Sumi...
Di sisi lain, istri pertama Prapto sangat kawatir karena suaminya tidak pulang sejak pergi tadi pagi. Dia hanya bisa duduk dengan cemas di teras. Dua adik madu Prapto dari tadi juga bertanya tentang suasa hatinya, tetatpi tak terlalu digubris juga oleh Sumi.
Mbok Jum datang dengan membawakan teh serta ketela bakar, menyajikannya untuk Sumi. “Apa yang kamu pikirkan?” tanyanya sambil duduk di sisi Sumi.
“Kakang Prapto ... beberapa hari ini dia sangat aneh, aku rasa ada yang kakang Prapto sembunyikan,” jawab Sumi yang tak mampu menyembunyikan kegelisahannya.
Mbok Jum tersenyum. “Kamu ini istri tertua, apa yang membuatmu takut? Bahkan, nasib semua istri Prapto juga sama denganmu. Malang sekali memang putraku yang satu itu.” Mbok Jum pun juga bersedih hati.
“Tapi karena kemarahan Prapto kemarin,” Mbok Jum mengingatkan Sumi tentang bayi yang baru saja mati beberapa hari yang lalu, “apa yang akan kamu lakukan jika dia pulang dengan membawa seorang istri? Hahahaha.”
Mbok Jum tertawa karena wajah pucat Sumi sangat menyenangkan hatinya.
Sumi menggeleng, “Tidak, kakang Prapto akan mengatakan padaku dulu jika dia akan menikah lagi. Bagaimanapun juga, kami menikah atas dasar cinta—“
“Itu dulu,” pungkas mbok Jum, “setelah Prapto tahu kamu tidak menguntungkan baginya, dia pun pergi mencari wanita lain.”
Mbok Jum tak pernah lupa. Prapto muda pulang dengan membawa gadis cantik bernama Sumi yang lemah lembut dan memiliki sopan santun tinggi. Namun, semua cinta terkikis setelah lima tahun pernikahan anak itu tetap tak juga hadir di kehidupan Prapto, hingga hampir setiap tahun banyak tragedi terjadi di rumah besar ini.
Sumi tersenyum, menguatkan hatinya. “Mbok Jum, jangan terus membuat hatimu tercemar. Akui saja, aku tetap di tempat tertinggi di rumah ini. Apapun yang Prapto inginkan, pasti tanya padaku dulu. Dengan atau tanpa seorang anak posisiku, akan tetap sama, tapi dengan Mbok Jum?” Sumi menggeleng, “Semua pun juga akan tetap sama, Mbok Jum hanya kepala pelayan di rumah ini, pe-la-yan.” Sumi sengaja mengulangnya agar mbok Jum tetap ingat dengan posisinya di rumah ini.
Mbok Jum terdiam, mengepalkan ke dua tangan tanpa mengalihkan tatapannya yang tajam ke Sumi, ‘Kamu akan tahu setelah tiba waktunya, dan saat kamu menyadari kekalahanmu, sudah tidak ada lagi tempat untuk mundur menyelamatkan diri.’ batin mbok Jum. Dia pun pergi, biar saja Sumi sendiri meratapi detik-detik yang sebentar lagi akan berganti dengan kepahitan.
****
Di rumah Ratih...
Sepi dan sunyi, hanya batuk dari bapaknya Ratih saja yang memecah keheningan. Ratih mengurung diri di kamar mesti tak mengunci pintu, ibunya duduk di samping bapaknya yang berbaring di ruang tamu, dan Prapto menikmati rokok tanpa bosan meski sudah menghabiskan beberapa batang.
Sejak pagi, Prapto di tempatnya, tanpa beranjak jika tak berkepentingan. Dia juga tak kencing, mandi, atau bahkan makan. Hanya melahap beberapa kudapan yang tersaji dengan teh tak terlalu manis sampai beberapa gelas banyaknya. Pagi tadi masih sejuk di kulit, berganti dengan siang yang panas serta membara, dan kini malam telah datang menanti pekat yang semakin kelam bagi siapa saja yang berani membohongi Prapto.
“Akh! Ibu! Ibuuuu!” Teriakan Ratih memecah keheningan, dia tak peduli akan siapa saja yang terkejut. Dia hanya ingin berteriak saja.
