"Apa maksud kamu, Sarita?" tanya Madam Anne. "Maafkan saya, Madam. Saya hamil!" kata Sarita. "Kau jebak putraku agar menikahimu untuk menaikkan derajatmu. Benar 'Kan?" tekan Madam Anne. "Tidak Bunda, kami saling Cinta!" jawab Bagas. Pertikaian terus berlangsung, Sarita yang hanya anak pembantu hanya menunduk. Sedangkan ibunya menangis tersedu melihat nasib putrinya. Apa daya tangan seorang pembantu tidak mampu menyelamatkan derita putrinya kala hukuman 100 cambuk mendera Sarita. Bagaimana kisah selanjutnya, mampukan Sarita berdiri tegak dan menatap masa depan? Apa yang terjadi setelah hukuman cambuk itu dilaksanakan?
Lihat lebih banyakKendaraan melaju dengan kecepatan sedang. Hujan semakin deras dengan angin bertiup kencang. Sarita terlihat mulai kedinginan, sedangkan Bagaskara terus melajukan kendaraannya. Di tengah lebat hujan, pria itu tidak memedulikan teriakan Sarita untuk menepi, hingga akhirnya di sebuah pos kampling Bagaskara menepikan kendaraannya.
"Turun!"Tanpa menjawab, Sarita segera turun dari kendaraannya tersebut. Lalu dia pun masuk ke dalam pos yang kebetulan sedang kosong. Bagaskara memarkirkan kendaraan terlebih dahulu, merasa sudah benar barulah dia masuk. Sebuah pemandangan yang indah terpampang di depan mata.Keindahan yang selama ini dia abaikan saat pulang ke rumah. Wajah yang begitu sempurna dengan lekuk tubuh menggoda membuat hasratnya bangkit. Apalagi sudah beberapa bulan kejantanan Bagaskara tidak tersentuh. Pikiran pria itu melayang tidak karuan. Bagaskara mendekat pada Sarita membuat gadis itu beringsut mundur hingga tubuhnya menempel pada dinding."Ini semua gara-gara kamu membawa kendaraan roda dua. Bukankah di rumah masih ada mobil, mengapa tidak bawa itu?" tanya Bagaskara dengan penuh penekanan."Maafkan saya, Tuan. Tanpa ijin madam saya tidak berani, apalagi saya hanya anak pembantu yang tentunya tidak bisa mengemudi kendaraan mewah tersebut," papar Sarita dengan nada gemetaran akibat kedinginan.Bagaskara melepas jaket kulitnya, lalu menyerahkan jaket tersebut pada Sarita dengan berkata, "Pakai ini, kau kelihatan makin menyedihkan!"Dengan tangan bergetar, Sarita menerima jaket tersebut lalu mengenakannya. Bagaskara pun akhirnya duduk di samping kanan wanita muda itu. Aroma shampo dan harum tubuh Sarita menguar, Bagaskara menghidu perlahan. Tangan kekar itu terulur meraih bahu perempuan yang berada di sampingnya."Tuan!" lirih Sarita.Suara yang merdu di antara suara hujan membuat bulu tangan Bagaskara meremang. Pria yang sudah lama tidak menyentuh dan berhasrat, kini dia merasakan sesuatu mulai bangkit dan mendesak ingin keluar. Sarita yang melihat adanya kabut di manik mata anak majikannya berusaha melepas rengkuhan tangan sang pria. Namun, jemari kekar itu mencengkeram bahunya hingga gadis itu meringis."Tuan!" kata yang keluar dengan bibir mungil itu tampak menggoda.Bagaskara mulai mendekatkan kepalanya dan perlahan melumat bibir yang sudah memanggilnya. Sarita melakukan pemberontakkan, tetapi tenaganya kalah akan hasrat sang lelaki. Tubuh gadis itu mengelinjang tidak menentu berusaha menghindar setiap sentuhan Bagaskara. Namun, tidak untuk pria itu. Pergerakan gadis yang merekah itu membuat dia semakin bergelora. Akhirnya peristiwa itu terjadi.Bagaskara mendongak merasakan sensasi yang begitu indah, untaian selaksa yang menggugah hasrat. Lelaki itu terdiam, dia merasakan seakan telah merobek sesuatu yang nikmat. Lenguhan panjang keluar di antara