Sebenarnya, Axel khawatir dengan apa yang terjadi pada Lily. Apalagi ketika ingat kalau Lily lemas sekali setelah muntah-muntah, kalau begitu Lily bisa sakit nanti. Dan bisa berakibat buruk ke anak yang ada di kandungannya.Jadi, waktu mendengar Lily muntah, Axel buru-buru ke kamar Lily. Axel juga lupa kalau dia habis mandi dan belum pakai baju. Hanya handuk yang melilit bagian bawahnya saja. Lily terus terang kaget ketika melihat Axel tiba-tiba berdiri di ambang pintu toilet. Dia berteriak. “Aargh!” Mata Axel membesar, “Apa?” Mendengar teriakan, Apollo Satu yang sedang berjaga di ruang tengah, berlari ke arah suara. Dia merangsek masuk tanpa bersuara, siap menolong Lily. Tapi, yang dia lihat sungguh membuat dia kaget sendiri. Axel dan Lily ada di kamar mandi? Apalagi melihat Axel yang bertelanjang dada. Mata Apollo Satu memelotot, tubuhnya membeku tidak mampu bergerak. Lily pun membeku begitu melihat Apollo Satu ada di kamarnya. “Ada apa kamu ke sini?” tanya Axel langsung. “S
“Kau? Untuk apa kau di sini?” tanya Bree sinis dan kasar. Matanya tajam menatap Apollo Satu.“Maaf, Nyonya, ada yang bisa aku bantu?” tanya Apollo Satu tanpa memedulikan pertanyaan Bree. Pura-pura tidak kenal, dia berdiri di depan pintu masuk.Sekilas Bree berpikir, kalau dia salah orang. Tapi, dia yakin kalau itu adalah si pembunuh.“Awas, aku mau masuk,” ucapnya pongah.“Apakah Anda sudah membuat janji?” tanya Apollo dengan ramah. “Untuk menjenguk Kate, Anda harus membuat janji dulu.”“Apa? Biarkan aku masuk, minggir!”Apollo menangkap tangan Bree. “Nyonya, harap mengerti, kalau Anda tidak bisa masuk sembarangan! Paling tidak Axel mengizinkan Anda masuk.”“Axel itu suami saya! Dan saya tidak perlu meminta izinnya untuk menjenguk pelayan!” Bree berusaha melepaskan diri dari Apollo Satu.Namun, Apollo makin erat memegang Bree. “Maaf, Nyonya saya harus menahan Anda di sini. Saya akan tanya dulu, telepon Axel.”“Tidak bisa!” Bree memberontak. “Lepaskan aku!”Tidak lama, Lily membuka pin
Bree merasa hari itu adalah miliknya. Di mana Axel kembali menjadi suaminya yang manis dan juga penurut.“Axe, bagaimana kalau kita makan malam setelah itu kita menonton bioskop?” usul Bree setelah Axel menyelesaikan rapat dan kembali ke ruangan.Lelaki itu menghela napas, mengusap kuduknya. “Bagaimana kalau kita lakukan itu di rumah saja? Aku kelelahan,” katanya dengan pelan. Hari ini dia tidak mau membuat Bree stress dan kecewa lagi.Bree mendengkus, sudah membayangkan kalau dia akan pergi bersenang-senang.“Kau tahu, kan kalau ada paparazzi di mana-mana. Bagaimana kalau kita nanti repot sendiri dengan para juru foto itu?” bujuk Axel.Bree bangkit dari duduknya, dia berjalan dengan centil ke belakang Axel. Tangannya meraba dada suaminya.“Tapi, aku bosan sekali ada di rumah,” rajuk Bree, “Kau setiap hari bekerja, aku mana bisa keluar rumah. Lily ada pengawal prbadi. Aku?”Axel menarik napas, dia menggenggam tangan Bree yang ada di dada bidangnya.“Aku juga bosan, tapi mau gimana lag
Dalam kepala, Bree menyusun rencana kalau Axel mengusirnya dan menjadi gelandangan. Mungkin dia akan mengutuk Diego dulu, baru akan memikirkan bagaimana caranya agar bisa dapat uang. Cari suami seperti Axel, adalah keajaiban. Mana ada di mana lagi lelaki seperti ini? Sementara, Axel begitu antusias menuju apartemen mamanya Bree. Dia terus tersenyum sambil menggandeng tangan Bree. “Aku agak gugup. Lama sekali tidak bertemu dengan mamamu. Lihat saja telapak tanganku basah.” Bree mencibir dalam hati. “Bisa saja, kamu tahu, kan, dia kan sangat menyukaimu,” kata Bree tegang. Sampai di lantai tempat unit apartemennya. “Kau kan pernah bertemu dengannya.”“Ya, beberapa kali. Terakhir ketika kita menikah.” “Dia selalu menyukaimu, Axel.” Bree ragu membunyikan bel. Tersenyum serba salah ke arah Axel. Wanita itu menghitung detik demi detik menuju kehancuran dirinya. Dan bunyi pintu dibuka, Bree hampir kena serangan jantung. Memejam, tidak mau melihat siapa yang ada di balik pintu. “Hallo