Ibunya Ratih yang panik, segera berdiri dan berlari ke kamar putrinya.
Prapto pun juga sama. Hanya saja, dia tak berlari, dia berjalan santai mendekat ke Ratih.
“Perutku sakit, Bu. Perutku sakit, akh!” Ratih terus meremas peruhnya. “Sakit, Bu.” Ratih menangis karena rasanya sangat melilit.
Ibunya Ratih pun memeluk putrinya, memangku kepala Ratih dan mengusap kening putrinya juga. “Iya, Sayang. Enggak apa-apa, semua akan baik-baik saja, sebentar lagi kamu akan mengantuk dan nyeri itu akan hilang setelah bangun besok pagi, jangan menangis, Sayang. Ibu dan bapak di sini, di sisimu.” Wanita itu terus memeluk dan mengusap apapun di diri Ratih agar nyeri itu hilang.
“Sakit, Bu. Sakitttt, sakit, Bu ....” Ratih merintih, bergerak ke kanan dan ke kiri, rasanya sangat luar biasa.
Tangisnya saja tak mampu mengusir sakit itu, tapi ternyata semua berubah. Sakit itu memang mereda, lama-kelamaan tubuhnya melemas meski keringat dingin itu belum kering sepenuhnya. Kini, dia mengantuk. Ratih mengikuti apa yang diinginkan tubuhnya. Dia memejamkan mata setelah usapan dan nyanyian tidur yang didendangkan ibunya. Sangat merdu, Ratih menyukainya.
Ibunya Ratih pun meraih bantal, mengganti pangkuannya dengan bantal. Dia menyelimuti putrinya. Setelahnya, Prapto yang sedari tadi tidak bersuara, berdiri tegak di ambang pintu. Ibunya Ratih pun mendekat sambil mengatupkan ke dua tangan untuk memohon pengampunan.
“Tanah kami yang disewa pabrik tebu dan rumah ini, jika dijual sampai 100 juta, bahkan lebih. Aku akan menawarkannya ke juragan tanah besok pagi, hanya satu yang kuinginkan, lepaskan putri kami, Tuan Prapto.” Wanita itu berharap tuan Prapto mengabulkan permintaannya.
Sayangnya, Prapto hanya terkekeh. “Kalian memilih menjadi gelandangan daripada melewati jalanan yang lebih mudah?”
“Aku akan bekerja sampai seumur hidup di rumahmu, Tuan Prapto. Tidak usah dibayar, Ratih pun juga jangan dibayar. Cukup kami bisa berteduh dan suamiku juga.” Ibunya Ratih mulai menangis karena Prapto sepertinya akan menolak permintaannya.
Prapto hanya terkekeh, “Katakan padaku, apa Ratih sedang haid saat ini?”
Ibunya Ratih mengunci mulutnya. Dia hanya menangis, tak akan menjawab pertanyaan Prapto kali ini.
Prapto yang tidak sabar, segera mendorong ibunya Ratih hingga terjerembab di lantai. Segera, pria itu mendekat ke Ratih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri tanpa peduli akan jijik dan kotor atau seperti apa rupanya.
Ratih tidur seperti mayat, memudahkannya membuka apa yang ingin dia buka.
Kini, terpampang sudah apa yang ada di depan mata. Prapto tersenyum, dia menoleh ke ibunya Ratih yang saat ini menggeleng ke arahnya.
“Aku akan menikahi putrimu besok, siapkan semuanya.”
Prapto pun ke luar dari kamar Ratih dan kembali ke kursinya tadi. Dia tersenyum meski tangis ibunya Ratih semakin keras dan pilu, tapi Prapto tetap tak peduli. Dia hanya mau keinginannya segera terwujud, itu saja.
