Axel tidak bisa memilih kepada siapa dia berpihak, ibu atau istrinya. Satu sisi ibunya banyak membiayai hidupnya, apalagi ketika baru menikah. Sebut saja, apartemen mewah, mobil, dan juga kartu kredit yang tidak ada batasnya. Kedudukan yang mumpuni di perusahaan distributor anggur dengan gaji yang tinggi juga.
Axel sudah mengatur makan malam di apartemen untuk wedding anniversarynya malam ini. “Kamu di mana?” tanya Axel kepada Bree di sambungan telepon. “Kamu tidak lupa, kan? Ini hari jadi kita,” lelaki itu menelepon saat semua hal yang menjadi bahan kejutannya sudah siap. “Tentu saja aku ingat. Aku hanya mempersiapkan diri untuk makan malam,” jawabnya dengan centil. “Baiklah, aku tunggu kau.” Axel lantas memutus sambungan telepon. Axel malam ini memanggil chef idola Bree dari restoran favoritnya. Ada beberapa orang membantu Axel untuk membuat kejutan ini. Hal makan malam ini harusnya membuat Axel gembira dan antusias. Namun, permintaan mamanya membuat Axel murung.Para pelayan yang terbiasa membantu di apartemen Axel pun kebingungan. “Tuan apa Anda ingin minum sedikit?” tanya salah satu pelayan senior. “Tidak, terima kasih. Aku ingin mengecek Bree, apakah dia sudah sampai atau belum.” Si pelayan itu membungkuk, sementara Axel berjalan melewatinya acuh tak acuh. Axel menunggu di depan pintu masuk saat Bree datang dan membuka pintu. Wanita itu tersenyum lebar begitu melihat apartemen mereka sudah ada yang mendekorasi dengan aneka macam bunga. Axel ikut tersenyum juga melihat Bree. Baginya, tidak ada wanita lain yang lebih cantik selain Bree, istrinya. Apalagi, malam ini, Bree memakai gaun seksi serta riasan bold yang selalu memikat Axel. Meski Bree tampak sempurna dalam benak Axel, melintas wajah Lily. Apalagi tadi ketika gadis itu ketakutan menghadapi penagih utang. Entah mengapa, Axel begitu ingin melindungi Lily. Bree dengan cepat mencium pipi Axel, membuat lelaki itu seperti tersentak. Ingat kalau dirinya sedang ada di apartemennya merayakan wedding anniversary yang kelima tahun. Bree merangkul lengan Axel, lalu mereka menuju ruang makan, “Apa yang sudah kamu siapkan untukku, Axe?” tanya istrinya itu tidak sabaran.“Kamu bisa lihat nanti.”Mata Bree lalu tertuju ke meja makan yang sudah ditata cantik sedemikian rupa. Lampu yang ada di sekitar ruangan itu dibuat temaram. Ada chef yang memasak hidangan kesukaan Bree. Bau masakannya harum, menguar ke seluruh ruangan.Rasanya Bree tidak percaya. Matanya membesar, chef itu. “Astaga! Dia kan favoritku. Kamu ... kamu menyiapkan semua ini?” tanya Bree gemetar dan juga terbata tidak bisa menahan lonjakan kebahagiaan yang hadir dalam dadanya. “Ya. Silakan duduk,” Axel tersenyum lebar melihat Bree yang antusias melihat makan malam ini. Axel juga memperlakukan Bree seperti ratu. “Siap untuk kejutanmu?” tanya Axel setelah mereka selesai menyantap appetizer. “Apa? Ada kejutan lain?” tanya Bree tidak sabaran. “Kejutan ini saja sudah luar biasa.” Pelayan yang ada mengangkat piring Bree dan Axel yang sudah kosong. Lalu menggantinya dengan yang lain piring yang satu ini ada tudung. “Buka saja tudung penutup piring itu,” kata Axel, menunjuk dengan dagunya. Bree membukanya dengan cepat, ada amplop warna biru di dalamnya. Wanita itu berbinar menatap Axel seolah bertanya apa isinya. Selama ini suaminya tidak pernah mengecewakan dirinya. “Apa ini?” tanyanya, senyuman di wajahnya makin lebar. “Buka saja,” kata Axel lagi. Mata Bree lalu membesar ketika membaca isi tulisan itu. “Pesiar mewah?” pekiknya gembira. Dia langsung bangkit dari duduknya, lalu memeluk Axel dan duduk di pangkuannya. “Terima kasih, Sayang,” ucapnya sambil menciumi wajah suaminya tidak berhenti. “Aku sangat beruntung punya suami seperti kamu. Aku adalah ... wanita paling bahagia di dunia ini.” “Seperti janjiku kepadamu, kan? Aku pasti membuatmu bahagia,” sambar Axel. Axel juga ikut bahagia ketika istrinya bahagia. Malam anniversary memang harus membawa kegembiraan untuk suami istri. Axel juga menutupi tekanan yang dia hadapi dari ibunya, Margot. Mata Axel lalu melirik melirik ke arah chef dan pelayan yang ada di ruang makan. Begitu Axel sadar kalau tubuh Bree makin dekat menempel. Para pelayan dan chef seolah mengerti arti dari lirikan mata Axel, kalau suami istri ini perlu ruang pribadi. “Apakah malam ini kamu bahagia?” tanya Axel yang dengan cepat tergoda oleh sentuhan Bree. “Aku selalu bahagia kalau bersama kamu, Sayang. Apalagi malam ini. Kau selalu memanjakan aku,” ucap Bree dengan suara yang dibuat-buat, seksi dan menggoda. Axel tersenyum puas! Tandanya dia bisa menjelaskan keinginan mamanya kepada Bree malam ini. “Sayang, aku masih perlu sesuatu, apakah boleh? Rasanya tidak enak sekali aku membicarakannya sekarang. Tapi, tidak bisa ditunda lagi, aku harus membicarakannya,” tutur Bree, kali ini dia membuat suaranya seperti sedih. Dahi Axel mengerut, “Apa saja untukmu, Sayang. Memangnya ada apa?” tanyanya khawatir. “Apakah ini soal mamamu?” Bree menunduk sedih, “Iya, ini soal mama. Adikku mau kalau mama dirawat di rumah sakit lagi. Tapi ... “ Bree menunduk. “Aku sebenarnya tidak ingin merusak malam ini.” Axel langsung merasakan kesedihan yang dialami Bree. “Apa ada yang bisa aku bantu?” tanyanya dengan suara yang berat. Axel akan memberikan apa pun yang Bree minta, malam ini. Agar Bree bisa menerima keputusan Mrs. Margot. Sementara, dalam hati Bree ingin bersorak. Ternyata mudah sekali meminta pertolongan dari Axel. “Mama perlu biaya yang besar kalau dirawat di rumah sakit. Kau tahu, kan, mamaku tidak punya asuransi yang bagus. Jadi, keluargaku harus banting tulang untuk biaya pengobatannya.” Bree pernah cerita kalau mamanya sakit ALS. Tapi, Axel sendiri belum bertemu lagi dengan orang tua Bree. Pertemuan terakhir dengan orang tua Bree adalah hari pernikahannya. Dan itu sudah lima tahun yang lalu.“Kenapa kau tidak meminta mamamu tinggal di sini saja? Aku bisa menyediakan perawat khusus. Kita juga bisa membicarakan perawatan terbaik untuk mamamu. Aku rasa itu yang terbaik.” “Saranmu memang baik, tapi, kamu tahu, kan? Aku tidak pernah bisa menghadapi mama sendiri. Apalagi dia sedang sakit begitu. Aku kadang seperti orang asing di hadapannya. Sekarang, yang terpenting adalah, aku bisa membantu keluargaku.” Axel tersenyum sambil mengecup bibir Bree yang selalu manis rasanya. “Berapa yang mamamu butuhkan untuk berobat?” pertanyaan suaminya membuat Bree tersenyum dalam hati. Meluluhkan hati Axel ternyata tidak sesulit yang Bree bayangkan. “Jumlahnya terlalu besar. Aku tidak sampai hati mengatakannya kepadamu. Tadi malam adikku sudah menghabiskan uang tabungannya untuk biaya masuk rumah sakit.” “Sayang, ayolah, ini aku suamimu. Masa kau sungkan denganku? Apa kepercayaanmu sudah luntur?” kata Axel, sambil tersenyum dengan manisnya. Perempuan mana yang tidak luluh mendengar perkataan Axel.