Sarita keluar dari mansion aneh milik Madam Anne, kakinya berjalan tanpa arah. Dua hari dua malam wanita muda itu terus menyusuri trotoar tanpa tujuan. Hingga di hari ketiga perutnya berbunyi cukup nyaring.
"Akhirnya rasa lapar itu datang juga!" gumam Sarita.Pandangannya menyapu alam sekitar, rupanya kaki jenjang itu sudah membawa raganya pada sebuah taman yang terdapat air mancur. Gegas Sarita berjalan menuju kolam berhias air mancur. Ditengadahkan kedua tapak tangannya pada kucuran air mancur, lalu direguknya dengan puas.Setelah beberapa teguk, ditengadahkan lagi kedua tapak tangannya. Kali ini tidak untuk di teguk, melainkan untuk membasuh mukanya yang terasa tebal oleh debu dan asap kendaraan."Ough, segar. Rasanya aku ingin makan buah yang segar. Nah, di sana ada yang jual buah irisan." Sarita pun melangkah menuju ke penjual buah tersebut.Dia membeli beberapa buah iris dari uang mahar nikahnya yang sejumlah lima ratus ribu. Berbekal uang itu, Sarita meninggalkan mansion. Setelah mendapat beberapa buah, wanita itu pun mencari bangku kosong. Senyumnya mengembang kala dilihatnya ada bangku yang kosong, kakinya bergerak menuju ke bangku tersebut. Namun, baru saja duduk nyaman ..."Mbak, bisa berbagi buahnya? Adik saya sedang lapar," keluh seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun sambil menggandeng bocah pria usia lima tahun.Sarita tertegun dalam keterkejutan, sungguh miris hidupnya yang terusir dari rumah mertua dan suaminya sendiri. Ini lebih parah lagi, dua anak tanpa orang tua."Dimana rumah dan orang tua kalian?" tanya Sarita."Rumahku di kampung melawai, kedua orang tuaku sedang sakit, Mbak. Aku kerja juga belum dapat uang," papar bocah perempuan."Ini makanlah kamu dan adikmu, dan ada sedikit uang untuk kalian. Bawa ibumu berobat!" Sarita menyodorkan kantong buahnya pada anak tersebut setelah dia mengambil dua buah jeruk. Juga selembar uang kertas berwarna merah."Terima kasih, Mbak."Sarita mengangguk, lalu kedua bocah itu tertawa riang dan mengayunkan kakinya dengan ringan. Sementara Sarita yang melihat sikap dua bocah tersebut seketika tersenyum. Segera dihabiskan dua buah jeruk itu, setelahnya dia melanjutkan perjalanan menuju ke kampus. Rencana Sarita, dia ingin mencari kamar kost untuk dia istirahat.Saat berjalan dalam keramaian orang, tiba-tiba dirasanya seseorang berjalan menempel pada tubuhnya. Sarita menghindar, tetapi terlambat. Orang yang menempel itu telah mengambil dompetnya yang masih ada uang senilai empat ratus ribu. Dengan lantang Sarita berteriak."Copet!!"Semua orang seketika menyeruak, tetapi bukan untuk menangkap copet tersebut. Mereka justru memberi jalan pada pelaku pencopetan. Sarita terdiam, berdiri mematung menatap kepergian copet. Napasnya menderu, hidungnya kembang kempis menahan emosi.Semua harta dan kartu penting miliknya ada di dalam dompet. Bahkan ponsel jadulnya pun juga di sana. Wanita muda itu melangkah gontai tanpa arah. Jiwanya memdadak kosong."Aku