Ratih menangis di kamar. Banyak yang diucapkan untuk mendebat Prapto sampai semua idenya habis. Namun, Prapto tetap tak membiarkannya pergi. Kini dirinya tengah duduk di depan meja rias, dipoles oleh dua perempuan yang bisa menyulap wajahnya lebih cantik dari biasa. Hanya saja, Ratih tetap tak ingin melihat pantulan dirinya sendiri di cermin itu.Saat panggilan terdengar jelas menyebut namanya, barulah Ratih mencari dan menemukan ibunya yang berdiri di ambang pintu. Bibir Ratih bergetar, air mata yang sempat mengering, kembali membelah pipinya yang sudah merona oleh sapuan bedak kemerahan.“Ibu,” panggilnya.Ibu Ratih mendekat, “Maafkan Ibu, Nduk ayu. Andai Ibu tidak memintamu untuk ikut berjualan jamu, tanah yang kita punya jika dijual juga tak cukup untuk membayar ganti rugi yang diminta Prapto, Ibu tidak rela kamu menikah dengan Prapto, tapi kita bisa apa, Nduk?” Ikut menangis juga, hatinya pilu dan meraung, tapi tak berdaya oleh keadaan ini.“Jangan berkata seperti itu, Bu. Prapto
Ratih menelan ludah. Kehidupan baru sepertinya dimulai. Tanpa sadar, dia menunduk untuk menghindari tatapan Sumi. “Siapa kamu? Dari mana bisa bertemu dengan kakang Prapto?” tanya Sumi. Dia bersedekap dada, menunggu jawaban Ratih tanpa mengalihkan se-inchi pun tatapannya. “Ak—aku berjualan jamu, mas Prapto ...sedang beli jamu waktu itu,” jawab Ratih. “O ...penjual jamu?” ulang Sumi. Dia jadi tahu dari mana Prapto pulang dengan membawa jamu, ternyata Ratih jawabannya. “Kamu kenal sudah lama? Kamu merayunya sudah lama? Dengan tubuhmu?” tanyanya lagi dan tertawa setelahnya. Ratih mengepalkan tangan, harga dirinya diinjak-injak dengan pertanyaan tak pantas itu. Sumi masih tertawa, “Wajahmu seperti orang marah. Padahal, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa kamu seperti diingatkan kembali dengan kelicikanmu?” Sumi menyeringai, “Menjijikkan!” desis Istri pertama Prapto di akhir. “Hati-hati dengan ucapanmu, Mbak Sumi! Apa yang terlihat di luar terkadang tak lebih berbahaya dari per
“Ada apa, Aden Prapto?” tanyanya Tejo, kusir sekaligus orang kepercayaan Prapto. Dia baru saja duduk di samping perapian yang baru saja dinyalakan sambil menunggu ketela pohon, tetapi kedatangan juragannya membuat Tejo bingung. Prapto hanya menggeleng.“Aku hanya heran, kamu tahu sendiri, di pasar sapi banyak perempuan yang mendekat. Jangankan jadi istriku, jadi simpananku saja mereka pasti mau. Bukan hanya dua atau tiga orang, bahkan bisa dikatakan puluhan, mereka ingin tinggal di rumah besar ini, dan menikmati uangku.” Prapto memegangi dagunya sendiri dan mengusapnya, “Ratih berbeda, kemewahan sudah ada di depan mata, tapi gadis kecil itu tetap angkuh, dia menentangku terang-terangan, dan aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya saat ini.” Tejo terkekeh. “Maaf kalau saya lancang. Ini hanya pendapat saya saja. Ndoro Ratih sebelumnya tidak pernah tahu tentang Anda, terlebih lagi dia juga anak zaman sekarang. Mungkin saja, pemikirannya juga berbeda. Pernikahan kemarin sangat mendadak
