“Selamat datang, Tuan Axel,” sambut salah satu pelayan yang ada di rumah Mrs. Margot. Pelayan itu membungkuk tidak menatap Axel dan istrinya.
Axel pantang sekali menatap pelayan, Bree datang juga bersamanya. Wanita itu hendak melepas mantelnya yang terbuat dari bulu. Pelayan yang ada di sekitarnya sigap membantu Bree, Lily yang pertama kali maju mengambil mantelnya untuk disimpan. “Saya bantu, Nyonya,” katanya dengan sopan. Bree langsung melepas mantel bulunya itu. Namun, Lily tidak sengaja terpeleset hingga mengenai nampan yang ada anggurnya. Mantel yang dia pegang, hampir terkena anggur yang tumpah. Untung saja Lily bergerak dengan cepat hingga bisa menghindari anggur itu, mantel bulu Bree terlindungi. Mata Bree melotot, “Hei, hati-hati kalau bergerak. Gaji kamu seumur hidup tidak akan bisa mengganti mantel itu, tahu? Kamu pelayan baru, ya, di sini?” omelnya. Lily gelagapan, jantungnya berdetak dengan keras, namun dia mengangguk pelan. Kena omelan begini, membuat Lily takut dipecat. Apalagi, itu adalah menantu Mrs. Margot kalau Lily tidak salah. Dia mendengar perkataan Meredith saat sedang sarapan. Berarti itu adalah istri Axel? tanya Lily dalam hati. Apakah istrinya sudah tahu soal ibu pengganti itu adalah dirinya, makanya Bree marah? “Ma—maaf, Nyonya, maafkan saya,” ucap Lily menyesal. “Cepat taruh mantel itu, jangan kamu pegang terus. Nanti mantelku malah rusak.”Axel merangkul pundak Bree, “Sudah, Sayang, sudah ...” Axel menjauhkan Bree, tidak tahan dengan omelannya, apalagi yang kena semprot, Lily. “Tapi itu mantelku, hampir saja rusak, kamu tahu kan itu barang mahal!” omel Bree, kesal. Setiap ke rumah mertuanya ada saja kejadian yang membuatnya marah. Belum lagi harus berhadapan dengan mertua judes. Namun dalam hatinya sedikit bersorak, kalau sebentar lagi mertua yang banyak permintaan itu, akan matiAxel menenangkan Bree. “Kalau rusak akan kuganti,” katanya dengan tenang dan hati-hati. Mata Bree mendelik menatap Axel. Mengapa Axel mudah sekali mengatakan hal itu?Bree dan Axel melewati meja makan yang sudah ditata sedemikian indahnya. Candlelabra mewah, rangkaian bunga di tengah meja yang cantik. Ada meja bar, dengan rak yang diisi oleh aneka macam minuman. Seorang bartender tampak berjaga di sana. Meredith, asisten Mrs. Margot menunjukkan kepada Axel dan Bree. “Silakan Mrs. Margot sudah menunggu, ingin bicara sambil menunggu tamu-tamu datang,” katanya lagi. Insiden di depan pintu masuk, tentu saja terdengar oleh Mrs. Margot. “Sudahlah, toh, mantelmu tetap bersih,” Mrs. Margot berkata sambil meminum teh hangat yang sudah disiapkan oleh Meredith.Bree tidak bisa tersenyum tulus di depan Mrs Margot, apalagi mertuanya itu membela pelayannya. Sedangkan dirinya tidak pernah dibela sama sekali.Namun Axel merasa harus menenangkan istrinya. Dia mengusap punggung Bree, seolah berkata, sudahlah. Tidak ada lagi yang harus diperdebatkan. Bree mau tidak mau mengalah, tidak ada lagi yang bisa dia perbuat. “Duduk,” suruh Mrs. Margot menatap ke arah anak dan mantunya. “Bagaimana kabar kalian?” tanyanya dengan ramah. “Baik,” jawab Axel dengan senyuman, lantas menatap Bree yang ada di sampingnya, menggenggam jemari istrinya.Tatapan mata Mrs. Margot berpindah ke Bree. “Kau tentu sudah tahu soal ibu pengganti bukan?” Bree menatap Axel, lalu mengangguk. Tidak ada salahnya pura-pura setuju dan tersenyum di depan mertuanya yang sebentar lagi akan mati. “Sudah,” jawab Bree dengan cepat dan tegas. “Bagus kalau begitu,” Mrs. Margot bermaksud akan mengenalkan perempuan yang akan menjadi ibu pengganti. “Kalau boleh tahu, siapa perempuan yang akan menjadi ibu penggantinya?” tanya Bree penasaran. Dia