Ratih menelan ludah. Kehidupan baru sepertinya dimulai. Tanpa sadar, dia menunduk untuk menghindari tatapan Sumi.
“Siapa kamu? Dari mana bisa bertemu dengan kakang Prapto?” tanya Sumi. Dia bersedekap dada, menunggu jawaban Ratih tanpa mengalihkan se-inchi pun tatapannya.
“Ak—aku berjualan jamu, mas Prapto ...sedang beli jamu waktu itu,” jawab Ratih.
“O ...penjual jamu?” ulang Sumi. Dia jadi tahu dari mana Prapto pulang dengan membawa jamu, ternyata Ratih jawabannya.
“Kamu kenal sudah lama? Kamu merayunya sudah lama? Dengan tubuhmu?” tanyanya lagi dan tertawa setelahnya.
Ratih mengepalkan tangan, harga dirinya diinjak-injak dengan pertanyaan tak pantas itu.
Sumi masih tertawa, “Wajahmu seperti orang marah. Padahal, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa kamu seperti diingatkan kembali dengan kelicikanmu?” Sumi menyeringai, “Menjijikkan!” desis Istri pertama Prapto di akhir.
“Hati-hati dengan ucapanmu, Mbak Sumi! Apa yang terlihat di luar terkadang tak lebih berbahaya dari permukaan itu sendiri. Mbak Sumi belum tahu siapa aku. Jangan sampai ucapan Mbak Sumi malah berbalik ke Mbak Sumi sendiri.” Ratih tidak tahan kalau tak membangkang. Perempuan seperti Sumi ini satu kotak dengan Prapto. Mereka tidak bisa dikasih hati, Ratih harus berhati-hati setelah melihat kibaran bendera perang.
“Kamu cukup bernyali ternyata.” Sumi tersenyum, segera pergi dari kamar Ratih karena ada satu hal yang lebih penting menurutnya.
Ratih menutup pintu kamarnya keras. Tebakannya benar adanya. Menikah dengan Prapto adalah awal hidupnya memasuki neraka. Andai dia tak asal bicara, mungkin tak seperti ini sekarang.
*****
Prapto ....
Pria itu baru selesai mandi, menghilangkan jejak penat di tubuhnya. Handuk yang baru saja digunakan untuk mengeringkan rambut disampirkan ke tempatnya. Prapto mengambil sisir dan merapikan rambutnya di depan cermin. Dari sana pula terpantul Sumi yang baru saja membuka pintu kamar. Prapto tetap merapikan rambutnya, tangan Sumi yang meraba tubuh telanjangnya dari belakang. Namun, hanya dibalas senyuman saja oleh Prapto.
Sumi menyandar di punggung Prapto. “Dari sekian banyak wanita yang kamu bawa ke sini hingga akhirnya kamu menikah dengan Iis dan Fitri, kamu selalu meminta izin dariku dulu. Apa istimewanya Ratih sampai kamu melupakan hal sepenting itu, Kakang?” tanya Sumi yang belum melepas pelukannya.
Prapto terkekeh, meletakkan sisirnya, dan mengurai tangan Sumi yang membelit tubuhnya. Prapto berbalik, duduk di kursi santai yang ada di kamarnya, “Tidak ada yang lebih penting sekarang, kamu tahu atau tidak, tetap tidak akan mengubah keputusanku,” jawab Prapto.
Sumi ikut duduk di sebelah Prapto, “Apa cintamu untukku sudah hilang?”
Prapto terkekeh, “Tidak ada yang hilang, tidak ada juga yang tumbuh, kamu tetap menduduki posisi tertinggi di hatiku.” Prapto menjauhkan diri, merebahkan kepala di pangkuan Sumi, saat Sumi mengusap kepalanya, Prapto memejamkan mata untuk menikmati sentuhan itu.