isak tangis gadis yang masih dalam kuasanya. Sarita menangis lirih, isak tangisnya seakan belum bisa menyadarkan kegilaan Bagaskara dalam meraih nikmat surgawi."Tuan, sa-sakitt!" desis Sarita di cuping Bagaskara."Apakah aku yang pertama untukmu?"Sarita seketika menutup mulutnya, gadis itu seakan kecewa akan satu kata --bodoh--. Begitu mudahnya terperangkap dalam pergumulan yang nantinya akan merugikan dirinya. Dengan sekuat tenaga Sarita berusaha keluar dari keadaan yang merugi itu. Di dorongnya tubuh Bagaskara agar bisa menjauh dari tubuhnya."Tuan, bisakah turun dari tubuhku sekarang!" pinta Sarita dengan nada rendah nyaris tidak terdengar.Sarita meringis, merasakan ketidaknyamanan karena Tuan-putra dari sang majikan terus menggerakkan tubuhnya demi mencapai kepuasan. Semua ini berawal dari perintah Madam Anne--majikannya yang meminta ia menjemput Bagaskara di bandara. Bermodalkan motor, ia memenuhi perintah tersebut. Namun, cuaca yang semula cerah berubah menjadi hujan lebat. Sarita dan Bagas pun meneduh di sebuah gubuk pinggir jalan. Entah setan apa kemudian yang merasuki putra sang majikan, hingga kini mereka berakhir berhubungan badan.Bagaskara masih terdiam, terlihat pria itu begitu menikmati penyatuan yang baru saja dia lakukan. Setelah merasa puas, dilepasnya penyatuan tersebut dengan lenguhan lirih. Sedangkan Sarita segera meraih pakaian dalamnya yang teronggok begitu saja di lantai. Mata gadis itu masih mengeluarkan bulir bening air mata sambil sesekali terdengar isak tangisnya."Sudah, hentikan tangismu dan basuh wajahmu itu dengan air hujan! Aku tidak mau kau terlihat kucel," gumam Bagaskara sambil membenarkan celana panjangnya.Sarita perlahan bangkit, sakit yang dia rasakan pada pangkal pahanya ditahan sebisa mungkin. Gadis itu kini sudah ternoda, berjalan sedikit menyeret akibat rasa nyeri. Bagaskara memicingkan matanya, dia merasa aneh dengan cara berjalan wanita muda itu."Perbaiki cara jalanmu, jangan manja!" desis Bagaskara.Pria itu pun segera berjalan menuju ke kendaraan yang masih terparkir diluar. Sebuah helm dipasangkan pada kepala Sarita ketika gadis itu sudah berdiri di sampingnya. Kemudian membantu Sarita naik ke boncengan, merasa sudah nyaman barulah Bagaskara menyalakan mesin dan melaju ke rumah sang mommy. Tidak butuh waktu lama, kendaraan roda dua tersebut pun memasuki wilayah rumah mewah bergaya Pakistan.Bagaskara langsung turun dan meninggalkan Sarita tanpa suara. Perempuan itu mendengus lirih. Sakit yang masih dia rasakan diabaikan begitu saja. Dengan langkah panjang, Sarita menuju ke rumah belakang dimana dia biasa berteduh."Assalamualaikum, Mbok!" sapa Sarita kala pandangannya bertemu dengan mata teduh wanita tua."Waalaikumsalam, baju kamu basah. Apa tidak berteduh, Nduk?" tanya Simbok."Berteduh, Mbok. Tapi terlambat, si Aden Bagas tidak memedulikan keadaan yang ada dan kebetulan jalanan lagi ramai." Sarita menjelaskan dengan nada kesal."Iya sudah, segera mandi air hangat. Tunggu sebentar biar simbok rebuskan air hangat!"Sarita pun masuk ke dalam kamarnya, dia berniat untuk mengambil pakaian ganti. Setelah semua siap, akhirnya gadis itu pun keluar lagi. Langkahnya terlihat sedikit susah akibat rasa nyeri pada pangkal pahanya. Simbok yang sempat melihat cara jalan putrinya hanya membekap mulutnya. Wanita tua itu bisa meraba apa yang sudah terjadi pada Sarita. Namun, wanita itu belum berani bertanya."Mandi-lah Sarita! Simbok tunggu di luar pintu