Ratih menangis di kamar. Banyak yang diucapkan untuk mendebat Prapto sampai semua idenya habis. Namun, Prapto tetap tak membiarkannya pergi. Kini dirinya tengah duduk di depan meja rias, dipoles oleh dua perempuan yang bisa menyulap wajahnya lebih cantik dari biasa. Hanya saja, Ratih tetap tak ingin melihat pantulan dirinya sendiri di cermin itu.
Saat panggilan terdengar jelas menyebut namanya, barulah Ratih mencari dan menemukan ibunya yang berdiri di ambang pintu. Bibir Ratih bergetar, air mata yang sempat mengering, kembali membelah pipinya yang sudah merona oleh sapuan bedak kemerahan.
“Ibu,” panggilnya.
Ibu Ratih mendekat, “Maafkan Ibu, Nduk ayu. Andai Ibu tidak memintamu untuk ikut berjualan jamu, tanah yang kita punya jika dijual juga tak cukup untuk membayar ganti rugi yang diminta Prapto, Ibu tidak rela kamu menikah dengan Prapto, tapi kita bisa apa, Nduk?” Ikut menangis juga, hatinya pilu dan meraung, tapi tak berdaya oleh keadaan ini.
“Jangan berkata seperti itu, Bu. Prapto tidak akan semudah itu mendapatkanku, aku akan membuatnya menyesal sudah berani menginjak harga diri kita. Aku janji, Bu.” Ratih sudah merencanakan sesuatu untuk membuat Prapto jera, tapi saat dia ingin mengatakan rencana itu ke ibunya, dua pria masuk dan memerintah agar dirinya segera ke luar. Ratih menurut karena tak ingin Prapto berkata kasar dan melukai perasaan orang tuanya lagi.
Prapto menoleh ke arah Ratih. Orang yang dibayar untuk merias Ratih memang pandai, terbukti wajah yang beberapa jam lalu pucat, kini segar. Setidaknya, pernikahan yang hanya dihadiri oleh orang penting seperti RT, RW, dan kepala desa serta dadakan ini, tak membuatnya malu.
Ijab kabul lancar diucap oleh Prapto. impiannya memiliki anak sebentar lagi akan terwujud. Prapto menarik napas panjang dan dalam sebagai wujud rasa syukurnya.
Sedangkan Ratih kembali menangis tanpa suara. Mungkin orang akan melihat tangisan ini haru akan bahagia, tak ada yang tahu kepiluan yang dia rasakan saat dirinya sah menjadi istri ke empat Prapto, dan Ratih juga tahu seperti apa sakit hati ke dua orang tuanya. Demi kehormatan yang tersisa, Ratih tetap mencium punggung tangan Prapto, menurut saat orang mendekat dan menyuruhnya berpose untuk mengambil gambar, seolah dirinya benar-benar bahagia. “Ibu, jangan menangis, aku akan sering berkunjung untuk menjenguk Bapak, aku akan sehat dan makan yang banyak di sana, Ibu dan Bapak juga harus begitu, janji?” kata Ratih yang saat ini memeluk ibunya.
“Iya, Nduk ayu. Kamu harus lebih segar saat ke sini nanti, meski pun Prapto belum sepenuhnya bisa kamu terima, turuti semua ucapannya, dia suamimu sekarang.” Ibu Ratih mengusap punggung putrinya saat memeluk lalu mengurai, menciumi seluruh wajah putrinya, sebelum melepas penuh haru.
Ratih mengangguk, berganti dengan memeluk bapaknya yang berbaring di ranjang, “Jangan menangis, Bapak. Aku akan berkunjung, Bapak harus sudah bisa duduk saat aku ke sini nanti.” Ratih mengurai pelukan itu, mengusap pipi bapaknya perlahan, meninggalkan kecupan di pipi, lalu pergi.
Prapto menghentikan semua tangisan itu.
“Aku menikahi putrimu, bukan menculiknya,” ejeknya setengah geram, “ini mas kawin Ratih!”
Prapto menyodorkan sebuah amplop yang berisi uang ke ibu Ratih, jumlahnya bisa digunakan untuk membeli sepuluh anak sapi.
“Dan aku akan mengajak Ratih pulang sekarang. Sudah terlalu lama aku di sini, lebih cepat lebih baik karena hutang Ratih padaku tidak harus berbunga,” imbuhnya.