Sumi tersenyum mendengarnya, “Benarkah? Aku sangat bahagia.” Tangan Sumi masih membelai, lalu memijit karena gemas dengan Prapto.
“Ini sangat nyaman, Sumi.” puji Prapto. Dia pun membuka mata dan segera menarik tengkuk Sumi agar menunduk untuk bisa mencium bibir Sumi. Saat lumatan kecil menjadi semakin liar, letupan gairah pun memanas dengan sendirinya. Prapto mengajak Sumi memadu kasih, saling memacu untuk merengkuh asa bersama, tanpa memikirkan hal lain yang menyapanya silih berganti.
*****
Malam kini tiba. Ratih tidak pernah tahu kalau rumah sebesar ini memiliki kamar mandi di setiap kamarnya. Seperti dirinya saat ini, dia tak perlu ke luar kamar hanya untuk membuang seni dan mandi sekali pun. Saat ketukan di pintu terdengar, Ratih berdiri untuk membukakan pintu itu.
“Ya?”
“Ndoro Ratih, saya yang diperintahkan mbok Jum untuk menemani Anda. Makan malam sudah siap, Anda diminta bergabung ke ruang makan.”
Ratih menarik napas panjang dan dalam, “Di mana ruang makannya?”
“Saya akan mengantar Anda, Ndoro Ratih. Mari!” Pelayan itu berjalan lebih dulu meski sesekali menoleh ke majikan barunya.
Sesampainya di ruang makan, Ratih duduk di tempat yang diperuntukkannya, tak mengambil apa pun karena semua orang yang duduk juga belum mengambil makanan. Prapto tidak ada di tempat ini, sepertinya semua orang menunggu Prapto.
Sumi baru datang. Iis dan Fitri segera tersenyum ke arahnya dan dibalas oleh anggukan dari Sumi. Dia menoleh ke Ratih dan dapat melihat keangkuhan di wajah itu, Sumi pun terkekeh melihat sikap Ratih.
Tak lama, Prapto pun datang. Pria itu segera duduk dan memberikan piring kosong ke Sumi. “Bukankah malam ini tidak ada orang yang datang untuk minta sumbangan?” tanya Prapto.
“Acara tujuh harian sudah selesai, Kakang,” jawab Fitri.
Prapto mengangguk. “Malam ini kita bicara dulu, setelah makan jangan langsung tidur.”
“Ini, Kakang.” Sumi memberikan piring Prapto, baru kemudian mengambil makanan lagi untuk dirinya sendiri, dan disusul oleh penghuni lain.
Setelah semua orang yang ikut duduk di meja makan mengambil makanan, barulah Ratih mengambil makanan untuknya. makan dalam diam sambil menunggu kejadian apa saja yang akan dilewatinya di rumah besar ini.
Seperti yang diinginkan tadi, Prapto dan keempat istrinya duduk di ruang tengah, “Di rumah ini tidak ada yang lebih tua atau yang baru,” Prapto menoleh ke Ratih, “seperti Ratih, semua di sini sama, tidak ada yang istimewa dan berhak minta jatah lebih banyak atau apa pun, aku akan memperlakukan semuanya secara adil. Hanya ada satu kepala keluarga, dan itu adalah aku, jadi siapa yang akan tidur bersamaku hanya aku yang boleh memilih.”
Prapto mengedarkan padangan, menatap semua istri-istri yang selalu taat padanya, “Paham?”
“Iya, Kakang,” jawab ketiganya serentak.
Hanya Ratih yang tak menjawab. Dia tak tertarik sedikit pun dengan pembicaraan yang membosankan ini. Dirinya malah bergidik dan membayangkan apa yang dikatakan Prapto membuatnya semakin jijik.
Prapto menoleh ke Ratih. Hanya Ratih yang tidak menjawab dan itu membuatnya heran. “Kamu tidak menjawab? Apa ada yang membuatmu keberatan atau bahkan masih bingung?” tanya Prapto.