harus kemana?" gumam Sarita.Dia terus melangkah lurus tanpa tujuan yang pasti berharap akan bertemu dengan sahabatnya. Namun, bukan sahabat yang menemuinya melainkan hujan deras menguyur bumi. Rintik hujan yang jatuh dari langit terus membasahi tubuhnya, Sarita masih terus berjalan menyusuri trotoar sepi.Hujan masih turun dengan derasnya, bahkan sekarang disertai petir dan guruh. Tubuh yang mengigil, gigi gemelutuk akibat dinginnya air membuat Sarita menghentikan langkahnya dan duduk di bawah pohon besar pinggir jalan."Jalan Batanghari, sedikit lagi aku sampai di rumah Sisilia," gumam Sarita.Hujan masih deras menguyur Kota Lamere. Pandangan Sarita lambat laun mulai mengabur, hingga akhirnya wanita muda itu tumbang. Cukup lama tubuh basah Sarita bersandar pada batang pohon besar itu hingga hujan berhenti pun dia tidak ada tanda hendak bangun.Satu jam, dua jam, jalanan sepi dan licin akibat air hujan. Namun, tubuh itu masih berada di posisi yang sama hingga sorot lampu mobil menerpa wajahnya. Seorang pemuda dengan jas hitam dan kaki panjangnga keluar dari mobil hitam."Kasian sekali kamu, Kak!" batinnya.Kedua lengan yang kekar dan kuat meraih tubuh Sarita dan digendongnya masuk ke dalam mobil Roll Royce terbaru. Mobil berkelas dengan harga fantastis membawa tubuh lemah Sarita.Tidak butuh waktu lama, mobil itupun memasuki sebuah jalan sepi. Sepertinya hanya jalan itu yang ada. Samping kiri dan kanan tidak ada rumah penduduk, bahkan dalam jarak dua ratus meter pun juga tidak terlihat. Rupannya jalan setapak itu hanya milik pemuda itu.Mobil Hitam langsung parkir di depan pintu utama, ada seorang wanita paruh baya yang sederhana dan tampak bersih juga ramah."Ada apa ini Den Saga? Siapa perempuan cantik ini?" tanya wanita itu."Kemarin lusa, aku ada perintah buat siapkan kamar ya, Mbok. Sudah siapkah?""Sudah, Den. Bersih dan wangi, sesuai request Aden!""Bagus, tolong cuci semua pakaian yang ada di dalam tas punggung. Jangan lupa bawakan baju ganti yang aku simpan di paper bag meja ruang kerjaku!"Pemuda yang tinggi tegap dan gagah ternyata bernama Sagara Waluyo, salah satu pewaris tunggal keluarga besar Waluyo dari putra kedua sang pembisnis handal. Sagara segera membawa tubuh Sarita masuk ke dalam kamar yang telah disiapkan oleh pria itu."Maafkan aku baru bisa menemukanmu, Kak. Setelah ini semua akan berubah!" batin Sagara."Ini pakaian bersih yang Aden pinta!" kata Simbok sambil menyodorkan paper bag cokelat."Terima kasih, sekarang keluarlah! Biar aku sendiri yang mengganti bajunya!"Tanpa bersuara, simbok pun berjalan mundur lalu setelah beberapa langkah dia berbalik badan dan keluar dari kamar itu. Sagara menatap wajah Sarita, lalu sekilas terlihat kilatan cahaya di dada wanita tersebut. Tangan yang kekar menyibak sedikit baju atas Sarita agar kilatan itu tampak jelas. Kedua mata Sagara membulat sempurna."Ini, liontin khas keluarga Waluyo. Jadi semua sudah jelas buktinya!"Cukup lama Sarita pingsan, jam sepuluh