‘Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Sopan santun, tata krama, anggun, bagaimana pun juga Kakang Prapto adalah suami kita, kita harus menjunjungnya setinggi mungkin, apa ucapanku salah sampai kamu tega menyiramku begini?’‘Sudah, biarkan Ratih melakukan apa yang dia mau, dia masih kecil, kita yang waras ini harus banyak mengalah.’Ratih meremas selimutnya, gema suara itu membuatnya semakin geram, “Ternyata mbak Sumi dan mas Prapto sama saja, aku harus berhati-hati, mereka hanya menginginkan anak, kan?” monolog Ratih, “Ya, aku akan memberinya dan segera pergi dari sini.” Ratih mematikan lampu, memejamkan mata dan siap untuk tidur, tapi matanya membuka kembali, “Apa aku akan mengalah begitu saja? Enak sekali? Aku akan membuatmu meminta maaf padaku dan juga ibuku dulu, baru kamu akan mendapatakan anak itu, mas Prapto.” Ratih terkekeh, bisa dia bayangkan seperti apa peperangan yang sudah dia mulai sebentar lagi.***Hari berganti, ruang makan ramai dengan piring yang beradu dengan sendo
Prapto membuang napasnya kasar, tak habis pikir kenapa Ratih tak peka, seolah umur itu memang belum siap untuk membina sebuah rumah tangga.“Aden Prapto, makan siang sudah siap.” Kata pelayan yang mendekat ke juragannya.Prapto mengangguk, “Aku mandi dulu.” Segera ke kamar pribadinya untuk membersihkan diri, memakai surjan rapi dengan jarik berwarna senada, baru ke ruang makan. Dirinya hanya seorang diri, Prapto pun menoleh ke pelayannya, “Ratih tidak makan?” tanyanya.“Ndoro Ratih belum lapar katanya. Aden Prapto, mau saya ambilkan?” tawar pelayan itu.Prapto menggeleng, mengambil makanannya sendiri dan mengisi perutnya. Selesai makan, Prapto ke kandang, melihat ditaruh mana kelinci yang tadi dibelinya, membuat angannya memikirkan Ratih kembali. Seolah meraba, dirinya atau Ratih yang salah saat ini, tapi kalau hanya keegoisan saja yang diandalkan, maka semua perselisihan tak akan usai. “Selesaikan, aku masuk dulu.” Pamitnya ke pekerja yang sibuk di kandang. Prapto ke kamar Ratih, pin
Ratih mencuci tangan setelah puas memberi makan kelinci pemberian Prapto. Hari ini terasa rumah besar ini begitu sepi, tak seramai biasanya, dan itu membuat Ratih rindu dengan ibu dan bapak yang dia tinggalkan tak lebih dari sebulan itu. Dia pun pergi ke dapur, para pelayan yang sibuk segera menunduk hormat, dan itu membuatnya canggung. Ratih hanya diam di tempat saat ini.“Ndoro Ratih, membutuhkan sesuatu atau ingin membuat sesuatu?” tanya pelayan pribadi Ratih.“Apa ...aku boleh menggunakan dapur?” tanya Ratih.“Tentu saja. Mari, Ndoro Ratih.” Pelayan itu mempersilakan juragannya. “Ndoro lainnya juga menggunakan dapur ini, Njenengan bisa ke sini kalau ingin masak sesuatu, saya akan membantu dan mencarikan apa pun yang tidak tersedia di dapur bersih ini.” ucap pelayan itu lagi.Ratih tersenyum, mendekat ke dapur yang ditunjuk pelayan itu, dia membuka almari, banyak bahan makanan dan perabotan yang bagus. Ratih tersenyum semakin lebar, tangannya yang lincah segera menghasilkan karya,
Ratih membuka mata, ini bukan kamarnya, dan cuitan burung di luar seolah menyadarkan kalau hari sudah berganti. Lebih mengejutkan lagi saat Prapto terlelap di sebelahnya. Ratih segera bangun, dia menimang bagaimana dirinya bisa lancang naik ke ranjang dan tidur, kalau Prapto tahu? Ratih segera menggeleng, turun dan duduk di tempat yang semalam didudukinya. Tangannya dengan enggan mengulur untuk menyentuh kening Prapto, dingin melebihi tangannya sendiri, Ratih yakin kalau Prapto sudah membaik. Dia pun ke luar dari kamar itu, “Akh!” Terkejut saat melihat Fitri di depannya.“Ratih? Kamu tidur di kamar kakang Prapto?” tanya Fitri heran.“Hm ...Mbak Fitri ...kapan pulang?” tanya Ratih sambil menunduk.Fitri tak akan terpengaruh, “Baru saja, mbak Iis masuk mandi, tapi kenapa kamu sepagi ini di kamar kakang Prapto? Kamu—““Ada apa?” Prapto baru muncul dari balik pintu kamarnya.Fitri menarik salah satu sudut bibirnya, “Kakang Prapto, semalam tidur dengan Ratih?” tanyanya yang diangguki oleh