Ratih membuang napas kasar, “Apa kamu tahu? Apa yang kamu katakan barusan menjijikkan. Tidakkah kamu merasa risi? Mengumbar semuanya di depan kami? Bahkan, tanpa kamu katakan, kami pun tahu tentang kewajiban kami. Tapi, kamu membeberkan semuanya seolah kamu ini hebat. Memalukan!” Ratih berdiri. Dia menarik jarik yang dia kenakan setinggi lutut, dan kembali ke kamarnya.
Prapto tak menyangkal. Namun, harga dirinya seolah dirobek oleh Ratih. Wibawanya runtuh di depan ketiga istrinya karena digulung begitu saja oleh Ratih.
“Kakang—“ Sumi segera menutup mulutnya saat Prapto menghentikan protesnya melalui tangan yang terangkat.
Prapto yang terbakar emosi segera ke luar. Dia ingin menyegarkan dirinya sendiri untuk beberapa saat atas penghinaan ini.
“Mbak Sumi, siapa Ratih? Anak itu sepertinya menentang kakang Prapto?” tanya Iis saat suaminya sudah tidak di ruangan itu.
“Jangan berpikir begitu, Ratih memang masih sangat muda, umurnya saja jauh dariku,” bela Fitri, “sepertinya, Ratih masih kaget karena tahu kakang Prapto punya tiga istri.” imbuhnya lagi.
Sumi terkekeh, “Jangan membelanya, Fitri! Iis benar, Ratih memang menantang Prapto tadi. Sangat terlihat kalau dia tidak suka, tapi aku juga tidak tahu kenapa semua sikapnya seolah berbanding terbalik dengan kenyataan Ratih yang mau menjadi istri kakang Prapto.”
Iis mengangguk, “Iya, aku setuju sama Mbak Sumi.”
Sumi pun terkekeh lagi.
“Kalian tidurlah, biar aku yang mengajari Ratih tentang cara bersopan santun di sini.” Sumi segera beranjak dari ruang keluarga untuk pergi ke kamar Ratih.
“Ada apa, Aden Prapto?” tanyanya Tejo, kusir sekaligus orang kepercayaan Prapto. Dia baru saja duduk di samping perapian yang baru saja dinyalakan sambil menunggu ketela pohon, tetapi kedatangan juragannya membuat Tejo bingung. Prapto hanya menggeleng.“Aku hanya heran, kamu tahu sendiri, di pasar sapi banyak perempuan yang mendekat. Jangankan jadi istriku, jadi simpananku saja mereka pasti mau. Bukan hanya dua atau tiga orang, bahkan bisa dikatakan puluhan, mereka ingin tinggal di rumah besar ini, dan menikmati uangku.” Prapto memegangi dagunya sendiri dan mengusapnya, “Ratih berbeda, kemewahan sudah ada di depan mata, tapi gadis kecil itu tetap angkuh, dia menentangku terang-terangan, dan aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya saat ini.” Tejo terkekeh. “Maaf kalau saya lancang. Ini hanya pendapat saya saja. Ndoro Ratih sebelumnya tidak pernah tahu tentang Anda, terlebih lagi dia juga anak zaman sekarang. Mungkin saja, pemikirannya juga berbeda. Pernikahan kemarin sangat mendadak
‘Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Sopan santun, tata krama, anggun, bagaimana pun juga Kakang Prapto adalah suami kita, kita harus menjunjungnya setinggi mungkin, apa ucapanku salah sampai kamu tega menyiramku begini?’