pagi saat sinar mentari masuk dalam kamar melalui jendela yang terbuka tirainya. Perlahan tubuh Sarita menggeliat, kedua matanya membuka. Pandangannya menyapu ruangan yang berwarna biru laut. Warna yang sudah lama dia dambakan sejak masih kecil. Tapak tangannya meraba hamparan sprei biru langit berhias gemerlap bintang, kemudian pandangannya beralih pada selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Seketika dibuka selimut tersebut, lalu Sarita bangkit dari tidurnya. "Ini ... Kamar siapa? Nuansanya sangat indah," gumam Sarita.Kemudian kakinya mulai bergerak memutari keseluruhan isi kamar tersebut. Bibirnya sesekali berdecak kagum akan semua yang ada di kamar itu. Bagai bulan yang jatuh di pangkuan, semua yang pernah muncul di mimpinya kini nyata ada di depan mata. "Selamat pagi, Nona. Sudah lamakah Anda bangun?" tanya wanita muta dengan name tag Aulia."Pagi, saya ada di mana?" "Ini mansion Tulip milik keluarga Waluyo," jawab Aulia, "Saya yang a
"Aku sendiri tidak tahu cerita mengenai liontin itu. Yang pasti benda itu sudah melingkar di leherku sejak aku bayi. Itu keterangan yang kudapatkan dari simbok," jawab Sarita." Aku Sagara Arnold Waluyo, tunggu satu minggu hasil tes dna. Sementara satu minggu ini kamu bisa lakukan apa saja sesuka hatimu," papar Sagara."Apa yang harus aku lakukan, pertama bagaimana caraku memanggilmu, Tuan?" tanya Sarita dengan nada bingung."Cukup panggil aku Saga. Jika hasil dna itu cocok baru kita bahas selanjutnya."Setelah berucap, ujung jari Sagara pun menekan lagi tombol merah. Pintu terbuka dan menampilkan wajah Aulia. Gadis itu berjalan mendekat pada Sarita dan mengajak perempuan itu untuk keluar. "Permisi Tuan Muda!" pamit Aulia sambil membungkukkan badannya.Sarita yang tidak mengerti tata cara keluarga tersebut hanya diam. Dia langsung berjalan keluar dari ruang kerja dan menunggu Aulia di luar, berdiri di samping pintu. Aulia pun keluar sambil menutup pintu dengan gerak pelan."Mari ikut
Sarita terdiam, matanya menatap deretan huruf yang menyatakan kecocokan 100%. Wanita itu menatap pada pria di depannya, lalu mengangguk."Bagaimana langkah kamu selanjutnya, Sarita?" tanya Sagara."Aku ingin lahiran lebih dulu, kemudian perbaiki sikapku untuk membalas semua ini!" "Bagus. Apa perlu kamu pegang salah satu perusahaan milik Bibi Alinsky? Kebetulan ada butik juga, mungkin pas buat lancarkan rencana kamu," ungkap Sagara.Sarita terdiam. Dia belum berfikir ke sana. Yang jelas wanita itu inginkan lahiran dengan selamat, untuk pertama itu yang terlintas di otaknya. Mengenai kuliahnya hanya nunggu proses wisuda."Boleh aku bertanya, bukan, lebih tepatnya meminta bantuanmu, Saga!""Hemm!""Dua minggu lagi aku wisuda, di sana ada pria itu sebagai pendamping dekan. Aku ingin tidak datang, tolong ambilkan ijazahku. Bisakah?" tanya Sarita dengan nada rendah."Jika soal itu tidak masalah bagiku. Jangan khawatir, semua pasti akan beres.""Baiklah, aku lelah dengan kabar mendadak ini.