tahu kalau mencecar Axel tidak ada artinya. “Soal itu, aku akan mengenalkannya.” Mrs. Margot memberi tanda kepada Meredith. Menyuruhnya menanggil Lily ke ruangan itu. Tidak lama, Lily datang dengan menunduk. Lily antusias mau melihat reaksi Bree istri dari Axel. “Bree, kenalkan, ini Lily,” kata Mrs. Margot datar. “Kamu bisa bersalaman dengannya, Li,” kata itu seperti perintah. Jadi Lily menuruti Mrs. Margot, mengulurkan tangan. Bree kebingungan, jatuh nanti pamornya kalau bersalaman dengan pelayan. Namun uluran tangan itu disambut juga oleh Bree. “Hallo,” sapa Bree. Lily gugup, sesekali melirik ke arah Axel. “Well. Karena kalian sudah kenal, bagaimana kalau kita percepat saja semua proses bayi tabung ini?” Mrs Margot berkata seolah tidak ada waktu lagi untuk melakukannya. Mata Lily membesar, “Dipercepat?” ulang Lily kebingungan. Sementara Bree sibuk menuang racun tanpa ketahuan siapa pun. Semua mata sedang terpaku pada Mrs. Margot, dan teh di cangkir perempuan tua itu masih ada. Bree dengan cepat menuan racun yang sudah dia bawa. Mrs. Margot dan Meredith masih sibuk menjelaskan prosedur bayi tabung dan juga perihal kontrak. “Jadi, Senin nanti kita akan bicarakan kontraknya,” ucap Meredith, menjelaskan kepada Lily. “Baik, kalau begitu, saya pamit ke dapur dulu,” kata Lily dengan sopan. Mrs. Margot mengangguk, lantas mengambil cangkir, ingin minum tehnya lagi.Bree menunggu saat perempuan tua itu benar-benar meminum tehnya. “Maaf, Nyonya, Keluarga besar Triton sudah datang, mereka sudah saya minta menunggu di ruang tamu,” Meredith yang tetiba datang memberitahu Mrs. Margot. Mrs. Margot memelotot, cangkir yang sudah siap diminum, langsung ditaruh kembali ke meja. Dia bangkit tergesa, “Kita tidak boleh mengabaikan Keluarga Triton,” katanya dengan suara tuanya lirih. Axel ikutan berdiri, berjalan memapah mamanya. Tinggal Bree yang termangu dengan kejadian tadi. Astaga! Bagaimana bisa? Kutuknya dalam hati. Lily yang masih ada di ruangan itu membereskan gelas yang sudah digunakan. Masih ada harapan kalau teh nyonya akan disuguhkan lagi. “Apakah teh itu akan diminum lagi oleh Margot?” tanya Bree sebelum Lily menyelesaikan tugasnya. “Biasanya tidak nyonya, Nyonya tidak mau minum teh sebelum makan,” kata Lily. Bree berang rencananya terancam gagal total. “Pasti kamu sok tahu,” tuding Bree. “Mentang-mentang kamu yang ditunjuk sebagai ibu pengganti, kamu jadi kurang ajar,” hardik perempuan itu. Sebagai pelayan dan baru bekerja di sini. Lily menunduk, “Maaf, Nyonya, sepertinya begitu. Maaf jika membuat Anda marah.” Wajah Bree memerah. Lalu merebut nampan yang sudah Lily bawa. “Biar saya yang bawa ini ke Margot,” ucapnya. “Baik, Nyonya,” jawab Lily suaranya bergetar. Hari ini kesalahannya sudah dua kali di hadapan Bree. Lagi pula, berada dalam satu ruangan dengan Bree membuat Lily gugup. Bree adalah istri Axel yang tidak ramah sama sekali, menurut Lily. Gadis itu menghilang, kembali ke dapur. Jadi dia tidak tahu sama sekali kalau Bree berusaha untuk memberikan teh yang sudah diberi racun oleh Bree. Bree segera bergabung bersama Axel, Mrs. Margot dan juga Keluarga Triton.“Ma, apakah kau melupakan tehnya?” Bree berkata dengan ramah, dia menaruh nampan yang berisi teh itu di depan Mrs. Margot. “Mama ini tehnya, belum diminum,” kata Bree dengan lembut.Benar apa yang dikatakan Lily, Mrs. Margot memberi tanda ke arah Meredith untuk membawa pergi cangkir ini. Dan sekali lagi, Bree berang merasa dipermalukan, apalagi sudah ada tamu-tamu yang lain. Mereka adalah kolega mamanya, ada juga karyawan di perusahaan kebun anggur Mrs. Margot. Tentu saja, Bree memandang rendah mereka. Mungkin yang kastanya sama hanya Keluarga Triton saja. Saat sedang makan malam, Bree juga menjatuhnya piring tidak sengaja. Axel sebagai suami ingin menenangkan istrinya, namun tatapan Mrs. Margot yang seperti menyindir, membuat Bree tidak ingin hidup. “Kamu tidak apa-apa, kan, Sayang?” tanya Axel dengan lembut. Bree mengangguk, “Ya,tentu saja. Rumah ini sudah ada yang melayani, harusnya tidak perlu khawatir, kan?” ucap wanita itu sarkas. Beberapa kolega Mrs. Margot yang datang adalah staf-staf ahli di bidang pemasaran, keuangan, ada sekitar dua puluh orang yang hadir. Mrs. Margot membuka pidato setelah makanan pembuka. “Jadi, malam ini, kita merayakan li
“Salah sangka?” ulang Axel. “Kamu sadar, Lily! Sadar sebagai ibu pengganti bagi anakku, itu sama saja meneken kontrak kalau kamu milikku! Meski hanya setahun. Aku membayarmu untuk itu.” Lily diam, jantungnya saat ini akan meledak. Mau tidak mau, Lily menuruti Axel. Lily mulai menarik tangan Axel agar lelaki itu bisa duduk dengan tenang. Tetapi gagal, Axel tidak bisa menegakkan badan. “Kau harus lebih berusaha, Lily,” perkataan Axel yang begini mirip ledekan. Wajahnya juga menyebalkan saat ini. Kalau bukan majikan, mungkin Lily sudah menamparnya. Lily kesal, meski Axel tampan, badannya ideal dan sebentar lagi Lily dan Axel akan terikat oleh sebuah perjanjian, tetap saja, Lily harus menjaga jarak. Dia tidak boleh aji mumpung. Lily berusaha sekali memasukkan kepala Axel ke kaus. Mengangkat kepalanya sulit sekali. Badannya berat. Napas Lily yang terengah terdengar oleh Axel, membuat lelaki itu tertawa. Pikirannya masih menerawang, malam ini harusnya dia merayakan hari pernikahannya
“Apa yang kau lakukan, Bree?” nada suara Axel ditekan. Giginya gemeletak karena marah.Andai saja malam tadi Bree tidak pergi, pasti tidak ada kejadian dirinya berakhir dengan Lily.“Kami hanya ke klub langgananku. Kau tahu, kan di mana klub itu?”Bree dan Wanda memang ke klub langganan.***Beberapa jam yang lalu ...Bree mendadani Wanda, memakaikannya baju minim dan merias wajahnya dengan cantik. Semua Bree lakukan setelah makan malam.“Rambutmu terlalu indah, Wanda,” ucap Bree sambil mengangkat rambut blondie-nya. Hingga lehernya yang jenjang dan mulus.Wanda merasa senang ada yang peduli dan memerhatikannya.Memulas wajahnya yang pucat menjadi lebih bersinar. Meski pulasannya tipis, tapi menonjolkan wajah Wanda yang memang cantik.“Kau terlihat cantik,” ujar Bree sambil melihat pantulan wajah Wanda di cermin.“Ya
“Aku hanya mengajak Wanda ke kelab langgananku. Itu saja, karena kita mabuk, aku tidak ingin kembali ke rumah mamamu, bisa-bisa dia marah besar. Jadi ... aku dan Wanda kembali ke apartemen.”Kemarahan Axel belum reda juga, lelaki itu juga heran, mengapa penjelasan Bree serasa makin membakar dadanya.“Honey, apa kau sudah siap untuk pulang? Aku masih di jalan, kalau kau mau, aku akan jemput kau pulang sekarang,” jelas Bree.Kali ini Axel yang panik, dirinya masih polos, belum mandi, rasanya bau percintaan. Namun, Axel tidak mau menghilangkan bau itu. Axel suka.“Kurasa aku akan menginap semalam lagi di sini. Akan ada kontrak yang harus kuurus, kau ingat, kan?”Bree menghela napas, kalau ingat itu Bree kesal sekali!“Aku tidak mau menginap di sana bersamamu,” ujar Bree merajuk. Dia menepikan mobilnya. “Kau ingat, kan betapa aku membenci usul ...”&ld