Sedari kebun Ratih tidak fokus dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Saat ini dia ada di kadang memberi makan kelincinya, pikirannya terus melayang ke beberapa jam nanti, dan itu membuatnya tak dengan saat Iis memanggilnya. Lengannya yang terasa tercubit meski kecil, membuat Ratih sadar, dan menoleh, “Mbak Iis?”“Aku memanggilmu seperti orang gila dan kamu tetap melamun di sini dengan kelinci tak bergunamu ini?” tanya Iis sinis.“Maaf, Mbak Iis.” Ratih merasa tak ada yang benar sejak tadi.Iis hanya membuang napas kasar, “Ini.” Diulurkannya lumpang, “Fitri sibuk, dia memberikan ini padaku agar diberikan ke kamu, kuharap lumpang itu bisa berguna bukan hanya untukmu, tapi juga untuk semua penghuni rumah besar ini, apa kamu paham?” tanyanya setengah mengejek.Ratih mengangguk. Setelah Iis pergi, dia pun melihat lumpang barunya, tersenyum karena sesuai dengan apa yang dia perkirakan, dan segera membawanya ke dapur. Ratih membuat jamu, dengan begitu dia akan merasakan suasa rumah, kerindu
Hampir tengah malam. Prapto masih duduk di ruang tengah. Dia baru saja ke luar dari kamar putranya, Ratih belum pulang, Prapto akan menunggu sampai istrinya itu tiba di rumah. Bukankah Ratih sudah berjanji tak akan menginap? Kini angannya jadi melayang... “Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak mau sampai istrimu tahu.” “Biar saja dia tahu. Bukankah kita sama-sama tahu kalau aku tak pernah menyukai istriku sepenuhnya? Pernikahan ini hasil perjodohan dan kedatanganmu di sini seolah memberiku puas akan dahaga.” “Jangan pernah mengatakan itu.” “Apa yang salah? Aku sudah pernah melakukannya, kau juga, apa salah kalau kita mencoba memuaskan hasrat kita selama ini?” “Aku tidak mau membuat dosa.” “Anggap saja ini hadiah yang bisa kuberikan. Aku janji hanya sekali. Tak ada esok hari. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu, Jum.” Rayuan yang begitu memabukkan, mbok Jum muda pun terbuai, dia membiarkan setiap jengkal kulit disentuh oleh sang mantap, dan sungguh, kenikmatan itu tiada tara.
Mbok Jum terkekeh, “Semua orang memusuhiku.”“Tidak ada yang berlaku seperti itu, Mbok Jum. Semua karena perasaanmu saja karena yang sebenarnya terjadi adalah semua orang butuh waktu untuk menenangkan diri saat hatinya merasa tak baik.” Ratih baru saja selesai makan, dia berdiri karena ingin melakukan banyak hal untuk hari ini, “Jangan banyak memaksa. Setelah waktu yang dibutuhkan tercukupi, semua orang akan menyambutmu sehangat dulu.” Ratih tersenyum, menunduk hormat ke mbok Jum, dan beranjak dari ruang makan. Dia ke halaman, tahu kalau Prapto pasti sibuk, dia tak ingin putranya mengganggu pekerjaan Prapto. Tepat saat dokar berhenti di halaman, Ratih mendekati Prapto dan meminta putranya, tak menunggu siapa tamu itu, dia segera masuk kembali meski hanya bersembunyi di belakang pintu utama. Dokar yang datang adalah milik Prapto. Bisa dipastikan Siti yang ada di dalamnya.Prapto tetap duduk. Dia bahkan mulai meramu lintingan tembakau untuk dinikmati. Lek Tejo yang terus mendekat ke dok