Sarita menuriti langkah putranya meninggalkan wanita bersama putrinya yang cantik itu. Tanpa Sarita tahu, Sagara telah melihat dan mendengar semua kalimat perempuan itu. Dahinya mengernyit, seakan dia pernah melihat wajah perempuan tersebut."Paman!" teriak Alifian saat dilihatnya Sagara berdiri dengan bersedekap dan bersandar pada badan mobil. Alifian pun berjalan cepat cenderung berlari menuju ke Sagara, dia segera memeluk kaki panjang pria tersebut. Sagara membungkuk dan meraih tubuh mungil ponakannya itu."Hai jagoan om, apa kabar?" tanya Sagara sambil berjalan menujubke sisi mobil yang lain untuk membukakan pintu Sarita. "Silakan masuk, Mama!" kata Alifian."Hehe, terima kasih, Sayang!" balas Sarita. Kemudian Sagara membukakan pintu lainnya untuk Alifian. "Masuk dan duduk yang baik!""Siap, Paman!"Sagara tersenyum, lalu berjalan memutar menuju ke kursi kemudi. Ekor matanya sempat melihat wajah kaget wanita yang menghina Sarita tadi. Senyum tipis bahkan hampir tidak terlihat t
"Maaf, Anda salah orang!" Sarita langsung melangkah pergi meninggalkan kedua orang masa lalunya.Aulia pun mengikuti langkah Sarita dari belakang sebelumnya memastikan pada salah satu karyawan untuk memerhatikan dua pembeli itu."Bunda, Bagas tidak salah lihat 'kan. Tadi itu benar Saritaku?" tanya Bagaskara."Jangan ngaco kamu, Bagas. Jangan rusak malam indah Ni Luh Ayu!" bisik Madam Anne.Wanita yang dimaksud oleh Madam Anne adalah salah satu putri pejabat penting yang meminang Bagaskara dengan alasan bisnis. Saat ini bisnis Bagaskara sedang naik dan termasuk pembisnis muda berbakat. Namun, akhir-akhir ini muncul pembisnis wanita muda yang cukup kompeten.Bagaskata masih tertarik akan sosok wanita yang menurutnya adalah mantan istrinya itu. Segera dikejarnya wanita itu, saat sampai di depan butik terlihat sosok itu masuk mobil sedan mewah berkelas dan berharga langit. Bagaskara berdecak lirih."Andai dia benar Sarita, lalu bagaimana bisa secepat itu hidupnya bisa berubah?" gumam Bag
Pembawa acara segera memulai acaranya. Satu per satu barang dilelang dengan cara bertahap. Ni Luh terlihat begitu antusias kala sebuah kalung permata bertahtakan belian rubi merah."Kak, tawar kalung itu untukku!" pinta Ni Luh Ayu."Baik, persiapkan saja uangnya!" "Iih, iya uang Kakak lah. Itu masih standart kok harganya!"Bagaaskara berdecak, dia datang karena ingin tahu sejauh mana perhelatan kaum atas. Namun, justru terjebak dengan permintaan dari Ni Luh yang sejak tadi merengek meminta barang. Padahal sejak mula wanita itu berjanji tidak akan hijau mata, tetapi nyatanya 39 juta dana Bagaskara sudah melayang untuk amal."Aku sudah gelontorkan uang sebanyak 30 juta. Apa belum cukup?" "Satu lagi, Sayang. Ya, ya!" pinta Ni Luh Ayu sambil membelai dada Bagaskara.Lelaki itu mendesah lirih, apalagi jemari Ni Luh sudah mulai berjalan menuju ke pangkal pahanya. Bagaskara melirik tajam. Ni Luh hanya tersenyum nakal."Huft huu, baiklah. Mulai lah!"Begitu mendengar apa yang dikatakan oleh
"Mama!" Seorang anak laki-laki naik ke panggung menghampiri Sarita dan Sagara. Pria kecil yang tampan berjalan tegap."Hai, Tampan. Siapa nama kamu?" tanya pembawa acara."Alifian Waluyo!""Wow, apakah ini mama dan papa kamu?" "Iya, ini keluargaku."Sagara tersenyum, lalu diraihnya tubuh mungil ponakannya dan digendong pada tangan kiri. Kemudian tangan kanannya meraih jemari Sarita dan menariknya lembut menuruni tangga. Sepasang mata menatap sosok pria kecil itu, sorot matanya mulai sendu."Mungkinkah itu benihku dulu? Tampan," gumam Bagaskara."Kau sempat tanam benihmu, Kak? Pada wanita itu, aku tidak percaya," kata Ni Luh.Bagaskara tidak memedulikan apa yang ditanyakan oleh Ni Luh, pria itu menatap terus pada tiga orang yang berjalan menuju ke sudut ruang mencari bangku yang nyaman. Pembawa acara sudah memberi kode bahwa waktunya ramah tamah."Mama, Alif haus!" ujar Alifian"Tunggu di sini, biar paman yang ambilkan. Jaga mama kamu, Jagoan!"Tanpa menunggu jawaban, Saraga segera b
"Berhenti, Kak. Apa yang Kakak lakukan, lihat semua orang menatapmu!" desis Ni Luh.Bagaskara menyentak tangan Ni Luh, dia tidak peduli. Langkahnya terus mengejar Sarita. Namun, wanita itu sudah menghilang di tengah kerumunan para tamu dan pengunjung malam amal. Bagaskara pun melangkah menuju meja yang tadi dilihatnya ada pria kecil."Kosong, kemana mereka pergi," gumam Bagas, lalu saat ada pelayan yang melewatinya pria itu pun bertanya, "Maaf, tahukan kamu dimana Tuan Sagara dan keluarga?""Ough, Tuan Sagara baru saja meninggalkan acara ini bersama Nona Sarita, Tuan.""Terima kasih!"Bagaskara pun melangkah meninggalkan lokasi malam amal tanpa mengajak Ni Luh. Wanita itu ditinggal tanpa kabar hingga membuat Ni Luh mencari sosok Bagaskara "Shit, dasar pria tidak tau diuntung. Enak saja tinggalkan aku begitu saja. Awas saja kamu, Sarita. Semua ini gara-gara kamu!"Ni Luh pun menghubungi sopir pribadinya agar segera menjemputnya. Malam semakin merangkak menuju pagi, tetapi mata Sarita
Sarita terbangun masih dalam pelukan Sagara, bahkan sinar mentari pagi sudah menyapa lembut kulitnya. Dia sedikit terkejut saat ujung kakinya tersentuh oleh buih air. "Dimana aku?""Sudah bangun? Lihatlah, sinar jingga menghiasi langit timur!"Sarita bangkit dari posisinya, dia berdiri menatap sinar jingga sambil merentangkan kedua lengannya. Dadanya terlihat naik perlahan menandakan sedang menghirup udara. Sagara ikut berdiri dan berjalan mengikis jarak, lalu dipeluknya tubuh Sarita dan berbisik, "Bagaimana dengan tawaranku semalam, Sayang?"Sagara meletakkan kepalanya pada ceruk lerer Sarita dan mulai menghidu aroma yang sudah membuatnya candu. Telapak tangan Sarita pun bergerak mengusap kepala Sagara. Wanita itu menyunggar surai rambut sang lelaki, kemudian menekannya lembut. Sarita merasa nyaman dengan setiap sentuhan Sagara, tetapi sisi hatinya yang lain masih enggan untuk menyambut cinta yang ditawarkan. "Akankah kau selalu ada untukku?" tanya Sarita lembut. Tidak ada jawaba
Di antaranya bukti keterlibatan Madam Anne atas kematian Alinsky Waluyo. Meskipun dari hasil pemeriksaan, Alinsky dinyatakan meninggal karena kecelakaan tunggal.Akan tetapi, pada fakta yang ditemukan, Alinsky meninggal karena luka parah yang dideritanya setelah kecelakaan yang dialaminya, dan yang lebih mengejutkan ternyata kecelakaan tersebut dipicu karena rem blong sebab tali rem mobil Alinsky telah dipotong. Tidak hanya itu saha, Madam Anne bahkan memerintahkan seseorang untuk membuat sebuah rekaman palsu yang menceritakan bahwa Alinsky pergi dari rumah Pradipta dengan seorang pria. Kemudian dengan segala tipu daya dan rayuan, Madam Anne pun mendekati Pradipta yang tengah terluka dan kehilangan Alinsky serta calon anak yang masih berada di kandungan Alinsky untuk selamanya. Pradipta yang merasa kecewa dengan sikap Alinsky pun perlahan mulai termakan omongan Madam Anne muda dan bersedia menikahi Madam Anne beberapa bulan setelah kepergian Alinsky yang tanpa kabar tersebut.Yang
Sarita terdiam, wanita itu menatap pada Sagara begitu juga sebaliknya. Hanya Alifian yang terlihat asyik sendiri tanpa beban. Kemudian dia beranjak meninggalkan kedua orang dewasa menuju ke teras rumah. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang guna memastikan apakah keduanya sudah berjalan. Namun, hingga kaki kecil sampai di ambang pintu kedua orang dewasa belum juga terlihat membuat Alifian berteriak memanggil bundanya. "Sebaiknya kita antar dulu putra kamu itu, Sari. Setelahnya baru ke butik bahas lebih lanjut," kata Sagara sambil meraih jemari Sarita dan menautkan pada jemarinya. Sarita terdiam mengikuti semua pergerakan Sagara wanita itu sama sekali tidak menolak ataupun menghindar. Hingga sampai di depan Alifian pun tautan jemari mereka tidak terlepas. "Masuklah bersama Alif di belakang, Sari!"Sarita segera masuk menyusul putranya dan duduk di samping Alifian. Pria kecil menatap bundanya sekilas lalu berpaling ke samping melihat jalanan yang mulai padat. Mobil berjalan perlaha
Tangan kanan Sagara mengepal erat, sebuah bogem mentah sudah hendak dihadiahkannya untuk Bagaskara. Namun, diurungkan karena ada jemari lentik yang menghentikan niatan tersebut. Sagara memalingkan wajah ke samping. Tampak pemilik jari tersebut menggelengkan kepala sambil menyuguhkan senyum lembut yang mampu melelehkan hatinya. Emosi Sagara seketika menguap begitu saja, sementara Bagaskara semakin merasa geram karena mantan istri malah memberikan senyum terbaik pada laki-laki selain dirinya. Gelap mata! Itu yang dirasakan Bagaskara saat ini. Penuh emosi, Bagas menarik bahu pria yang lima tahun lebih tua tersebut. Giginya gemeretuk, rahangnya mengencang, mata pun sudah memerah, dan detik berikutnya ... Bugh! Bagas meninju rahang Sagara yang langsung terhuyung. Sungguh beruntung, pengendalian keseimbangan pria itu cukup baik sehingga dia tidak sampai terjatuh hanya sedikit oleng saja. Sagara ingin membalas Bagas, tetapi Sarita dengan cepat menarik tangan Sagara. Sambil memberikan s
Aknat dan Bagas refleks saling bertukar pandang saat mendengar pertanyaan hakim ketua. Apa maksud hakim ketua dengan mempermainkan? Kenapa lelaki jelang senja itu bisa berkata demikian? Jangan-jangan .... Didorong oleh rasa penasaran, Aknat pun bermaksud kembali maju untuk memeriksa ulang apakah ada kesalahan yang tidak disengajanya saat menyerahkan bukti ketidakberesan Sarita sebagai ibu. Akan tetapi, baru saja mengangkat tubuhnya dari kursi, ketua majelis hakim yang terhormat sudah mengangkat tangan -- melarangnya untuk maju. Akhirnya, dengan penuh kebingungan, Aknat menuruti perintah ketua majelis sidang. Sambil bertanya-tanya, Aknat menatap hakim ketua dan Bagaskara bergantian. Pemuda itu bahkan hanya bisa mengedikkan bahu ketika Bagaskara menanyakan hal tersebut padanya. Ketua majelis hakim yang terhormat masih menatap Aknat dan Bagaskara dengan tatapan tajam penuh kemarahan. Pria yang sudah berprofesi menjadi hakim selama dua puluh tahun tersebut merasa terhina. "Apa maksud
Keesokkan paginya tidak jauh dari sebuah rumah mewah bercat putih, tampak sebuah city car berwarna hitam. Pengemudi city car tersebut tampak serius mengamati rumah mewah yang dijaga ketat oleh seorang petugas keamanan. "Aku harus bisa masuk ke rumah itu untuk mencari berkas-berkas penting yang mereka sebutkan kemarin. Hanya saja bagaimana ya caranya?"Pemuda tersebut memutar otaknya -- mencari cara agar dia bisa masuk ke dalam rumah mewah dan menjalankan misinya tanpa ketahuan oleh penghuni rumah. Dia pun memeriksa seluruh penjuru mobilnya. Elfrada mengobrak-abrik seluruh isi dashboard mobil dan menemukan dua buah benda yang diyakini bisa membantu meloloskan niatnya masuk ke dalam rumah target. Dengan keyakinan penuh, lelaki tersebut mempersiapkan diri. Setelah semua siap, dia kembali mengawasi rumah mewah yang hanya selisih dua rumah dari tempatnya. Beberapa menit kemudian, tampaklah sebuah mobil mewah dan elegan berwarna silver metalik keluar dari halaman rumah tersebut. Dengan
Pria muda berkaca mata hitam itu segera meluncur pergi dari depan rumah Bagaskara, dengan kecepatan tinggi pemuda tersebut memacu kendaraan roda empat yang dikemudikannya. Di tengah perjalanan pria itu menelepon seseorang, "Bos, tadi saya sempat mencuri dengar pembicaraan antara Bagaskara, istrinya, dan kedua pengacara mereka melalui sebuah penyadap. Saya mendengar mereka mempunyai sebuah bukti yang akan bisa dipakai menekan dan mengalahkan Nyonya Sarita di pengadilan.""Bukti apa dan siapa yang membawa bukti tersebut?" tanya lawan bicara pria muda yang ditugaskan menjadi kata-kata tersebut. "Saya masih belum mendapatkan informasi bukti seperti apa yang dimaksud, hanya saja saya tahu siapa yang sudah menyimpan bukti tersebut." Info pemuda tersebut sambil terus mengemudikan kendaraan roda empatnya. Sementara itu, di tempat lain lawan bicara pria muda tersebut tampak sedang memikirkan strategi apa yang akan diambilnya untuk menghancurkan Bagaskara dan istrinya, Ni Luh. Sosok tersebu
"Tenang, Tuan Bagas. Bersantailah sedikit, tidak perlu seemosi itu. Saya hanya bertanya saja pada Anda. Apakah Anda yakin dengan keinginan Anda mengenai hak asuh anak?" Ulang Aknat pada Bagaskara yang menatapnya lekat dan tajam."Apa perlu saya ulang jawaban saya agar Anda yakin pada apa yang menjadi keinginan saya?" Kini giliran Bagaskara membalik pertanyaan Aknat. Nada suaranya rendah dan dalam, terlihat sekali jika dia sedang menahan amarah pada pemuda yang duduk di samping Ni Luh.Mendengar jawaban Bagaskara yang begitu penuh kemarahan yang tertahan, Ni Luh mengerutkan dahinya. Wanita itu merasa sedikit aneh dengan sikap suaminya ketika mendengar pertanyaan Aknat.Ni Luh mengamati manik tegas suaminya lekat-lekat. Dia merasa penasaran dengan jawaban dan sikap Bagaskara selanjutnya. Sementara itu, sikap Aknat tampak berbanding terbalik dengan Bagaskara yang tampak begitu emosi.Pria matang yang dikenalkan dengan nama Arswendo merasa tidak enak melihat situasi yang mulai tidak kondu
Saat hendak menikmati madu alami pintu dibuka oleh pelayan dengan membawa makanan yang sesuai pesanan juga dua orang tamu. Bagas dan Ni Luh segera memperbaiki cara duduknya. "Silakan saja dilanjut, kami dengan sabar menunggu, Tuan dan Nyonya!" ujar Aknat pengacara pribadi Ni Luh. "Kau jangan bikin malu, Nat. Usiamu masih jauh," dengus Ni Luh. Aknat hanya mengulas senyum tipis, lalu mengambil duduk di depan Ni Luh sedangkan pria yang berusia matang ikut duduk di samping Aknat. Ni Luh menatap suaminya penuh tanya. Bagaskara tersenyum dan mempersilakan kedua tamunya untuk menyantap menu yang ada. Menu sederhana tetapi mewah. "Silakan makan, Tuan Berdua!""Apakah tidak lebih baik kita saling kenal dulu, Kak!" Pinta Ni Luh. "Saya Bagaskara sebagai suami dari Ibu Ni Luh Ayu. Ini pengacara saya, Bapak Arswendo!" ujar Bagaskara. Bagas mengenalkan diri dan pengacaranya pada pria muda di depan istrinya. Aknat yang sejak tadi terlihat santai segera menerima uluran tangan Bagas dengan itika