‘Sudah, biarkan Ratih melakukan apa yang dia mau, dia masih kecil, kita yang waras ini harus banyak mengalah.’Ratih meremas selimutnya, gema suara itu membuatnya semakin geram, “Ternyata mbak Sumi dan mas Prapto sama saja, aku harus berhati-hati, mereka hanya menginginkan anak, kan?” monolog Ratih, “Ya, aku akan memberinya dan segera pergi dari sini.” Ratih mematikan lampu, memejamkan mata dan siap untuk tidur, tapi matanya membuka kembali, “Apa aku akan mengalah begitu saja? Enak sekali? Aku akan membuatmu meminta maaf padaku dan juga ibuku dulu, baru kamu akan mendapatakan anak itu, mas Prapto.” Ratih terkekeh, bisa dia bayangkan seperti apa peperangan yang sudah dia mulai sebentar lagi.***Hari berganti, ruang makan ramai dengan piring yang beradu dengan sendo
Prapto membuang napasnya kasar, tak habis pikir kenapa Ratih tak peka, seolah umur itu memang belum siap untuk membina sebuah rumah tangga.“Aden Prapto, makan siang sudah siap.” Kata pelayan yang mendekat ke juragannya.Prapto mengangguk, “Aku mandi dulu.” Segera ke kamar pribadinya untuk membersihkan diri, memakai surjan rapi dengan jarik berwarna senada, baru ke ruang makan. Dirinya hanya seorang diri, Prapto pun menoleh ke pelayannya, “Ratih tidak makan?” tanyanya.“Ndoro Ratih belum lapar katanya. Aden Prapto, mau saya ambilkan?” tawar pelayan itu.Prapto menggeleng, mengambil makanannya sendiri dan mengisi perutnya. Selesai makan, Prapto ke kandang, melihat ditaruh mana kelinci yang tadi dibelinya, membuat angannya memikirkan Ratih kembali. Seolah meraba, dirinya atau Ratih yang salah saat ini, tapi kalau hanya keegoisan saja yang diandalkan, maka semua perselisihan tak akan usai. “Selesaikan, aku masuk dulu.” Pamitnya ke pekerja yang sibuk di kandang. Prapto ke kamar Ratih, pin
Ratih mencuci tangan setelah puas memberi makan kelinci pemberian Prapto. Hari ini terasa rumah besar ini begitu sepi, tak seramai biasanya, dan itu membuat Ratih rindu dengan ibu dan bapak yang dia tinggalkan tak lebih dari sebulan itu. Dia pun pergi ke dapur, para pelayan yang sibuk segera menunduk hormat, dan itu membuatnya canggung. Ratih hanya diam di tempat saat ini.“Ndoro Ratih, membutuhkan sesuatu atau ingin membuat sesuatu?” tanya pelayan pribadi Ratih.“Apa ...aku boleh menggunakan dapur?” tanya Ratih.“Tentu saja. Mari, Ndoro Ratih.” Pelayan itu mempersilakan juragannya. “Ndoro lainnya juga menggunakan dapur ini, Njenengan bisa ke sini kalau ingin masak sesuatu, saya akan membantu dan mencarikan apa pun yang tidak tersedia di dapur bersih ini.” ucap pelayan itu lagi.Ratih tersenyum, mendekat ke dapur yang ditunjuk pelayan itu, dia membuka almari, banyak bahan makanan dan perabotan yang bagus. Ratih tersenyum semakin lebar, tangannya yang lincah segera menghasilkan karya,
Ratih membuka mata, ini bukan kamarnya, dan cuitan burung di luar seolah menyadarkan kalau hari sudah berganti. Lebih mengejutkan lagi saat Prapto terlelap di sebelahnya. Ratih segera bangun, dia menimang bagaimana dirinya bisa lancang naik ke ranjang dan tidur, kalau Prapto tahu? Ratih segera menggeleng, turun dan duduk di tempat yang semalam didudukinya. Tangannya dengan enggan mengulur untuk menyentuh kening Prapto, dingin melebihi tangannya sendiri, Ratih yakin kalau Prapto sudah membaik. Dia pun ke luar dari kamar itu, “Akh!” Terkejut saat melihat Fitri di depannya.“Ratih? Kamu tidur di kamar kakang Prapto?” tanya Fitri heran.“Hm ...Mbak Fitri ...kapan pulang?” tanya Ratih sambil menunduk.Fitri tak akan terpengaruh, “Baru saja, mbak Iis masuk mandi, tapi kenapa kamu sepagi ini di kamar kakang Prapto? Kamu—““Ada apa?” Prapto baru muncul dari balik pintu kamarnya.Fitri menarik salah satu sudut bibirnya, “Kakang Prapto, semalam tidur dengan Ratih?” tanyanya yang diangguki oleh
