Axel memacu mobilnya dengan cepat. Sejak Meredith meneleponnya dia tidak mampu berpikir jernih.Sekarang dia memikirkan nasib Lily dan anak yang dikandungnya? Axel mendengar kalau Kate yang tertembak, tapi bukan berarti Lily juga terkena tembakan, kan? Pikiran itu dengan cepat Axel singkirkan, tidak mungkin! Tapi, mungkin saja, kalau Lily ada di dekat Kate. Axel pusing sendiri, dia mengerang. “Apa aku sudah gila?” tanyanya sendirian. Matanya tajam fokus ke jalanan yang padat. Dan etah berapa kali, Axel membunyikan klakson agar kendaraan yang dia kendarai bisa lewat dengan cepat. “Hei!” pekik Axel kesal lampu rambu lalu lintas sudah bergant jadi hijau. Tapi, mobil yang ada di depannya belum jalan juga. “Apa dia buta atau tuli? Kenapa belum jalan juga?” Axel menekan klakson. Hingga mobilnya bisa melaju lagi. Karena kecepatan penuh, dalam waktu beberapa menit, Axel sudah sampai di rumah sakit. Dia berlari begitu moblnya sudah diparkir.Kalang kabut mencari di mana Lily atau—Kate
“Dok, tidak perlu banyak basa basi,” sambar Axel, menatap galak Liam. “Lebih baik Anda segera menyelesaikan pemeriksaan ini.” Lily salah tingkah ketika Axel berlaku begitu. “Tuan bisa menunggu di luar kalau mau.” “Ya, itu ide bagus,” cetus Liam sambil tersenyum ke arah Lily, lalu menatap Axel. “Saya akan menginformasikan keadaan Lily.” “Apa?” Axel dongkol. Dia disuruh tunggu di luar. Kenapa dokternya lelaki? Harus Axel akui dia risi melihat dokter lelaki memeriksa Lily. “Saya sudah terlalu lama menunggu di luar. Lagian, mana Dokter Janet?” “Dokter Janet sedang ada di luar negeri untuk seminar. Dia akan bertugas selama dua minggu. Setelah itu, Dokter Janet akan ada di Afrika untuk mengurusi masalah kelaparan pada ibu hamil. Mungkin untuk beberapa bulan.” Dokter Liam menjelaskan dengan lengkap sambil memeriksa Lily, menyuruh perawat mengambilkan peralatan. Axel mendengkus, jadi selama beberapa bulan ini dia harus melihat wajah sial Liam? Lelaki itu menggerutu. Dan keluar dari ruan
Tatapan mata Bree beubah jadi galak. “Apa maksudmu memindahkan barang? Apa Axel akan meninggalkan rumah ini?” desisnya.Pelayan yang ada di hadapannya tidak mampu menjawab. Gelagapan. “Um ... Tuan ...”Bree mendengkus, langsung ke kamar mereka, “dasar, pelayan bodoh!” umpatnya. Dia langsung melihat ke dalam lemar. Baju Axel masih ada. Ada beberapa barang yang tidak ada di sana.“Awas saja, kau Lily!” ancam Bree. Namun, Bree ingat misi kecilnya. Mungkin saat ini gadis dungu itu sudah pergi ke neraka!Tidak lama ponsel Bree bergetar, “Ah, ini pasti kabar buruknya,” ucap Bree dengan senang. Namun, yang dia lihat di layar ponselnya, nama Diego yang muncul.“Ada apa dengan orang dungu yang satu ini?” Tapi Bree menggeser tombol hikau untuk menerima panggilan itu.“Ada apa?” tanya Bree langsung tanpa basa-basi.“Si pembunuh itu mengembalikan uangnya. Dia bilang misinya gagal.”“APA!?” Bree tidak tahan dengan semua ini. Bayangan keindahan tentang kematian Lily semuanya hilang. Dan Axel ...Br
Satu hari sebelumnya, Nyonya Margot sangat prihatin dengan keadaan Lily, yang terlalu bersedih dengan keadaan Kate. Sudah beberapa hari Kate belum sadar paska operasi. Walau operasinya berhasil, tapi Lily tidak percaya kalau Kate akan baik-baik saja. Karena sahabatnya itu belum bangun juga. “Apa sudah ada kabar dari kepolisian?” tanya Nyonya Margot di ruang perawatan, tempat mereka biasa berkumpul, paling tidak untuk beberapa hari ini. “Belum ada, mereka masih menyelidiki siapa dalang di balik semua ini. Dan apa motifnya. Kalau dari laporan sementara, tampaknya pelaku adalah profesional. Jadi, jejak mesiunya tidak terlihat di sekitaran TKP.” Nyonya Margot manggut-manggut, ada Axel yang duduk di sofa, sambil mengerjakan beberapa pekerjaan. Nyonya Margot memperhatikan Lily yang sedang ada di sisi ranjang pasien, menggenggam jemari Kate. Sudah berhari-hari seperti ini. Meski tidak berpengaruh ke kandungannya, tapi Nyonya Margot tetap saja khawatir. “Dia harus pulang,” kata Margot.
