Steven bimbang, apa iya harus sekarang?“Soal pakaian jangan khawatir, akan kami sediakan di ruangan untukmu,” kata Meredith lagi.Steven melongo, tidak percaya dengan apa yang diucapkan Meredith. Apa iya?Ares menunggu respon dari Steven. Dia menatap lelaki itu.“Baik kalau begitu,” jawab Steven dengan tegas.Ares masih menatap Steven, yang tampaknya bukan seperti Steven, biasanya dia akan mempersiapkan diri, mempelajari siapa klien yang akan dia dampingi.Steven membalas tatapan itu acuh tak acuh.“Kalau begitu, bagaimana kalau kita bahas kontraknya?” usul Meredith. “Apakah ada isi kontrak tambahan. Rasanya aku masih punya draf perjanjian yang terdahulu.”“Bisa kau pakai, jika ada tambahan, bisa informasi lewat email seperti biasa.” Ares, berdiri. “Kalau begitu aku pamit, dan aku tinggalkan Apollo di sini,” tambahnya.Lily diam, tidak menjawab apa-apa. “Kalau begitu, aku akan mengantar Lily dan Apollo ke apartemen, atau kau mau di rumah Nyonya Margo
Bree menggoda Axel, menggelayut lengan lelaki itu. Setelah menaruh cokelat panas yang sudah diracik. Agar Axel lebih bernafsu, tidak bisa menahan lagi birahinya. Bree memasukkan obat perangsang. “Aku bawakan kau cokelat panas favoritmu,” kata Bree dengan suara yang seksi bermaksud menggoda Axel. Namun, lelaki itu masih saja menatap laptop. Tidak terdistraksi sama sekali oleh kehadiran Bree. “Aku merindukanmu, Sayang,” goda Bree berbisik di telinga Axel. Dengan Bree bicara begitu, dia menoleh ke arah Bree lalu menatapnya dalam. “Kau tidak marah atau tersinggung dengan perkataanku tadi?” Bree terpaksa menjatuhkan harga dirinya di depan Axel. “Tidak sama sekali. Aku tahu aku salah tidak pernah melihat keadaan Lily, padahal dia juga sudah membantuku.” Suara Bree merajuk, agar Axel luluh. Axel melihat kalau Bree menyadari kesalahannya. Jadi, dia meminum cokelat panas yang Bree bawakan. Dan tidak merespon perkataan Bree. “Besok, tengoklah Lily di rumah sakit. Kamu bisa menganggap dia
Sebenarnya, Axel khawatir dengan apa yang terjadi pada Lily. Apalagi ketika ingat kalau Lily lemas sekali setelah muntah-muntah, kalau begitu Lily bisa sakit nanti. Dan bisa berakibat buruk ke anak yang ada di kandungannya.Jadi, waktu mendengar Lily muntah, Axel buru-buru ke kamar Lily. Axel juga lupa kalau dia habis mandi dan belum pakai baju. Hanya handuk yang melilit bagian bawahnya saja. Lily terus terang kaget ketika melihat Axel tiba-tiba berdiri di ambang pintu toilet. Dia berteriak. “Aargh!” Mata Axel membesar, “Apa?” Mendengar teriakan, Apollo Satu yang sedang berjaga di ruang tengah, berlari ke arah suara. Dia merangsek masuk tanpa bersuara, siap menolong Lily. Tapi, yang dia lihat sungguh membuat dia kaget sendiri. Axel dan Lily ada di kamar mandi? Apalagi melihat Axel yang bertelanjang dada. Mata Apollo Satu memelotot, tubuhnya membeku tidak mampu bergerak. Lily pun membeku begitu melihat Apollo Satu ada di kamarnya. “Ada apa kamu ke sini?” tanya Axel langsung. “S
“Kau? Untuk apa kau di sini?” tanya Bree sinis dan kasar. Matanya tajam menatap Apollo Satu.“Maaf, Nyonya, ada yang bisa aku bantu?” tanya Apollo Satu tanpa memedulikan pertanyaan Bree. Pura-pura tidak kenal, dia berdiri di depan pintu masuk.Sekilas Bree berpikir, kalau dia salah orang. Tapi, dia yakin kalau itu adalah si pembunuh.“Awas, aku mau masuk,” ucapnya pongah.“Apakah Anda sudah membuat janji?” tanya Apollo dengan ramah. “Untuk menjenguk Kate, Anda harus membuat janji dulu.”“Apa? Biarkan aku masuk, minggir!”Apollo menangkap tangan Bree. “Nyonya, harap mengerti, kalau Anda tidak bisa masuk sembarangan! Paling tidak Axel mengizinkan Anda masuk.”“Axel itu suami saya! Dan saya tidak perlu meminta izinnya untuk menjenguk pelayan!” Bree berusaha melepaskan diri dari Apollo Satu.Namun, Apollo makin erat memegang Bree. “Maaf, Nyonya saya harus menahan Anda di sini. Saya akan tanya dulu, telepon Axel.”“Tidak bisa!” Bree memberontak. “Lepaskan aku!”Tidak lama, Lily membuka pin
Bree merasa hari itu adalah miliknya. Di mana Axel kembali menjadi suaminya yang manis dan juga penurut.“Axe, bagaimana kalau kita makan malam setelah itu kita menonton bioskop?” usul Bree setelah Axel menyelesaikan rapat dan kembali ke ruangan.Lelaki itu menghela napas, mengusap kuduknya. “Bagaimana kalau kita lakukan itu di rumah saja? Aku kelelahan,” katanya dengan pelan. Hari ini dia tidak mau membuat Bree stress dan kecewa lagi.Bree mendengkus, sudah membayangkan kalau dia akan pergi bersenang-senang.“Kau tahu, kan kalau ada paparazzi di mana-mana. Bagaimana kalau kita nanti repot sendiri dengan para juru foto itu?” bujuk Axel.Bree bangkit dari duduknya, dia berjalan dengan centil ke belakang Axel. Tangannya meraba dada suaminya.“Tapi, aku bosan sekali ada di rumah,” rajuk Bree, “Kau setiap hari bekerja, aku mana bisa keluar rumah. Lily ada pengawal prbadi. Aku?”Axel menarik napas, dia menggenggam tangan Bree yang ada di dada bidangnya.“Aku juga bosan, tapi mau gimana lag
Dalam kepala, Bree menyusun rencana kalau Axel mengusirnya dan menjadi gelandangan. Mungkin dia akan mengutuk Diego dulu, baru akan memikirkan bagaimana caranya agar bisa dapat uang. Cari suami seperti Axel, adalah keajaiban. Mana ada di mana lagi lelaki seperti ini? Sementara, Axel begitu antusias menuju apartemen mamanya Bree. Dia terus tersenyum sambil menggandeng tangan Bree. “Aku agak gugup. Lama sekali tidak bertemu dengan mamamu. Lihat saja telapak tanganku basah.” Bree mencibir dalam hati. “Bisa saja, kamu tahu, kan, dia kan sangat menyukaimu,” kata Bree tegang. Sampai di lantai tempat unit apartemennya. “Kau kan pernah bertemu dengannya.”“Ya, beberapa kali. Terakhir ketika kita menikah.” “Dia selalu menyukaimu, Axel.” Bree ragu membunyikan bel. Tersenyum serba salah ke arah Axel. Wanita itu menghitung detik demi detik menuju kehancuran dirinya. Dan bunyi pintu dibuka, Bree hampir kena serangan jantung. Memejam, tidak mau melihat siapa yang ada di balik pintu. “Hallo
“Asal kau tahu saja, Lily saat ini punya pengawal pribadi jangan abaikan itu.” Bree berkata seolah Carol tidak tahu dengan keadaan Lily dan rumah yang dia tempati. “Tidak mudah mengambil kesempatan untuk membunuhnya.” “Tentu saja aku tahu, bodoh. Jangan kau remehkan aku,” balas Carol. Diego memberikan minuman untuk Bree. “Kalau begitu, katakan.” “Salah seorang pelayan yang ada di apartemen gadis itu hari ini mengundurkan diri karena takut. Kau bisa memanfaatkan keadaan ini. Dengan memasukkan orang yang akan kita suruh untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang Axel dan Lily. Dan kau bisa membunuh Lily perlahan.” Bree menghela napas kemudian terdiam. “Apakah cara ini akan berhasil?” wanita itu memajukan badan, tertarik dengan ide Carol. “Aku punya teman yang akan aku tugaskan untuk ini. Kau hanya perlu menyiapkan bayaran untuknya. Dia sangat piawai dalam menjalankan tugas. Mungkin pertama-tama dia tidak langsung membuat Lily mati. Dia akan mengincar janinnya dulu.” Bree m
Ami gelisah, meremat-remat ujung kemejanya. Namun kemudian, Ami sadar kalau dia tidak boleh kelihatan ragu. “Aku dapat inf ormasi dari seorang teman. Kebetulan, aku juga butuh pekerjaan ini. Untuk anak-anakku.” Axel dan Apollo langsung saling menatap. Mereka tidak curiga dengan semua jawaban Ami. Tapi, Apollo Satu memberi isyarat kepada Axel untuk menunda dulu menerima Ami sebagai karyawan di sini. “Berapa gaji yang kau harapkan?” tanya Axel. “Terserah tuan,” jawabnya lagi seolah pasrah dengan pekerjaannya. Axel mengangguk, dia lalu membaca lagi data yang tadi Ami bawa untuk melamar pekerjaan. “Bisa bicara berdua?” tanya Apollo kepada Axel. Axel menuruti Apollo, berjalan ke ruangan lain untuk bicara berdua. “Aku mau menerima dia,” kata Axel tegas kepada Apollo. “Apa kau tidak ragu? Atau khawatir. Rasanya kita perlu mencari kandidat baru,” usul Apollo secara logis. “Jujur saja, aku tidak percaya dengannya.” “Lalu, apa kau ada kandidat?” tanya Axel lagi lalu mendengkus, tidak s