Sedari kebun Ratih tidak fokus dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Saat ini dia ada di kadang memberi makan kelincinya, pikirannya terus melayang ke beberapa jam nanti, dan itu membuatnya tak dengan saat Iis memanggilnya. Lengannya yang terasa tercubit meski kecil, membuat Ratih sadar, dan menoleh, “Mbak Iis?”“Aku memanggilmu seperti orang gila dan kamu tetap melamun di sini dengan kelinci tak bergunamu ini?” tanya Iis sinis.“Maaf, Mbak Iis.” Ratih merasa tak ada yang benar sejak tadi.Iis hanya membuang napas kasar, “Ini.” Diulurkannya lumpang, “Fitri sibuk, dia memberikan ini padaku agar diberikan ke kamu, kuharap lumpang itu bisa berguna bukan hanya untukmu, tapi juga untuk semua penghuni rumah besar ini, apa kamu paham?” tanyanya setengah mengejek.Ratih mengangguk. Setelah Iis pergi, dia pun melihat lumpang barunya, tersenyum karena sesuai dengan apa yang dia perkirakan, dan segera membawanya ke dapur. Ratih membuat jamu, dengan begitu dia akan merasakan suasa rumah, kerindu
Kebaya merah melekat ke kulit langsat yang bersih. Lampu temaram yang sudah meredup membuat drama semakin seru, dada naik turun Ratih membuatnya Prapto tahu kalau gadis kecil itu sangat gugup. “Kamu ...” ucapannya terus menggantung karena sorot mata tak kunjung lega.“Ingat, Mas Prapto. Setelah kamu memiliki anak dariku, maka lepaskanlah aku.” Ucapan itu sangat menyakitkan untuk Ratih, tapi dia juga tak ingin terus mendekam dalam sangkar emas ini.“Aku tidak akan membiarkan perceraian hadir dalam hidupku.” tolak Prapto tegas.“Aku di sini hanya untuk membayar hutangku, tidak lebih, tak ada perasaan apa pun, berbeda dengan ke tiga istrimu, Iis yang kau ajak bercanda di taman tadi—““Apa kamu cemburu?” tukas Prapto.Ratih menahan amarahnya, tombak ucapan Prapto menancap tepat di dadanya.“Meski semua kata sengaja kamu katakan untuk menggagalkan malam ini, aku akan tetap melakukan apa yang seharusnya, Ratih.” Prapto membuka kancing surjan yang dia kenakan, “Kalau kamu memang menganggap s
Sudah terlalu siang. Semua orang di rumah besar sarapan terlambat hari ini karena Prapto ke luar tak tepat waktu. “Sumi belum pulang?” tanya Prapto di sela makan.“Belum, Kakang.” jawab Iis, “Semalam hujan di daerah sana, bukankah rumah yatim itu tempatnya hampir sama dengan tempat bazar? Aku yakin mbak Sumi terjebak hujan. Kalau sudah begitu mungkin nanti malam baru sampai.” imbuhnya lagi.“Maaf, Mas. Aku ke belakang dulu.” Ratih baru saja selesai makan, dia segera berpamit dan pergi setelah Prapto mengangguk.Fitri mengerutkan kening, “Bukankah selama ini Kakang tidak pernah suka saat melihat kami pergi lebih dulu sebelum Kakang selesai makan? Kenapa dengan Ratih tidak? Bocah ingusan itu melanggar adat di rumah ini.” ketusnya.Prapto terkekeh, “Habiskan saja makananmu, aku akan berangkat ke pasar sekarang.” Prapto mengusap bibirnya dengan sapu tangan, bersiap untuk berdiri dan pergi.Iis malah tertawa meski menutupi bibirnya dengan sebelah tangan, “Itu karena Kakang Prapto baru saja
Hampir tengah malam. Prapto masih duduk di ruang tengah. Dia baru saja ke luar dari kamar putranya, Ratih belum pulang, Prapto akan menunggu sampai istrinya itu tiba di rumah. Bukankah Ratih sudah berjanji tak akan menginap? Kini angannya jadi melayang... “Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak mau sampai istrimu tahu.” “Biar saja dia tahu. Bukankah kita sama-sama tahu kalau aku tak pernah menyukai istriku sepenuhnya? Pernikahan ini hasil perjodohan dan kedatanganmu di sini seolah memberiku puas akan dahaga.” “Jangan pernah mengatakan itu.” “Apa yang salah? Aku sudah pernah melakukannya, kau juga, apa salah kalau kita mencoba memuaskan hasrat kita selama ini?” “Aku tidak mau membuat dosa.” “Anggap saja ini hadiah yang bisa kuberikan. Aku janji hanya sekali. Tak ada esok hari. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu, Jum.” Rayuan yang begitu memabukkan, mbok Jum muda pun terbuai, dia membiarkan setiap jengkal kulit disentuh oleh sang mantap, dan sungguh, kenikmatan itu tiada tara.
Mbok Jum terkekeh, “Semua orang memusuhiku.”“Tidak ada yang berlaku seperti itu, Mbok Jum. Semua karena perasaanmu saja karena yang sebenarnya terjadi adalah semua orang butuh waktu untuk menenangkan diri saat hatinya merasa tak baik.” Ratih baru saja selesai makan, dia berdiri karena ingin melakukan banyak hal untuk hari ini, “Jangan banyak memaksa. Setelah waktu yang dibutuhkan tercukupi, semua orang akan menyambutmu sehangat dulu.” Ratih tersenyum, menunduk hormat ke mbok Jum, dan beranjak dari ruang makan. Dia ke halaman, tahu kalau Prapto pasti sibuk, dia tak ingin putranya mengganggu pekerjaan Prapto. Tepat saat dokar berhenti di halaman, Ratih mendekati Prapto dan meminta putranya, tak menunggu siapa tamu itu, dia segera masuk kembali meski hanya bersembunyi di belakang pintu utama. Dokar yang datang adalah milik Prapto. Bisa dipastikan Siti yang ada di dalamnya.Prapto tetap duduk. Dia bahkan mulai meramu lintingan tembakau untuk dinikmati. Lek Tejo yang terus mendekat ke dok
“Ya?!” Prapto berteriak dari kamar mandi. Dia sedang membersihkan tubuhnya. Berharap dengan begitu lelah yang dia rasa akan hilang.Ratih menghela napas menyadari Prapto tak pergi jauh, “Aku membuatkanmu minuman, Mas.” Ratih mendekat, bahkan hampir menempelkan tubuhnya ke pintu kamar mandi.“Aku selesai sebentar lagi, Ratih. Letakkan saja di sana.” Prapto kembali melanjutkan mandinya saat Ratih tak lagi bertanya.Menuju ke almari, Ratih segera mencari surjan dan jarit yang pasti akan pas dikenakan oleh Prapto, tepat dengan suaminya yang baru saja ke luar dari kamar mandi. “Sarapan di dapur hampir siap, Mas.” Ratih mendekat untuk mengambil handuk basah. Menyampirkan agar tak membuat tempat lain menjadi lembab.Prapto mengangguk, “Kau tidak ke kamarmu sendiri? Kupikir anak kita akan mencarimu.” Prapto mulai membuat simpul untuk jarit yang dia kenakan.Ratih menggeleng, “Tidak, Mas. Aku sedang mengandung. Sebisa mungkin aku tak menyusui putra kita. Mas, mau kusiapkan makan di kamar atau
