“Lalu, apa yang kau lakukan?” mata Kate memelotot.Lily terdesak, dia memundurkan badan. Napasnya memburu.“Kate, bisa kau tenang sedikit,” cicit Lily tangannya di perut, seperti melindungi anak yang ada dalam kandungannya.“Bagaimana aku bisa tenang?”“Oke, stop!” punggung Lily membentur tembok, tangannya mengangkat aba-aba berhenti.Mata Kate makin membesar, “Harusnya aku yang oegang kuasa di sini.”Lily menarik napas, “Aku mempunyai situasi dengan Nona Meredith. Dia mau mengangkat aku jadi pelayan tetap di sini.”“Apa?” Kate bertolak pinggang, wajahnya masih terlihat marah.Lily mengutuk dalam hati, hanya itu yang bisa dia katakan. Tolonglah, Kate ... pintanya dalam hati.“Berarti Nona Meredith, memberikan kau penawaran yang lain?” tanya Kate sekadar mengkonfirmasi.“Mungkin,” jawab Lily, “Aku tidak tahu, semuanya tergantung Mrs. Margot, kan?”Kate menyilangkan tangan di depan dada. Mengangguk-angguk, menerima semua perkataan Lily, dia menatap sahabatnya itu. “Oke.”Lily menghela n
“Kalian sudah dengar, isu itu ternyata benar, kan? Lily menggoda Tuan Axel untuk tidur dengannya.” “Mana sangka, Lily adalah gadis murahan,” ujar salah satu pelayan yang baru mendengar kabar ini. “Kabarnya Nyonya Margot marah besar karena hal ini.” “Tapi, aku pikir ini mustahil,” ada saja yang membela Lily dan Kate. “Aku selalu bertugas bersama Lily. Dan dia baik-baik saja, Nyonya Margot begitu menyayangi Lily.” “Itu kan yang sebagian kelihatan saja,” ujar Maria sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya. “Yang lain mungkin kau tidak lihat. Atau memang Lily yang menutupinya.” Tidak ada yang berani menanggapi omongan Maria. Konon, Maria adalah pembawa berita terakurat. “Bukan karena isu itu, kan, dia dipindah tugaskan?” bisik seorang pelayan yang sudah mendengar duluan dari Maria mengenai kepindahan Lily. “Mungkin saja, biar bagaimana pun karena kelakuannya kita juga bisa dicap jelek oleh Nyonya Margot,” sahut yang lainnya. “Rumor ini jangan sampai bu kepala pelayan tahu. Apala
“Apa aku salah mendengar?” tanya Lily, jantungnya berdetak tak karuan. “Apakah Nyonya Bree tidak masalah dengan itu?”Meredith tersenyum melihat keluguan Lily. “Bree tidak bisa menolak, selama dia masih ingin jadi menantu dari Nyonya Margot.”Jawaban itu membuat Lily ingin tersedak ludahnya sendiri. Nyonya Margot, yang Lily tahu dia sangat baik hati. “Lalu ... bagaimana kalau Nyonya Bree ternyata tidak setuju?”“Dia harus setuju. Tidak peduli apa pun yang nyonya rencanakan. Sebisa mungkin Axel akan ada di apartemenmu setiap hari.”“Be—benarkah?” Mendengar soal Axel, membuat jantung Lily makin berdetak dengan keras. Di saat yang bersamaan, perut Lily juga berdetak. Membuat Lily menaruh tangan di perutnya.“Saat ini Nyonya Margot akan ada di apartemen untuk beberapa hari. Sudah ada pelayan yang akan menemani kau juga di sana. Jangan khawatir Nyonya Bree tidak akan berani mendekatimu.”Rasa khawatir Lily berkurang meski sedikit. Biar bagaimanapun sekarang ada anak yang harus Lily lindun
“Dan pelatihan dimulai sekarang!” seru Nyonya Margot ketika sudah ada di meja makan. Ada pelayan yang mengantar makanan. Sementara Meredith, sibuk menjelaskan urutan makanan yang harus Lily tahu. Setiap hidangan punya filosofi dan juga peralatan makan sendiri. Dan jenis anggur yang berbeda-beda rasanya. Kalau soal minuman itu, Lily tidak berani meminum terlalu banyak. “Aku tahu kau cukup cerdas, Lily,” ujar Margot melihat Lily sudah bisa menghapal semua yang diajarkan Meredith. “Anggur ini terasa aneh rasanya,” perkataan Lily membuat Margot tersenyum. Margot ingat masa mudanya dulu, dia juga tidak menyukai anggur. “Aku juga tidak menyukainya. Sekadar kau tahu saja, Lily. Jenisnya dan rasanya.” Lama kelamaan Lily bisa bersikap seperti para bangsawan yang seringkali dia lihat di televisi. Semua anggota tubuhnya seolah bersatu padu, memakan semua hidangan dengan tenang dan juga sopan. “Bagus, kau menyesuaikan diri dengan baik dan cepat,” puji Meredith. Sebenarnya yang diajarkan