“Tapi, aku tidak ingin ibumu tahu soal ini. Kamu ingat, kan, waktu aku minta pinjam private jet untuk liburan? Mamamu murka kepadaku,” Bree bergidik takut kalau ingat peristiwa itu. “Aku tidak ingin itu terjadi lagi, kau juga ingat, kan ancaman mamamu.” “Tenang saja, ini kan menyangkut keselamatan mamamu juga. Kalau mamaku marah, aku yang akan membela kamu,” jawab Axel. “Sekarang kamu bisa berpindah duduk, aku akan ambil buku cek dulu.” Axel bangkit dari duduknya, Bree dengan cepat menggeser duduknya dari pangkuan suaminya. Tidak sabar rasanya ingin segera dapat uang. Dia sudah membayangkan akan bersenang-senang. Bree menikahi Axel memang untuk hidup enak dan berkelebihan, tanpa tuntutan harus ada anak dan semacamnya. Bebas. Itu prinsip hidup Bree, dan “Berapa?” tanya Axel sekali lagi, lalu menoleh ke arah Bree. Begitu Axel hendak membuka pintu kamar kerjanya. “Kalau kamu tidak keberatan lima puluh ribu dolar, Sayang,” ucap Bree dengan lantang dan tidak sungkan lagi. “Apa tidak kurang?” dahi Axel mengerut menatap Bree. Bree menggeleng, “Mudah-mudahan saja itu cukup untuk satu atau dua minggu perawatan mama. Tentu saja dengan obat-obatan.” Bree memasang wajah murung. Axel tersenyum dengan lebar. “Baiklah.” Lalu melangkah ke dalam kamar kerjanya. Bree menunggu Axel, berpindah dari ruang makan, sekarang di kamarnya duduk di tepian ranjang. Usaha hari ini untuk menyenangkan Axel, rasanya berhasil. Tidak percuma usaha Bree pergi ke salon dan make over dirinya berjam-jam, juga gaun baru mahal ini, tidak percuma Bree memesannya dari disainer kesayangannya. Axel kembali ke kamar mereka, membawakan cek yang sudah ditandatangani. Begitu melihat Axel memasuki kamar, Bree memberikan senyuman terbaik. Axel menyusul duduk di samping Bree.“Ini,” Axel menyerahkan cek itu. “Kamu bisa mencairkannya kapan saja. Tapi, aku sarankan secepatnya.” “Memangnya kenapa?” dahi Bree mengerut, tangannya menerima cek yng sudah ditandatangani itu. “Kasihan mamamu pasti menunggu,” balas Axel. “Pasti, Sayang,” jawab Bree lagi. Dia melihat nominal cek itu, matanya membesar. “Sayang, ini banyak sekali. Aku hanya minta lima puluh ribu dolar. Ini—ini seratus lima puluh ribu?” “Tidak apa-apa. Anggap saja rasa terima kasihku kepada mamamu yang sudah menghadirkan istri yang cantik ke dunia.” “Ah ... Axel,” jawab Bree tidak bisa berkata-kata lagi. Sambil memeluk Axel, Bree tersenyum licik. Wanita itu lantas melepas pelukannya. “Oh, iya, tadi, bagaimana pertemuan dengan mamamu? Aku pikir akan memakan banyak waktu hingga kau lupa hari jadi kita.” Axel tersenyum kebingungan, menggaruk kepalanya. “Sayang, apakah kau tidak mau punya anak?” Mata Bree membeku menatap Axel, baru kali ini, suaminya membahas soal anak. Beberapa saat kemudian, Bree menjawab, “Kau tahu, kan, Sayang? Aku tidak ingin punya anak karena akan merusak tubuhku. Aku pikir kita sudah pernah membicarakan ini.” Axel mengangguk, “Kita memang pernah membicarakan hal ini. Tapi ... mamaku tadi membahas soal anak. Aku adalah anak satu-satunya, keturunan langsung dari McAlister. Tidak bisa kalau aku tidak punya keturnan sama sekali. Hm?” paparan Axel tentu saja membuat Bree syok. Meski Axel mengatakannya dengan lembut. “Bagaimana kalau aku tetap tidak mau? Apakah kau akan menikahi perempuan lain, dan punya anak darinya?” nada bicara Bree sedikit tinggi. Membuat Axel makin panik mendengarnya.Axel bangkit dari duduknya, bertolak pinggang kebingungan tidak menatap Bree. Setelah dia merasa cukup tenang, pandangannya kembali ke arah Bree. “Mama meminta seseorang untuk menjadi ibu pengganti. Aku tidak akan sanggup kalau menikahi perempuan lain. Mama menyarankan teknologi bayi tabung. Aku tidak akan menyentuhnya.” “Tapi, Axe ...” Bree menghampiri Axel, berharap dengan menggodanya akan membuat mama Axel mengubah keputusannya. Dan Axel tampaknya sudah tahu gerak gerik Bree. Dia menolak godaan Bree. Membuat wanita itu membeliak. Begitu dahsyat pengaruh mamanya terhadap Axel. Dan Bree makin murka. “Bree, kau tahu, kan mamaku seperti apa?” Axel menatap Bree dengan raut wajah yang tegang. Bree ikutan terdiam, lalu menebak. “Kita tidak mungkin menolak semua perintahnya?” Axel mengangguk dengan mantap. “Atau kita semua akan kehilangan semua kemewahan ini.” Bree makin tidak bisa berkata-kata, semua yang tadi dia alami, kebahagiaannya menjadi istri Axel selama lima tahun sirna da
