“Jamu, Mas?” Ratih menawarkan jamunya. Dia memakai kebaya hijau saat ini, sangat pantas menempel dengan kulitnya yang kuning langsat.
“Itu dia, cepat!” bentak Prapto ke kusirnya. Sebelum dokar yang dia naiki berhenti sempurna, Prapto telahmelompat lebih dulu, hingga mengagetkan Ratih yang berjalan menyusuri kampung.
“Astaga, Mas Prapto!” Ratih hanya mengelus dada, segera menurunkan rinjing yang dibawanya. Perempuan itu mencari jamu yang sudah dibuatkan oleh ibunya, tidak menyangka kalau blantik kaya yang satu ini orangnya tidak sabaran.
Prapto menarik bahu Ratih, meremas lengan kecil itu dengan kuat. Dia tak peduli dengan Ratih yang meringis kesakitan.
“Katamu, istriku akan haid sore kemarin. Tapi, apa yang terjadi? Dia tidak mengeluh apa pun, kamu berani membohongiku? Kamu belum tahu siapa aku ini, huh?!”
“Ma—Mas Prapto, ak—aku bisa menjelaskannya.” Ratih ketakutan melihat amarah itu, “Ti—tidak semua wanita subur. Jamu itu akan manjur jika yang meminumnya wanita yang subur, Mas Prapto.”
Ratih mengangguk, meyakinkan kalau dia berkata jujur, tak berniat menipu siapa pun, apa lagi Prapto.
“Siapa wanita yang subur itu?” tanya Prapto tanpa mengendurkan remasan di lengan Ratih.
Ratih yang bercerita ke ibunya, tahu kalau pria di depannya ini adalah blantik dan tuan tanah terkaya dengan tiga istri. Dia pun memberanikan diri untuk mengatakan apa yang ada di kepalanya saat ini, “Ak—aku bisa membuatkan tiga jamu untuk semua istrimu, Mas Prapto. Siapa yang haid, dia yang subur dan aku akan membuatkan ramuan sepasang untukmu dan istrimu yang terpilih itu.”
Barulah Prapto melepas langan itu, menunjuk rinjing jamu Ratih dengan dagunya. Pria itu dapat melihat seperti apa gemetarnya tangan Ratih meracikkan jamu untuknya. Prapto ikut menghitung jumlah jamu itu. Saat jamu yang terakhir, Prapto segera mengeluarkan kantong uang miliknya untuk membayar jamu Ratih.
“Ini tiga, Mas Prapto. Apa Mas juga mau dibuatkan jamu seperti yang kemarin? Untuk stamina?”
Melihat Prapto yang mengangguk, Ratih pun dengan cekatan meracik jamunya. Dia menyerahkannya ke Prapto, membiarkan pria itu melemparkan uang ke rinjingnya.
Setelah Prapto pergi dengan dokarnya, barulah Ratih terduduk di tanah sambil memunguti beberapa lembar yang tak tahu berapa jumlahnya itu. Ratih segera memasukkannya ke kantong uang miliknya dan pulang. Sesampainya di rumah, perempuan itu menyambar kendi di meja tamu dan mengguyur tenggorokannya.
“Kenapa cepat sekali pulang, Ratih? Jamumu masih banyak, kan?” tanya ibu Ratih yang terkejut melihat putrinya yang tidak seperti biasanya itu.
Setelah puas, Ratih mengambil kantong uangnya. Dia mengeluarkan semua isinya di depan ibunya.
“Mas Prapto mendatangiku, Ibu. Dia ngamuk! Katanya, istrinya tidak haid. Jadi, aku membuatkan lagi jamu seperti yang kemarin untuk ke tiga istrinya, dan dia melemparku dengan uang ini. Aku takut, Ibu.”
