“Cantik bagaimana?” mata Lily memelotot menatap si penata gaya itu.“Baik, Nona, aku akan ambilkan yang lain,” katanya dengan santun. Untung saja, Axel dan keluarganya adalah pelanggan VVIP di butik itu. Jadi, semua pelayan memperlakukan Lily dengann baik.Dari sekian banyak gaun, akhirnya Lily memilih salah satu. “Mungkin ini yang cocok,” katanya sambil mengepas di badannya.Sebenarnya, Lily agak kesal melihat bentuk badannya yang membesar, khususnya dadanya. Dan mimpi aneh setiap malam, mimpi dia disentuh oleh seorang pria.Apa ini yang disebut perubahan hormon ketika hamil?Dan Lily merasa sekarang cepat sekali marah,Gaun navy panjang jadi pilihan Lily, keihatan menyala di kulitnya yang putih.Si penata gaya itu memilihkan sepatu untuk Lily juga, “Ini tumitnya tidak terlalu timggi,” dia membantu Lily memasang di kaki Lily. “Bagaimana?”Lily berkaca di ruang ganti. “Bagus, mute-mutenya tidak norak,” katanya. Si penata gaya itu tersenyum, “Sekarang kita beritahu Tuan Axel dan Nona
“Apa kau yakin mengemudi sendiri?” tanya Axel sebelum masuk ke mobil. “Aku pengemudi yang handal. Cepat!” seru Apollo, wajahnya galak, suaranya lantang seperti auman macan. Apollo mengemudikan mobil seperti orang kesetanan, tidak peduli tikungan atau juga jalanan padat dan macet. Matanya tajam dan tepat menanggapi setiap kendaraan atau juga apa pun yang ada. “Kurangi kecepatan, kau bisa membunuh kami!” ujar Axel yang tidak berani membuka mata. Apalagi Lily—yang ada di jok belakang. Namun, Apollo tidak peduli, dia malah menginjak gas hingga mentok. “Astaga! Kurangi kecepatan!” seru Axel lagi. “Atau kau kupecat.” “Kau bisa lihat di kananmu,” kata Apollo. Axel tidak menyangka kalau ada orang yang nekat dan ingin sekali memotretnya. “Ya ampun, apa mau mereka?” Apollo tidak menjawab konsentrasi penuh hingga. Matanya makin tajam menatap jalanan. Sementara Lily dan Meredith saling berpelukan. Mereka percaya dengan Apollo Satu, kalau tindakannya ini benar. “Di belakang,” kata Apollo
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Axel, setelah selesai menelepon Kevin, dia melihat ada Ami dalam kamar Lily.Ami gelagapan, “Saya membantu menaruh barang yang tadi nona beli,” jawabnya cepat, tanpa ragu.“Ini bukan tugasmu. Seharusnya kau ada di dapur, juru masak tidak seharusnya membantu pekerjaan pelayan,” omel Axel. “Keluar sekarang!” sentaknya.Ami buru-buru membuka pintu dan keluar dari kamar Lily. Sial sekali, hampir saja, kata Ami dalam hati. Dia langsung kembali ke dapur.Axel melihat tumpukan kotak, barang yang tadi Lily beli di toko. Lily tidak tahu kalau Axel sembunyi-sembunyi membelikan Lily baju tidur satin kesukaan Axel.Lelaki itu mencari di mana baju tidur itu dibungkus?Satu per satu Axel membuka kotak yang ada di ranjang. Tampaknya, tidak ada. Apakah memang tadi lupa belum dibungkus atau bagaimana?Kotak terakhir, ini harapan Axel. Dan ... bingo! Ini dia pakaian tidur yang Axel maksud. Padahal, Lily belum memakainya, tapi Axel sudah membayangkan wanita itu ada
Terus terang, Axel seperti membeku ketika Lily tersenyum smirkApa yang dia mau? tanya Axel dalam hati. Oh, tentu saja, bodoh! Umpatnya dalam hati. Lily menyetujui hal yang dia minta kemarin.Axel pernah membaca di internet hasil survei yang dilakukan oleh sebuah lembaga. Kalau wanita hamil punya hasrat lebih tinggi dari pada biasanya.Apa ini yanag dimaksud? Sampai-sampai Lily rela menggoda Axel?Dan semua godaan Lily membuat Axel tidak mampu menahan lagi semuanya. Apa pun yang dia bayangkan tentang Lily, malam ini akan menjadi kenyataan.“Apa yang kau inginkan?” tanya Axel dingin, jantungnya menderap. Menelan ludah, membuat jakunnya naik turun. Matanya liar menatap Lily, apakah memang benar akan terjadi?Dan itu kelihatan oleh Lily. “Anda.”Axel bangkit dari kursinya, dengan cepat memagut Lily, hingga membopongnya ke kamar.“Apa ini akan bahaya?” tanya Axel setelah dia ada di ranjang bersama Lily, busana yang mereka kenakan sudah terlepas sepunuhnya.“Tidak ada masalah. Tapi kalau k