Kata-kata menyukai terngiang-ngiang di telinga Lily.Lily ragu dan tidak percaya diri, menyukai Tuan Axel sebenarnya haram untuk Lily. Tidak pantas pelayan menyukai majikannya. Lagi pula, perkataan Axel dimalam itu selalu Lily ingat baik-baik.“Kau adalah milikku, Lily.”Entah mabuk atau tidak, perkataan itu membuat Lily tidak berani, dan tunduk di depan Axel.“Kenapa kau melamun?” tanya Kate menyentak lamunan Lily.Kate menatap Lily. “Apa perkataanku benar? Kau menyukai Tuan Axel? Jadi, kau bersedia untuk ...”“Kate, aku terikat kontrak dengannya. Tadinya aku hanya ‘alat’ untuk punya anak. Tapi, perkataan Axel malam itu juga membuatku tunduk pada sentuhannya.”Kate menganga heran, mana ada zaman sekarang ada orang sekolot itu, rutuk Kate dalam hati. Dan sekarang dia makin tak tega kepada Lily. Andai saja hidupnya sedikit lebih beruntung.“Tapi saat itu kau menyukainya tidak? Apa dia memperlakukanmu dengan kasar? Lembut? Atau ... biasa saja?”Lily tersenyum lebar, “Kate ... aku malu,
“Kenapa kau bicara seperti itu, katanya kau menyukainya.” Kate menebak apa yang Lily rasakan. “Apa kau tidak siap?” “Apa?” Mata Lily membesar, bukan itu. “Aku tahu, agar kau siap. Kau aku persiapkan,” ujar Kate dengan ceria. Lily kebingungan, wajahnya terlihat kebingungan. Matanya membesar menatap Kate, lalu menggeleng. “Tidak mungkin ... Aku tidak mungkin akan siap bertemu Tuan Axel malam ini.” Namun Kate secepat kilat menggiring Lily ke kamar mandi. “Ayolah, percaya saja kamu pasti akan siap kalau mempersiapkan semua dengan baik.” “Apa maksudmu?” Lily mengikuti saja ketika Kate membawanya ke kamar mandi. “Semua ada peralatan mandi. Dan kamu bisa mandi, benar-benar membersihkan diri, harum dan putih.” Kate mengambil produk kebersihan yang ada di kamar mandi. “Hah?” Lily menerimanya dengan heran. “Semua agar kau siap menjadi nona, atau apa pun itu namanya, sesuai keinginan Nyonya Margot.” Kate sepert berpidato. Selanjutnya, melangkahkan kakinya keluar dari kamar mandi. “Aku ak
Axel menghitung cepat dalam kepalanya; makan malam di apartemen mama rasanya cukup hanya satu jam. Nyonya Margot paling hanya bicara dan bertanya seperlunya saja. “Baiklah. Tapi, aku tidak bisa terlalu lama di apartemen Mama,” paparnya. “Tidak jadi masalah, yang penting adalah kau datang dan makan malam,” jawab Meredith. Axel sekali lagi menghela napas, lelah sekali rasanya, kepalanya pening. “Baiklah, sampai bertemu di apartemen.” Sambungan telepon itu terputus. Axel menarik napas. Selesai, semua ada solusinya. Namun, baru saja Axel menyandarkan tubuh, ponselnya berbunyi sekali lagi. Bree nama yang tampil di layar ponselnya. “Hallo?” “Axe ... kamu malam ini makan di rumah, kan?” tanya Bree merajuk manja di sambungan telepon. “Um, ya, aku akan ada di apartemen jam tujuh malam.” “Jadi, kau hari ini tidak lembur?” tanya Bree ragu. Sekaligus bahagia, karena dari berita yang dia dengar, Lily akan segera pindah ke gedung apartemen yang sama dengannya. “Datang saja pukul enam,” ren
“Maaf, semuanya aku terlambat,” ucap Lily, Meredith yang menemaninya, berjalan mendahului Lily dan duduk dekat dengan Nyonya Margot. Kedatangan Lily mengalihkan mata Nyonya Margot dan Axel. Mulut Axel menganga, entah apa yang salah dengan Lily. Terakhir mereka bertemu ketika proses IVF akan berlangsung. Rasanya baru kemarin, tapi mengapa Lily beubah begitu cepat? Axel bicara sendiri. Tidak mungkin itu Lily—yang mamanya tunjuk sebagai ibu pengganti. Mungkinkah itu adalah wanita lain? Yang wajahnya mirip dengan Lily? Rambut emasnya panjang tergerai, dengan gaun mini putih selutut tanpa tangan. Riasan wajahnya pun minimal, tidak berlebihan sama sekali. Dan itu yang membuat Lily tampak cantik.Nyonya Margot melihat wajah Axel—yang seperti orang bodoh. “Sudah melihatnya?” goda Margot sambil tersenyum simpul. “Apa?” Axel melihat ke arah mamanya, masih melongo dan tidak bisa berkata-kata selain ‘apa’. Lily sendiri salah tingkah, apa benar karena melihatnya, Axel jadi gelagapan begitu
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a