untuk menerima pakaian kotor kamu," kata Simbok dengan nada rendah.Sarita pun segera menutup pintu setelah tersenyum pada simboknya walau terpaksa. Terdengar dengus napas lirih dari wanita tua itu. Lalu saat pintu terbuka, dia pun menerima uluran tangan Sarita yang mencengkeram pakaian kotor dan basah.Dibawanya pakaian tersebut lalu duduk di balai bambu, perlahan dibuka lembar demi lembar pakaian putri yang sedari kecil diasuh dan bimbing. Air mata keluar perlahan kala didapati noda merah pada celana dalam Sarita. Diusap, lalu dicium noda tersebut. Simbok tergugu."Mbok, ... maafkan Sarita!" ucap Sarita dengan nada rendah nyaris tidak terdengar sambil berjalan mendekat, lalu duduk di samping kanan simbok.Simbok menatap wajah putrinya dengan gelengan kepala, lalu direngkuh bahu Sarita. Wanita tua itu tidak berkata sedikit pun, hanya jemari keriputnya yang mengusap lembut ujung kepala basah Sarita hingga ke punggung. Berulang begitu terus. Lelehan air mata pun juga masih terlihat meski hanya sesekali."Bagaimana pun keadaan kamu, simbok tetap simbok, Nduk. Tetapi jangan kau umbar aib ini, simpan dulu hingga kau temukan pria sejati yang bisa menerimamu apa adanya!" pesan wanita tua itu."Baik, Mbok. Doa kan saja semua ini baik-baik saja hingga aku wisuda nanti!" pinta SerenaSarita terbangun masih dalam pelukan Sagara, bahkan sinar mentari pagi sudah menyapa lembut kulitnya. Dia sedikit terkejut saat ujung kakinya tersentuh oleh buih air. "Dimana aku?""Sudah bangun? Lihatlah, sinar jingga menghiasi langit timur!"Sarita bangkit dari posisinya, dia berdiri menatap sinar jingga sambil merentangkan kedua lengannya. Dadanya terlihat naik perlahan menandakan sedang menghirup udara. Sagara ikut berdiri dan berjalan mengikis jarak, lalu dipeluknya tubuh Sarita dan berbisik, "Bagaimana dengan tawaranku semalam, Sayang?"Sagara meletakkan kepalanya pada ceruk lerer Sarita dan mulai menghidu aroma yang sudah membuatnya candu. Telapak tangan Sarita pun bergerak mengusap kepala Sagara. Wanita itu menyunggar surai rambut sang lelaki, kemudian menekannya lembut. Sarita merasa nyaman dengan setiap sentuhan Sagara, tetapi sisi hatinya yang lain masih enggan untuk menyambut cinta yang ditawarkan. "Akankah kau selalu ada untukku?" tanya Sarita lembut. Tidak ada jawaba
Di antaranya bukti keterlibatan Madam Anne atas kematian Alinsky Waluyo. Meskipun dari hasil pemeriksaan, Alinsky dinyatakan meninggal karena kecelakaan tunggal.Akan tetapi, pada fakta yang ditemukan, Alinsky meninggal karena luka parah yang dideritanya setelah kecelakaan yang dialaminya, dan yang lebih mengejutkan ternyata kecelakaan tersebut dipicu karena rem blong sebab tali rem mobil Alinsky telah dipotong. Tidak hanya itu saha, Madam Anne bahkan memerintahkan seseorang untuk membuat sebuah rekaman palsu yang menceritakan bahwa Alinsky pergi dari rumah Pradipta dengan seorang pria. Kemudian dengan segala tipu daya dan rayuan, Madam Anne pun mendekati Pradipta yang tengah terluka dan kehilangan Alinsky serta calon anak yang masih berada di kandungan Alinsky untuk selamanya. Pradipta yang merasa kecewa dengan sikap Alinsky pun perlahan mulai termakan omongan Madam Anne muda dan bersedia menikahi Madam Anne beberapa bulan setelah kepergian Alinsky yang tanpa kabar tersebut.Yang
