Prapto seorang pria beristri tiga, umurnya yang sudah tidak muda lagi. Oleh sebab itu, dia putus asa dan begitu menginginkan anak. Sayangnya, belum juga dikaruniai. "Jamu, Mas?" Ratih yang membantu ibunya menjual jamu keliling kampung, menawarkan jamunya. "Aku hanya butuh anak bukan jamu seperti ini." Ratih pun tersenyum, "Dengan minum jamuku, jangankan anak, semua pasti akan sembuh, kalau istri Mas Prapto tidak juga hamil, aku yang memberikan anak untuk Mas Prapto." Siapa sangka, kalimat itu adalah awal mula pekata datang menghampiri Ratih. Prapto menjadikan Ratih istri ke-4 karena ketiga istrinya tak kunjung hamil juga, bahkan setelah minum jamu buatan Ratih. Apakah Ratih akan hamil? Kenapa ketiga istri Prapto tidak bisa hamil? Apa Ratih mau dijadikan istri ke empat oleh Prapto?
View More“Bodoh! Istri tiga, cantik semua, berpendidikan, tak ada satu pun yang bisa memberiku seorang anak. Bodoh kalian!” bentaknya tak peduli dengan isak tangis atas kehilangan. Prapto juga tak tahu ini kematian yang ke berapa. Dia malas dan lelah. Kalau dipikir, sudah lebih dari lima belas kali, dan tak ada satu pun yang selamat dari maut.
Rumah besar berisi semua hal yang terbilang mahal ini terasa percuma. Hanya dipenuhi dengan suara tangis karena orang berkabung. Mereka telah kehilangan pewaris untuk yang kesekian kalinya. Hanya ada satu orang yang tak menitikkan air mata sedikit pun, yaitu Prapto. Dia terus saja mengoceh.
Sumi, istri tertua pun mendekati sang kepala keluarga. “Kakang, semua hal yang kita inginkan itu harus atas restu Sang Gusti, kita tidak bisa membeli atau bahkan memaksa, hanya bisa menunggu dikasihani lalu diberi.”
“Itu hanya pikiranmu saja yang bodoh!” bentak Prapto lagi, “Kalau kalian pintar, memang sekolah tinggi dengan benar, sangat mudah seorang anak itu, tapi kenyataannya apa?” Prapto menggeleng, “Rugi aku memberi kalian perhiasan, makanan sehat, bahkan tanah untuk orang tua kalian, rugi!”
Baru saja Sumi akan membuka mulut kembali, Prapto segera bediri dari kursi yang sedari tadi dia duduki, ke luar, mengajak kusir mencari udara segar ke warung kopi di tengah desa. Hanya di tempat ini Prapto bisa bernapas lega. Selain semua blantik sapi dan kerbau berkumpul di sini, semua perempuan melayaninya penuh senyum, semarah apa Prapto hatinya bisa melunak juga.
“Jamu, Mas?”
Prapto menoleh, “Aku tidak pernah melihatmu. Baru?” tanyanya ke penjual jamu dengan kebaya merah jambu, masih muda, entah Prapto yang sok tua atau memang merasa penjual jamu itu seperti putrinya andai Sumi memberinya keturunan sejak dulu.
“Iya, Mas. Jamu?” Tak lelah menawarkan dagangannya.
Prapto terkekeh, “Jamu biar bisa punya anak, ada?”
“Ada to, Mas kurang perkasa? Eh!” Segera menutup mulut, baru menyadari akan kesalahannya.
Prapto tak tersinggung, dia malah tertawa ringan, “Istriku tidak bisa memberiku anak, semua prematur dan lahir mati. Aku mau anak, kamu bisa memberiku jamu sepeti itu?”
“Oooo ...” Prapto mengangguk paham, “bisa. Tapi, minumnya harus tiga hari sekali, kalau mau setiap pagi, tapi harganya mahal.”
“Yakin? Kalau anakku tidak lahir juga?” Prapto tersenyum ingin tahu jawaban perempuan di hadapannya.
“Biar aku yang buatkan anak, Mas,” ucap perempuan itu sambil Menuang jamu, memberikannya ke tuan yang baru saja dikenal ini.
Prapto tertawa lagi, “Siapa namamu, Nduk?” Prapto menerima jamu itu sambil meminumnya, rasa kunyit dan asam, sangat menyegarkan.
“Ratih, kalau Mas?” menerima gelas yang dikembalikan setelah jamu yang dituangnya tadi pindah ke perut.
“Prapto,” jawabnya yang merasa gadis bernama Ratih ini sangat sopan meski biasanya penjual jamu akan centil dan manja ke padanya. “Kalau dilihat umurmu masih muda? Iya?”
“Masih 23 tahun, ibuku juga jualan jamu, Mas. Bapak sakit, jadi aku ikut jualan jamu, Mas Prapto tenang saja, jamu ibuku sangat manjur.”
Ratih segera membungkuskan jamu dua buah, menyerahkannya ke Prapto, “Ini bukan jamunya, Mas. Hanya untuk pemanasan saja, nanti sore istri Mas Prapto akan haid, untuk membersihkan rahim dulu. Besok, aku jualan ke desa sebelah, baru lusa ke sini lagi, jamu yang Mas Prapto pesan akan kubawakan.”
Prapto terkekeh, merasa aneh dan konyol. Banyak dukun, tabib, bahkan dokter dari kota yang mencoba memberinya keturunan, masak iya dengan Ratih semudah ini? Antara percaya dan tidak, nyatanya Prapto hanya bisa menertawakan dirinya sendiri.
“Berapa?” tanyanya sambil mengeluarkan dompet dari balik celana bagian dalam.
“Untuk perkenalan, 150 ribu. Kalau lusa, satu paket 100 ribu. Karena jamunya 2, jadi 200 ribu.”
“Buatkan saja besok, aku akan mencarimu ke desa seberang, tapi kalau jamu itu tidak manjur, kutagih janjimu, Ratih.”
Prapto mengeluarkan uang dua lembar ratusan ribu dan menyerahkannya ke Ratih.
“Beres. Kalau manjur, beri saja aku hadiah.” Ratih tertawa ringan, menerima uang itu, dan mengembalikannya lima puluh ribu ke Prapto.
“Ambil saja, untuk mengikatmu agar jamumu benar-benar manjur, tak main-main denganku.”
Ratih pun tersenyum, memasukkan selembar lima puluh ribu itu ke dompetnya lagi, “Pasti, Mas Prapto. Terima kasih, saya keliling dulu.”
Ratih menggendong kembali rinjing jamunya, berjalan keliling kampung untuk menjajakan dagangannya lagi.
“Jamu-jamu, jamu, Mas?” tawarnya ke semua pria yang sedang membeli kopi dan gorengan di warung yang terbilang ramai ini.
Tak buang waktu, Prapto segera mengajak kusir pulang. Sesampainya di rumah yang masih ramai dengan pelayat dari berbagai penjuru yang menaruh hormat pada dirinya sebagai blantik terkaya di kampung ini, Prapto berjalan melewati mereka semua. Dia mengabaikan semua pelayat itu dan segera menarik tangan Sumi masuk ke kamar.
“Minum ini, Sumi.” perintahnya tanpa ingin ditolak.
“Apa ini, Kang?” Sumi heran karena tidak biasa Prapto menyuruhnya melakukan hal yang sangat aneh.
“Ini jamu. Minum saja, kamu mau punya anak, kan?”
“Sejak kapan Kang Prapto percaya dengan jamu seperti ini? Aku enggak mau.”
Prapto yang tersinggung, menekan lengan Sumi hingga tubuh itu menubruk dinding dan meringis kesakitan. “Kamu minum sendiri atau aku yang menuangkannya ke mulutmu?”
Sumi yang ketakutan, segera mengocok jamu itu, meminumnya, dan membiarkan pahit yang bercampur dengan aroma rempah kuat meluncur untuk melewati tenggorokannya. Semua itu membuatnya ingin muntah. Namun, Sumi menahan dengan sekuat tenaga, tak ingin melihat Prapto semakin marah jika sampai dirinya muntah nanti.
Prapto tersenyum. Pria itu mengambil minuman di nakas dan menyerahkannya ke Sumi.
“Minum!”
Setelah itu baru dirinya sendiri yang meminum jamu jatahnya, lebih pahit dari kunyit asam tadi. Prapto segera membersihkan mulutnya dengan air putih, dan meringis ke Sumi.
“Ambilkan aku makan, aku mau istirahat setelah ini, kamu juga istirahat.” Prapto duduk di ranjang setelah menyalakan kipas angin.
”Oiya!” serunya sebelum Sumi menghilang ditelan pintu, “kalau ada yang mencariku katakan aku tidak di rumah, aku malas menemui siapa pun yang ke sini melayat. Anggap saja, tidak ada apa pun yang terjadi hari ini, ngerti?” ucapnya setelah Sumi menoleh setelah dipanggil.
