“Berikan ponselku,” Kate menekan kata-katanya. Matanya membesar menatap Lily.“Tidak. Kau akan laporan ke Axel, kan?”“Iya, karena dia menyuruhku. Setelah kau diperiksa oleh dokter. Lagi pula, ada resep obat yang harus ditebus,” papar Kate, membuat Lily tercenung.“Resep?” ulang Lily.Kate merebut ponsel dari tangan Lily, “Ya, maka dari itu aku harus kabari Tuan Axel.”“Apa malam ini dia juga akan kembali ke apartemen ini?” tanya Lily.Kate hanya melirik ke arah sahabatnya itu. Tidak menjawab, sambil bicara di sambungan telepon.“Oh, ya, Tuan Axel, Lily bertanya apakah tuan akan pulang ke apartmen ini malam ini?”“Kate ....” desis Lily, matanya memelotot. Wanita itu mendengkus, sambil menyilangkan tangan di dada.“Done,” Kate berkata dengan bangga, lalu menutup sambungan telepon. “Tuan Axel akan mampir nanti malam, dia akan pulang ke apartemennya setelah itu.”Lily memutar bola mata, “Untuk apa kau bicara seperti itu? Memangnya aku akan peduli?”“Ya,sudah, nanti malam kau tidak perlu
“Hei!” pekik Bree mengagetkan si pembunuh bayaran itu. “Ya?” sahutnya dia menatap wajah Bree. Mengapa tetiba dia seperti orang bodoh melamun tak karuan?Padahal, tidak pernah sebegini melamunnya memikirkan seseorang. Apalagi, ini adalah targetnya.“Siapa namamu?” ulang Bree bertanya dengan cepat. Alisnya dia naikkan. “Tidak perlu tahu. Penugasan ini sudah aku terima. Tinggal tunggu hasilnya saja.” Dengan cepat orang itu bangkit dari sofa dan berjalan keluar dari apartemen.Dadanya terasa sesak hingga napasnya tersengal. Dia ingat saat sedang menjadi prajurit. Saat di tengah medan penugasan.Ada seorang teman yang menunjukkan foto.Apakah ini adalah foto gadis itu? tanyanya dalam hati.Andai saja, dia bisa bertanya, atau sekadar mengkonfirmasi foto ini adalah gadis itu.Si pembunuh itu bernama Steven Go. Waktu wajib militernya dia adalah penembak jitu. Jadi, ini pekerjaan yang Steven lakukan setelah masa tugasnya habis.Selain itu, Steven kadang menj
Axel memacu mobilnya dengan cepat. Sejak Meredith meneleponnya dia tidak mampu berpikir jernih.Sekarang dia memikirkan nasib Lily dan anak yang dikandungnya? Axel mendengar kalau Kate yang tertembak, tapi bukan berarti Lily juga terkena tembakan, kan? Pikiran itu dengan cepat Axel singkirkan, tidak mungkin! Tapi, mungkin saja, kalau Lily ada di dekat Kate. Axel pusing sendiri, dia mengerang. “Apa aku sudah gila?” tanyanya sendirian. Matanya tajam fokus ke jalanan yang padat. Dan etah berapa kali, Axel membunyikan klakson agar kendaraan yang dia kendarai bisa lewat dengan cepat. “Hei!” pekik Axel kesal lampu rambu lalu lintas sudah bergant jadi hijau. Tapi, mobil yang ada di depannya belum jalan juga. “Apa dia buta atau tuli? Kenapa belum jalan juga?” Axel menekan klakson. Hingga mobilnya bisa melaju lagi. Karena kecepatan penuh, dalam waktu beberapa menit, Axel sudah sampai di rumah sakit. Dia berlari begitu moblnya sudah diparkir.Kalang kabut mencari di mana Lily atau—Kate
“Dok, tidak perlu banyak basa basi,” sambar Axel, menatap galak Liam. “Lebih baik Anda segera menyelesaikan pemeriksaan ini.” Lily salah tingkah ketika Axel berlaku begitu. “Tuan bisa menunggu di luar kalau mau.” “Ya, itu ide bagus,” cetus Liam sambil tersenyum ke arah Lily, lalu menatap Axel. “Saya akan menginformasikan keadaan Lily.” “Apa?” Axel dongkol. Dia disuruh tunggu di luar. Kenapa dokternya lelaki? Harus Axel akui dia risi melihat dokter lelaki memeriksa Lily. “Saya sudah terlalu lama menunggu di luar. Lagian, mana Dokter Janet?” “Dokter Janet sedang ada di luar negeri untuk seminar. Dia akan bertugas selama dua minggu. Setelah itu, Dokter Janet akan ada di Afrika untuk mengurusi masalah kelaparan pada ibu hamil. Mungkin untuk beberapa bulan.” Dokter Liam menjelaskan dengan lengkap sambil memeriksa Lily, menyuruh perawat mengambilkan peralatan. Axel mendengkus, jadi selama beberapa bulan ini dia harus melihat wajah sial Liam? Lelaki itu menggerutu. Dan keluar dari ruan
