Hallo, hallo, apa kabarnya kalian... Kalo kalian suka cerita ini, silakan tekan bintang, vote dan komen, ya!
“Kau? Untuk apa kau di sini?” tanya Bree sinis dan kasar. Matanya tajam menatap Apollo Satu.“Maaf, Nyonya, ada yang bisa aku bantu?” tanya Apollo Satu tanpa memedulikan pertanyaan Bree. Pura-pura tidak kenal, dia berdiri di depan pintu masuk.Sekilas Bree berpikir, kalau dia salah orang. Tapi, dia yakin kalau itu adalah si pembunuh.“Awas, aku mau masuk,” ucapnya pongah.“Apakah Anda sudah membuat janji?” tanya Apollo dengan ramah. “Untuk menjenguk Kate, Anda harus membuat janji dulu.”“Apa? Biarkan aku masuk, minggir!”Apollo menangkap tangan Bree. “Nyonya, harap mengerti, kalau Anda tidak bisa masuk sembarangan! Paling tidak Axel mengizinkan Anda masuk.”“Axel itu suami saya! Dan saya tidak perlu meminta izinnya untuk menjenguk pelayan!” Bree berusaha melepaskan diri dari Apollo Satu.Namun, Apollo makin erat memegang Bree. “Maaf, Nyonya saya harus menahan Anda di sini. Saya akan tanya dulu, telepon Axel.”“Tidak bisa!” Bree memberontak. “Lepaskan aku!”Tidak lama, Lily membuka pin
Bree merasa hari itu adalah miliknya. Di mana Axel kembali menjadi suaminya yang manis dan juga penurut.“Axe, bagaimana kalau kita makan malam setelah itu kita menonton bioskop?” usul Bree setelah Axel menyelesaikan rapat dan kembali ke ruangan.Lelaki itu menghela napas, mengusap kuduknya. “Bagaimana kalau kita lakukan itu di rumah saja? Aku kelelahan,” katanya dengan pelan. Hari ini dia tidak mau membuat Bree stress dan kecewa lagi.Bree mendengkus, sudah membayangkan kalau dia akan pergi bersenang-senang.“Kau tahu, kan kalau ada paparazzi di mana-mana. Bagaimana kalau kita nanti repot sendiri dengan para juru foto itu?” bujuk Axel.Bree bangkit dari duduknya, dia berjalan dengan centil ke belakang Axel. Tangannya meraba dada suaminya.“Tapi, aku bosan sekali ada di rumah,” rajuk Bree, “Kau setiap hari bekerja, aku mana bisa keluar rumah. Lily ada pengawal prbadi. Aku?”Axel menarik napas, dia menggenggam tangan Bree yang ada di dada bidangnya.“Aku juga bosan, tapi mau gimana lag
Dalam kepala, Bree menyusun rencana kalau Axel mengusirnya dan menjadi gelandangan. Mungkin dia akan mengutuk Diego dulu, baru akan memikirkan bagaimana caranya agar bisa dapat uang. Cari suami seperti Axel, adalah keajaiban. Mana ada di mana lagi lelaki seperti ini? Sementara, Axel begitu antusias menuju apartemen mamanya Bree. Dia terus tersenyum sambil menggandeng tangan Bree. “Aku agak gugup. Lama sekali tidak bertemu dengan mamamu. Lihat saja telapak tanganku basah.” Bree mencibir dalam hati. “Bisa saja, kamu tahu, kan, dia kan sangat menyukaimu,” kata Bree tegang. Sampai di lantai tempat unit apartemennya. “Kau kan pernah bertemu dengannya.”“Ya, beberapa kali. Terakhir ketika kita menikah.” “Dia selalu menyukaimu, Axel.” Bree ragu membunyikan bel. Tersenyum serba salah ke arah Axel. Wanita itu menghitung detik demi detik menuju kehancuran dirinya. Dan bunyi pintu dibuka, Bree hampir kena serangan jantung. Memejam, tidak mau melihat siapa yang ada di balik pintu. “Hallo
“Asal kau tahu saja, Lily saat ini punya pengawal pribadi jangan abaikan itu.” Bree berkata seolah Carol tidak tahu dengan keadaan Lily dan rumah yang dia tempati. “Tidak mudah mengambil kesempatan untuk membunuhnya.” “Tentu saja aku tahu, bodoh. Jangan kau remehkan aku,” balas Carol. Diego memberikan minuman untuk Bree. “Kalau begitu, katakan.” “Salah seorang pelayan yang ada di apartemen gadis itu hari ini mengundurkan diri karena takut. Kau bisa memanfaatkan keadaan ini. Dengan memasukkan orang yang akan kita suruh untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang Axel dan Lily. Dan kau bisa membunuh Lily perlahan.” Bree menghela napas kemudian terdiam. “Apakah cara ini akan berhasil?” wanita itu memajukan badan, tertarik dengan ide Carol. “Aku punya teman yang akan aku tugaskan untuk ini. Kau hanya perlu menyiapkan bayaran untuknya. Dia sangat piawai dalam menjalankan tugas. Mungkin pertama-tama dia tidak langsung membuat Lily mati. Dia akan mengincar janinnya dulu.” Bree m