Ibu Ratih mengusap rambut putrinya. “Jangan kawatir. Setelah nanti sore, ada salah satu istrinya yang haid. Jadi, Prapto itu tidak akan marah-marah lagi denganmu. Kamu mandi dulu, lalu makan. Biar Ibu yang membawa jamu-jamu ini ke kandang. Biasanya, di sana banyak orang sibuk, pasti mereka mau beli.”
Dengan cepat, Ibu Ratih menggendong rinjing putrinya. Jamunya ini semua dibuat secara tradisional. Dia tidak bisa diminum esok hari, akan basi. Karena itu, ibu Ratih menjualnya hari ini juga. Semua yang sudah dibuat harus menjadi uang untuk menyambung hidupnya dan mengobati suaminya.
“Sumi!” Prapto baru saja masuk rumahnya yang besar, tetapi dia sudah berteriak dengan membawa kantong berisi jamu di tangannya.
“Ada apa, Kakang?” tanya Sumi. Dia mendekat dengan setengah berlari tadi.
“Panggil semua adikmu, sekarang!”
Prapto berdiri, enggan untuk duduk. Setelah tiga istrinya duduk sejajar di depannya bersama dengan para pelayan pribadi mereka, Prapto mengeluarkan tiga jamu yang dibawanya.
“Pastikan kalian meminumnya. Kalau ada yang berani memuntahkannya, maka dia harus ke luar dari rumah ini.” Keinginannya memiliki anak sangat membumbung tinggi, Prapto tak peduli lagi dengan perasaan orang lain, baginya hanya dirinya saja yang benar.
Tiga istri Prapto itu pun meminum jamu yang dibawa oleh sang suami. Tak ada yang berani menunggu terlalu lama atau bahkan muntah. Mereka segera meneguknya dengan cepat, dan tak berani pergi sebelum diizinkan. Begitu juga dengan Sumi, rasa jamu yang sama dengan jamu yang diminumnya kemarin, malah membuatnya kebingungan. Apa kiranya yang direncanakan suaminya saat ini?
Hampir satu jam ruang keluarga ini senyap. Hanya ada suara napas yang bergantian dengan detik jam. Barulah Prapto berdiri menuju kamarnya untuk beristirahat karena kepalanya sangat pusing sekali.
Namun, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka. Hanya ada seorang saja yang berani datang ke kamar pribadinya! Prapto pun menoleh.
“Ada apa, Mbok Jum?” tanyanya ke bibi yang bertanggung jawab dengan semua pekerjaan di rumah besarnya. Mbok Jum adalah orang kepercayaan dari zaman orang tuanya masih hidup dulu. Prapto sudah menganggap mbok Jum seperti ibu kandungnya sendiri setelah semua ibu dan bapaknya meninggalkannya sendiri di dunia ini.
“Apa yang kamu bawa tadi? Jamu?” tanya mbok Jum. Dia membawa nampan berisi makanan dan kopi untuk Prapto.
Prapto menarik nampan itu mendekat. Setelah minum kopi yang masih panas, kepalanya mulai sedikit ringan sekarang. “Iya, Mbok Jum. Doakan anakmu ini segera punya keturunan, umurku tidak muda lagi. Kapan aku memiliki semangat dengan dorongan anak kecil yang bermain di pangkuanku? Kapan? Sudah terlalu lama aku menunggu, dan dia tetap tidak datang juga.”
Prapto menghela napas panjang.
Mbok Jum mendekat, tersenyum ke Prapto. “Makanlah dulu, istirahat, aku akan memastikan semuanya lancar. Tak ada yang akan berani membohongimu,” ucapnya yang saat ini berdiri di belakang Prapto, memijiti pundak pria yang sudah dianggap seperti putranya sendiri.
“Aku enggak lapar, Mbok Jum,” tolak Prapto. Dia hampir berdiri. Lebih baik, dia tidur dari pada mengisi perutnya.
Mbok Jum terkekeh. “Jangan seperti itu! Semua orang harus sehat jika menginginkan sesuatu. Kita bekerja keras, dan apa yang kita idamkan akan dikirim oleh Tuhan, percayalah.”
Prapto menahan kekesalannya. Dia pun menuruti keinginan itu, makan apa yang dibawakan oleh mbok Jum, menghabiskan kopi itu juga, dan barulah dia naik ke ranjangnya.
“Bangunkan aku nanti setelah semua orang itu pulang, Mbok Jum. Aku malas bertemu dengan orang-orang yang ke sini hanya untuk menerima makanan dan sembako gratis,” pinta Prapto sebelum mbok Jum hilang ditelan pintu kamarnya.
Prapto memang tidak mau menganggap apa pun yang kiranya tidak membuatnya untung, seperti kematian janin dari istri ke tiganya kemarin.
“Sesuai permintaanmu.”
Mbok Jum menutup pintu itu, semua hanya agar Prapto lebih nyaman saat beristirahat.
****
“Ada apa ini, Mbak Sumi? Kita baru saja diberi minuman apa?” tanya istri ke dua.
Sumi hanya menggeleng. “Aku kemarin juga minum ini dan semalam kita melewati malam dengan luar biasa. Mungkin, kakang Prapto ingin bermain bersama kita.”
“Lalu bagaimana denganku yang masih kotor? Aku baru saja kehilangan anakku. Apa kakang Prapto menginginkanku juga? Meski dulu kakang Prapto sangat menyayangiku, nyatanya dia tidak lagi mau menoleh ke arahku semenjak anakku mati.”
Sumi membuang napas kasar. “Kamu tidak usah manja! Kita di sini semua keluarga! Dengan siapa kakang Prapto saat malam hari, yang penting tidak ada kekurangan sedikit pun untuk memenuhi kebutuhan kita. Apa kamu lupa kalau bapakmu baru saja minta sapi tiga bulan lalu, huh?! Lupa?!” bentak Sumi yang hanya dijawab embusan napas kasar saja.
Setelah tidak ada yang bertanya lagi, Sumi pun mengelilingkan kepala, “Kita istirahat, nanti malam, siapa pun yang diajak kakang Prapto, jangan ada yang bertengkar di antara kita, ngerti?!”
“Ngerti, Mbak Sumi,” jawab keduanya serempak.
Mendengar jawaban para adik madu, Sumi pun mengangguk. Kemudian, dia pergi dari ruang keluarga itu dan menuju ke kamarnya dan beristirahat. Dia yakin nanti malam akan banyak kejadian yang membuatnya lelah.Sementara itu, Prapto menggeliat. Lampu di kamarnya gelap, jendela juga belum ditutup. Meski begitu, tak banyak nyamuk karena tanaman serai ditanam mengelilingi rumah besarnya.Prapto segera ke luar dengan membawa handuknya. Di luar, masih ada tahlil karena belum tujuh hari kematian anaknya, dan Prapto tetap tidak peduli.Setelah mandi, dia kembali lagi ke kamar--mencari pakaian terbaik untuk dikenakan. Saat dia berdiri di depan cermin rias, mbok Jum kembali masuk, tapi kali ini hanya membawa cangkir saja. Prapto yang masih menyisir rambutnya yang agak panjang, segera meletakkan sisir kecil itu ke tempatnya kembali.“Aku belum membangunkanmu, acara tahlil sebentar lagi akan selesai, kamu mau makan sekarang?” tanya mbok Jum.Prapto menggeleng sambil menyeruput teh yang dibawa Mbok
