. “Mungkin ini bisa mencegah si penagih utang itu. “Sial sekali hanya ada lima dolar? Kenapa aku semiskin ini?” keluh Kate, tidak tega kepada Lily. “Bagaimana ini?”“BUKA PINTUNYA!” pekik si penagih utang itu lagi. Kate makin gemetar, lagi pula, telinga Kate pengang karena teriakan di depan pintu. Jadi, gadis itu cepat-cepat membuka pintu apartemen. Begitu melihat wajah sangar si penagih utang, Kate berlutut, memohon agar sahabatnya nanti diampuni.“Ampun! Tolonglah kami, kami belum ada uang!” mohon Kate, tangannya menangkup di depan wajahnya. Berlutut dan memejam, kalau saja si penagih itu akan memukulnya hari ini, Kate rela. Dari pada Lily yang sedang sakit dipukul. “Heh, Nona manis, untuk apa kau berlutut begitu, hah? Memangnya kami akan membunuhmu?” tanya salah satu penagih lalu tertawa terbahak-bahak. Seolah menghina Kate. “Sudah! Jangan menghina temanku sepert
Mata Lily membesar, melihat tangan Axel yang melingkar di pergelangan tangannya. “Tu—tuan?” Lily ketakutan. Bukan ketakutan lebih tepatnya bingung, kaget. Dan apa maksud Axel menahannya di kamar ini. “Kamar ini sedang dibersihkan.” Axel mendengkus, lalu memutar bola mata. Tanpa Lily tahu apa maksud Axel menahannya di kamar ini. Dan tangan Axel yang bebas menutup pintu kamar. Sekarang, dua tangannya mengurung tubuh Lily yang bersandar di tembok. Napas Lily makin tidak beraturan, sebisa mungkin menghindari tatapan Axel. Menunduk dan menggeleng. “Tolong lepaskan saya, Tuan.” Axel menghela napas, sulit sekali mengendalikan Lily ternyata. Axel hanya berpikir, akan semudah kelihatannya. “Saya rasa apa yang terjadi kemarin malam ...” “Sstt ...” Axel menempel telunjuk di bibir Lily yang ranum. “Jangan berkata-kata. Saya coba jelaskan tentang tadi malam.” Lilu mengangguk ketakutan. Namun disaat yang bersamaan, Lily juga bersiap kalau Axel mau mengulangi kejadian tadi malam.“Kejadian k
“Ya, Tuan Axel meminta dibuatkan sup untuk Lily setelah mereka mabuk bersama,” para pelayan berkata saling bebisik tapi telinga Bree bisa mendengar dengan jelas. Bree kaget, dadanya berdetak tak menentu. “Apa?” desisnya. Axel, suami yang selama ini dia cintai, ternyata ... ternyata ... Napas Bree terengah-engah pikirannya kacau seketika. Sebagai istri yang mendampingi Axel selama lima tahun, Bree tahu sekali perangai Axel. Dan selama ini ada sisi buruk dari Axel yang tidak pernah Bree tahu. Dasar lelaki hidung belang, di mana pun sama saja! pekik Bree dalam hati. Tangannya mengepal di samping badan, Dari tempat Bree berdiri, terlihat Axel yang saling tertawa bersama Margot. Sialan! Umpat Bree. Bree tidak ingin mendengar lagi semua perkataan para pelayan itu. Yang jelas dia tahu sekarang kalau suaminya juga lelaki brengsek.Dan satu hal yang jelas, Bree tidak bisa marah kepada Axel. Jadi yang dia lakukan adalah langsung kembali ke kamar, tanpa pamit. Dia hanya bilang kesalah satu
Menyebalkan!Bree mengertakkan gigi-giginya, meremat serbet yang ada di pangkuan. Apakah Axel harus selalu mendesaknya? “Ya, hanya saja aku takut nanti akan merepotkan keluargamu kalau ibuku datang.” “Maksud mamaku, mungkin mamamu nanti bisa tinggal bersama kita selama Lily mengandung.” Lily lagi, Lily lagi, gerutu Bree dalam hati. Apalah tidak ada bahan obrolan lain selain Lily? Lagian, Lily rela mengandung karena dibayar, coba saja, hamil secara suka rela, mana ada wanita yang mau? omelan Bree berlanjut. “Bukannya Lily akan tinggal di apartemen yang sama dengan kita?” “Ya, benar. Aku hanya takut kau nanti kesepian kalau aku ...” Axel tidak mau menyakiti perasaan Bree. “Kau tahu, kan?” “Axel, Axel ... kau kan sudah dewasa, harusnya kau bisa membagi waktumu dengan wanita itu.” Ah ... Bree tidak sanggup mendengar atau mengucap namanya. “Aku tidak perlu siapa pun untuk menemaniku di apartemen. Aku baik-baik saja.” Bree berkata dengan tenang. “Kau yakin?” Bree makin kesal. Dia