Ami gelisah, meremat-remat ujung kemejanya. Namun kemudian, Ami sadar kalau dia tidak boleh kelihatan ragu. “Aku dapat inf ormasi dari seorang teman. Kebetulan, aku juga butuh pekerjaan ini. Untuk anak-anakku.” Axel dan Apollo langsung saling menatap. Mereka tidak curiga dengan semua jawaban Ami. Tapi, Apollo Satu memberi isyarat kepada Axel untuk menunda dulu menerima Ami sebagai karyawan di sini. “Berapa gaji yang kau harapkan?” tanya Axel. “Terserah tuan,” jawabnya lagi seolah pasrah dengan pekerjaannya. Axel mengangguk, dia lalu membaca lagi data yang tadi Ami bawa untuk melamar pekerjaan. “Bisa bicara berdua?” tanya Apollo kepada Axel. Axel menuruti Apollo, berjalan ke ruangan lain untuk bicara berdua. “Aku mau menerima dia,” kata Axel tegas kepada Apollo. “Apa kau tidak ragu? Atau khawatir. Rasanya kita perlu mencari kandidat baru,” usul Apollo secara logis. “Jujur saja, aku tidak percaya dengannya.” “Lalu, apa kau ada kandidat?” tanya Axel lagi lalu mendengkus, tidak s
Axel mengalihkan pandangannya ke pintu, mendengar ada ketukan di sana. “Masuk!” serunya.Itu Ami yang membawakan sarapan. “Tuan, ini sarapan untuk Nona Lily,” katanya sambil mendekat ke arah ranjang.“Taruh di nakas depan pintu saja,” suruhnya sambil menunjuk nakas itu dengan dagu.“Baik,” jawab Ami, matanya sedikit menelisik isi kamar Lily, meski tidak banyak yang dia ingat, tapi, sekilas, Ami paham bagaimana bentuknya.“Kamu boleh keluar,” suruh Axel lagi, sambil melihat tingkah laku juru masak itu.“Baik, Tuan,” jawab Ami.Lily mau turun dari ranjang, tapi Axel mencegahnya.“Biar aku saja yang ambil makanannya,” kata Axel sambil turun dari tepian ranjang, membuka jasnya, lalu disampirkan di pimggiran ranjang. Dia juga membuka dasi, lalu menggulung lengan kemejanya sampai siku.Lily melihat Axel bergrak lamban, mengapa Axel begitu mempesona? Apa mungkin karena Lily jarang sekali jatuh cinta?Lalu, pikirannya melayang kembali ke malam itu.Ketika Axel pertama kali menyentuhnya. Suara
“Cantik bagaimana?” mata Lily memelotot menatap si penata gaya itu.“Baik, Nona, aku akan ambilkan yang lain,” katanya dengan santun. Untung saja, Axel dan keluarganya adalah pelanggan VVIP di butik itu. Jadi, semua pelayan memperlakukan Lily dengann baik.Dari sekian banyak gaun, akhirnya Lily memilih salah satu. “Mungkin ini yang cocok,” katanya sambil mengepas di badannya.Sebenarnya, Lily agak kesal melihat bentuk badannya yang membesar, khususnya dadanya. Dan mimpi aneh setiap malam, mimpi dia disentuh oleh seorang pria.Apa ini yang disebut perubahan hormon ketika hamil?Dan Lily merasa sekarang cepat sekali marah,Gaun navy panjang jadi pilihan Lily, keihatan menyala di kulitnya yang putih.Si penata gaya itu memilihkan sepatu untuk Lily juga, “Ini tumitnya tidak terlalu timggi,” dia membantu Lily memasang di kaki Lily. “Bagaimana?”Lily berkaca di ruang ganti. “Bagus, mute-mutenya tidak norak,” katanya. Si penata gaya itu tersenyum, “Sekarang kita beritahu Tuan Axel dan Nona
“Apa kau yakin mengemudi sendiri?” tanya Axel sebelum masuk ke mobil. “Aku pengemudi yang handal. Cepat!” seru Apollo, wajahnya galak, suaranya lantang seperti auman macan. Apollo mengemudikan mobil seperti orang kesetanan, tidak peduli tikungan atau juga jalanan padat dan macet. Matanya tajam dan tepat menanggapi setiap kendaraan atau juga apa pun yang ada. “Kurangi kecepatan, kau bisa membunuh kami!” ujar Axel yang tidak berani membuka mata. Apalagi Lily—yang ada di jok belakang. Namun, Apollo tidak peduli, dia malah menginjak gas hingga mentok. “Astaga! Kurangi kecepatan!” seru Axel lagi. “Atau kau kupecat.” “Kau bisa lihat di kananmu,” kata Apollo. Axel tidak menyangka kalau ada orang yang nekat dan ingin sekali memotretnya. “Ya ampun, apa mau mereka?” Apollo tidak menjawab konsentrasi penuh hingga. Matanya makin tajam menatap jalanan. Sementara Lily dan Meredith saling berpelukan. Mereka percaya dengan Apollo Satu, kalau tindakannya ini benar. “Di belakang,” kata Apollo