Sudah senja, mbok Jum heran karena pintunya diketuk dari luar, tak pernah ada tamu di jam seperti ini. Dia tetap melangkah ke luar, tersenyum saat melihat siapa yang mengejutkan dirinya, “Apa yang membawamu ke sini, Tejo?” Mbok Jum membuka pintu rumahnya sangat lebar, tapi lek Tejo malah memilih duduk di teras, mbok Jum juga tak mau memaksa lek Tejo untuk masuk.“Siapkan barangmu. Prapto ingin kamu menginap di sana untuk beberapa hari.” Lek Tejo tak menoleh, dia memilih menatap rimbunnya pohon yang mulai gelap, biar cahaya lampu minyak tak mampu membuat halaman luas ini menjadi terang.Mbok Jum terkekeh, “Ada apa? Prapto sudah menemukan Siti?”Barulah lek Tejo menoleh, menatap mbok Jum tajam, gigi menguning hasil dari kinang itu membuatnya jijik. “Baru kali ini kau berani mengatakan nama putri yang kau sembunyikan, kenapa? Kau takut aku memberi tahu Prapto dan membunuh putrimu?” Lek Tejo tak menyangka kalau mbok Jum tetap saja menjadi wanita yang licik.“Apa Prapto sudah berhasil memb
Pekerja pria itu tersenyum getir, “Memang sangat menyakitkan, Aden Prapto.”Tanpa banyak bicara, Prapto memukuli pekerja itu hingga babak belur, dia melakukannya hingga puas. Setelah pria dengan tubuh lunglai seperti seonggok baju kotor, Prapto melepas dengan setengah melempar begitu saja, tak peduli jika napas pekerja itu sebentar lagi akan melayang. “Kau tak menghalangiku?” Prapto terkekeh, “Bukankah dia kekasihmu?” Siti masih menangis sambil duduk di tanah dan Prapto tak juga merasa kasihan.Siti menggeleng, “Aku hanya ingin hidup, bukan berarti aku kekasihnya.”“Hahahaha.” Prapto berjalan mendekati Siti, “Kau pikir setelah menemukanmu aku akan melepaskanmu begitu saja?” Menggeleng sambil mencebikkan bibirnya, “Katakan, sebelum kematianmu datang, apa kau masih ingin bertemu dengan ibumu?” Prapto berjongkok tepat di depan Siti.“Apa yang membuatmu sebenci itu denganku?” Siti seperti menantang, tapi bukan itu yang dia luapkan, hanya penasaran kenapa Prapto tak pernah memberinya kesem
Prapto menghela napas panjang dan dalam, “Di mana tempatnya?” Tadi matahari belum muncul ke permukaan dan kini kepalanya malah pusing karena cukup terik. Prapto terus berjalan menyusuri sungai seperti yang diperintahkan oleh lek Tejo, meski tak menemukan apa pun, sudah kepalang basah. Dia tak ingin kembali dengan tangan kosong.Kakinya yang terlalu lelah, Prapto memilih untuk istirahat, duduk di batu besar, dan minum air sungai. “Di mana tempatnya? Kakiku mau copot.” Prapto menyandarkan punggung, hampir merebah untuk menghilangkan penat sambil menikmati semilir angin. Cukup menyegarkan hingga dirinya hampir saja tertidur. Untung tak sampai karena dia bangun saat mencium harum masakan rumah.Prapto membuka mata, menyapu seluruh sisi untuk mencari apa yang bisa dijadikan pertanda, hingga di kejauhan dia melihat asap. “Apa itu?” Prapto berdiri, “Tak ada pemukiman di sini, sepertinya memang itu.” Terkekeh, Prapto sedikit banyak mengenal daerah yang dia tapaki. Ini adalah tanah kelahiranny