Sarita terdiam, wanita itu menatap pada Sagara begitu juga sebaliknya. Hanya Alifian yang terlihat asyik sendiri tanpa beban. Kemudian dia beranjak meninggalkan kedua orang dewasa menuju ke teras rumah. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang guna memastikan apakah keduanya sudah berjalan. Namun, hingga kaki kecil sampai di ambang pintu kedua orang dewasa belum juga terlihat membuat Alifian berteriak memanggil bundanya. "Sebaiknya kita antar dulu putra kamu itu, Sari. Setelahnya baru ke butik bahas lebih lanjut," kata Sagara sambil meraih jemari Sarita dan menautkan pada jemarinya. Sarita terdiam mengikuti semua pergerakan Sagara wanita itu sama sekali tidak menolak ataupun menghindar. Hingga sampai di depan Alifian pun tautan jemari mereka tidak terlepas. "Masuklah bersama Alif di belakang, Sari!"Sarita segera masuk menyusul putranya dan duduk di samping Alifian. Pria kecil menatap bundanya sekilas lalu berpaling ke samping melihat jalanan yang mulai padat. Mobil berjalan perlaha
Tangan kanan Sagara mengepal erat, sebuah bogem mentah sudah hendak dihadiahkannya untuk Bagaskara. Namun, diurungkan karena ada jemari lentik yang menghentikan niatan tersebut. Sagara memalingkan wajah ke samping. Tampak pemilik jari tersebut menggelengkan kepala sambil menyuguhkan senyum lembut yang mampu melelehkan hatinya. Emosi Sagara seketika menguap begitu saja, sementara Bagaskara semakin merasa geram karena mantan istri malah memberikan senyum terbaik pada laki-laki selain dirinya. Gelap mata! Itu yang dirasakan Bagaskara saat ini. Penuh emosi, Bagas menarik bahu pria yang lima tahun lebih tua tersebut. Giginya gemeretuk, rahangnya mengencang, mata pun sudah memerah, dan detik berikutnya ... Bugh! Bagas meninju rahang Sagara yang langsung terhuyung. Sungguh beruntung, pengendalian keseimbangan pria itu cukup baik sehingga dia tidak sampai terjatuh hanya sedikit oleng saja. Sagara ingin membalas Bagas, tetapi Sarita dengan cepat menarik tangan Sagara. Sambil memberikan s
Aknat dan Bagas refleks saling bertukar pandang saat mendengar pertanyaan hakim ketua. Apa maksud hakim ketua dengan mempermainkan? Kenapa lelaki jelang senja itu bisa berkata demikian? Jangan-jangan .... Didorong oleh rasa penasaran, Aknat pun bermaksud kembali maju untuk memeriksa ulang apakah ada kesalahan yang tidak disengajanya saat menyerahkan bukti ketidakberesan Sarita sebagai ibu. Akan tetapi, baru saja mengangkat tubuhnya dari kursi, ketua majelis hakim yang terhormat sudah mengangkat tangan -- melarangnya untuk maju. Akhirnya, dengan penuh kebingungan, Aknat menuruti perintah ketua majelis sidang. Sambil bertanya-tanya, Aknat menatap hakim ketua dan Bagaskara bergantian. Pemuda itu bahkan hanya bisa mengedikkan bahu ketika Bagaskara menanyakan hal tersebut padanya. Ketua majelis hakim yang terhormat masih menatap Aknat dan Bagaskara dengan tatapan tajam penuh kemarahan. Pria yang sudah berprofesi menjadi hakim selama dua puluh tahun tersebut merasa terhina. "Apa maksud
Keesokkan paginya tidak jauh dari sebuah rumah mewah bercat putih, tampak sebuah city car berwarna hitam. Pengemudi city car tersebut tampak serius mengamati rumah mewah yang dijaga ketat oleh seorang petugas keamanan. "Aku harus bisa masuk ke rumah itu untuk mencari berkas-berkas penting yang mereka sebutkan kemarin. Hanya saja bagaimana ya caranya?"Pemuda tersebut memutar otaknya -- mencari cara agar dia bisa masuk ke dalam rumah mewah dan menjalankan misinya tanpa ketahuan oleh penghuni rumah. Dia pun memeriksa seluruh penjuru mobilnya. Elfrada mengobrak-abrik seluruh isi dashboard mobil dan menemukan dua buah benda yang diyakini bisa membantu meloloskan niatnya masuk ke dalam rumah target. Dengan keyakinan penuh, lelaki tersebut mempersiapkan diri. Setelah semua siap, dia kembali mengawasi rumah mewah yang hanya selisih dua rumah dari tempatnya. Beberapa menit kemudian, tampaklah sebuah mobil mewah dan elegan berwarna silver metalik keluar dari halaman rumah tersebut. Dengan