Atasan Steven, Ares, seperti dewa perang. Tapi, dia tidak mau diidentifikasi sebagai dewa peperangan. Agensinya adalah penyedia personal bodyguard. Semata-mata ingin membantu orang agar merasa lebih aman. “Pak, Pak Ares ada di mobil,” kata seorang sopir yang datang ke Steven. Lelaki itu baru saja akan menukar identitas agar bisa naik ke lantai tempat Ares bekerja. Steven menuruti apa yang dikatakan orang itu. Dia yakin itu adalah suruhan Ares. “Mau ke mana?” tanya Steven kepada sopir itu. “Langsung ke klien yang nanti Anda akan tangani.” “Oke,” jawab Steve dengan tegas, dia masuk ke dalam mobil di jok belakang. Sudah ada Ares di situ. Ares diam, dia bukan orang yang banyak basa basi. “Katakan, berapa yang kau mau?” “Perbulan, sepuluh ribu dolar. Pengusaha itu akan sulit dilindungi. Banyak wartawan yang nanti akan mengawasinya. Aku pikir itu jumlah yang wajar.” “Kau tidak melindungi pengusaha itu, tapi kau akan melindungi istrinya,” jelas Ares. Steven kaget sendiri dia tidak m
Steven bimbang, apa iya harus sekarang?“Soal pakaian jangan khawatir, akan kami sediakan di ruangan untukmu,” kata Meredith lagi.Steven melongo, tidak percaya dengan apa yang diucapkan Meredith. Apa iya?Ares menunggu respon dari Steven. Dia menatap lelaki itu.“Baik kalau begitu,” jawab Steven dengan tegas.Ares masih menatap Steven, yang tampaknya bukan seperti Steven, biasanya dia akan mempersiapkan diri, mempelajari siapa klien yang akan dia dampingi.Steven membalas tatapan itu acuh tak acuh.“Kalau begitu, bagaimana kalau kita bahas kontraknya?” usul Meredith. “Apakah ada isi kontrak tambahan. Rasanya aku masih punya draf perjanjian yang terdahulu.”“Bisa kau pakai, jika ada tambahan, bisa informasi lewat email seperti biasa.” Ares, berdiri. “Kalau begitu aku pamit, dan aku tinggalkan Apollo di sini,” tambahnya.Lily diam, tidak menjawab apa-apa. “Kalau begitu, aku akan mengantar Lily dan Apollo ke apartemen, atau kau mau di rumah Nyonya Margo
Bree menggoda Axel, menggelayut lengan lelaki itu. Setelah menaruh cokelat panas yang sudah diracik. Agar Axel lebih bernafsu, tidak bisa menahan lagi birahinya. Bree memasukkan obat perangsang. “Aku bawakan kau cokelat panas favoritmu,” kata Bree dengan suara yang seksi bermaksud menggoda Axel. Namun, lelaki itu masih saja menatap laptop. Tidak terdistraksi sama sekali oleh kehadiran Bree. “Aku merindukanmu, Sayang,” goda Bree berbisik di telinga Axel. Dengan Bree bicara begitu, dia menoleh ke arah Bree lalu menatapnya dalam. “Kau tidak marah atau tersinggung dengan perkataanku tadi?” Bree terpaksa menjatuhkan harga dirinya di depan Axel. “Tidak sama sekali. Aku tahu aku salah tidak pernah melihat keadaan Lily, padahal dia juga sudah membantuku.” Suara Bree merajuk, agar Axel luluh. Axel melihat kalau Bree menyadari kesalahannya. Jadi, dia meminum cokelat panas yang Bree bawakan. Dan tidak merespon perkataan Bree. “Besok, tengoklah Lily di rumah sakit. Kamu bisa menganggap dia
Sebenarnya, Axel khawatir dengan apa yang terjadi pada Lily. Apalagi ketika ingat kalau Lily lemas sekali setelah muntah-muntah, kalau begitu Lily bisa sakit nanti. Dan bisa berakibat buruk ke anak yang ada di kandungannya.Jadi, waktu mendengar Lily muntah, Axel buru-buru ke kamar Lily. Axel juga lupa kalau dia habis mandi dan belum pakai baju. Hanya handuk yang melilit bagian bawahnya saja. Lily terus terang kaget ketika melihat Axel tiba-tiba berdiri di ambang pintu toilet. Dia berteriak. “Aargh!” Mata Axel membesar, “Apa?” Mendengar teriakan, Apollo Satu yang sedang berjaga di ruang tengah, berlari ke arah suara. Dia merangsek masuk tanpa bersuara, siap menolong Lily. Tapi, yang dia lihat sungguh membuat dia kaget sendiri. Axel dan Lily ada di kamar mandi? Apalagi melihat Axel yang bertelanjang dada. Mata Apollo Satu memelotot, tubuhnya membeku tidak mampu bergerak. Lily pun membeku begitu melihat Apollo Satu ada di kamarnya. “Ada apa kamu ke sini?” tanya Axel langsung. “S