Tatapan mata Bree beubah jadi galak. “Apa maksudmu memindahkan barang? Apa Axel akan meninggalkan rumah ini?” desisnya.Pelayan yang ada di hadapannya tidak mampu menjawab. Gelagapan. “Um ... Tuan ...”Bree mendengkus, langsung ke kamar mereka, “dasar, pelayan bodoh!” umpatnya. Dia langsung melihat ke dalam lemar. Baju Axel masih ada. Ada beberapa barang yang tidak ada di sana.“Awas saja, kau Lily!” ancam Bree. Namun, Bree ingat misi kecilnya. Mungkin saat ini gadis dungu itu sudah pergi ke neraka!Tidak lama ponsel Bree bergetar, “Ah, ini pasti kabar buruknya,” ucap Bree dengan senang. Namun, yang dia lihat di layar ponselnya, nama Diego yang muncul.“Ada apa dengan orang dungu yang satu ini?” Tapi Bree menggeser tombol hikau untuk menerima panggilan itu.“Ada apa?” tanya Bree langsung tanpa basa-basi.“Si pembunuh itu mengembalikan uangnya. Dia bilang misinya gagal.”“APA!?” Bree tidak tahan dengan semua ini. Bayangan keindahan tentang kematian Lily semuanya hilang. Dan Axel ...Br
Satu hari sebelumnya, Nyonya Margot sangat prihatin dengan keadaan Lily, yang terlalu bersedih dengan keadaan Kate. Sudah beberapa hari Kate belum sadar paska operasi. Walau operasinya berhasil, tapi Lily tidak percaya kalau Kate akan baik-baik saja. Karena sahabatnya itu belum bangun juga. “Apa sudah ada kabar dari kepolisian?” tanya Nyonya Margot di ruang perawatan, tempat mereka biasa berkumpul, paling tidak untuk beberapa hari ini. “Belum ada, mereka masih menyelidiki siapa dalang di balik semua ini. Dan apa motifnya. Kalau dari laporan sementara, tampaknya pelaku adalah profesional. Jadi, jejak mesiunya tidak terlihat di sekitaran TKP.” Nyonya Margot manggut-manggut, ada Axel yang duduk di sofa, sambil mengerjakan beberapa pekerjaan. Nyonya Margot memperhatikan Lily yang sedang ada di sisi ranjang pasien, menggenggam jemari Kate. Sudah berhari-hari seperti ini. Meski tidak berpengaruh ke kandungannya, tapi Nyonya Margot tetap saja khawatir. “Dia harus pulang,” kata Margot.
Atasan Steven, Ares, seperti dewa perang. Tapi, dia tidak mau diidentifikasi sebagai dewa peperangan. Agensinya adalah penyedia personal bodyguard. Semata-mata ingin membantu orang agar merasa lebih aman. “Pak, Pak Ares ada di mobil,” kata seorang sopir yang datang ke Steven. Lelaki itu baru saja akan menukar identitas agar bisa naik ke lantai tempat Ares bekerja. Steven menuruti apa yang dikatakan orang itu. Dia yakin itu adalah suruhan Ares. “Mau ke mana?” tanya Steven kepada sopir itu. “Langsung ke klien yang nanti Anda akan tangani.” “Oke,” jawab Steve dengan tegas, dia masuk ke dalam mobil di jok belakang. Sudah ada Ares di situ. Ares diam, dia bukan orang yang banyak basa basi. “Katakan, berapa yang kau mau?” “Perbulan, sepuluh ribu dolar. Pengusaha itu akan sulit dilindungi. Banyak wartawan yang nanti akan mengawasinya. Aku pikir itu jumlah yang wajar.” “Kau tidak melindungi pengusaha itu, tapi kau akan melindungi istrinya,” jelas Ares. Steven kaget sendiri dia tidak m
Steven bimbang, apa iya harus sekarang?“Soal pakaian jangan khawatir, akan kami sediakan di ruangan untukmu,” kata Meredith lagi.Steven melongo, tidak percaya dengan apa yang diucapkan Meredith. Apa iya?Ares menunggu respon dari Steven. Dia menatap lelaki itu.“Baik kalau begitu,” jawab Steven dengan tegas.Ares masih menatap Steven, yang tampaknya bukan seperti Steven, biasanya dia akan mempersiapkan diri, mempelajari siapa klien yang akan dia dampingi.Steven membalas tatapan itu acuh tak acuh.“Kalau begitu, bagaimana kalau kita bahas kontraknya?” usul Meredith. “Apakah ada isi kontrak tambahan. Rasanya aku masih punya draf perjanjian yang terdahulu.”“Bisa kau pakai, jika ada tambahan, bisa informasi lewat email seperti biasa.” Ares, berdiri. “Kalau begitu aku pamit, dan aku tinggalkan Apollo di sini,” tambahnya.Lily diam, tidak menjawab apa-apa. “Kalau begitu, aku akan mengantar Lily dan Apollo ke apartemen, atau kau mau di rumah Nyonya Margo