“Ya?!” Prapto berteriak dari kamar mandi. Dia sedang membersihkan tubuhnya. Berharap dengan begitu lelah yang dia rasa akan hilang.Ratih menghela napas menyadari Prapto tak pergi jauh, “Aku membuatkanmu minuman, Mas.” Ratih mendekat, bahkan hampir menempelkan tubuhnya ke pintu kamar mandi.“Aku selesai sebentar lagi, Ratih. Letakkan saja di sana.” Prapto kembali melanjutkan mandinya saat Ratih tak lagi bertanya.Menuju ke almari, Ratih segera mencari surjan dan jarit yang pasti akan pas dikenakan oleh Prapto, tepat dengan suaminya yang baru saja ke luar dari kamar mandi. “Sarapan di dapur hampir siap, Mas.” Ratih mendekat untuk mengambil handuk basah. Menyampirkan agar tak membuat tempat lain menjadi lembab.Prapto mengangguk, “Kau tidak ke kamarmu sendiri? Kupikir anak kita akan mencarimu.” Prapto mulai membuat simpul untuk jarit yang dia kenakan.Ratih menggeleng, “Tidak, Mas. Aku sedang mengandung. Sebisa mungkin aku tak menyusui putra kita. Mas, mau kusiapkan makan di kamar atau
Sudah senja, mbok Jum heran karena pintunya diketuk dari luar, tak pernah ada tamu di jam seperti ini. Dia tetap melangkah ke luar, tersenyum saat melihat siapa yang mengejutkan dirinya, “Apa yang membawamu ke sini, Tejo?” Mbok Jum membuka pintu rumahnya sangat lebar, tapi lek Tejo malah memilih duduk di teras, mbok Jum juga tak mau memaksa lek Tejo untuk masuk.“Siapkan barangmu. Prapto ingin kamu menginap di sana untuk beberapa hari.” Lek Tejo tak menoleh, dia memilih menatap rimbunnya pohon yang mulai gelap, biar cahaya lampu minyak tak mampu membuat halaman luas ini menjadi terang.Mbok Jum terkekeh, “Ada apa? Prapto sudah menemukan Siti?”Barulah lek Tejo menoleh, menatap mbok Jum tajam, gigi menguning hasil dari kinang itu membuatnya jijik. “Baru kali ini kau berani mengatakan nama putri yang kau sembunyikan, kenapa? Kau takut aku memberi tahu Prapto dan membunuh putrimu?” Lek Tejo tak menyangka kalau mbok Jum tetap saja menjadi wanita yang licik.“Apa Prapto sudah berhasil memb
Pekerja pria itu tersenyum getir, “Memang sangat menyakitkan, Aden Prapto.”Tanpa banyak bicara, Prapto memukuli pekerja itu hingga babak belur, dia melakukannya hingga puas. Setelah pria dengan tubuh lunglai seperti seonggok baju kotor, Prapto melepas dengan setengah melempar begitu saja, tak peduli jika napas pekerja itu sebentar lagi akan melayang. “Kau tak menghalangiku?” Prapto terkekeh, “Bukankah dia kekasihmu?” Siti masih menangis sambil duduk di tanah dan Prapto tak juga merasa kasihan.Siti menggeleng, “Aku hanya ingin hidup, bukan berarti aku kekasihnya.”“Hahahaha.” Prapto berjalan mendekati Siti, “Kau pikir setelah menemukanmu aku akan melepaskanmu begitu saja?” Menggeleng sambil mencebikkan bibirnya, “Katakan, sebelum kematianmu datang, apa kau masih ingin bertemu dengan ibumu?” Prapto berjongkok tepat di depan Siti.“Apa yang membuatmu sebenci itu denganku?” Siti seperti menantang, tapi bukan itu yang dia luapkan, hanya penasaran kenapa Prapto tak pernah memberinya kesem
Prapto menghela napas panjang dan dalam, “Di mana tempatnya?” Tadi matahari belum muncul ke permukaan dan kini kepalanya malah pusing karena cukup terik. Prapto terus berjalan menyusuri sungai seperti yang diperintahkan oleh lek Tejo, meski tak menemukan apa pun, sudah kepalang basah. Dia tak ingin kembali dengan tangan kosong.Kakinya yang terlalu lelah, Prapto memilih untuk istirahat, duduk di batu besar, dan minum air sungai. “Di mana tempatnya? Kakiku mau copot.” Prapto menyandarkan punggung, hampir merebah untuk menghilangkan penat sambil menikmati semilir angin. Cukup menyegarkan hingga dirinya hampir saja tertidur. Untung tak sampai karena dia bangun saat mencium harum masakan rumah.Prapto membuka mata, menyapu seluruh sisi untuk mencari apa yang bisa dijadikan pertanda, hingga di kejauhan dia melihat asap. “Apa itu?” Prapto berdiri, “Tak ada pemukiman di sini, sepertinya memang itu.” Terkekeh, Prapto sedikit banyak mengenal daerah yang dia tapaki. Ini adalah tanah kelahiranny