Paginya, Lily sif pukul delapan. Langkahnya agak berat pagi ini, dia mengirim pesan ke Meredith, kalau akan menerima tawaran Axel. “Nona Meredith, bisa kita bicara?” tulis Lily di pesannya. “Kau bisa datang menemuiku nanti di rumah Mrs. Margot.” Balas Meredith melalui pesan di ponsel. Lily berdoa dalam hati, semoga keputusannya kali ini tidak salah. Lily datang setengah jam sebelum sifnya. Mana sangka Meredith juga datang diwaktu yang sama. Mereka bertemu di depan gerbang rumah Mrs. Margot. “Nona Meredith, bisa kita bicara sekarang?” tanya Lily ragu. Meredith tahu hal apa yang akan dibicarakan Lily. “Baiklah. Ikut aku,” ujar Meredith suaranya selalu datar, dan terdengar tegas. Meredith menuju ke ruangan kerja Mrs. Margot, tempat biasa diselenggarakan rapat dengan para karyawannya kalau di rumah. “Duduk,” suruh Meredith. Lily menuruti perkataan Meredith. Semua ini demi utang. Dan Lily ingin hidupnya tenang tanpa ada para penagih yang kasar membuat hidupnya selalu penuh rasa taku
“Selamat datang, Tuan Axel,” sambut salah satu pelayan yang ada di rumah Mrs. Margot. Pelayan itu membungkuk tidak menatap Axel dan istrinya. Axel pantang sekali menatap pelayan, Bree datang juga bersamanya. Wanita itu hendak melepas mantelnya yang terbuat dari bulu. Pelayan yang ada di sekitarnya sigap membantu Bree, Lily yang pertama kali maju mengambil mantelnya untuk disimpan. “Saya bantu, Nyonya,” katanya dengan sopan. Bree langsung melepas mantel bulunya itu. Namun, Lily tidak sengaja terpeleset hingga mengenai nampan yang ada anggurnya. Mantel yang dia pegang, hampir terkena anggur yang tumpah. Untung saja Lily bergerak dengan cepat hingga bisa menghindari anggur itu, mantel bulu Bree terlindungi. Mata Bree melotot, “Hei, hati-hati kalau bergerak. Gaji kamu seumur hidup tidak akan bisa mengganti mantel itu, tahu? Kamu pelayan baru, ya, di sini?” omelnya. Lily gelagapan, jantungnya berdetak dengan keras, namun dia mengangguk pelan. Kena omelan begini, membuat Lily takut dip
Benar apa yang dikatakan Lily, Mrs. Margot memberi tanda ke arah Meredith untuk membawa pergi cangkir ini. Dan sekali lagi, Bree berang merasa dipermalukan, apalagi sudah ada tamu-tamu yang lain. Mereka adalah kolega mamanya, ada juga karyawan di perusahaan kebun anggur Mrs. Margot. Tentu saja, Bree memandang rendah mereka. Mungkin yang kastanya sama hanya Keluarga Triton saja. Saat sedang makan malam, Bree juga menjatuhnya piring tidak sengaja. Axel sebagai suami ingin menenangkan istrinya, namun tatapan Mrs. Margot yang seperti menyindir, membuat Bree tidak ingin hidup. “Kamu tidak apa-apa, kan, Sayang?” tanya Axel dengan lembut. Bree mengangguk, “Ya,tentu saja. Rumah ini sudah ada yang melayani, harusnya tidak perlu khawatir, kan?” ucap wanita itu sarkas. Beberapa kolega Mrs. Margot yang datang adalah staf-staf ahli di bidang pemasaran, keuangan, ada sekitar dua puluh orang yang hadir. Mrs. Margot membuka pidato setelah makanan pembuka. “Jadi, malam ini, kita merayakan li
“Salah sangka?” ulang Axel. “Kamu sadar, Lily! Sadar sebagai ibu pengganti bagi anakku, itu sama saja meneken kontrak kalau kamu milikku! Meski hanya setahun. Aku membayarmu untuk itu.” Lily diam, jantungnya saat ini akan meledak. Mau tidak mau, Lily menuruti Axel. Lily mulai menarik tangan Axel agar lelaki itu bisa duduk dengan tenang. Tetapi gagal, Axel tidak bisa menegakkan badan. “Kau harus lebih berusaha, Lily,” perkataan Axel yang begini mirip ledekan. Wajahnya juga menyebalkan saat ini. Kalau bukan majikan, mungkin Lily sudah menamparnya. Lily kesal, meski Axel tampan, badannya ideal dan sebentar lagi Lily dan Axel akan terikat oleh sebuah perjanjian, tetap saja, Lily harus menjaga jarak. Dia tidak boleh aji mumpung. Lily berusaha sekali memasukkan kepala Axel ke kaus. Mengangkat kepalanya sulit sekali. Badannya berat. Napas Lily yang terengah terdengar oleh Axel, membuat lelaki itu tertawa. Pikirannya masih menerawang, malam ini harusnya dia merayakan hari pernikahannya
“Apa yang kau lakukan, Bree?” nada suara Axel ditekan. Giginya gemeletak karena marah.Andai saja malam tadi Bree tidak pergi, pasti tidak ada kejadian dirinya berakhir dengan Lily.“Kami hanya ke klub langgananku. Kau tahu, kan di mana klub itu?”Bree dan Wanda memang ke klub langganan.***Beberapa jam yang lalu ...Bree mendadani Wanda, memakaikannya baju minim dan merias wajahnya dengan cantik. Semua Bree lakukan setelah makan malam.“Rambutmu terlalu indah, Wanda,” ucap Bree sambil mengangkat rambut blondie-nya. Hingga lehernya yang jenjang dan mulus.Wanda merasa senang ada yang peduli dan memerhatikannya.Memulas wajahnya yang pucat menjadi lebih bersinar. Meski pulasannya tipis, tapi menonjolkan wajah Wanda yang memang cantik.“Kau terlihat cantik,” ujar Bree sambil melihat pantulan wajah Wanda di cermin.“Ya
“Aku hanya mengajak Wanda ke kelab langgananku. Itu saja, karena kita mabuk, aku tidak ingin kembali ke rumah mamamu, bisa-bisa dia marah besar. Jadi ... aku dan Wanda kembali ke apartemen.”Kemarahan Axel belum reda juga, lelaki itu juga heran, mengapa penjelasan Bree serasa makin membakar dadanya.“Honey, apa kau sudah siap untuk pulang? Aku masih di jalan, kalau kau mau, aku akan jemput kau pulang sekarang,” jelas Bree.Kali ini Axel yang panik, dirinya masih polos, belum mandi, rasanya bau percintaan. Namun, Axel tidak mau menghilangkan bau itu. Axel suka.“Kurasa aku akan menginap semalam lagi di sini. Akan ada kontrak yang harus kuurus, kau ingat, kan?”Bree menghela napas, kalau ingat itu Bree kesal sekali!“Aku tidak mau menginap di sana bersamamu,” ujar Bree merajuk. Dia menepikan mobilnya. “Kau ingat, kan betapa aku membenci usul ...”&ld
Kate menatap Axel bertanya-tanya. “Apa—apa ...” “Jangan banyak bertanya, turuti saja perintahku. Atau kau dipecat!” “B—baik, Tuan,” jawab Kate sambil menundukkan badan. ***Membuang rasa bersalah, Lily pergi tergesa kembali ke apartemennya. Baru kali ini Lily merasakan kalau dia tidak menyadari apa yang dia lakukan. Wanita itu berlari ke apartemennya, dia berharap dengan berlari, bayangan kejadian tadi malam akan sirna dari ingatannya. Namun, semakin dia ingin melupakan, bayangan itu makin jelas berkelebat. Desahan Axel, sentuhannya. Atau erangan lelaki itu yang terasa syahdu. “Ah!” Lily memaki-maki dalam hati. Percuma saja berlari, hanya membuat semua badannya makin sakit, dan kakinya pegal. Lagi pula, belum tentu Axel akan mengingat kejadian itu. Dan Lily hanya seorang pelayan di sana. Jadi mudah saja bagi Axel kalau ingin menyingkirkan Lily. Lily jadi berang sendiri. Dia merasa kalau dirinya kotor. Sambil menggosok badan di bawah pancuran air, Lily ingat wajah Mrs. Margot yan
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a