Kate menatap Axel bertanya-tanya. “Apa—apa ...” “Jangan banyak bertanya, turuti saja perintahku. Atau kau dipecat!” “B—baik, Tuan,” jawab Kate sambil menundukkan badan. ***Membuang rasa bersalah, Lily pergi tergesa kembali ke apartemennya. Baru kali ini Lily merasakan kalau dia tidak menyadari apa yang dia lakukan. Wanita itu berlari ke apartemennya, dia berharap dengan berlari, bayangan kejadian tadi malam akan sirna dari ingatannya. Namun, semakin dia ingin melupakan, bayangan itu makin jelas berkelebat. Desahan Axel, sentuhannya. Atau erangan lelaki itu yang terasa syahdu. “Ah!” Lily memaki-maki dalam hati. Percuma saja berlari, hanya membuat semua badannya makin sakit, dan kakinya pegal. Lagi pula, belum tentu Axel akan mengingat kejadian itu. Dan Lily hanya seorang pelayan di sana. Jadi mudah saja bagi Axel kalau ingin menyingkirkan Lily. Lily jadi berang sendiri. Dia merasa kalau dirinya kotor. Sambil menggosok badan di bawah pancuran air, Lily ingat wajah Mrs. Margot yan
Lily pergi ke kamar, berbeda dengan Kate—yang ketakutan. Demi membela Lily dan melindunginya, Kate membuka dompetnya. “Mungkin ini bisa mencegah si penagih utang itu. “Sial sekali hanya ada lima dolar? Kenapa aku semiskin ini?” keluh Kate, tidak tega kepada Lily. “Bagaimana ini?”“BUKA PINTUNYA!” pekik si penagih utang itu lagi. Kate makin gemetar, lagi pula, telinga Kate pengang karena teriakan di depan pintu. Jadi, gadis itu cepat-cepat membuka pintu apartemen. Begitu melihat wajah sangar si penagih utang, Kate berlutut, memohon agar sahabatnya nanti diampuni.“Ampun! Tolonglah kami, kami belum ada uang!” mohon Kate, tangannya menangkup di depan wajahnya. Berlutut dan memejam, kalau saja si penagih itu akan memukulnya hari ini, Kate rela. Dari pada Lily yang sedang sakit dipukul. “Heh, Nona manis, untuk apa kau berlutut begitu, hah? Memangnya kami akan membunuhmu?” tanya salah satu penagih lalu tertawa terbahak-bahak. Seolah menghina Kate. “Sudah! Jangan menghina temanku sepert
Mata Lily membesar, melihat tangan Axel yang melingkar di pergelangan tangannya. “Tu—tuan?” Lily ketakutan. Bukan ketakutan lebih tepatnya bingung, kaget. Dan apa maksud Axel menahannya di kamar ini. “Kamar ini sedang dibersihkan.” Axel mendengkus, lalu memutar bola mata. Tanpa Lily tahu apa maksud Axel menahannya di kamar ini. Dan tangan Axel yang bebas menutup pintu kamar. Sekarang, dua tangannya mengurung tubuh Lily yang bersandar di tembok. Napas Lily makin tidak beraturan, sebisa mungkin menghindari tatapan Axel. Menunduk dan menggeleng. “Tolong lepaskan saya, Tuan.” Axel menghela napas, sulit sekali mengendalikan Lily ternyata. Axel hanya berpikir, akan semudah kelihatannya. “Saya rasa apa yang terjadi kemarin malam ...” “Sstt ...” Axel menempel telunjuk di bibir Lily yang ranum. “Jangan berkata-kata. Saya coba jelaskan tentang tadi malam.” Lilu mengangguk ketakutan. Namun disaat yang bersamaan, Lily juga bersiap kalau Axel mau mengulangi kejadian tadi malam.“Kejadian k
“Ya, Tuan Axel meminta dibuatkan sup untuk Lily setelah mereka mabuk bersama,” para pelayan berkata saling bebisik tapi telinga Bree bisa mendengar dengan jelas. Bree kaget, dadanya berdetak tak menentu. “Apa?” desisnya. Axel, suami yang selama ini dia cintai, ternyata ... ternyata ... Napas Bree terengah-engah pikirannya kacau seketika. Sebagai istri yang mendampingi Axel selama lima tahun, Bree tahu sekali perangai Axel. Dan selama ini ada sisi buruk dari Axel yang tidak pernah Bree tahu. Dasar lelaki hidung belang, di mana pun sama saja! pekik Bree dalam hati. Tangannya mengepal di samping badan, Dari tempat Bree berdiri, terlihat Axel yang saling tertawa bersama Margot. Sialan! Umpat Bree. Bree tidak ingin mendengar lagi semua perkataan para pelayan itu. Yang jelas dia tahu sekarang kalau suaminya juga lelaki brengsek.Dan satu hal yang jelas, Bree tidak bisa marah kepada Axel. Jadi yang dia lakukan adalah langsung kembali ke kamar, tanpa pamit. Dia hanya bilang kesalah satu