Ratih baru sampai di rumah, jamu yang dijual juga sudah habis. Dia sengaja lewat pintu samping karena tahu ada tamu yang bertandang ke rumahnya.Setelah meletakkan rinjing dan mencuci kaki serta tangan, barulah Ratih ke kamar, inginnya, tapi karena letak kamar yang memungkinkan bisa melihat siapa tamunya, Ratih pun ikut bergabung di ruang tamu.“Mas Prapto,” sapanya sambil ikut duduk di sebelah ibunya.Ibu Ratih menelan ludah. “Kamu sudah pulang? Kapan?” Itu adalah pertanyaan konyol, tapi ibunya Ratih tetap menanyakan ke putrinya.“Barusan, Bu. Mas Prapto, kenapa ke sini?” Ditolehnya Prapto, “Kemarin kan belum memesan jamu, Ibu pasti belum membuatkannya, iya kan, Bu?” Ratih tersenyum sambil menoleh ke ibunya lagi, ternyata jamu ibunya kemarin menyelamatkan hidupnya.Ibu Ratih pun tersenyum masam, menarik tangan putrinya agar tak berkata sembarangan, “Nduk, Tuan Prapto—““Aku ke sini untuk menikahimu.” Prapto memotong ucapan ibunya Ratih, terlalu lama jika membiarkan perempuan tua itu
Sumi... Di sisi lain, istri pertama Prapto sangat kawatir karena suaminya tidak pulang sejak pergi tadi pagi. Dia hanya bisa duduk dengan cemas di teras. Dua adik madu Prapto dari tadi juga bertanya tentang suasa hatinya, tetatpi tak terlalu digubris juga oleh Sumi.Mbok Jum datang dengan membawakan teh serta ketela bakar, menyajikannya untuk Sumi. “Apa yang kamu pikirkan?” tanyanya sambil duduk di sisi Sumi.“Kakang Prapto ... beberapa hari ini dia sangat aneh, aku rasa ada yang kakang Prapto sembunyikan,” jawab Sumi yang tak mampu menyembunyikan kegelisahannya.Mbok Jum tersenyum. “Kamu ini istri tertua, apa yang membuatmu takut? Bahkan, nasib semua istri Prapto juga sama denganmu. Malang sekali memang putraku yang satu itu.” Mbok Jum pun juga bersedih hati.“Tapi karena kemarahan Prapto kemarin,” Mbok Jum mengingatkan Sumi tentang bayi yang baru saja mati beberapa hari yang lalu, “apa yang akan kamu lakukan jika dia pulang dengan membawa seorang istri? Hahahaha.”Mbok Jum tertawa
Ratih menangis di kamar. Banyak yang diucapkan untuk mendebat Prapto sampai semua idenya habis. Namun, Prapto tetap tak membiarkannya pergi. Kini dirinya tengah duduk di depan meja rias, dipoles oleh dua perempuan yang bisa menyulap wajahnya lebih cantik dari biasa. Hanya saja, Ratih tetap tak ingin melihat pantulan dirinya sendiri di cermin itu.Saat panggilan terdengar jelas menyebut namanya, barulah Ratih mencari dan menemukan ibunya yang berdiri di ambang pintu. Bibir Ratih bergetar, air mata yang sempat mengering, kembali membelah pipinya yang sudah merona oleh sapuan bedak kemerahan.“Ibu,” panggilnya.Ibu Ratih mendekat, “Maafkan Ibu, Nduk ayu. Andai Ibu tidak memintamu untuk ikut berjualan jamu, tanah yang kita punya jika dijual juga tak cukup untuk membayar ganti rugi yang diminta Prapto, Ibu tidak rela kamu menikah dengan Prapto, tapi kita bisa apa, Nduk?” Ikut menangis juga, hatinya pilu dan meraung, tapi tak berdaya oleh keadaan ini.“Jangan berkata seperti itu, Bu. Prapto
Ratih menelan ludah. Kehidupan baru sepertinya dimulai. Tanpa sadar, dia menunduk untuk menghindari tatapan Sumi. “Siapa kamu? Dari mana bisa bertemu dengan kakang Prapto?” tanya Sumi. Dia bersedekap dada, menunggu jawaban Ratih tanpa mengalihkan se-inchi pun tatapannya. “Ak—aku berjualan jamu, mas Prapto ...sedang beli jamu waktu itu,” jawab Ratih. “O ...penjual jamu?” ulang Sumi. Dia jadi tahu dari mana Prapto pulang dengan membawa jamu, ternyata Ratih jawabannya. “Kamu kenal sudah lama? Kamu merayunya sudah lama? Dengan tubuhmu?” tanyanya lagi dan tertawa setelahnya. Ratih mengepalkan tangan, harga dirinya diinjak-injak dengan pertanyaan tak pantas itu. Sumi masih tertawa, “Wajahmu seperti orang marah. Padahal, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa kamu seperti diingatkan kembali dengan kelicikanmu?” Sumi menyeringai, “Menjijikkan!” desis Istri pertama Prapto di akhir. “Hati-hati dengan ucapanmu, Mbak Sumi! Apa yang terlihat di luar terkadang tak lebih berbahaya dari per
“Ada apa, Aden Prapto?” tanyanya Tejo, kusir sekaligus orang kepercayaan Prapto. Dia baru saja duduk di samping perapian yang baru saja dinyalakan sambil menunggu ketela pohon, tetapi kedatangan juragannya membuat Tejo bingung. Prapto hanya menggeleng.“Aku hanya heran, kamu tahu sendiri, di pasar sapi banyak perempuan yang mendekat. Jangankan jadi istriku, jadi simpananku saja mereka pasti mau. Bukan hanya dua atau tiga orang, bahkan bisa dikatakan puluhan, mereka ingin tinggal di rumah besar ini, dan menikmati uangku.” Prapto memegangi dagunya sendiri dan mengusapnya, “Ratih berbeda, kemewahan sudah ada di depan mata, tapi gadis kecil itu tetap angkuh, dia menentangku terang-terangan, dan aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya saat ini.” Tejo terkekeh. “Maaf kalau saya lancang. Ini hanya pendapat saya saja. Ndoro Ratih sebelumnya tidak pernah tahu tentang Anda, terlebih lagi dia juga anak zaman sekarang. Mungkin saja, pemikirannya juga berbeda. Pernikahan kemarin sangat mendadak
‘Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Sopan santun, tata krama, anggun, bagaimana pun juga Kakang Prapto adalah suami kita, kita harus menjunjungnya setinggi mungkin, apa ucapanku salah sampai kamu tega menyiramku begini?’‘Sudah, biarkan Ratih melakukan apa yang dia mau, dia masih kecil, kita yang waras ini harus banyak mengalah.’Ratih meremas selimutnya, gema suara itu membuatnya semakin geram, “Ternyata mbak Sumi dan mas Prapto sama saja, aku harus berhati-hati, mereka hanya menginginkan anak, kan?” monolog Ratih, “Ya, aku akan memberinya dan segera pergi dari sini.” Ratih mematikan lampu, memejamkan mata dan siap untuk tidur, tapi matanya membuka kembali, “Apa aku akan mengalah begitu saja? Enak sekali? Aku akan membuatmu meminta maaf padaku dan juga ibuku dulu, baru kamu akan mendapatakan anak itu, mas Prapto.” Ratih terkekeh, bisa dia bayangkan seperti apa peperangan yang sudah dia mulai sebentar lagi.***Hari berganti, ruang makan ramai dengan piring yang beradu dengan sendo
Prapto membuang napasnya kasar, tak habis pikir kenapa Ratih tak peka, seolah umur itu memang belum siap untuk membina sebuah rumah tangga.“Aden Prapto, makan siang sudah siap.” Kata pelayan yang mendekat ke juragannya.Prapto mengangguk, “Aku mandi dulu.” Segera ke kamar pribadinya untuk membersihkan diri, memakai surjan rapi dengan jarik berwarna senada, baru ke ruang makan. Dirinya hanya seorang diri, Prapto pun menoleh ke pelayannya, “Ratih tidak makan?” tanyanya.“Ndoro Ratih belum lapar katanya. Aden Prapto, mau saya ambilkan?” tawar pelayan itu.Prapto menggeleng, mengambil makanannya sendiri dan mengisi perutnya. Selesai makan, Prapto ke kandang, melihat ditaruh mana kelinci yang tadi dibelinya, membuat angannya memikirkan Ratih kembali. Seolah meraba, dirinya atau Ratih yang salah saat ini, tapi kalau hanya keegoisan saja yang diandalkan, maka semua perselisihan tak akan usai. “Selesaikan, aku masuk dulu.” Pamitnya ke pekerja yang sibuk di kandang. Prapto ke kamar Ratih, pin
Hampir tengah malam. Prapto masih duduk di ruang tengah. Dia baru saja ke luar dari kamar putranya, Ratih belum pulang, Prapto akan menunggu sampai istrinya itu tiba di rumah. Bukankah Ratih sudah berjanji tak akan menginap? Kini angannya jadi melayang... “Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak mau sampai istrimu tahu.” “Biar saja dia tahu. Bukankah kita sama-sama tahu kalau aku tak pernah menyukai istriku sepenuhnya? Pernikahan ini hasil perjodohan dan kedatanganmu di sini seolah memberiku puas akan dahaga.” “Jangan pernah mengatakan itu.” “Apa yang salah? Aku sudah pernah melakukannya, kau juga, apa salah kalau kita mencoba memuaskan hasrat kita selama ini?” “Aku tidak mau membuat dosa.” “Anggap saja ini hadiah yang bisa kuberikan. Aku janji hanya sekali. Tak ada esok hari. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu, Jum.” Rayuan yang begitu memabukkan, mbok Jum muda pun terbuai, dia membiarkan setiap jengkal kulit disentuh oleh sang mantap, dan sungguh, kenikmatan itu tiada tara.
Mbok Jum terkekeh, “Semua orang memusuhiku.”“Tidak ada yang berlaku seperti itu, Mbok Jum. Semua karena perasaanmu saja karena yang sebenarnya terjadi adalah semua orang butuh waktu untuk menenangkan diri saat hatinya merasa tak baik.” Ratih baru saja selesai makan, dia berdiri karena ingin melakukan banyak hal untuk hari ini, “Jangan banyak memaksa. Setelah waktu yang dibutuhkan tercukupi, semua orang akan menyambutmu sehangat dulu.” Ratih tersenyum, menunduk hormat ke mbok Jum, dan beranjak dari ruang makan. Dia ke halaman, tahu kalau Prapto pasti sibuk, dia tak ingin putranya mengganggu pekerjaan Prapto. Tepat saat dokar berhenti di halaman, Ratih mendekati Prapto dan meminta putranya, tak menunggu siapa tamu itu, dia segera masuk kembali meski hanya bersembunyi di belakang pintu utama. Dokar yang datang adalah milik Prapto. Bisa dipastikan Siti yang ada di dalamnya.Prapto tetap duduk. Dia bahkan mulai meramu lintingan tembakau untuk dinikmati. Lek Tejo yang terus mendekat ke dok
“Ya?!” Prapto berteriak dari kamar mandi. Dia sedang membersihkan tubuhnya. Berharap dengan begitu lelah yang dia rasa akan hilang.Ratih menghela napas menyadari Prapto tak pergi jauh, “Aku membuatkanmu minuman, Mas.” Ratih mendekat, bahkan hampir menempelkan tubuhnya ke pintu kamar mandi.“Aku selesai sebentar lagi, Ratih. Letakkan saja di sana.” Prapto kembali melanjutkan mandinya saat Ratih tak lagi bertanya.Menuju ke almari, Ratih segera mencari surjan dan jarit yang pasti akan pas dikenakan oleh Prapto, tepat dengan suaminya yang baru saja ke luar dari kamar mandi. “Sarapan di dapur hampir siap, Mas.” Ratih mendekat untuk mengambil handuk basah. Menyampirkan agar tak membuat tempat lain menjadi lembab.Prapto mengangguk, “Kau tidak ke kamarmu sendiri? Kupikir anak kita akan mencarimu.” Prapto mulai membuat simpul untuk jarit yang dia kenakan.Ratih menggeleng, “Tidak, Mas. Aku sedang mengandung. Sebisa mungkin aku tak menyusui putra kita. Mas, mau kusiapkan makan di kamar atau
Sudah senja, mbok Jum heran karena pintunya diketuk dari luar, tak pernah ada tamu di jam seperti ini. Dia tetap melangkah ke luar, tersenyum saat melihat siapa yang mengejutkan dirinya, “Apa yang membawamu ke sini, Tejo?” Mbok Jum membuka pintu rumahnya sangat lebar, tapi lek Tejo malah memilih duduk di teras, mbok Jum juga tak mau memaksa lek Tejo untuk masuk.“Siapkan barangmu. Prapto ingin kamu menginap di sana untuk beberapa hari.” Lek Tejo tak menoleh, dia memilih menatap rimbunnya pohon yang mulai gelap, biar cahaya lampu minyak tak mampu membuat halaman luas ini menjadi terang.Mbok Jum terkekeh, “Ada apa? Prapto sudah menemukan Siti?”Barulah lek Tejo menoleh, menatap mbok Jum tajam, gigi menguning hasil dari kinang itu membuatnya jijik. “Baru kali ini kau berani mengatakan nama putri yang kau sembunyikan, kenapa? Kau takut aku memberi tahu Prapto dan membunuh putrimu?” Lek Tejo tak menyangka kalau mbok Jum tetap saja menjadi wanita yang licik.“Apa Prapto sudah berhasil memb
Pekerja pria itu tersenyum getir, “Memang sangat menyakitkan, Aden Prapto.”Tanpa banyak bicara, Prapto memukuli pekerja itu hingga babak belur, dia melakukannya hingga puas. Setelah pria dengan tubuh lunglai seperti seonggok baju kotor, Prapto melepas dengan setengah melempar begitu saja, tak peduli jika napas pekerja itu sebentar lagi akan melayang. “Kau tak menghalangiku?” Prapto terkekeh, “Bukankah dia kekasihmu?” Siti masih menangis sambil duduk di tanah dan Prapto tak juga merasa kasihan.Siti menggeleng, “Aku hanya ingin hidup, bukan berarti aku kekasihnya.”“Hahahaha.” Prapto berjalan mendekati Siti, “Kau pikir setelah menemukanmu aku akan melepaskanmu begitu saja?” Menggeleng sambil mencebikkan bibirnya, “Katakan, sebelum kematianmu datang, apa kau masih ingin bertemu dengan ibumu?” Prapto berjongkok tepat di depan Siti.“Apa yang membuatmu sebenci itu denganku?” Siti seperti menantang, tapi bukan itu yang dia luapkan, hanya penasaran kenapa Prapto tak pernah memberinya kesem
Prapto menghela napas panjang dan dalam, “Di mana tempatnya?” Tadi matahari belum muncul ke permukaan dan kini kepalanya malah pusing karena cukup terik. Prapto terus berjalan menyusuri sungai seperti yang diperintahkan oleh lek Tejo, meski tak menemukan apa pun, sudah kepalang basah. Dia tak ingin kembali dengan tangan kosong.Kakinya yang terlalu lelah, Prapto memilih untuk istirahat, duduk di batu besar, dan minum air sungai. “Di mana tempatnya? Kakiku mau copot.” Prapto menyandarkan punggung, hampir merebah untuk menghilangkan penat sambil menikmati semilir angin. Cukup menyegarkan hingga dirinya hampir saja tertidur. Untung tak sampai karena dia bangun saat mencium harum masakan rumah.Prapto membuka mata, menyapu seluruh sisi untuk mencari apa yang bisa dijadikan pertanda, hingga di kejauhan dia melihat asap. “Apa itu?” Prapto berdiri, “Tak ada pemukiman di sini, sepertinya memang itu.” Terkekeh, Prapto sedikit banyak mengenal daerah yang dia tapaki. Ini adalah tanah kelahiranny