“B—Baik, Pak. Saya akan tanyakan langsung.” Namun, Kevin menahan jarinya untuk menghubungi Meredith. “Harusnya aku laporkan dulu ke Pak Axel,” gumamnya. Black mendelik ke arah Kevin, “Cepat tanyakan! Jadi aku tahu apa yang harus aku lakukan.” Kevin menuruti perkataan Black. Langsung menekan nomor Meredith. “Hallo, Bu Meredith, aku mau tanya, kemarin Anda bilang sudah menyuruh orang untuk menghentikan paparazzi, apakah orang itu William Han?” tanyanya langsung. Beberapa saat, Kevin menunggu, dia menatap Black yang ada di seberangnya. “Ya, itu dia,” jawab Meredith pada akhirnya. “Baik, terima kasih,” Kevin memutus sambungan telepon. Lalu kemnali menatap Black. “Benar, itu William Han.” Black bergegas, menelepon seseorang untuk membantunya. “Tampaknya kita tidak akan bisa menghentikan William Han. Apa yang kau bawa saat ini, tidak akan pernah cukup. Kecuali, orang yang menyuruh Han berhenti membayarnya,” ucap Black lagi. Kevin paham dengan situasi ini, dia harus bisa memberikan i
Analisa sementara dari Meredith, ini dilakukan oleh orang dekat. Namun, tidak menampik kemungkinan kalau ini juga dilakukan oleh salah seorang dari kantor Axel.“Apakah Bree?” tanya Axel pelan, sambil meninggalkan Meredith di ruang tamu. Bersiap ke kantor. Axel hanya berpikir akan mampir ke apartemen Bree. Sementara di apartemennya, Bree terbangun di apartemen Diego, semalaman tidak bisa tidur. Kabar berita tentang Axel dan Lily mengganggu pikirannya. “Apa-apaan? Mengapa Axel bisa belanja dengan tenang bersama Lily?” Foto-foto Axel bersama Lily membuat Bree panas, jadi dia kembali ke apartemennya dalam keadaan marah dan cemburu. Mereka berbelanja di outlet termahal dan terkenal? Mengapa Axel tidak pernah menemaninya belanja akhir-akhir ini? Bree sudah uring-uringan ketika sampai di apartemennya. Awas saja! ancamnya dalam hati. Wanita itu mengingat-ingat kata-kata Diego, kalau dia harus tenangkan diri dulu. Jadi Bree sebisa mungkin menguasai dirinya dengan mandi air dingin. Set
Axel berpikir, kalau Bree harus disadap, dan hanya Apollo Satu yang tahu caranya. Jadi, dalam mobil, Axel menelepon si pengawal pribadi itu. “Kau harus menyadap apartemen Bree. Siang nanti kau bisa ke apartemennya, dia akan ke kantorku untuk makan siang. Aku akan bilang, kalau aku memesan tukang untuk membersihkan apartemen.” Apollo sedikit terperanjat, Bree sudah tahu wajah Apollo. Tapi, pikirannya sudah melintas kalau dia akan memakai topi yang bisa menutupi wajahnya agar tidak terlacak. “Baik, akan aku kerjakan,” jawab Apollo. “Aku akan pastikan Lily aman dulu. Siang nanti.” “Baik, kerjakan saja, jangan lebih dari satu jam, aku akan kabari kalau Bree sudah menuju kantorku.” “Baik,” jawab Apollo. Sambungan telepon itu terputus. Axel baru saja melepas rem tangan, bersiap menjalankan mobilnya. Namun, sekali lagi, ponselnya berbunyi. Nama yang tampil di layar ponselnya adalah, Lily. “Ya?” sapa Axel langsung tanpa basa basi. Dia tidak bisa banyak bicara saat ini. Kecurigaan kepad
Sementara itu, Lily terlalu khawatir dengan Kate. Sebelum Apollo Satu pergi ke apartemen Bree, “Li, aku ada urusan sebentar, tolong jangan ke mana-mana, mengerti?” Lily saat itu ada di kamarnya, di depan meja rias. Apartemen ini memang luas dan mewah, tapi kalau tidak boleh ke mana-mana, ada rasa bosan dalam hati Lily. Lily mengangguk, mengiakan suruhan Apollo. Tapi, dia tidak bisa diam saja, harus ada yang ke rumah sakit untuk menjemput sahabatnya. Lily diam-diam memperhatikan keadaan di luar apartemennya. Sepi. Tidak ada siapa pun, biasanya beberapa hari ini banyak wartawan dan juga paparazzi bertebaran di mana-mana. Dia turun dari unit kamarnya, pakai lift ke lobby.Ada penjaga pintu yang menyapanya, “Nona Lily, apa kabar, apa kau sehat?” “Sehat. Terima kasih,” balasnya. Matanya terlihat berkeliling, seperti mencari sesuatu. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya si penjaga pintu itu. “Ya, aku mau ke rumah sakit di pusat kota. Tapi ... aku tidak tahu harus naik apa.” “Ba
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a