“Asal kau tahu saja, Lily saat ini punya pengawal pribadi jangan abaikan itu.” Bree berkata seolah Carol tidak tahu dengan keadaan Lily dan rumah yang dia tempati. “Tidak mudah mengambil kesempatan untuk membunuhnya.” “Tentu saja aku tahu, bodoh. Jangan kau remehkan aku,” balas Carol. Diego memberikan minuman untuk Bree. “Kalau begitu, katakan.” “Salah seorang pelayan yang ada di apartemen gadis itu hari ini mengundurkan diri karena takut. Kau bisa memanfaatkan keadaan ini. Dengan memasukkan orang yang akan kita suruh untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang Axel dan Lily. Dan kau bisa membunuh Lily perlahan.” Bree menghela napas kemudian terdiam. “Apakah cara ini akan berhasil?” wanita itu memajukan badan, tertarik dengan ide Carol. “Aku punya teman yang akan aku tugaskan untuk ini. Kau hanya perlu menyiapkan bayaran untuknya. Dia sangat piawai dalam menjalankan tugas. Mungkin pertama-tama dia tidak langsung membuat Lily mati. Dia akan mengincar janinnya dulu.” Bree m
Ami gelisah, meremat-remat ujung kemejanya. Namun kemudian, Ami sadar kalau dia tidak boleh kelihatan ragu. “Aku dapat inf ormasi dari seorang teman. Kebetulan, aku juga butuh pekerjaan ini. Untuk anak-anakku.” Axel dan Apollo langsung saling menatap. Mereka tidak curiga dengan semua jawaban Ami. Tapi, Apollo Satu memberi isyarat kepada Axel untuk menunda dulu menerima Ami sebagai karyawan di sini. “Berapa gaji yang kau harapkan?” tanya Axel. “Terserah tuan,” jawabnya lagi seolah pasrah dengan pekerjaannya. Axel mengangguk, dia lalu membaca lagi data yang tadi Ami bawa untuk melamar pekerjaan. “Bisa bicara berdua?” tanya Apollo kepada Axel. Axel menuruti Apollo, berjalan ke ruangan lain untuk bicara berdua. “Aku mau menerima dia,” kata Axel tegas kepada Apollo. “Apa kau tidak ragu? Atau khawatir. Rasanya kita perlu mencari kandidat baru,” usul Apollo secara logis. “Jujur saja, aku tidak percaya dengannya.” “Lalu, apa kau ada kandidat?” tanya Axel lagi lalu mendengkus, tidak s
Axel mengalihkan pandangannya ke pintu, mendengar ada ketukan di sana. “Masuk!” serunya.Itu Ami yang membawakan sarapan. “Tuan, ini sarapan untuk Nona Lily,” katanya sambil mendekat ke arah ranjang.“Taruh di nakas depan pintu saja,” suruhnya sambil menunjuk nakas itu dengan dagu.“Baik,” jawab Ami, matanya sedikit menelisik isi kamar Lily, meski tidak banyak yang dia ingat, tapi, sekilas, Ami paham bagaimana bentuknya.“Kamu boleh keluar,” suruh Axel lagi, sambil melihat tingkah laku juru masak itu.“Baik, Tuan,” jawab Ami.Lily mau turun dari ranjang, tapi Axel mencegahnya.“Biar aku saja yang ambil makanannya,” kata Axel sambil turun dari tepian ranjang, membuka jasnya, lalu disampirkan di pimggiran ranjang. Dia juga membuka dasi, lalu menggulung lengan kemejanya sampai siku.Lily melihat Axel bergrak lamban, mengapa Axel begitu mempesona? Apa mungkin karena Lily jarang sekali jatuh cinta?Lalu, pikirannya melayang kembali ke malam itu.Ketika Axel pertama kali menyentuhnya. Suara
“Cantik bagaimana?” mata Lily memelotot menatap si penata gaya itu.“Baik, Nona, aku akan ambilkan yang lain,” katanya dengan santun. Untung saja, Axel dan keluarganya adalah pelanggan VVIP di butik itu. Jadi, semua pelayan memperlakukan Lily dengann baik.Dari sekian banyak gaun, akhirnya Lily memilih salah satu. “Mungkin ini yang cocok,” katanya sambil mengepas di badannya.Sebenarnya, Lily agak kesal melihat bentuk badannya yang membesar, khususnya dadanya. Dan mimpi aneh setiap malam, mimpi dia disentuh oleh seorang pria.Apa ini yang disebut perubahan hormon ketika hamil?Dan Lily merasa sekarang cepat sekali marah,Gaun navy panjang jadi pilihan Lily, keihatan menyala di kulitnya yang putih.Si penata gaya itu memilihkan sepatu untuk Lily juga, “Ini tumitnya tidak terlalu timggi,” dia membantu Lily memasang di kaki Lily. “Bagaimana?”Lily berkaca di ruang ganti. “Bagus, mute-mutenya tidak norak,” katanya. Si penata gaya itu tersenyum, “Sekarang kita beritahu Tuan Axel dan Nona
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a