Setelah kejadian malam itu, Sarita menjadi gadis yang pendiam. Gadis itu terus menghindar agar tidak bertemu langsung dengan Bagaskara yang sekarang sedang menjadi dosennya. Baik di kampus maupun di rumah, Sarita selalu menghindar. Dia tidak ingin melihat wajah lelaki yang sulit untuk dia raih. Namun, berbeda dengan Bagaskara.
Pria muda matang dengan segala pesonanya makin mendekat dan selalu inginkan bercinta dengan Sarita. Suatu malam, Bagaskara menyelinap masuk ke kamar gadis itu. Tanpa bicara dia langsung berbaring di sisi kosong Sarita. Tangannya memeluk pinggang sang wanita sedangkan tapak tangan yang lain membekap mulut Sarita agar si gadis tidak berteriak."Tu-tuan!" ucap Sarita, "Jangan sentuh aku lagi, lihat dulu ini!" pinta Sarita.Iya, gadis itu tidak bodoh. Selama satu bulan ini dia selalu menghindari Bagaskara karena tidak ingin tubuhnya tersentuh lagi. Apalagi pagi ini dia sudah mengecek kesehatannya yang dia rasa ada perubahan pada beberapa titik di tubuhnya. Dan apa yang dia khawatirkan benar terjadi, Sarita hamil."Apa ini? Kau ... hamil, bagaimana mungkin?" kata Bagaskara sambil bangkit dam duduk di tepian ranjang."Tuan tahu saya hanya tidur dengan Anda, satu kali dan itu pertama juga terakhir. Sejak saat itu saya tidak pernah menggoda Anda satu kali pun," kata Sarita dengan nada tegas.Bagaskara menyunggar rambutnya yang sedikit panjang. Pria itu mendengus lirih. Lalu menarik tangan Sarita dan membawanya keluar dari rumah tersebut. Simbok Marni hanya diam menatap kepergian putrinya yang ditarik paksa oleh anak majikannya itu. Bagaskara membawa Sarita hingga ke rumah inti, lebih tepatnya di depan sebuah pintu megah bergagangkan emas. Kamar Madam Anne.Bagaskara mengetuk kamar bundanya berulang kali, bahkan terdengar tidak sabar ingin segera berbicara dengan sang bunda. Setelah ketukan yang ke tiga kali baru pintu terbuka dan menampilkan sosok Madam Anne yang seram. Tatapan tajam menusuk, sepertinya dia merasa terganggu akan ketukan pintu. Namun, setelah melihat wajah putranya seketika wajah itu melunak."Ada apa, Bagas?" tanya Anne."Aku ingin bertanggung jawab atas hamilnya Sarita, Bunda!" kata Bagaskara.Anne terdiam, pikirannya yang masih terbawa mimpi menepuk kedua pipinya silih berganti. Apa yang dia dengar membuatnya tidak percaya. Mana ada seorang anak pembantu telah berhasil memperdaya putranya yang selama ini menjadi casanova. Anne menggelengkan kepala."Apa maksud kamu, Sarita?" tanya Madam Anne."Maafkan saya, Madam. Saya hamil!" kata Sarita."Kau jebak putraku agar menikahimu untuk menaikkan derajatmu. Benar 'Kan?" tekan Madam Anne."Tidak Bunda, kami saling Cinta!" jawab Bagas."Cuih, Cinta?!"Anne kembali diam, wanita itu menatap tajam kedua anak menusia yang sudah dewasa. Putranya yang baru saja mengalami perceraian beberapa bulan yang lalu kini sudah berhasil menghamili wanita. Apakah ini artinya menantunya yang dulu itu mandul? Semua diluar dugaan, justru disaat dia inginkan seorang cucu malah hadir dari rahim keturunan pembantu. Anne tidak terima, tetapi semua sudah jelas.Anne memgeram kecewa, tetapi semua sudah terlanjur. Dengan berat hati wanita itu pun melangkah ke ruang keluarga, mencari tempat yang lapang. Bagaskara masih menggenggam jemari Sarita dan berjalan mengikuti langkah bundanya."Bukankah Bunda inginkan penerusku sejak lama, kini aku dapatkan. Sekarang restui pernikahan kami!" pinta Bagaskara tegas."Ini adalah anak haram, Bagas, dan kau tahu hukuman di keluarga kita untuk pezina sepeerti kalian!" kata Anne tegas. "Marni, bawa cambuk itu!" teriak Anne.Marni sejak putrinya ditarik oleh Bagaskara tadi dia mengikuti dari belakang dan mengintip putrinya, ketika mendengar teriakan permintaan majikannya maka dia pun gegas berbalik badan dan berjalan ke gudang. Setelah mengambil apa yang diminta oleh majikannya, dia pun kembali ke ruang keluarga masih dengan derai air mata."Ini cambuk itu, Madam!" kata Marni saat menyodorkan cambuk tersebut.Anne menerima cambuk leluhurnya itu, dia menggerakkan dengan tenaga penuh. Terdenhar suara ujung cambuk yang menyentuh lantai. Suaranya membuat hati wanita bagai teriris pisau tajam, perih. Sarita bergidik ngeri membayangkan jika punggungnya terpecut hingga 100 kali cemeti."Tuhan, tolong-lah hamba!" batin Sarita.Tubuh Sarita bergetar, sangat terlihat jika jemarinya saling bertaut untuk menetralkan kegelisahan hatinya. Bagaskara meraih jemari wanitanya dengan berbisik lirih, "Tenanglah, jangan khawatir!"Madam Anne berjalan memutari tubuh kedua anak manusia yang masih berdiri tegak di depannya. Terlihat tubuh Sarita bergetar, hal ini membuat senyum penuh misteri terukir di bibir tipis wanita keturunan Turki. Otak wanita itu berputar memikirkan cara agar keduanya bisa berpisah setelah keturunan putranya lahir."Baik, aku luluskan keinginanmu, Bagas. Tapi ada syaratnya. Apa kalian siap?" tanya Anne."Apapun itu, kami harus siap, Bunda!""Baik, sekarang tengkurap di sofa. Terima hukuman cambuk masing-masing 80X!" kata Anne dengan nada datar.Sarita pun menurut, gadis itu segera melakukan apa yang dikatakan oleh Anne. Wanita keturunan Turki tanpa hijab itu pun segera menggerak cemetinya dan memukul tepat pada punggung Sarita sebanyak sepuluh kali, lalu berganti pada punggung putranya sendiri. Anne memang terkenal adil dan tegas, tetapi terkadang juga julid.Dia tidak memedulikan nasib kaum sudra, apalagi sekedar pembantu. Anne hanya memukul cambuknya pada sang putra sebanyak sepuluh kali, sedangkan pada Sarita dia memukulnya hampir 50 X. Itu pun tidak ada niat untuk berhenti jika bukan teriakan henti dari sang putra."Kau! Aish, urus wanitamu dan suruh si Marni siapkan arsip anaknya kalian nikah malam ini juga!" kata Anne dengan nada tegas dan kasar.Bagaskara segera menghampiri tubuh wanitanya, direngkuhnya kedua bahu Sarita lalu ditarik agar bisa berdiri. Dengan lembut dipapahnya tubuh itu menuju ke kamar pribadinya. Sarita hanya diam saja mengikuti apa yang dilakukan oleh Bagaskara, dia tidak ingin berontak. Hingga sampai di dalam didudukkan gadis itu di tepian ranjang."Maafkan aku, semua gara-gara aku tidak bisa menahan hasrat hingga kau dapatkan nista seperti ini!" lirih Bagaskara sambil membuka perlahan pakaian atas Sarita.Tampak luka lebam dan memerah akibat cambuk, ada aliran darah di antara luka tersebut. Bagaskara pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke kotak obat yang diletakkan pada sudut kamar. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan maka dia pun kembali dan duduk memulai mengoleskan salep.Setelah semua luka tertutup oleh salep, Bagaskara pun bangkit lagi. Kali ini dia menuju ke sebuah almari untuk mengambil sesuatu. Dia sudah mendapatkan barang tersebut, sebuah paper bag berwarna hitam diserahkan pada Sarita."Pakai ini saat ijab nanti!" kata Bagaskara."Apa harus sekarang, Mas?" tanya Sarita.Bagaskara termangu mendengar Sarita memanggilnya dengan sebutan Mas. Sungguh tidak dia kira, suara gadis tersebut sangat merdu begitu menyuarakan kata mas. Hingga dia inginkan lagi dan lagi. Sarita menunduk malu."Segera kamu pakai!""Di sini, Mas?" tanya Sarita polos."Iya, mau di mana lagi. Cepat, sebelum bundaku teriak!"Sarita pun mulai melepas pakaian miliknya yang tersisa. Pandangan Bagaskara tidak bisa berpaling. Tubuh wanitanya lebih indah dari malam kemarin. Dia tidak menyangka akan keindahan ini, apalagi setelah gaun itu lengkap dipakai oleh Sarita."Cantik! Ayo segera kita ke depan!" ajak Bagaskara.Keduanya pun berjalan ke ruang kerja Madam Anne, di sana sudah berkumpul semua penghuni mansion tanpa kecuali bahkan ada seorang ustad yang akan menjadi naib nya. Tampak Simbok berdiri dengan map yang dia dekap erat, seakan tidak mau sesuatu terjadi dengan map tersebut."Maaf, apakah semua sudah siap? Benar inginkan nikah siri saja?" tanya Pak Ustad."Nikah siri ini secara hukum agama sah, tetapi rentan dan merugikan pihak wanita. Apakah tidak lebih baik langsung secara dua hukum yaitu agama dan negara?" tanya Pak Ustad lagi."Lakukan saja apa yang aku inginkah, Pak Ustad. Jangan mempersulit!" kata Anne dengan nada tinggi.Pak Amir selaku ustad di kampung itu pun akhirnya memulai acaranya. Dia meminta berkas yang resmi secara hukum negara. Kedua belah pihak sudah mengumpulkan berkas dan dijadikan satu di atas meja depannya. Tangannya membuka berkas tersebut dengan bergetar. Kedua bola matanya membulat dan mengerjab, lalu menatap pada manik mata Sarita."Apakah ini semua benar, kau terlahir tanpa nasab? Jika boleh saya tahu di mana ayah kandungmu?" tanya Pak Amir.Anne membulatkan kedua matanya, dia tidak percaya akan pendengarannya. Seorang wanita tua yang begitu baik ternyata memiliki seorang anak tanpa nasab. Dulu, wanita itu sempat pulang le kampung karena suatu alasan dan kembali dengan membawa bayi perempuan. Rupanya ini yang disembunyikan. Anne menggeleng keras."Mati!" jawab Mbok Marni datar."Tanpa nasab, bagaimana nikahnya dan siapa walinya?" Anne bertanya dengan nada kecewa."Bisa diwalikan denga
"Aneh!" "Sarita!" teriak Anne memanggil nama gadis itu.Sarita gegas berlari menuju ke asal suara. Dia termangu menatap kehadiran pria paruh baya yang masih terlihat gagah dan tegap. Anne mempersilakan tamunya untuk masuk ke ruang kerja. Lalu menyuruh Sarita untuk menyiapkan minuman dan cemilah ringan agar dibawa ke ruang kerjanya. Sarita pun segera melangkah meninggalkan keduanya. Dia langsung menuju ke dapur menyiapkan apa yang diperintah oleh Anne. Setelah semua tersedia di nampan, maka gegas dibawa ke ruang kerja Anne. Tanpa mengetuk pintu, Sarita langsung masuk. Pakaian atas yang basah akibat keringat juga masih menyisakan bulir keringat pada leher jenjangnya membuat si tamu menelan salivanya."Bagaimana tawaranku semalam, Anne?" tanya pria itu. "Apakah dia yang pernah kamu tawarkan? Jika iya siapkan saja nanti malam," lanjut tamu itu.Pandangan pria itu tidak lepas dari sosok wanita muda yang terlihat buncit perutnya. Seulas senyum terukir di bibir sang pria, ekor matanya memb
Bagaskara masih saja meluapkan emosinya hingga suara lembut memanggilnya."Mas!" Tangan lembut Sarita terulur menyentuh lengan suaminya, "Aku bisa jelaskan semua, percayalah!" lanjut Sarita."Apa yang ingin kau jelaskan? Semua sudah terlihat jelas," kata Bagaskara."Aku dijebak, dan yang menjebak adalah Madam Anne. Aku harap Mas bisa mengerti posisiku," ungkap Sarita.Bagaskara berbalik badan menghadap istrinya, dia mengkerutkan dahi. Tampak gesturnya menolak apa yang dijelaskan oleh Sarita. Lelaki itu tidak percaya akan semua penjelasan Sarita. Baginya apa yang terlihat di depan mata adalah nyata dan istrinya terlihat begitu menikmati sentuhan pria itu. Bagaskara berjalan mengitari tubuh Sarita, dilihatnya dari ujung kepala hingga kaki. Tangan kanannya terulur menyibak helai rambut sang istri. Kedua bola matanya membulat kala melihat adanya kismark. Kedua tangannya mengepal. Bagaskara seketika berbalik badan dan pergi tanpa suara.Setelah kepergian mereka berdua, pintu lain mulai te
Sarita keluar dari mansion aneh milik Madam Anne, kakinya berjalan tanpa arah. Dua hari dua malam wanita muda itu terus menyusuri trotoar tanpa tujuan. Hingga di hari ketiga perutnya berbunyi cukup nyaring."Akhirnya rasa lapar itu datang juga!" gumam Sarita. Pandangannya menyapu alam sekitar, rupanya kaki jenjang itu sudah membawa raganya pada sebuah taman yang terdapat air mancur. Gegas Sarita berjalan menuju kolam berhias air mancur. Ditengadahkan kedua tapak tangannya pada kucuran air mancur, lalu direguknya dengan puas. Setelah beberapa teguk, ditengadahkan lagi kedua tapak tangannya. Kali ini tidak untuk di teguk, melainkan untuk membasuh mukanya yang terasa tebal oleh debu dan asap kendaraan."Ough, segar. Rasanya aku ingin makan buah yang segar. Nah, di sana ada yang jual buah irisan." Sarita pun melangkah menuju ke penjual buah tersebut. Dia membeli beberapa buah iris dari uang mahar nikahnya yang sejumlah lima ratus ribu. Berbekal uang itu, Sarita meninggalkan mansion. Se
Cukup lama Sarita pingsan, jam sepuluh pagi saat sinar mentari masuk dalam kamar melalui jendela yang terbuka tirainya. Perlahan tubuh Sarita menggeliat, kedua matanya membuka. Pandangannya menyapu ruangan yang berwarna biru laut. Warna yang sudah lama dia dambakan sejak masih kecil. Tapak tangannya meraba hamparan sprei biru langit berhias gemerlap bintang, kemudian pandangannya beralih pada selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Seketika dibuka selimut tersebut, lalu Sarita bangkit dari tidurnya. "Ini ... Kamar siapa? Nuansanya sangat indah," gumam Sarita.Kemudian kakinya mulai bergerak memutari keseluruhan isi kamar tersebut. Bibirnya sesekali berdecak kagum akan semua yang ada di kamar itu. Bagai bulan yang jatuh di pangkuan, semua yang pernah muncul di mimpinya kini nyata ada di depan mata. "Selamat pagi, Nona. Sudah lamakah Anda bangun?" tanya wanita muta dengan name tag Aulia."Pagi, saya ada di mana?" "Ini mansion Tulip milik keluarga Waluyo," jawab Aulia, "Saya yang a
"Aku sendiri tidak tahu cerita mengenai liontin itu. Yang pasti benda itu sudah melingkar di leherku sejak aku bayi. Itu keterangan yang kudapatkan dari simbok," jawab Sarita." Aku Sagara Arnold Waluyo, tunggu satu minggu hasil tes dna. Sementara satu minggu ini kamu bisa lakukan apa saja sesuka hatimu," papar Sagara."Apa yang harus aku lakukan, pertama bagaimana caraku memanggilmu, Tuan?" tanya Sarita dengan nada bingung."Cukup panggil aku Saga. Jika hasil dna itu cocok baru kita bahas selanjutnya."Setelah berucap, ujung jari Sagara pun menekan lagi tombol merah. Pintu terbuka dan menampilkan wajah Aulia. Gadis itu berjalan mendekat pada Sarita dan mengajak perempuan itu untuk keluar. "Permisi Tuan Muda!" pamit Aulia sambil membungkukkan badannya.Sarita yang tidak mengerti tata cara keluarga tersebut hanya diam. Dia langsung berjalan keluar dari ruang kerja dan menunggu Aulia di luar, berdiri di samping pintu. Aulia pun keluar sambil menutup pintu dengan gerak pelan."Mari ikut
Sarita terdiam, matanya menatap deretan huruf yang menyatakan kecocokan 100%. Wanita itu menatap pada pria di depannya, lalu mengangguk."Bagaimana langkah kamu selanjutnya, Sarita?" tanya Sagara."Aku ingin lahiran lebih dulu, kemudian perbaiki sikapku untuk membalas semua ini!" "Bagus. Apa perlu kamu pegang salah satu perusahaan milik Bibi Alinsky? Kebetulan ada butik juga, mungkin pas buat lancarkan rencana kamu," ungkap Sagara.Sarita terdiam. Dia belum berfikir ke sana. Yang jelas wanita itu inginkan lahiran dengan selamat, untuk pertama itu yang terlintas di otaknya. Mengenai kuliahnya hanya nunggu proses wisuda."Boleh aku bertanya, bukan, lebih tepatnya meminta bantuanmu, Saga!""Hemm!""Dua minggu lagi aku wisuda, di sana ada pria itu sebagai pendamping dekan. Aku ingin tidak datang, tolong ambilkan ijazahku. Bisakah?" tanya Sarita dengan nada rendah."Jika soal itu tidak masalah bagiku. Jangan khawatir, semua pasti akan beres.""Baiklah, aku lelah dengan kabar mendadak ini.
Sarita menuriti langkah putranya meninggalkan wanita bersama putrinya yang cantik itu. Tanpa Sarita tahu, Sagara telah melihat dan mendengar semua kalimat perempuan itu. Dahinya mengernyit, seakan dia pernah melihat wajah perempuan tersebut."Paman!" teriak Alifian saat dilihatnya Sagara berdiri dengan bersedekap dan bersandar pada badan mobil. Alifian pun berjalan cepat cenderung berlari menuju ke Sagara, dia segera memeluk kaki panjang pria tersebut. Sagara membungkuk dan meraih tubuh mungil ponakannya itu."Hai jagoan om, apa kabar?" tanya Sagara sambil berjalan menujubke sisi mobil yang lain untuk membukakan pintu Sarita. "Silakan masuk, Mama!" kata Alifian."Hehe, terima kasih, Sayang!" balas Sarita. Kemudian Sagara membukakan pintu lainnya untuk Alifian. "Masuk dan duduk yang baik!""Siap, Paman!"Sagara tersenyum, lalu berjalan memutar menuju ke kursi kemudi. Ekor matanya sempat melihat wajah kaget wanita yang menghina Sarita tadi. Senyum tipis bahkan hampir tidak terlihat t
Sarita terbangun masih dalam pelukan Sagara, bahkan sinar mentari pagi sudah menyapa lembut kulitnya. Dia sedikit terkejut saat ujung kakinya tersentuh oleh buih air. "Dimana aku?""Sudah bangun? Lihatlah, sinar jingga menghiasi langit timur!"Sarita bangkit dari posisinya, dia berdiri menatap sinar jingga sambil merentangkan kedua lengannya. Dadanya terlihat naik perlahan menandakan sedang menghirup udara. Sagara ikut berdiri dan berjalan mengikis jarak, lalu dipeluknya tubuh Sarita dan berbisik, "Bagaimana dengan tawaranku semalam, Sayang?"Sagara meletakkan kepalanya pada ceruk lerer Sarita dan mulai menghidu aroma yang sudah membuatnya candu. Telapak tangan Sarita pun bergerak mengusap kepala Sagara. Wanita itu menyunggar surai rambut sang lelaki, kemudian menekannya lembut. Sarita merasa nyaman dengan setiap sentuhan Sagara, tetapi sisi hatinya yang lain masih enggan untuk menyambut cinta yang ditawarkan. "Akankah kau selalu ada untukku?" tanya Sarita lembut. Tidak ada jawaba
Di antaranya bukti keterlibatan Madam Anne atas kematian Alinsky Waluyo. Meskipun dari hasil pemeriksaan, Alinsky dinyatakan meninggal karena kecelakaan tunggal.Akan tetapi, pada fakta yang ditemukan, Alinsky meninggal karena luka parah yang dideritanya setelah kecelakaan yang dialaminya, dan yang lebih mengejutkan ternyata kecelakaan tersebut dipicu karena rem blong sebab tali rem mobil Alinsky telah dipotong. Tidak hanya itu saha, Madam Anne bahkan memerintahkan seseorang untuk membuat sebuah rekaman palsu yang menceritakan bahwa Alinsky pergi dari rumah Pradipta dengan seorang pria. Kemudian dengan segala tipu daya dan rayuan, Madam Anne pun mendekati Pradipta yang tengah terluka dan kehilangan Alinsky serta calon anak yang masih berada di kandungan Alinsky untuk selamanya. Pradipta yang merasa kecewa dengan sikap Alinsky pun perlahan mulai termakan omongan Madam Anne muda dan bersedia menikahi Madam Anne beberapa bulan setelah kepergian Alinsky yang tanpa kabar tersebut.Yang
Sarita terdiam, wanita itu menatap pada Sagara begitu juga sebaliknya. Hanya Alifian yang terlihat asyik sendiri tanpa beban. Kemudian dia beranjak meninggalkan kedua orang dewasa menuju ke teras rumah. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang guna memastikan apakah keduanya sudah berjalan. Namun, hingga kaki kecil sampai di ambang pintu kedua orang dewasa belum juga terlihat membuat Alifian berteriak memanggil bundanya. "Sebaiknya kita antar dulu putra kamu itu, Sari. Setelahnya baru ke butik bahas lebih lanjut," kata Sagara sambil meraih jemari Sarita dan menautkan pada jemarinya. Sarita terdiam mengikuti semua pergerakan Sagara wanita itu sama sekali tidak menolak ataupun menghindar. Hingga sampai di depan Alifian pun tautan jemari mereka tidak terlepas. "Masuklah bersama Alif di belakang, Sari!"Sarita segera masuk menyusul putranya dan duduk di samping Alifian. Pria kecil menatap bundanya sekilas lalu berpaling ke samping melihat jalanan yang mulai padat. Mobil berjalan perlaha
Tangan kanan Sagara mengepal erat, sebuah bogem mentah sudah hendak dihadiahkannya untuk Bagaskara. Namun, diurungkan karena ada jemari lentik yang menghentikan niatan tersebut. Sagara memalingkan wajah ke samping. Tampak pemilik jari tersebut menggelengkan kepala sambil menyuguhkan senyum lembut yang mampu melelehkan hatinya. Emosi Sagara seketika menguap begitu saja, sementara Bagaskara semakin merasa geram karena mantan istri malah memberikan senyum terbaik pada laki-laki selain dirinya. Gelap mata! Itu yang dirasakan Bagaskara saat ini. Penuh emosi, Bagas menarik bahu pria yang lima tahun lebih tua tersebut. Giginya gemeretuk, rahangnya mengencang, mata pun sudah memerah, dan detik berikutnya ... Bugh! Bagas meninju rahang Sagara yang langsung terhuyung. Sungguh beruntung, pengendalian keseimbangan pria itu cukup baik sehingga dia tidak sampai terjatuh hanya sedikit oleng saja. Sagara ingin membalas Bagas, tetapi Sarita dengan cepat menarik tangan Sagara. Sambil memberikan s
Aknat dan Bagas refleks saling bertukar pandang saat mendengar pertanyaan hakim ketua. Apa maksud hakim ketua dengan mempermainkan? Kenapa lelaki jelang senja itu bisa berkata demikian? Jangan-jangan .... Didorong oleh rasa penasaran, Aknat pun bermaksud kembali maju untuk memeriksa ulang apakah ada kesalahan yang tidak disengajanya saat menyerahkan bukti ketidakberesan Sarita sebagai ibu. Akan tetapi, baru saja mengangkat tubuhnya dari kursi, ketua majelis hakim yang terhormat sudah mengangkat tangan -- melarangnya untuk maju. Akhirnya, dengan penuh kebingungan, Aknat menuruti perintah ketua majelis sidang. Sambil bertanya-tanya, Aknat menatap hakim ketua dan Bagaskara bergantian. Pemuda itu bahkan hanya bisa mengedikkan bahu ketika Bagaskara menanyakan hal tersebut padanya. Ketua majelis hakim yang terhormat masih menatap Aknat dan Bagaskara dengan tatapan tajam penuh kemarahan. Pria yang sudah berprofesi menjadi hakim selama dua puluh tahun tersebut merasa terhina. "Apa maksud
Keesokkan paginya tidak jauh dari sebuah rumah mewah bercat putih, tampak sebuah city car berwarna hitam. Pengemudi city car tersebut tampak serius mengamati rumah mewah yang dijaga ketat oleh seorang petugas keamanan. "Aku harus bisa masuk ke rumah itu untuk mencari berkas-berkas penting yang mereka sebutkan kemarin. Hanya saja bagaimana ya caranya?"Pemuda tersebut memutar otaknya -- mencari cara agar dia bisa masuk ke dalam rumah mewah dan menjalankan misinya tanpa ketahuan oleh penghuni rumah. Dia pun memeriksa seluruh penjuru mobilnya. Elfrada mengobrak-abrik seluruh isi dashboard mobil dan menemukan dua buah benda yang diyakini bisa membantu meloloskan niatnya masuk ke dalam rumah target. Dengan keyakinan penuh, lelaki tersebut mempersiapkan diri. Setelah semua siap, dia kembali mengawasi rumah mewah yang hanya selisih dua rumah dari tempatnya. Beberapa menit kemudian, tampaklah sebuah mobil mewah dan elegan berwarna silver metalik keluar dari halaman rumah tersebut. Dengan
Pria muda berkaca mata hitam itu segera meluncur pergi dari depan rumah Bagaskara, dengan kecepatan tinggi pemuda tersebut memacu kendaraan roda empat yang dikemudikannya. Di tengah perjalanan pria itu menelepon seseorang, "Bos, tadi saya sempat mencuri dengar pembicaraan antara Bagaskara, istrinya, dan kedua pengacara mereka melalui sebuah penyadap. Saya mendengar mereka mempunyai sebuah bukti yang akan bisa dipakai menekan dan mengalahkan Nyonya Sarita di pengadilan.""Bukti apa dan siapa yang membawa bukti tersebut?" tanya lawan bicara pria muda yang ditugaskan menjadi kata-kata tersebut. "Saya masih belum mendapatkan informasi bukti seperti apa yang dimaksud, hanya saja saya tahu siapa yang sudah menyimpan bukti tersebut." Info pemuda tersebut sambil terus mengemudikan kendaraan roda empatnya. Sementara itu, di tempat lain lawan bicara pria muda tersebut tampak sedang memikirkan strategi apa yang akan diambilnya untuk menghancurkan Bagaskara dan istrinya, Ni Luh. Sosok tersebu
"Tenang, Tuan Bagas. Bersantailah sedikit, tidak perlu seemosi itu. Saya hanya bertanya saja pada Anda. Apakah Anda yakin dengan keinginan Anda mengenai hak asuh anak?" Ulang Aknat pada Bagaskara yang menatapnya lekat dan tajam."Apa perlu saya ulang jawaban saya agar Anda yakin pada apa yang menjadi keinginan saya?" Kini giliran Bagaskara membalik pertanyaan Aknat. Nada suaranya rendah dan dalam, terlihat sekali jika dia sedang menahan amarah pada pemuda yang duduk di samping Ni Luh.Mendengar jawaban Bagaskara yang begitu penuh kemarahan yang tertahan, Ni Luh mengerutkan dahinya. Wanita itu merasa sedikit aneh dengan sikap suaminya ketika mendengar pertanyaan Aknat.Ni Luh mengamati manik tegas suaminya lekat-lekat. Dia merasa penasaran dengan jawaban dan sikap Bagaskara selanjutnya. Sementara itu, sikap Aknat tampak berbanding terbalik dengan Bagaskara yang tampak begitu emosi.Pria matang yang dikenalkan dengan nama Arswendo merasa tidak enak melihat situasi yang mulai tidak kondu
Saat hendak menikmati madu alami pintu dibuka oleh pelayan dengan membawa makanan yang sesuai pesanan juga dua orang tamu. Bagas dan Ni Luh segera memperbaiki cara duduknya. "Silakan saja dilanjut, kami dengan sabar menunggu, Tuan dan Nyonya!" ujar Aknat pengacara pribadi Ni Luh. "Kau jangan bikin malu, Nat. Usiamu masih jauh," dengus Ni Luh. Aknat hanya mengulas senyum tipis, lalu mengambil duduk di depan Ni Luh sedangkan pria yang berusia matang ikut duduk di samping Aknat. Ni Luh menatap suaminya penuh tanya. Bagaskara tersenyum dan mempersilakan kedua tamunya untuk menyantap menu yang ada. Menu sederhana tetapi mewah. "Silakan makan, Tuan Berdua!""Apakah tidak lebih baik kita saling kenal dulu, Kak!" Pinta Ni Luh. "Saya Bagaskara sebagai suami dari Ibu Ni Luh Ayu. Ini pengacara saya, Bapak Arswendo!" ujar Bagaskara. Bagas mengenalkan diri dan pengacaranya pada pria muda di depan istrinya. Aknat yang sejak tadi terlihat santai segera menerima uluran tangan Bagas dengan itika