Lily tidak mampu menjawab pertanyaan Kate yang penuh selidik. Dia langsung berlari ke kamar mandi. Tidak sempat menjawab pertanyaan Kate. Kate khawatir, dia mengikuti Lily di belakang. Sampai Lily di kamar mandi, Kate menepuk-nepuk punggung sahabatnya, sementara Lily terus mengeluarkan isi perutnya. Setelah itu, Lily lemas, Kate memapahnya agar bisa ke kamar untuk istirahat. “Minum dulu,” Kate menyodorkan segelas air dingin. Air dingin ternyata menyegarkan untuk Lily, namun tubuhnya seperti kehabisan tenaga.“Apa kau baik-baik saja? Mau aku ambilkan obat lambung?”Lily mengangguk. Lily menyembunyikan proses IVF ini dari Kate. Proses memasukkan bayi ke dalam rahim Lily sudah dilakukan, tapi, Lily belum memeriksa apakah ini tanda kehamilan atau bukan.Obat lambung? Apakah boleh? Saat ini mual dan rasa pahit masih terasa di lidah Lily. Harus bertanya kepada siapa? Kate tergopoh-gopoh kembali ke kamar. Panik dan khawatir bercampur jadi satu. “Ini, minumlah. Apa perlu kita ke dokter?
Axel seolah melihat ketakutan Lily, tentu saja ada kontrak kerjasama yang harus ditaati. Lelaki itu menarik napas.“Dokter bisa merahasiakan ini?” tanya Axel. “Bukankah, apa yang terjadi pada pasien adalah rahasia dokter?”Dokter itu tersenyum, melepas kacamatanya. “Tapi, kejadian ini harus saya laporkan juga ke Ibu Meredith,” katanya.Axel mendengkus, lalu menatap Lily. Ada rasa kasihan dalam hatinya, bisa-bisa mamanya menuntut Lily. “Kita berharap Bu Meredith akan mengerti.” Dokter itu melirik ke arah perawat yang ada di sampingnya sambil membawa dokumen. Perawat itu seolah mengerti kalau si dokter meminta dipanggilkan Meredith.Lily bertambah takut, bagaimana kalau dia sampai dituntut?Meredith masuk ke ruangan itu. Dokter yang ada mempersilakan duduk di sofa yang ada di ruangannya.“Silakan,” dokter itu bersuara sekali lagi. Melihat ke arah Meredith.Dan Meredith seperti sudah tahu ada masalah. “Ada apa?”“Kita tidak bisa melanjutkan prosedur IVF,” kata dokter itu. “Saya takut i
“Lalu, apa yang kau lakukan?” mata Kate memelotot.Lily terdesak, dia memundurkan badan. Napasnya memburu.“Kate, bisa kau tenang sedikit,” cicit Lily tangannya di perut, seperti melindungi anak yang ada dalam kandungannya.“Bagaimana aku bisa tenang?”“Oke, stop!” punggung Lily membentur tembok, tangannya mengangkat aba-aba berhenti.Mata Kate makin membesar, “Harusnya aku yang oegang kuasa di sini.”Lily menarik napas, “Aku mempunyai situasi dengan Nona Meredith. Dia mau mengangkat aku jadi pelayan tetap di sini.”“Apa?” Kate bertolak pinggang, wajahnya masih terlihat marah.Lily mengutuk dalam hati, hanya itu yang bisa dia katakan. Tolonglah, Kate ... pintanya dalam hati.“Berarti Nona Meredith, memberikan kau penawaran yang lain?” tanya Kate sekadar mengkonfirmasi.“Mungkin,” jawab Lily, “Aku tidak tahu, semuanya tergantung Mrs. Margot, kan?”Kate menyilangkan tangan di depan dada. Mengangguk-angguk, menerima semua perkataan Lily, dia menatap sahabatnya itu. “Oke.”Lily menghela n