Entah ini ketepatan yang bagaimana, baru saja Prapto turun dan pas sekali di acara ketemu kemanten, jadilah dia ikut mengiring meski bukan sanak kadang mempelai wanita. Seluruh prosesi yang biasa setiap orang hafal, Prapto melihatnya juga, dia pernah melewati yang seperti itu dengan ke tiga istrinya, tapi tidak dengan Ratih. Prapto menoleh ke Ratih, entah seperti apa perasaan istrinya melihat semua ini. Ternyata istri Bima sangat cantik, Ratih menoleh ke Prapto, bertemu tatap dengan pandangan sedih, Ratih malah tersenyum sambil mengusap lengan Prapto, “Ada apa, Mas?” “Pernikahan kita tak seramai ini. Ibu dan bapakmu menangis, kamu juga menangis, saat itu kita menikah dengan diri dipenuhi amarah, Ratih.” Penyesalan selalu datang belakangan. Andai Prapto tahu Ratih adalah satu-satunya wanita yang bisa memberinya anak, dia tak akan sejahat dulu, dan semua sudah terlambat untuk diulang. Ratih tersenyum lagi, “Tidak penting, Mas. Asal Mas tetap sebaik ini, aku tetap menerima semua dengan
Prapto tertawa terbahak-bahak, dua wajah di depannya sangat tegang, “Mbok Minah, aku ingin kau menikah dengan lek Tejo.”“Aden?!” Lek Tejo tak bisa berkata-kata selain menegur Prapto.Minah malah lidahnya jadi kelu. Dia memang suka dengan lek Tejo, pria dewasa itu begitu baik, tapi dirinya ini? Ah! Sangat tidak pantas menjadi salah satu bagian dari juragan tanah seperti aden Prapto.Ratih malah lega, dia pikir Prapto terus membuat onar, ternyata dirinya salah. Ratih jadi berani ke luar, tersenyum ke tamunya, dan duduk di samping suaminya. “Ini jembelm siapa?” Ratih baru tahu ada makanan ini di meja.“Buatan saya, Ndoro Ratih.” Minah yakin makanan seperti itu akan membuat semua orang sakit perut.Ratih mengambilnya, mencicipinya, dan mengangguk ketika menemukan rasa yang enak sekali. “Mas Prapto benar, Mbok Minah menikah saja dengan Lek Tejo. Aku yakin, hubungan yang niatnya baik, pasti akan menjadi berkah.” Ratih mengambil jemblem itu lagi.Lek Tejo menghela napas, “Kalau ...kamu mau,
Prapto baru saja sampai rumah. Tak ada yang menyambutnya. “Ke mana Ratih?” Hanya pelayan yang mendekat dengan membawakan kopi.Pelayan itu meletakkan kopi yang dipegangnya, “Di kamar, Aden Prapto. Aden tole tadi menangis, mungkin sekarang sedang tidur. Njenengan mau makan dulu?”Prapto menggeleng, “Nanti saja. Pergilah.” Prapto menyandarkan punggung, setelah beberapa saat membiarkan otot agak lemas, Prapto menikmati kopi yang manisnya pas. Baru saja ingin bersantai, tangisan putranya membuat mengerut keheranan, “Katanya tidur, kenapa nangis?” Prapto berdiri. Dia segera mendatangi putranya, siapa tahu Ratih membutuhkan bantuannya untuk menenangkan si tole.Prapto heran, tak ada Ratih di sana, hanya putranya yang digendong oleh pelayan pribadi Ratih, “Kau sendiri?”“Aden Prapto? Kapan Aden Prapto datang?” Pelayan itu terus menimang balita, hingga saat Prapto meminta, dengan hati-hati memberikannya.Prapto mengerutkan kening, “Pertanyaanmu aneh. Di mana Ratih?”“Ndoro Ratih sedang buang