“Iya, Kang. Aku ambilkan makan dulu.” Sumi segera menutup pintu kamar, ke dapur untuk mengambilkan makan untuk Prapto dan mengantarkannya. Sumi menemani Prapto yang makan dengan lahap.
Wajah itu seolah sedang bersenang hati, meski begitu Sumi juga tidak berani bertanya, hanya menerka semua kemungkinan di dalam kepalanya sendiri. Bahkan, setelah Prapto selesai, Sumi juga ke luar, membiarkan suaminya itu beristirahat. Istri pertama Prapto itu lebih memilih kembali ke ruang tamu untuk menemui pelayat yang terus berdatangan sedari tadi.
Malam sudah tiba, Prapto bangun tepat setelah tahlil di rumahnya selesai. Oleh sebab itu, dia ke luar. Tak lama, istrinya yang ke-3 mendekat dengan membawakan makanan untuknya.
“Ke mana Sumi?” tanya Prapto sambil mengambil sendok, mengisi perutnya kembali.
“Mengawasi orang di dapur. Tadi, ada yang membawa piring lalu pecah.”
“Panggil dia. Aku mau bicara sama Sumi.”
Prapto tidak menyangka kalau Sumi datang sendiri. Istrinya yang pertama itu sudah duduk di depannya. Prapto yang masih makan, tak sungkan bertanya meski akan terdengar aneh bagi Sumi.
“Kamu haid? Aku mau tidur denganmu malam ini.”
Sumi tersenyum, ternyata jamu yang tadi adalah untuk kebaikannya juga.
“Tidak, Kakang. Aku akan menyiapkan diriku dulu.” Sumi berdiri dan segera ke kamar. Dia sangat bersenang hati saat Prapto mengajaknya bermanja.
Berbeda dengan Prapto, dia malah kagetnya luar biasa,
“Kurang ajar! Kamu berani bermain denganku ternyata, Ratih!” lirihnya yang seketika kehilangan nafsu makan karena jamu yang diminumnya tak seperti apa yang Ratih ceritakan tadi siang.
Hampir tengah malam. Prapto masih duduk di ruang tengah. Dia baru saja ke luar dari kamar putranya, Ratih belum pulang, Prapto akan menunggu sampai istrinya itu tiba di rumah. Bukankah Ratih sudah berjanji tak akan menginap? Kini angannya jadi melayang... “Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak mau sampai istrimu tahu.” “Biar saja dia tahu. Bukankah kita sama-sama tahu kalau aku tak pernah menyukai istriku sepenuhnya? Pernikahan ini hasil perjodohan dan kedatanganmu di sini seolah memberiku puas akan dahaga.” “Jangan pernah mengatakan itu.” “Apa yang salah? Aku sudah pernah melakukannya, kau juga, apa salah kalau kita mencoba memuaskan hasrat kita selama ini?” “Aku tidak mau membuat dosa.” “Anggap saja ini hadiah yang bisa kuberikan. Aku janji hanya sekali. Tak ada esok hari. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu, Jum.” Rayuan yang begitu memabukkan, mbok Jum muda pun terbuai, dia membiarkan setiap jengkal kulit disentuh oleh sang mantap, dan sungguh, kenikmatan itu tiada tara.
Mbok Jum terkekeh, “Semua orang memusuhiku.”“Tidak ada yang berlaku seperti itu, Mbok Jum. Semua karena perasaanmu saja karena yang sebenarnya terjadi adalah semua orang butuh waktu untuk menenangkan diri saat hatinya merasa tak baik.” Ratih baru saja selesai makan, dia berdiri karena ingin melakukan banyak hal untuk hari ini, “Jangan banyak memaksa. Setelah waktu yang dibutuhkan tercukupi, semua orang akan menyambutmu sehangat dulu.” Ratih tersenyum, menunduk hormat ke mbok Jum, dan beranjak dari ruang makan. Dia ke halaman, tahu kalau Prapto pasti sibuk, dia tak ingin putranya mengganggu pekerjaan Prapto. Tepat saat dokar berhenti di halaman, Ratih mendekati Prapto dan meminta putranya, tak menunggu siapa tamu itu, dia segera masuk kembali meski hanya bersembunyi di belakang pintu utama. Dokar yang datang adalah milik Prapto. Bisa dipastikan Siti yang ada di dalamnya.Prapto tetap duduk. Dia bahkan mulai meramu lintingan tembakau untuk dinikmati. Lek Tejo yang terus mendekat ke dok
“Ya?!” Prapto berteriak dari kamar mandi. Dia sedang membersihkan tubuhnya. Berharap dengan begitu lelah yang dia rasa akan hilang.Ratih menghela napas menyadari Prapto tak pergi jauh, “Aku membuatkanmu minuman, Mas.” Ratih mendekat, bahkan hampir menempelkan tubuhnya ke pintu kamar mandi.“Aku selesai sebentar lagi, Ratih. Letakkan saja di sana.” Prapto kembali melanjutkan mandinya saat Ratih tak lagi bertanya.Menuju ke almari, Ratih segera mencari surjan dan jarit yang pasti akan pas dikenakan oleh Prapto, tepat dengan suaminya yang baru saja ke luar dari kamar mandi. “Sarapan di dapur hampir siap, Mas.” Ratih mendekat untuk mengambil handuk basah. Menyampirkan agar tak membuat tempat lain menjadi lembab.Prapto mengangguk, “Kau tidak ke kamarmu sendiri? Kupikir anak kita akan mencarimu.” Prapto mulai membuat simpul untuk jarit yang dia kenakan.Ratih menggeleng, “Tidak, Mas. Aku sedang mengandung. Sebisa mungkin aku tak menyusui putra kita. Mas, mau kusiapkan makan di kamar atau
Sudah senja, mbok Jum heran karena pintunya diketuk dari luar, tak pernah ada tamu di jam seperti ini. Dia tetap melangkah ke luar, tersenyum saat melihat siapa yang mengejutkan dirinya, “Apa yang membawamu ke sini, Tejo?” Mbok Jum membuka pintu rumahnya sangat lebar, tapi lek Tejo malah memilih duduk di teras, mbok Jum juga tak mau memaksa lek Tejo untuk masuk.“Siapkan barangmu. Prapto ingin kamu menginap di sana untuk beberapa hari.” Lek Tejo tak menoleh, dia memilih menatap rimbunnya pohon yang mulai gelap, biar cahaya lampu minyak tak mampu membuat halaman luas ini menjadi terang.Mbok Jum terkekeh, “Ada apa? Prapto sudah menemukan Siti?”Barulah lek Tejo menoleh, menatap mbok Jum tajam, gigi menguning hasil dari kinang itu membuatnya jijik. “Baru kali ini kau berani mengatakan nama putri yang kau sembunyikan, kenapa? Kau takut aku memberi tahu Prapto dan membunuh putrimu?” Lek Tejo tak menyangka kalau mbok Jum tetap saja menjadi wanita yang licik.“Apa Prapto sudah berhasil memb
Pekerja pria itu tersenyum getir, “Memang sangat menyakitkan, Aden Prapto.”Tanpa banyak bicara, Prapto memukuli pekerja itu hingga babak belur, dia melakukannya hingga puas. Setelah pria dengan tubuh lunglai seperti seonggok baju kotor, Prapto melepas dengan setengah melempar begitu saja, tak peduli jika napas pekerja itu sebentar lagi akan melayang. “Kau tak menghalangiku?” Prapto terkekeh, “Bukankah dia kekasihmu?” Siti masih menangis sambil duduk di tanah dan Prapto tak juga merasa kasihan.Siti menggeleng, “Aku hanya ingin hidup, bukan berarti aku kekasihnya.”“Hahahaha.” Prapto berjalan mendekati Siti, “Kau pikir setelah menemukanmu aku akan melepaskanmu begitu saja?” Menggeleng sambil mencebikkan bibirnya, “Katakan, sebelum kematianmu datang, apa kau masih ingin bertemu dengan ibumu?” Prapto berjongkok tepat di depan Siti.“Apa yang membuatmu sebenci itu denganku?” Siti seperti menantang, tapi bukan itu yang dia luapkan, hanya penasaran kenapa Prapto tak pernah memberinya kesem
Prapto menghela napas panjang dan dalam, “Di mana tempatnya?” Tadi matahari belum muncul ke permukaan dan kini kepalanya malah pusing karena cukup terik. Prapto terus berjalan menyusuri sungai seperti yang diperintahkan oleh lek Tejo, meski tak menemukan apa pun, sudah kepalang basah. Dia tak ingin kembali dengan tangan kosong.Kakinya yang terlalu lelah, Prapto memilih untuk istirahat, duduk di batu besar, dan minum air sungai. “Di mana tempatnya? Kakiku mau copot.” Prapto menyandarkan punggung, hampir merebah untuk menghilangkan penat sambil menikmati semilir angin. Cukup menyegarkan hingga dirinya hampir saja tertidur. Untung tak sampai karena dia bangun saat mencium harum masakan rumah.Prapto membuka mata, menyapu seluruh sisi untuk mencari apa yang bisa dijadikan pertanda, hingga di kejauhan dia melihat asap. “Apa itu?” Prapto berdiri, “Tak ada pemukiman di sini, sepertinya memang itu.” Terkekeh, Prapto sedikit banyak mengenal daerah yang dia tapaki. Ini adalah tanah kelahiranny
Entah ini ketepatan yang bagaimana, baru saja Prapto turun dan pas sekali di acara ketemu kemanten, jadilah dia ikut mengiring meski bukan sanak kadang mempelai wanita. Seluruh prosesi yang biasa setiap orang hafal, Prapto melihatnya juga, dia pernah melewati yang seperti itu dengan ke tiga istrinya, tapi tidak dengan Ratih. Prapto menoleh ke Ratih, entah seperti apa perasaan istrinya melihat semua ini. Ternyata istri Bima sangat cantik, Ratih menoleh ke Prapto, bertemu tatap dengan pandangan sedih, Ratih malah tersenyum sambil mengusap lengan Prapto, “Ada apa, Mas?” “Pernikahan kita tak seramai ini. Ibu dan bapakmu menangis, kamu juga menangis, saat itu kita menikah dengan diri dipenuhi amarah, Ratih.” Penyesalan selalu datang belakangan. Andai Prapto tahu Ratih adalah satu-satunya wanita yang bisa memberinya anak, dia tak akan sejahat dulu, dan semua sudah terlambat untuk diulang. Ratih tersenyum lagi, “Tidak penting, Mas. Asal Mas tetap sebaik ini, aku tetap menerima semua dengan
Prapto tertawa terbahak-bahak, dua wajah di depannya sangat tegang, “Mbok Minah, aku ingin kau menikah dengan lek Tejo.”“Aden?!” Lek Tejo tak bisa berkata-kata selain menegur Prapto.Minah malah lidahnya jadi kelu. Dia memang suka dengan lek Tejo, pria dewasa itu begitu baik, tapi dirinya ini? Ah! Sangat tidak pantas menjadi salah satu bagian dari juragan tanah seperti aden Prapto.Ratih malah lega, dia pikir Prapto terus membuat onar, ternyata dirinya salah. Ratih jadi berani ke luar, tersenyum ke tamunya, dan duduk di samping suaminya. “Ini jembelm siapa?” Ratih baru tahu ada makanan ini di meja.“Buatan saya, Ndoro Ratih.” Minah yakin makanan seperti itu akan membuat semua orang sakit perut.Ratih mengambilnya, mencicipinya, dan mengangguk ketika menemukan rasa yang enak sekali. “Mas Prapto benar, Mbok Minah menikah saja dengan Lek Tejo. Aku yakin, hubungan yang niatnya baik, pasti akan menjadi berkah.” Ratih mengambil jemblem itu lagi.Lek Tejo menghela napas, “Kalau ...kamu mau,
Prapto baru saja sampai rumah. Tak ada yang menyambutnya. “Ke mana Ratih?” Hanya pelayan yang mendekat dengan membawakan kopi.Pelayan itu meletakkan kopi yang dipegangnya, “Di kamar, Aden Prapto. Aden tole tadi menangis, mungkin sekarang sedang tidur. Njenengan mau makan dulu?”Prapto menggeleng, “Nanti saja. Pergilah.” Prapto menyandarkan punggung, setelah beberapa saat membiarkan otot agak lemas, Prapto menikmati kopi yang manisnya pas. Baru saja ingin bersantai, tangisan putranya membuat mengerut keheranan, “Katanya tidur, kenapa nangis?” Prapto berdiri. Dia segera mendatangi putranya, siapa tahu Ratih membutuhkan bantuannya untuk menenangkan si tole.Prapto heran, tak ada Ratih di sana, hanya putranya yang digendong oleh pelayan pribadi Ratih, “Kau sendiri?”“Aden Prapto? Kapan Aden Prapto datang?” Pelayan itu terus menimang balita, hingga saat Prapto meminta, dengan hati-hati memberikannya.Prapto mengerutkan kening, “Pertanyaanmu aneh. Di mana Ratih?”“Ndoro Ratih sedang buang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments