Axel menghitung cepat dalam kepalanya; makan malam di apartemen mama rasanya cukup hanya satu jam. Nyonya Margot paling hanya bicara dan bertanya seperlunya saja. “Baiklah. Tapi, aku tidak bisa terlalu lama di apartemen Mama,” paparnya. “Tidak jadi masalah, yang penting adalah kau datang dan makan malam,” jawab Meredith. Axel sekali lagi menghela napas, lelah sekali rasanya, kepalanya pening. “Baiklah, sampai bertemu di apartemen.” Sambungan telepon itu terputus. Axel menarik napas. Selesai, semua ada solusinya. Namun, baru saja Axel menyandarkan tubuh, ponselnya berbunyi sekali lagi. Bree nama yang tampil di layar ponselnya. “Hallo?” “Axe ... kamu malam ini makan di rumah, kan?” tanya Bree merajuk manja di sambungan telepon. “Um, ya, aku akan ada di apartemen jam tujuh malam.” “Jadi, kau hari ini tidak lembur?” tanya Bree ragu. Sekaligus bahagia, karena dari berita yang dia dengar, Lily akan segera pindah ke gedung apartemen yang sama dengannya. “Datang saja pukul enam,” ren
“Maaf, semuanya aku terlambat,” ucap Lily, Meredith yang menemaninya, berjalan mendahului Lily dan duduk dekat dengan Nyonya Margot. Kedatangan Lily mengalihkan mata Nyonya Margot dan Axel. Mulut Axel menganga, entah apa yang salah dengan Lily. Terakhir mereka bertemu ketika proses IVF akan berlangsung. Rasanya baru kemarin, tapi mengapa Lily beubah begitu cepat? Axel bicara sendiri. Tidak mungkin itu Lily—yang mamanya tunjuk sebagai ibu pengganti. Mungkinkah itu adalah wanita lain? Yang wajahnya mirip dengan Lily? Rambut emasnya panjang tergerai, dengan gaun mini putih selutut tanpa tangan. Riasan wajahnya pun minimal, tidak berlebihan sama sekali. Dan itu yang membuat Lily tampak cantik.Nyonya Margot melihat wajah Axel—yang seperti orang bodoh. “Sudah melihatnya?” goda Margot sambil tersenyum simpul. “Apa?” Axel melihat ke arah mamanya, masih melongo dan tidak bisa berkata-kata selain ‘apa’. Lily sendiri salah tingkah, apa benar karena melihatnya, Axel jadi gelagapan begitu
Mata Diego membesar, “Astaga, Bree! Apa kau serius dengan perkataanmu?”Bree mengangguk cepat, “Kapan aku pernah tidak serius dengan perkataanku?”Diego terpekur beberapa saat. Ruangan itu jadi sunyi, Bree menatap Diego menunggu jawaban.“Tapi, aku tidak akan melakukannya sendiri. Kau tahu, aku tidak ingin mengotori tanganku,” ucap Bree.“Lalu kau mau bagaimana?”Bree kesal juga dengan tingkah Diego. Lelaki itu tampan, hanya tampan, tinggi dan juga atletis. Kulitnya esksotis, sempurna. Tapi tidak dengan otaknya, yang mungkin somplak.Bree mendengkus, “Sewa pembunuh bayaran!” usul wanita itu, suaranya dingin. Sambil memerhatikan pisau yang ada di dapur Diego.Lalu matanya menatap ke arah Diego.“Apa? Janga minta aku untuk membunuh. Aku tidak punya bakat untuk itu.”“Hah,” Bree membuang pandangannya. Bagaimana mungkin lagi pula, hal seserius ini Diego yang menangani.“Aku punya beberapa teman yang mungkin bisa menjalankan keinginanmu, Sayang. Bagaimana? Apakah kau mau mencoba hubungi me
Axel mengikuti saran mamanya, mengikuti Lily ke kamar. Axel jijik sendiri mendengar Lily yang muntah-muntah. Membuat Axel mual juga, isi perutnya ingin keluar juga, kenapa Lily bisa begitu menjijikkan? Lily mengandung anak, kan? Bukannya sedang ada penyakit aneh? Axel bertanya-tanya dalam hati. Apakah setiap orang yang mengandung seperti itu? Kalau iya, mengerikan sekali. Pantas saja, Bree tidak mau mengandung. Ternyata sebegini sulitnya punya anak. Kalau dipikir-pikir, untuk punya anak banyak sekali cobaannya. Tapi, Axel melawan rasa jijiknya, kalau saja Lily melaporkan dirinya ke mama, bisa gawat. Jadi, Axel mengambil handuk kering yang ada di lemari. Entah untuk apa, asal-asalan saja. Lily menyiram kloset, rasanya sudah puas mengeluarkan semua isi perut. Biasanya tidak ada masalah setelah mual dan bahkan muntah begini. Tapi, kali ini Lily merasa lemas, tubuhnya tidak bertulang rasanya. Axel berdiri di ambang pintu membuat Lily kaget, melonjak! Axel tidak enak membuat wanit
“Tidur bersama Lily? Apa—harus?” Kate ragu, apakah ini adalah Axel yang dia kenal?Kate berjalan kembali ke dapur, memerintahkan juru masak menyiapkan makanan untuk Lily. Dan menu apa saja yang disarankan oleh Axel.“Sebentar lagi Nyonya Lily akan bangun, dan siapkan untuk Tuan Axel segera.”“Baik, Kate.”“Terima kasih,” ucap Kate. Setelah dari dapur, Kate ingin melihat keadaan Lily di kamarnya.Kate melihat kalau Tuan Axel masih ada di ruangan tamu. Sedang menelepon.Jadi, dia mengetuk pintu kamar Lily.“Masuk saja!” suruh Lily dari dalam.Kate melihat wajah Lily yang pucat begitu dia masuk ke kamar. “Li, apakah kau baik-baik saja?” sahabatnya itu khawatir. “Mau aku bawakan sesuatu? Aku bawakan kau minuman, ya? Teh hangat bagaimana?”Lily hanya mengangguk, masih di ranjangnya.Kate dengan cepat keluar dari kamar Lily, sampai tidak lihat ada Axel di depannya.“Aduh!” Kate menabrak Axel yang ingin melihat keadaan Lily juga.“Maaf, Tuan Axel. Aku buru-buru mau ambilkan teh,” ujarnya.Me
“Berikan ponselku,” Kate menekan kata-katanya. Matanya membesar menatap Lily.“Tidak. Kau akan laporan ke Axel, kan?”“Iya, karena dia menyuruhku. Setelah kau diperiksa oleh dokter. Lagi pula, ada resep obat yang harus ditebus,” papar Kate, membuat Lily tercenung.“Resep?” ulang Lily.Kate merebut ponsel dari tangan Lily, “Ya, maka dari itu aku harus kabari Tuan Axel.”“Apa malam ini dia juga akan kembali ke apartemen ini?” tanya Lily.Kate hanya melirik ke arah sahabatnya itu. Tidak menjawab, sambil bicara di sambungan telepon.“Oh, ya, Tuan Axel, Lily bertanya apakah tuan akan pulang ke apartmen ini malam ini?”“Kate ....” desis Lily, matanya memelotot. Wanita itu mendengkus, sambil menyilangkan tangan di dada.“Done,” Kate berkata dengan bangga, lalu menutup sambungan telepon. “Tuan Axel akan mampir nanti malam, dia akan pulang ke apartemennya setelah itu.”Lily memutar bola mata, “Untuk apa kau bicara seperti itu? Memangnya aku akan peduli?”“Ya,sudah, nanti malam kau tidak perlu
“Hei!” pekik Bree mengagetkan si pembunuh bayaran itu. “Ya?” sahutnya dia menatap wajah Bree. Mengapa tetiba dia seperti orang bodoh melamun tak karuan?Padahal, tidak pernah sebegini melamunnya memikirkan seseorang. Apalagi, ini adalah targetnya.“Siapa namamu?” ulang Bree bertanya dengan cepat. Alisnya dia naikkan. “Tidak perlu tahu. Penugasan ini sudah aku terima. Tinggal tunggu hasilnya saja.” Dengan cepat orang itu bangkit dari sofa dan berjalan keluar dari apartemen.Dadanya terasa sesak hingga napasnya tersengal. Dia ingat saat sedang menjadi prajurit. Saat di tengah medan penugasan.Ada seorang teman yang menunjukkan foto.Apakah ini adalah foto gadis itu? tanyanya dalam hati.Andai saja, dia bisa bertanya, atau sekadar mengkonfirmasi foto ini adalah gadis itu.Si pembunuh itu bernama Steven Go. Waktu wajib militernya dia adalah penembak jitu. Jadi, ini pekerjaan yang Steven lakukan setelah masa tugasnya habis.Selain itu, Steven kadang menj
Axel memacu mobilnya dengan cepat. Sejak Meredith meneleponnya dia tidak mampu berpikir jernih.Sekarang dia memikirkan nasib Lily dan anak yang dikandungnya? Axel mendengar kalau Kate yang tertembak, tapi bukan berarti Lily juga terkena tembakan, kan? Pikiran itu dengan cepat Axel singkirkan, tidak mungkin! Tapi, mungkin saja, kalau Lily ada di dekat Kate. Axel pusing sendiri, dia mengerang. “Apa aku sudah gila?” tanyanya sendirian. Matanya tajam fokus ke jalanan yang padat. Dan etah berapa kali, Axel membunyikan klakson agar kendaraan yang dia kendarai bisa lewat dengan cepat. “Hei!” pekik Axel kesal lampu rambu lalu lintas sudah bergant jadi hijau. Tapi, mobil yang ada di depannya belum jalan juga. “Apa dia buta atau tuli? Kenapa belum jalan juga?” Axel menekan klakson. Hingga mobilnya bisa melaju lagi. Karena kecepatan penuh, dalam waktu beberapa menit, Axel sudah sampai di rumah sakit. Dia berlari begitu moblnya sudah diparkir.Kalang kabut mencari di mana Lily atau—Kate