“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Axel, setelah selesai menelepon Kevin, dia melihat ada Ami dalam kamar Lily.Ami gelagapan, “Saya membantu menaruh barang yang tadi nona beli,” jawabnya cepat, tanpa ragu.“Ini bukan tugasmu. Seharusnya kau ada di dapur, juru masak tidak seharusnya membantu pekerjaan pelayan,” omel Axel. “Keluar sekarang!” sentaknya.Ami buru-buru membuka pintu dan keluar dari kamar Lily. Sial sekali, hampir saja, kata Ami dalam hati. Dia langsung kembali ke dapur.Axel melihat tumpukan kotak, barang yang tadi Lily beli di toko. Lily tidak tahu kalau Axel sembunyi-sembunyi membelikan Lily baju tidur satin kesukaan Axel.Lelaki itu mencari di mana baju tidur itu dibungkus?Satu per satu Axel membuka kotak yang ada di ranjang. Tampaknya, tidak ada. Apakah memang tadi lupa belum dibungkus atau bagaimana?Kotak terakhir, ini harapan Axel. Dan ... bingo! Ini dia pakaian tidur yang Axel maksud. Padahal, Lily belum memakainya, tapi Axel sudah membayangkan wanita itu ada
Terus terang, Axel seperti membeku ketika Lily tersenyum smirkApa yang dia mau? tanya Axel dalam hati. Oh, tentu saja, bodoh! Umpatnya dalam hati. Lily menyetujui hal yang dia minta kemarin.Axel pernah membaca di internet hasil survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga. Kalau wanita hamil punya hasrat lebih tinggi dari pada biasanya.Apa ini yanag dimaksud? Sampai-sampai Lily rela menggoda Axel?Dan semua godaan Lily membuat Axel tidak mampu menahan lagi semuanya. Apa pun yang dia bayangkan tentang Lily, malam ini akan menjadi kenyataan.“Apa yang kau inginkan?” tanya Axel dingin, jantungnya menderap. Menelan ludah, membuat jakunnya naik turun. Matanya liar menatap Lily, apakah memang benar akan terjadi?Dan itu kelihatan oleh Lily. “Anda.”Axel bangkit dari kursinya, dengan cepat memagut Lily, hingga membopongnya ke kamar.“Apa ini akan bahaya?” tanya Axel setelah dia ada di ranjang bersama Lily, busana yang mereka kenakan sudah terlepas sepunuhnya.“Tidak ada masalah. Tapi kalau k
“B—Baik, Pak. Saya akan tanyakan langsung.” Namun, Kevin menahan jarinya untuk menghubungi Meredith. “Harusnya aku laporkan dulu ke Pak Axel,” gumamnya. Black mendelik ke arah Kevin, “Cepat tanyakan! Jadi aku tahu apa yang harus aku lakukan.” Kevin menuruti perkataan Black. Langsung menekan nomor Meredith. “Hallo, Bu Meredith, aku mau tanya, kemarin Anda bilang sudah menyuruh orang untuk menghentikan paparazzi, apakah orang itu William Han?” tanyanya langsung. Beberapa saat, Kevin menunggu, dia menatap Black yang ada di seberangnya. “Ya, itu dia,” jawab Meredith pada akhirnya. “Baik, terima kasih,” Kevin memutus sambungan telepon. Lalu kemnali menatap Black. “Benar, itu William Han.” Black bergegas, menelepon seseorang untuk membantunya. “Tampaknya kita tidak akan bisa menghentikan William Han. Apa yang kau bawa saat ini, tidak akan pernah cukup. Kecuali, orang yang menyuruh Han berhenti membayarnya,” ucap Black lagi. Kevin paham dengan situasi ini, dia harus bisa memberikan i
Analisa sementara dari Meredith, ini dilakukan oleh orang dekat. Namun, tidak menampik kemungkinan kalau ini juga dilakukan oleh salah seorang dari kantor Axel.“Apakah Bree?” tanya Axel pelan, sambil meninggalkan Meredith di ruang tamu. Bersiap ke kantor. Axel hanya berpikir akan mampir ke apartemen Bree. Sementara di apartemennya, Bree terbangun di apartemen Diego, semalaman tidak bisa tidur. Kabar berita tentang Axel dan Lily mengganggu pikirannya. “Apa-apaan? Mengapa Axel bisa belanja dengan tenang bersama Lily?” Foto-foto Axel bersama Lily membuat Bree panas, jadi dia kembali ke apartemennya dalam keadaan marah dan cemburu. Mereka berbelanja di outlet termahal dan terkenal? Mengapa Axel tidak pernah menemaninya belanja akhir-akhir ini? Bree sudah uring-uringan ketika sampai di apartemennya. Awas saja! ancamnya dalam hati. Wanita itu mengingat-ingat kata-kata Diego, kalau dia harus tenangkan diri dulu. Jadi Bree sebisa mungkin menguasai dirinya dengan mandi air dingin. Set
Axel berpikir, kalau Bree harus disadap, dan hanya Apollo Satu yang tahu caranya. Jadi, dalam mobil, Axel menelepon si pengawal pribadi itu. “Kau harus menyadap apartemen Bree. Siang nanti kau bisa ke apartemennya, dia akan ke kantorku untuk makan siang. Aku akan bilang, kalau aku memesan tukang untuk membersihkan apartemen.” Apollo sedikit terperanjat, Bree sudah tahu wajah Apollo. Tapi, pikirannya sudah melintas kalau dia akan memakai topi yang bisa menutupi wajahnya agar tidak terlacak. “Baik, akan aku kerjakan,” jawab Apollo. “Aku akan pastikan Lily aman dulu. Siang nanti.” “Baik, kerjakan saja, jangan lebih dari satu jam, aku akan kabari kalau Bree sudah menuju kantorku.” “Baik,” jawab Apollo. Sambungan telepon itu terputus. Axel baru saja melepas rem tangan, bersiap menjalankan mobilnya. Namun, sekali lagi, ponselnya berbunyi. Nama yang tampil di layar ponselnya adalah, Lily. “Ya?” sapa Axel langsung tanpa basa basi. Dia tidak bisa banyak bicara saat ini. Kecurigaan kepad
Sementara itu, Lily terlalu khawatir dengan Kate. Sebelum Apollo Satu pergi ke apartemen Bree, “Li, aku ada urusan sebentar, tolong jangan ke mana-mana, mengerti?” Lily saat itu ada di kamarnya, di depan meja rias. Apartemen ini memang luas dan mewah, tapi kalau tidak boleh ke mana-mana, ada rasa bosan dalam hati Lily. Lily mengangguk, mengiakan suruhan Apollo. Tapi, dia tidak bisa diam saja, harus ada yang ke rumah sakit untuk menjemput sahabatnya. Lily diam-diam memperhatikan keadaan di luar apartemennya. Sepi. Tidak ada siapa pun, biasanya beberapa hari ini banyak wartawan dan juga paparazzi bertebaran di mana-mana. Dia turun dari unit kamarnya, pakai lift ke lobby.Ada penjaga pintu yang menyapanya, “Nona Lily, apa kabar, apa kau sehat?” “Sehat. Terima kasih,” balasnya. Matanya terlihat berkeliling, seperti mencari sesuatu. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya si penjaga pintu itu. “Ya, aku mau ke rumah sakit di pusat kota. Tapi ... aku tidak tahu harus naik apa.” “Ba
Lily menutup telinga, tidak tahu siapa yang menembak dan tertembak. Tubuhnya membeku entah berapa detik, perlahan membuka mata, melihat Axel masih berdiri di hadapannya. Tangan kanannya memegang senjata yang larasnya mengepulkan asap. Tangan Axel meraih tangan Lily, “Ayo, cepat pergi dari sini!” suruhnya. Apollo mengangguk, dia membiarkan Axel berjalan duluan bersama Lily menuju lift. “Cepat!” sentak Apollo. Di depan pintu lift Lily tampak tidak mau masuk. “Bagaimana dengan Kate?” tanyanya ketakutan. Apa Kate sudah dilukai duluan? “Kate sudah pulang bersama Meredith,” sambar Axel. “Cepat, mtukasuk!” Apollo dengan cepat mengikuti Axel dan Lily masuk ke lift. “Siapa mereka?” tanya Apollo, menatap Axel penuh dengan rasa penasaran. Matanya masih berkilat penuh amarah. Sementara Lily seperti menyaksikan adegan aksi dari tadi. Dalam hati ngeri sendiri.“Tadi, kau berhasil ke apartemen Bree?” Axel seolah mengalihkan pembicaraan. “Ya, aku sudah memasang alat penyadap itu,” jawab Ap
Acara ulang tahun kantor Axel sudah di depan mata, persiapan yang dilakukan oleh tim pengatur cara sudah sembilan puluh persen. “Sukseskan acara ini,” seru Axel, setelah melihat aula yang akan digunakan untuk acara tersebut. Wajahnya terlihat semringah. Dan Apollo mulai hari ini mengikuti Axel, dia harus tahu di titik mana saja akan ditaruh pengawal. Di apartemen, Lily bersama dengan pengawal pribadi, dan itu perempuan. Axel tidak mau ada lelaki lain mendampingi Lily.“Bagaimana?” Axel menanyakan soal protokoler keamanan yang dibuat oleh Apollo. “Karena ada dua lokasi, aku bagi menjadi dua. Yang pertama nanti akan ke tempat yang kedua djuga. Di sini aku kerahkan dulu orangku. Sebagian ada yang bersenjata, dan mereka akan menembak kalau memenuhi standar protokol.” Mata Axel membesar, dia mengelus dagunya. “Apa tidak masalah?” Apollo menghela napas, “Ini hanya sebagian, Axe. Mungkin hanya empat orang termasuk aku. Agensi kami ada izin tertulis dan kerjasama dengan pihak kepolisian.