Prapto pun menarik tangan Ratih tak terlalu kencang, membawa Ratih ke luar, dan naik dokar miliknya. Prapto diam di sepanjang perjalanan, bukan karena dia menyombongkan diri, tapi memikirkan akan seperti apa kemarahan Sumi nanti.
Ratih terlalu muda. Prapto juga tidak pulang selama dua hari dan tiba-tiba dirinya kembali bersama Ratih. Namun, mau bagaimana lagi? Keegoisannya terkadang membutakan semua indra yang dia punya. Saat dokar tiba di rumah, Prapto turun lebih dulu, menoleh ke Ratih yang masih diam di dalam.
“Kamu tidak turun? Mau di sana sampai besok pagi? Lusa? Tahun depan?” ucap Prapto tanpa ekspresi.
Ratih membuang napas kasar. Persis seperti perkiraannya, Prapto adalah orang yang kasar dan tak berprikemanusiaan. Ratih dibiarkan turun sendiri, Prapto tidak menolongnya.
Lagi-lagi, Prapto membuatnya semakin membenci. Ratih mengenakan kebaya putih kain sutra yang berpadu dengan jarik motif Sidomukti kualitas terbaik, tapi itu tak membuat kegugupannya hilang. Banyak pasang mata menatapnya saat ini.
Ratih membawa kakinya ke sana, lalu berhenti tepat di samping Prapto. “Perlakukan aku dengan baik atau aku tidak akan pernah melahirkan anak untukmu,” ucapnya lirih. Ratih ingin hanya Prapto saja yang mendengarnya.
Prapto terkekeh, menoleh ke Ratih, “Apa kamu pikir di sini kamu yang berkuasa? Kamu lupa kalau kamu ke sini untuk membayar hutangmu? Aku bukan pengemis di rumahku sendiri, jadi jaga sikapmu,” ucap Prapto yang ikutan pelan karena semua kalimat itu khusus untuk Ratih saja.
“Mbok Jum!” teriaknya, dan tanpa menunggu lama semua penghuni rumah pun sudah ke luar untuk menyambutnya.
“Iya, Aden Prapto,” jawab mbok Jum sambil mendekat.
Ratih semakin gugup, jantungnya berdebar lebih cepat lagi, kini wanita yang terkebaya anggun sudah menampakkan diri. Ratih bisa menebak kalau ketiganya adalah istri Prapto. Keringat di keningnya keluar, “Aku—“
“Diamlah,” desis Prapto yang segera berjalan meninggalkan Ratih, lebih mendekat ke mbok Jum, “Dia Ratih, istri baruku, beri dia satu pelayan, dan tempatkan di kamar dekat taman samping, aku akan beristirahat sebentar.”
Setelah melihat mbok Jum mengangguk, Prapto pun ke kamarnya untuk beristirahat.
Mbok Jum menoleh ke Sumi, menyeringai. Baru saja kemarin membicarakan hal ini, dan semua sudah menjadi kenyataan.
“Mari, kamarmu di sini. Namaku Jum, panggil saja Mbok. Itu Sumi, istri pertama aden Prapto,” tunjuknya ke Sumi dengan senyuman yang lebih lebar, “itu, Iis, istri kedua, dan itu Fitri, istri ketiga.” Mbok Jum memperkenalkan semua anggota inti di rumah ini agar pengantin baru di depannya tidak canggung.
Ratih tersenyum, mengangguk ke semua istri Prapto. Dia lalu berjalan di belakang mbok Jum.
Dia tak menanyakan apa pun karena memang tak ingin tahu. Bahkan, kamar yang dirasa terlalu jauh, Ratih juga tak protes.
Saat mbok Jum membukakan pintu untuknya, barulah Ratih membuka mulut, “Terima kasih.”
Ratih juga membiarkan mbok Jum saat wanita tua itu pamit untuk kembali ke dapur.
Ratih mendekat ke meja rias, duduk di sana, dia segera melepas sanggul dan cunduk mentul di rambut. Ratih ingin membuang ingatan kalau dia menikah dengan Prapto beberapa jam yang lalu. Namun, pintu kamarnya terbuka, membuatnya urung dan memilih berbalik.
“Mbak Sumi—“
Sumi mengangkat tangannya yang terbuka ke udara, cukup sukses untuk menghentikan istri baru Prapto yang entah akan berucap apa. Dia berjalan mendekat ke Ratih, menyeringai, melihat Ratih dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Ratih menelan ludah. Kehidupan baru sepertinya dimulai. Tanpa sadar, dia menunduk untuk menghindari tatapan Sumi. “Siapa kamu? Dari mana bisa bertemu dengan kakang Prapto?” tanya Sumi. Dia bersedekap dada, menunggu jawaban Ratih tanpa mengalihkan se-inchi pun tatapannya. “Ak—aku berjualan jamu, mas Prapto ...sedang beli jamu waktu itu,” jawab Ratih. “O ...penjual jamu?” ulang Sumi. Dia jadi tahu dari mana Prapto pulang dengan membawa jamu, ternyata Ratih jawabannya. “Kamu kenal sudah lama? Kamu merayunya sudah lama? Dengan tubuhmu?” tanyanya lagi dan tertawa setelahnya. Ratih mengepalkan tangan, harga dirinya diinjak-injak dengan pertanyaan tak pantas itu. Sumi masih tertawa, “Wajahmu seperti orang marah. Padahal, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa kamu seperti diingatkan kembali dengan kelicikanmu?” Sumi menyeringai, “Menjijikkan!” desis Istri pertama Prapto di akhir. “Hati-hati dengan ucapanmu, Mbak Sumi! Apa yang terlihat di luar terkadang tak lebih berbahaya dari per
“Ada apa, Aden Prapto?” tanyanya Tejo, kusir sekaligus orang kepercayaan Prapto. Dia baru saja duduk di samping perapian yang baru saja dinyalakan sambil menunggu ketela pohon, tetapi kedatangan juragannya membuat Tejo bingung. Prapto hanya menggeleng.“Aku hanya heran, kamu tahu sendiri, di pasar sapi banyak perempuan yang mendekat. Jangankan jadi istriku, jadi simpananku saja mereka pasti mau. Bukan hanya dua atau tiga orang, bahkan bisa dikatakan puluhan, mereka ingin tinggal di rumah besar ini, dan menikmati uangku.” Prapto memegangi dagunya sendiri dan mengusapnya, “Ratih berbeda, kemewahan sudah ada di depan mata, tapi gadis kecil itu tetap angkuh, dia menentangku terang-terangan, dan aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya saat ini.” Tejo terkekeh. “Maaf kalau saya lancang. Ini hanya pendapat saya saja. Ndoro Ratih sebelumnya tidak pernah tahu tentang Anda, terlebih lagi dia juga anak zaman sekarang. Mungkin saja, pemikirannya juga berbeda. Pernikahan kemarin sangat mendadak
‘Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Sopan santun, tata krama, anggun, bagaimana pun juga Kakang Prapto adalah suami kita, kita harus menjunjungnya setinggi mungkin, apa ucapanku salah sampai kamu tega menyiramku begini?’‘Sudah, biarkan Ratih melakukan apa yang dia mau, dia masih kecil, kita yang waras ini harus banyak mengalah.’Ratih meremas selimutnya, gema suara itu membuatnya semakin geram, “Ternyata mbak Sumi dan mas Prapto sama saja, aku harus berhati-hati, mereka hanya menginginkan anak, kan?” monolog Ratih, “Ya, aku akan memberinya dan segera pergi dari sini.” Ratih mematikan lampu, memejamkan mata dan siap untuk tidur, tapi matanya membuka kembali, “Apa aku akan mengalah begitu saja? Enak sekali? Aku akan membuatmu meminta maaf padaku dan juga ibuku dulu, baru kamu akan mendapatakan anak itu, mas Prapto.” Ratih terkekeh, bisa dia bayangkan seperti apa peperangan yang sudah dia mulai sebentar lagi.***Hari berganti, ruang makan ramai dengan piring yang beradu dengan sendo
Prapto membuang napasnya kasar, tak habis pikir kenapa Ratih tak peka, seolah umur itu memang belum siap untuk membina sebuah rumah tangga.“Aden Prapto, makan siang sudah siap.” Kata pelayan yang mendekat ke juragannya.Prapto mengangguk, “Aku mandi dulu.” Segera ke kamar pribadinya untuk membersihkan diri, memakai surjan rapi dengan jarik berwarna senada, baru ke ruang makan. Dirinya hanya seorang diri, Prapto pun menoleh ke pelayannya, “Ratih tidak makan?” tanyanya.“Ndoro Ratih belum lapar katanya. Aden Prapto, mau saya ambilkan?” tawar pelayan itu.Prapto menggeleng, mengambil makanannya sendiri dan mengisi perutnya. Selesai makan, Prapto ke kandang, melihat ditaruh mana kelinci yang tadi dibelinya, membuat angannya memikirkan Ratih kembali. Seolah meraba, dirinya atau Ratih yang salah saat ini, tapi kalau hanya keegoisan saja yang diandalkan, maka semua perselisihan tak akan usai. “Selesaikan, aku masuk dulu.” Pamitnya ke pekerja yang sibuk di kandang. Prapto ke kamar Ratih, pin
Ratih mencuci tangan setelah puas memberi makan kelinci pemberian Prapto. Hari ini terasa rumah besar ini begitu sepi, tak seramai biasanya, dan itu membuat Ratih rindu dengan ibu dan bapak yang dia tinggalkan tak lebih dari sebulan itu. Dia pun pergi ke dapur, para pelayan yang sibuk segera menunduk hormat, dan itu membuatnya canggung. Ratih hanya diam di tempat saat ini.“Ndoro Ratih, membutuhkan sesuatu atau ingin membuat sesuatu?” tanya pelayan pribadi Ratih.“Apa ...aku boleh menggunakan dapur?” tanya Ratih.“Tentu saja. Mari, Ndoro Ratih.” Pelayan itu mempersilakan juragannya. “Ndoro lainnya juga menggunakan dapur ini, Njenengan bisa ke sini kalau ingin masak sesuatu, saya akan membantu dan mencarikan apa pun yang tidak tersedia di dapur bersih ini.” ucap pelayan itu lagi.Ratih tersenyum, mendekat ke dapur yang ditunjuk pelayan itu, dia membuka almari, banyak bahan makanan dan perabotan yang bagus. Ratih tersenyum semakin lebar, tangannya yang lincah segera menghasilkan karya,
Ratih membuka mata, ini bukan kamarnya, dan cuitan burung di luar seolah menyadarkan kalau hari sudah berganti. Lebih mengejutkan lagi saat Prapto terlelap di sebelahnya. Ratih segera bangun, dia menimang bagaimana dirinya bisa lancang naik ke ranjang dan tidur, kalau Prapto tahu? Ratih segera menggeleng, turun dan duduk di tempat yang semalam didudukinya. Tangannya dengan enggan mengulur untuk menyentuh kening Prapto, dingin melebihi tangannya sendiri, Ratih yakin kalau Prapto sudah membaik. Dia pun ke luar dari kamar itu, “Akh!” Terkejut saat melihat Fitri di depannya.“Ratih? Kamu tidur di kamar kakang Prapto?” tanya Fitri heran.“Hm ...Mbak Fitri ...kapan pulang?” tanya Ratih sambil menunduk.Fitri tak akan terpengaruh, “Baru saja, mbak Iis masuk mandi, tapi kenapa kamu sepagi ini di kamar kakang Prapto? Kamu—““Ada apa?” Prapto baru muncul dari balik pintu kamarnya.Fitri menarik salah satu sudut bibirnya, “Kakang Prapto, semalam tidur dengan Ratih?” tanyanya yang diangguki oleh
Sedari kebun Ratih tidak fokus dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Saat ini dia ada di kadang memberi makan kelincinya, pikirannya terus melayang ke beberapa jam nanti, dan itu membuatnya tak dengan saat Iis memanggilnya. Lengannya yang terasa tercubit meski kecil, membuat Ratih sadar, dan menoleh, “Mbak Iis?”“Aku memanggilmu seperti orang gila dan kamu tetap melamun di sini dengan kelinci tak bergunamu ini?” tanya Iis sinis.“Maaf, Mbak Iis.” Ratih merasa tak ada yang benar sejak tadi.Iis hanya membuang napas kasar, “Ini.” Diulurkannya lumpang, “Fitri sibuk, dia memberikan ini padaku agar diberikan ke kamu, kuharap lumpang itu bisa berguna bukan hanya untukmu, tapi juga untuk semua penghuni rumah besar ini, apa kamu paham?” tanyanya setengah mengejek.Ratih mengangguk. Setelah Iis pergi, dia pun melihat lumpang barunya, tersenyum karena sesuai dengan apa yang dia perkirakan, dan segera membawanya ke dapur. Ratih membuat jamu, dengan begitu dia akan merasakan suasa rumah, kerindu
Kebaya merah melekat ke kulit langsat yang bersih. Lampu temaram yang sudah meredup membuat drama semakin seru, dada naik turun Ratih membuatnya Prapto tahu kalau gadis kecil itu sangat gugup. “Kamu ...” ucapannya terus menggantung karena sorot mata tak kunjung lega.“Ingat, Mas Prapto. Setelah kamu memiliki anak dariku, maka lepaskanlah aku.” Ucapan itu sangat menyakitkan untuk Ratih, tapi dia juga tak ingin terus mendekam dalam sangkar emas ini.“Aku tidak akan membiarkan perceraian hadir dalam hidupku.” tolak Prapto tegas.“Aku di sini hanya untuk membayar hutangku, tidak lebih, tak ada perasaan apa pun, berbeda dengan ke tiga istrimu, Iis yang kau ajak bercanda di taman tadi—““Apa kamu cemburu?” tukas Prapto.Ratih menahan amarahnya, tombak ucapan Prapto menancap tepat di dadanya.“Meski semua kata sengaja kamu katakan untuk menggagalkan malam ini, aku akan tetap melakukan apa yang seharusnya, Ratih.” Prapto membuka kancing surjan yang dia kenakan, “Kalau kamu memang menganggap s
Hampir tengah malam. Prapto masih duduk di ruang tengah. Dia baru saja ke luar dari kamar putranya, Ratih belum pulang, Prapto akan menunggu sampai istrinya itu tiba di rumah. Bukankah Ratih sudah berjanji tak akan menginap? Kini angannya jadi melayang... “Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak mau sampai istrimu tahu.” “Biar saja dia tahu. Bukankah kita sama-sama tahu kalau aku tak pernah menyukai istriku sepenuhnya? Pernikahan ini hasil perjodohan dan kedatanganmu di sini seolah memberiku puas akan dahaga.” “Jangan pernah mengatakan itu.” “Apa yang salah? Aku sudah pernah melakukannya, kau juga, apa salah kalau kita mencoba memuaskan hasrat kita selama ini?” “Aku tidak mau membuat dosa.” “Anggap saja ini hadiah yang bisa kuberikan. Aku janji hanya sekali. Tak ada esok hari. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu, Jum.” Rayuan yang begitu memabukkan, mbok Jum muda pun terbuai, dia membiarkan setiap jengkal kulit disentuh oleh sang mantap, dan sungguh, kenikmatan itu tiada tara.
Mbok Jum terkekeh, “Semua orang memusuhiku.”“Tidak ada yang berlaku seperti itu, Mbok Jum. Semua karena perasaanmu saja karena yang sebenarnya terjadi adalah semua orang butuh waktu untuk menenangkan diri saat hatinya merasa tak baik.” Ratih baru saja selesai makan, dia berdiri karena ingin melakukan banyak hal untuk hari ini, “Jangan banyak memaksa. Setelah waktu yang dibutuhkan tercukupi, semua orang akan menyambutmu sehangat dulu.” Ratih tersenyum, menunduk hormat ke mbok Jum, dan beranjak dari ruang makan. Dia ke halaman, tahu kalau Prapto pasti sibuk, dia tak ingin putranya mengganggu pekerjaan Prapto. Tepat saat dokar berhenti di halaman, Ratih mendekati Prapto dan meminta putranya, tak menunggu siapa tamu itu, dia segera masuk kembali meski hanya bersembunyi di belakang pintu utama. Dokar yang datang adalah milik Prapto. Bisa dipastikan Siti yang ada di dalamnya.Prapto tetap duduk. Dia bahkan mulai meramu lintingan tembakau untuk dinikmati. Lek Tejo yang terus mendekat ke dok
“Ya?!” Prapto berteriak dari kamar mandi. Dia sedang membersihkan tubuhnya. Berharap dengan begitu lelah yang dia rasa akan hilang.Ratih menghela napas menyadari Prapto tak pergi jauh, “Aku membuatkanmu minuman, Mas.” Ratih mendekat, bahkan hampir menempelkan tubuhnya ke pintu kamar mandi.“Aku selesai sebentar lagi, Ratih. Letakkan saja di sana.” Prapto kembali melanjutkan mandinya saat Ratih tak lagi bertanya.Menuju ke almari, Ratih segera mencari surjan dan jarit yang pasti akan pas dikenakan oleh Prapto, tepat dengan suaminya yang baru saja ke luar dari kamar mandi. “Sarapan di dapur hampir siap, Mas.” Ratih mendekat untuk mengambil handuk basah. Menyampirkan agar tak membuat tempat lain menjadi lembab.Prapto mengangguk, “Kau tidak ke kamarmu sendiri? Kupikir anak kita akan mencarimu.” Prapto mulai membuat simpul untuk jarit yang dia kenakan.Ratih menggeleng, “Tidak, Mas. Aku sedang mengandung. Sebisa mungkin aku tak menyusui putra kita. Mas, mau kusiapkan makan di kamar atau
Sudah senja, mbok Jum heran karena pintunya diketuk dari luar, tak pernah ada tamu di jam seperti ini. Dia tetap melangkah ke luar, tersenyum saat melihat siapa yang mengejutkan dirinya, “Apa yang membawamu ke sini, Tejo?” Mbok Jum membuka pintu rumahnya sangat lebar, tapi lek Tejo malah memilih duduk di teras, mbok Jum juga tak mau memaksa lek Tejo untuk masuk.“Siapkan barangmu. Prapto ingin kamu menginap di sana untuk beberapa hari.” Lek Tejo tak menoleh, dia memilih menatap rimbunnya pohon yang mulai gelap, biar cahaya lampu minyak tak mampu membuat halaman luas ini menjadi terang.Mbok Jum terkekeh, “Ada apa? Prapto sudah menemukan Siti?”Barulah lek Tejo menoleh, menatap mbok Jum tajam, gigi menguning hasil dari kinang itu membuatnya jijik. “Baru kali ini kau berani mengatakan nama putri yang kau sembunyikan, kenapa? Kau takut aku memberi tahu Prapto dan membunuh putrimu?” Lek Tejo tak menyangka kalau mbok Jum tetap saja menjadi wanita yang licik.“Apa Prapto sudah berhasil memb
Pekerja pria itu tersenyum getir, “Memang sangat menyakitkan, Aden Prapto.”Tanpa banyak bicara, Prapto memukuli pekerja itu hingga babak belur, dia melakukannya hingga puas. Setelah pria dengan tubuh lunglai seperti seonggok baju kotor, Prapto melepas dengan setengah melempar begitu saja, tak peduli jika napas pekerja itu sebentar lagi akan melayang. “Kau tak menghalangiku?” Prapto terkekeh, “Bukankah dia kekasihmu?” Siti masih menangis sambil duduk di tanah dan Prapto tak juga merasa kasihan.Siti menggeleng, “Aku hanya ingin hidup, bukan berarti aku kekasihnya.”“Hahahaha.” Prapto berjalan mendekati Siti, “Kau pikir setelah menemukanmu aku akan melepaskanmu begitu saja?” Menggeleng sambil mencebikkan bibirnya, “Katakan, sebelum kematianmu datang, apa kau masih ingin bertemu dengan ibumu?” Prapto berjongkok tepat di depan Siti.“Apa yang membuatmu sebenci itu denganku?” Siti seperti menantang, tapi bukan itu yang dia luapkan, hanya penasaran kenapa Prapto tak pernah memberinya kesem
Prapto menghela napas panjang dan dalam, “Di mana tempatnya?” Tadi matahari belum muncul ke permukaan dan kini kepalanya malah pusing karena cukup terik. Prapto terus berjalan menyusuri sungai seperti yang diperintahkan oleh lek Tejo, meski tak menemukan apa pun, sudah kepalang basah. Dia tak ingin kembali dengan tangan kosong.Kakinya yang terlalu lelah, Prapto memilih untuk istirahat, duduk di batu besar, dan minum air sungai. “Di mana tempatnya? Kakiku mau copot.” Prapto menyandarkan punggung, hampir merebah untuk menghilangkan penat sambil menikmati semilir angin. Cukup menyegarkan hingga dirinya hampir saja tertidur. Untung tak sampai karena dia bangun saat mencium harum masakan rumah.Prapto membuka mata, menyapu seluruh sisi untuk mencari apa yang bisa dijadikan pertanda, hingga di kejauhan dia melihat asap. “Apa itu?” Prapto berdiri, “Tak ada pemukiman di sini, sepertinya memang itu.” Terkekeh, Prapto sedikit banyak mengenal daerah yang dia tapaki. Ini adalah tanah kelahiranny
Entah ini ketepatan yang bagaimana, baru saja Prapto turun dan pas sekali di acara ketemu kemanten, jadilah dia ikut mengiring meski bukan sanak kadang mempelai wanita. Seluruh prosesi yang biasa setiap orang hafal, Prapto melihatnya juga, dia pernah melewati yang seperti itu dengan ke tiga istrinya, tapi tidak dengan Ratih. Prapto menoleh ke Ratih, entah seperti apa perasaan istrinya melihat semua ini. Ternyata istri Bima sangat cantik, Ratih menoleh ke Prapto, bertemu tatap dengan pandangan sedih, Ratih malah tersenyum sambil mengusap lengan Prapto, “Ada apa, Mas?” “Pernikahan kita tak seramai ini. Ibu dan bapakmu menangis, kamu juga menangis, saat itu kita menikah dengan diri dipenuhi amarah, Ratih.” Penyesalan selalu datang belakangan. Andai Prapto tahu Ratih adalah satu-satunya wanita yang bisa memberinya anak, dia tak akan sejahat dulu, dan semua sudah terlambat untuk diulang. Ratih tersenyum lagi, “Tidak penting, Mas. Asal Mas tetap sebaik ini, aku tetap menerima semua dengan
Prapto tertawa terbahak-bahak, dua wajah di depannya sangat tegang, “Mbok Minah, aku ingin kau menikah dengan lek Tejo.”“Aden?!” Lek Tejo tak bisa berkata-kata selain menegur Prapto.Minah malah lidahnya jadi kelu. Dia memang suka dengan lek Tejo, pria dewasa itu begitu baik, tapi dirinya ini? Ah! Sangat tidak pantas menjadi salah satu bagian dari juragan tanah seperti aden Prapto.Ratih malah lega, dia pikir Prapto terus membuat onar, ternyata dirinya salah. Ratih jadi berani ke luar, tersenyum ke tamunya, dan duduk di samping suaminya. “Ini jembelm siapa?” Ratih baru tahu ada makanan ini di meja.“Buatan saya, Ndoro Ratih.” Minah yakin makanan seperti itu akan membuat semua orang sakit perut.Ratih mengambilnya, mencicipinya, dan mengangguk ketika menemukan rasa yang enak sekali. “Mas Prapto benar, Mbok Minah menikah saja dengan Lek Tejo. Aku yakin, hubungan yang niatnya baik, pasti akan menjadi berkah.” Ratih mengambil jemblem itu lagi.Lek Tejo menghela napas, “Kalau ...kamu mau,
Prapto baru saja sampai rumah. Tak ada yang menyambutnya. “Ke mana Ratih?” Hanya pelayan yang mendekat dengan membawakan kopi.Pelayan itu meletakkan kopi yang dipegangnya, “Di kamar, Aden Prapto. Aden tole tadi menangis, mungkin sekarang sedang tidur. Njenengan mau makan dulu?”Prapto menggeleng, “Nanti saja. Pergilah.” Prapto menyandarkan punggung, setelah beberapa saat membiarkan otot agak lemas, Prapto menikmati kopi yang manisnya pas. Baru saja ingin bersantai, tangisan putranya membuat mengerut keheranan, “Katanya tidur, kenapa nangis?” Prapto berdiri. Dia segera mendatangi putranya, siapa tahu Ratih membutuhkan bantuannya untuk menenangkan si tole.Prapto heran, tak ada Ratih di sana, hanya putranya yang digendong oleh pelayan pribadi Ratih, “Kau sendiri?”“Aden Prapto? Kapan Aden Prapto datang?” Pelayan itu terus menimang balita, hingga saat Prapto meminta, dengan hati-hati memberikannya.Prapto mengerutkan kening, “Pertanyaanmu aneh. Di mana Ratih?”“Ndoro Ratih sedang buang