Entah ini ketepatan yang bagaimana, baru saja Prapto turun dan pas sekali di acara ketemu kemanten, jadilah dia ikut mengiring meski bukan sanak kadang mempelai wanita. Seluruh prosesi yang biasa setiap orang hafal, Prapto melihatnya juga, dia pernah melewati yang seperti itu dengan ke tiga istrinya, tapi tidak dengan Ratih. Prapto menoleh ke Ratih, entah seperti apa perasaan istrinya melihat semua ini. Ternyata istri Bima sangat cantik, Ratih menoleh ke Prapto, bertemu tatap dengan pandangan sedih, Ratih malah tersenyum sambil mengusap lengan Prapto, “Ada apa, Mas?” “Pernikahan kita tak seramai ini. Ibu dan bapakmu menangis, kamu juga menangis, saat itu kita menikah dengan diri dipenuhi amarah, Ratih.” Penyesalan selalu datang belakangan. Andai Prapto tahu Ratih adalah satu-satunya wanita yang bisa memberinya anak, dia tak akan sejahat dulu, dan semua sudah terlambat untuk diulang. Ratih tersenyum lagi, “Tidak penting, Mas. Asal Mas tetap sebaik ini, aku tetap menerima semua dengan
Prapto tertawa terbahak-bahak, dua wajah di depannya sangat tegang, “Mbok Minah, aku ingin kau menikah dengan lek Tejo.”“Aden?!” Lek Tejo tak bisa berkata-kata selain menegur Prapto.Minah malah lidahnya jadi kelu. Dia memang suka dengan lek Tejo, pria dewasa itu begitu baik, tapi dirinya ini? Ah! Sangat tidak pantas menjadi salah satu bagian dari juragan tanah seperti aden Prapto.Ratih malah lega, dia pikir Prapto terus membuat onar, ternyata dirinya salah. Ratih jadi berani ke luar, tersenyum ke tamunya, dan duduk di samping suaminya. “Ini jembelm siapa?” Ratih baru tahu ada makanan ini di meja.“Buatan saya, Ndoro Ratih.” Minah yakin makanan seperti itu akan membuat semua orang sakit perut.Ratih mengambilnya, mencicipinya, dan mengangguk ketika menemukan rasa yang enak sekali. “Mas Prapto benar, Mbok Minah menikah saja dengan Lek Tejo. Aku yakin, hubungan yang niatnya baik, pasti akan menjadi berkah.” Ratih mengambil jemblem itu lagi.Lek Tejo menghela napas, “Kalau ...kamu mau,
Prapto baru saja sampai rumah. Tak ada yang menyambutnya. “Ke mana Ratih?” Hanya pelayan yang mendekat dengan membawakan kopi.Pelayan itu meletakkan kopi yang dipegangnya, “Di kamar, Aden Prapto. Aden tole tadi menangis, mungkin sekarang sedang tidur. Njenengan mau makan dulu?”Prapto menggeleng, “Nanti saja. Pergilah.” Prapto menyandarkan punggung, setelah beberapa saat membiarkan otot agak lemas, Prapto menikmati kopi yang manisnya pas. Baru saja ingin bersantai, tangisan putranya membuat mengerut keheranan, “Katanya tidur, kenapa nangis?” Prapto berdiri. Dia segera mendatangi putranya, siapa tahu Ratih membutuhkan bantuannya untuk menenangkan si tole.Prapto heran, tak ada Ratih di sana, hanya putranya yang digendong oleh pelayan pribadi Ratih, “Kau sendiri?”“Aden Prapto? Kapan Aden Prapto datang?” Pelayan itu terus menimang balita, hingga saat Prapto meminta, dengan hati-hati memberikannya.Prapto mengerutkan kening, “Pertanyaanmu aneh. Di mana Ratih?”“Ndoro Ratih sedang buang