Entah ini ketepatan yang bagaimana, baru saja Prapto turun dan pas sekali di acara ketemu kemanten, jadilah dia ikut mengiring meski bukan sanak kadang mempelai wanita. Seluruh prosesi yang biasa setiap orang hafal, Prapto melihatnya juga, dia pernah melewati yang seperti itu dengan ke tiga istrinya, tapi tidak dengan Ratih. Prapto menoleh ke Ratih, entah seperti apa perasaan istrinya melihat semua ini. Ternyata istri Bima sangat cantik, Ratih menoleh ke Prapto, bertemu tatap dengan pandangan sedih, Ratih malah tersenyum sambil mengusap lengan Prapto, “Ada apa, Mas?” “Pernikahan kita tak seramai ini. Ibu dan bapakmu menangis, kamu juga menangis, saat itu kita menikah dengan diri dipenuhi amarah, Ratih.” Penyesalan selalu datang belakangan. Andai Prapto tahu Ratih adalah satu-satunya wanita yang bisa memberinya anak, dia tak akan sejahat dulu, dan semua sudah terlambat untuk diulang. Ratih tersenyum lagi, “Tidak penting, Mas. Asal Mas tetap sebaik ini, aku tetap menerima semua dengan
Prapto tertawa terbahak-bahak, dua wajah di depannya sangat tegang, “Mbok Minah, aku ingin kau menikah dengan lek Tejo.”“Aden?!” Lek Tejo tak bisa berkata-kata selain menegur Prapto.Minah malah lidahnya jadi kelu. Dia memang suka dengan lek Tejo, pria dewasa itu begitu baik, tapi dirinya ini? Ah! Sangat tidak pantas menjadi salah satu bagian dari juragan tanah seperti aden Prapto.Ratih malah lega, dia pikir Prapto terus membuat onar, ternyata dirinya salah. Ratih jadi berani ke luar, tersenyum ke tamunya, dan duduk di samping suaminya. “Ini jembelm siapa?” Ratih baru tahu ada makanan ini di meja.“Buatan saya, Ndoro Ratih.” Minah yakin makanan seperti itu akan membuat semua orang sakit perut.Ratih mengambilnya, mencicipinya, dan mengangguk ketika menemukan rasa yang enak sekali. “Mas Prapto benar, Mbok Minah menikah saja dengan Lek Tejo. Aku yakin, hubungan yang niatnya baik, pasti akan menjadi berkah.” Ratih mengambil jemblem itu lagi.Lek Tejo menghela napas, “Kalau ...kamu mau,
Prapto baru saja sampai rumah. Tak ada yang menyambutnya. “Ke mana Ratih?” Hanya pelayan yang mendekat dengan membawakan kopi.Pelayan itu meletakkan kopi yang dipegangnya, “Di kamar, Aden Prapto. Aden tole tadi menangis, mungkin sekarang sedang tidur. Njenengan mau makan dulu?”Prapto menggeleng, “Nanti saja. Pergilah.” Prapto menyandarkan punggung, setelah beberapa saat membiarkan otot agak lemas, Prapto menikmati kopi yang manisnya pas. Baru saja ingin bersantai, tangisan putranya membuat mengerut keheranan, “Katanya tidur, kenapa nangis?” Prapto berdiri. Dia segera mendatangi putranya, siapa tahu Ratih membutuhkan bantuannya untuk menenangkan si tole.Prapto heran, tak ada Ratih di sana, hanya putranya yang digendong oleh pelayan pribadi Ratih, “Kau sendiri?”“Aden Prapto? Kapan Aden Prapto datang?” Pelayan itu terus menimang balita, hingga saat Prapto meminta, dengan hati-hati memberikannya.Prapto mengerutkan kening, “Pertanyaanmu aneh. Di mana Ratih?”“Ndoro Ratih sedang buang