Pria muda berkaca mata hitam itu segera meluncur pergi dari depan rumah Bagaskara, dengan kecepatan tinggi pemuda tersebut memacu kendaraan roda empat yang dikemudikannya. Di tengah perjalanan pria itu menelepon seseorang, "Bos, tadi saya sempat mencuri dengar pembicaraan antara Bagaskara, istrinya, dan kedua pengacara mereka melalui sebuah penyadap. Saya mendengar mereka mempunyai sebuah bukti yang akan bisa dipakai menekan dan mengalahkan Nyonya Sarita di pengadilan.""Bukti apa dan siapa yang membawa bukti tersebut?" tanya lawan bicara pria muda yang ditugaskan menjadi kata-kata tersebut. "Saya masih belum mendapatkan informasi bukti seperti apa yang dimaksud, hanya saja saya tahu siapa yang sudah menyimpan bukti tersebut." Info pemuda tersebut sambil terus mengemudikan kendaraan roda empatnya. Sementara itu, di tempat lain lawan bicara pria muda tersebut tampak sedang memikirkan strategi apa yang akan diambilnya untuk menghancurkan Bagaskara dan istrinya, Ni Luh. Sosok tersebu
"Tenang, Tuan Bagas. Bersantailah sedikit, tidak perlu seemosi itu. Saya hanya bertanya saja pada Anda. Apakah Anda yakin dengan keinginan Anda mengenai hak asuh anak?" Ulang Aknat pada Bagaskara yang menatapnya lekat dan tajam."Apa perlu saya ulang jawaban saya agar Anda yakin pada apa yang menjadi keinginan saya?" Kini giliran Bagaskara membalik pertanyaan Aknat. Nada suaranya rendah dan dalam, terlihat sekali jika dia sedang menahan amarah pada pemuda yang duduk di samping Ni Luh.Mendengar jawaban Bagaskara yang begitu penuh kemarahan yang tertahan, Ni Luh mengerutkan dahinya. Wanita itu merasa sedikit aneh dengan sikap suaminya ketika mendengar pertanyaan Aknat.Ni Luh mengamati manik tegas suaminya lekat-lekat. Dia merasa penasaran dengan jawaban dan sikap Bagaskara selanjutnya. Sementara itu, sikap Aknat tampak berbanding terbalik dengan Bagaskara yang tampak begitu emosi.Pria matang yang dikenalkan dengan nama Arswendo merasa tidak enak melihat situasi yang mulai tidak kondu
Saat hendak menikmati madu alami pintu dibuka oleh pelayan dengan membawa makanan yang sesuai pesanan juga dua orang tamu. Bagas dan Ni Luh segera memperbaiki cara duduknya. "Silakan saja dilanjut, kami dengan sabar menunggu, Tuan dan Nyonya!" ujar Aknat pengacara pribadi Ni Luh. "Kau jangan bikin malu, Nat. Usiamu masih jauh," dengus Ni Luh. Aknat hanya mengulas senyum tipis, lalu mengambil duduk di depan Ni Luh sedangkan pria yang berusia matang ikut duduk di samping Aknat. Ni Luh menatap suaminya penuh tanya. Bagaskara tersenyum dan mempersilakan kedua tamunya untuk menyantap menu yang ada. Menu sederhana tetapi mewah. "Silakan makan, Tuan Berdua!""Apakah tidak lebih baik kita saling kenal dulu, Kak!" Pinta Ni Luh. "Saya Bagaskara sebagai suami dari Ibu Ni Luh Ayu. Ini pengacara saya, Bapak Arswendo!" ujar Bagaskara. Bagas mengenalkan diri dan pengacaranya pada pria muda di depan istrinya. Aknat yang sejak tadi terlihat santai segera menerima uluran tangan Bagas dengan itika
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen