"Lakukan saja apa yang aku inginkah, Pak Ustad. Jangan mempersulit!" kata Anne dengan nada tinggi.
Pak Amir selaku ustad di kampung itu pun akhirnya memulai acaranya. Dia meminta berkas yang resmi secara hukum negara. Kedua belah pihak sudah mengumpulkan berkas dan dijadikan satu di atas meja depannya. Tangannya membuka berkas tersebut dengan bergetar. Kedua bola matanya membulat dan mengerjab, lalu menatap pada manik mata Sarita."Apakah ini semua benar, kau terlahir tanpa nasab? Jika boleh saya tahu di mana ayah kandungmu?" tanya Pak Amir.Anne membulatkan kedua matanya, dia tidak percaya akan pendengarannya. Seorang wanita tua yang begitu baik ternyata memiliki seorang anak tanpa nasab. Dulu, wanita itu sempat pulang le kampung karena suatu alasan dan kembali dengan membawa bayi perempuan. Rupanya ini yang disembunyikan. Anne menggeleng keras."Mati!" jawab Mbok Marni datar."Tanpa nasab, bagaimana nikahnya dan siapa walinya?" Anne bertanya dengan nada kecewa."Bisa diwalikan dengan saya, bukankah ini hanya nikah agama?""Iya, cukup nikah agama sampai anak itu lahir. Setelahnya biar nanti dipikir ulang!" jawab Anne datar.Semua mata memandang pada wanita tua itu, sedangkan Sarita hanya menunduk dalam. Dia sama sekali tidak ingin menunjukkan kesedihannya sebagai wanita tanpa nasab. Lalu sebuah tangan kekar meraih jemarinya dan menggenggam erat tanpa berniat melepaskan. Dengan lantang diucapkan janji ijab qobul yang sesuai syariat agamanya.Setelah melalui berdebatan yang panjang, akhirnya Bagaskara harus menyetujui inginnya bunda. Dia harus puas dengan nikah secara agama. Semua dikarenakan status sosial Sarita dan seorang gafis yang sudah diinginkan oleh Anne. Maka acara ijab qobul pun dimulai."Saya terima nikah dan kawainnya Sarita binti Marni dengan mas kawin uang tunai sebesar lima ratus ribu dibayar tunai!"Sang ustad menarik napas panjang atas ucapan ijab yang dilakukan oleh Bagaskara tanpa dia pimpin lebih dulu. Bagaskara tidak mau dituduh mempermainkan hak wanita meski dia tanpa nasab. Dengan berat hati, sang ustad pun bertanya pada para saksi yang hadir saat itu."Bagaimana para saksi? Sah kah?" tanya sang ustad.Semua yang hadir langsung menjawab sah, mereka tidak berani berkata lain. Sebab ada pandangan tajam dari Bagaskara yang mengintimidasi mereka. Yang hadir saat itu bukan orang luar mansion, melainkan seluruh pelayan yang dihias sedemikian rupa agar terlihat orang luar dan anehnya penyamaran mereka sukses mengelabuhi penglihatan sang ustad.Ada kecurigaan yang terlihat di mata ustad tersebut, tetapi dia tidak ingin memperpanjang urusannya dengan Madam Anne yang terkenal kejam dan sadis itu. Dia lebih memilih keselamatan keuarga dan anak santrinya. Biar dosa ini dia tanggung sendiri asal para santrinya aman. Setelah prosesi nikah siri berhasil hingga usai, ustad tersebut pamit undur diri."Terima kasih, Ustad. Semoga selamat sampai rumah!" kata Mbok Marni."Semoga saja, Mbok. Jaga putrinya sebisa mungkin!" pesan ustad tersebut.Akhirnya sang ustad pun mulai melajukan kendaraannya meninggalkan rumah penuh misteri tersebut. Mbok Marni pun segera masuk kembali ke dalam. Dia segera bebenah apa yang sudah terjadi dan membereskan semua alat yang telah dipakai.Sementara dikamar Bagaskara, terlihat Sarita duduk di tepian ranjang. Pria yang baru saja menjadi suaminya hanya duduk di sofa menatap wajahnya tanpa kedip. Hal itu membuat Sarita salah tingkah."Jangan kira aku menikahimu karena cinta, Gadis Udik. Aku hanya inginkan keturunanku saja!" kata Bagaskara dengan nada datar.Sarita segera membuang pikiran baiknya akan niat anak majikannya itu. Lalu dia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu keluar. Belum sampai kakinya mencapai pintu terdengar kalimat henti dari Bagaskara."Jangan keluar kamar sebelum waktunya, kau sudah menjadi istriku!" kata Bagaskara."Aku hanya ingin memgambil pakaian gantiku, Mas. Tidak lebih," jawab Sarita."Baik, segera dan jangan pakai lama. Aku tidak suka!"Sarita tidak menjawab apa yang dikatakan oleh suami yang beberapa waktu lalu mengikrarkan janji suci untuknya. Setelah kepergian istrinya, Bagaskara duduk terpekur menatap layar laptopnya, tetapi pikirannya melayang menerawang jauh. Mengingat sosok mantan istrinya yang telah pergi bersama pria lain dan menuduhnya sebagai pria mandul.Kini dia bisa mengangkat kepalanya, dia sudah membuktikan pada dunia bahwa dia mampu mencetak anak melalui rahim anak pembantu."Tunggu anak pembantu, apa kata dunia? Bagaskara pembisnis muda punya keturunan dari pembantu. Sial, sial!" decak Bagaskara. "Tidak apa, mungkin akan aku pertahankan lebih dulu hingga anak itu lahir, lalu kuceraikan dia. Bagus!" gumam Bagaskara sambil mulai menggerakkan jari jemarinya.Hari terus berlalu, Sarita pun masih meneruskan kuliahnya yang tinggal menunggu keputusan sidang hasil skripsinya. Perut wanita itu kini sudah terlihat membuncit karena usia kandungannya memasuki minggu ke 12. Sarita masih melakukan pekerjaan berat di mansion, Anne tidak memedulikan keadaan sang menantu. Dia masih saja menyuruh Sarita untuk mengangkat barang belanjaannya."Bawa beras ini ke gudang, Sarita!" perintah Anne."Baik, Bunda!" jawab Sarita."Bunda, hai! Panggil aku Madam, Ma-dam!" hardik Anne."Baik, Madam!" jawab Sarita dengan nada datar.Wanita muda itu pun segera mengangkat karung beras yang berisi 25 kg ke dalam gudang. Semua pekerja yang lain tidak berani membantu pekerjaan Sarita, bukan karena meraka tidak berempati tetapi lebih pada rasa takut akibat ancaman phk dari majikannya itu. Sarita sudah paham akan tekanan majikannya mengenai statusnya, maka perempuan itu tidak marah pada pekerja yang lain.Dengan bersusah wanita muda itu menarik karung beras tersebut hingga masuk ke gudang. Setelah sampai, dia istirahat sesaat mengelap dahinya yang berkeringat. Lalu dia pun menerima botol air minum dari uluran tangan seorang pekerja pria dari balik jendela."Terima kasih, Kang!" kata Sarita.Tidak ada jawaban dari balik jendela, Sarita pun melongokkan kepalanya hanya ingin melihat siapa yang telah memberinya botol air minum. Namun, tidak ada. Tidak ada sosok pria yang berdiri di balik jendela kamarnya."Aneh!" "Sarita!" teriak Anne memanggil nama gadis itu.Sarita gegas berlari menuju ke asal suara. Dia termangu menatap kehadiran pria paruh baya yang masih terlihat gagah dan tegap. Anne mempersilakan tamunya untuk masuk ke ruang kerja. Lalu menyuruh Sarita untuk menyiapkan minuman dan cemilah ringan agar dibawa ke ruang kerjanya. Sarita pun segera melangkah meninggalkan keduanya. Dia langsung menuju ke dapur menyiapkan apa yang diperintah oleh Anne. Setelah semua tersedia di nampan, maka gegas dibawa ke ruang kerja Anne. Tanpa mengetuk pintu, Sarita langsung masuk. Pakaian atas yang basah akibat keringat juga masih menyisakan bulir keringat pada leher jenjangnya membuat si tamu menelan salivanya."Bagaimana tawaranku semalam, Anne?" tanya pria itu. "Apakah dia yang pernah kamu tawarkan? Jika iya siapkan saja nanti malam," lanjut tamu itu.Pandangan pria itu tidak lepas dari sosok wanita muda yang terlihat buncit perutnya. Seulas senyum terukir di bibir sang pria, ekor matanya memb
Bagaskara masih saja meluapkan emosinya hingga suara lembut memanggilnya."Mas!" Tangan lembut Sarita terulur menyentuh lengan suaminya, "Aku bisa jelaskan semua, percayalah!" lanjut Sarita."Apa yang ingin kau jelaskan? Semua sudah terlihat jelas," kata Bagaskara."Aku dijebak, dan yang menjebak adalah Madam Anne. Aku harap Mas bisa mengerti posisiku," ungkap Sarita.Bagaskara berbalik badan menghadap istrinya, dia mengkerutkan dahi. Tampak gesturnya menolak apa yang dijelaskan oleh Sarita. Lelaki itu tidak percaya akan semua penjelasan Sarita. Baginya apa yang terlihat di depan mata adalah nyata dan istrinya terlihat begitu menikmati sentuhan pria itu. Bagaskara berjalan mengitari tubuh Sarita, dilihatnya dari ujung kepala hingga kaki. Tangan kanannya terulur menyibak helai rambut sang istri. Kedua bola matanya membulat kala melihat adanya kismark. Kedua tangannya mengepal. Bagaskara seketika berbalik badan dan pergi tanpa suara.Setelah kepergian mereka berdua, pintu lain mulai te
Sarita keluar dari mansion aneh milik Madam Anne, kakinya berjalan tanpa arah. Dua hari dua malam wanita muda itu terus menyusuri trotoar tanpa tujuan. Hingga di hari ketiga perutnya berbunyi cukup nyaring."Akhirnya rasa lapar itu datang juga!" gumam Sarita. Pandangannya menyapu alam sekitar, rupanya kaki jenjang itu sudah membawa raganya pada sebuah taman yang terdapat air mancur. Gegas Sarita berjalan menuju kolam berhias air mancur. Ditengadahkan kedua tapak tangannya pada kucuran air mancur, lalu direguknya dengan puas. Setelah beberapa teguk, ditengadahkan lagi kedua tapak tangannya. Kali ini tidak untuk di teguk, melainkan untuk membasuh mukanya yang terasa tebal oleh debu dan asap kendaraan."Ough, segar. Rasanya aku ingin makan buah yang segar. Nah, di sana ada yang jual buah irisan." Sarita pun melangkah menuju ke penjual buah tersebut. Dia membeli beberapa buah iris dari uang mahar nikahnya yang sejumlah lima ratus ribu. Berbekal uang itu, Sarita meninggalkan mansion. Se
Cukup lama Sarita pingsan, jam sepuluh pagi saat sinar mentari masuk dalam kamar melalui jendela yang terbuka tirainya. Perlahan tubuh Sarita menggeliat, kedua matanya membuka. Pandangannya menyapu ruangan yang berwarna biru laut. Warna yang sudah lama dia dambakan sejak masih kecil. Tapak tangannya meraba hamparan sprei biru langit berhias gemerlap bintang, kemudian pandangannya beralih pada selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Seketika dibuka selimut tersebut, lalu Sarita bangkit dari tidurnya. "Ini ... Kamar siapa? Nuansanya sangat indah," gumam Sarita.Kemudian kakinya mulai bergerak memutari keseluruhan isi kamar tersebut. Bibirnya sesekali berdecak kagum akan semua yang ada di kamar itu. Bagai bulan yang jatuh di pangkuan, semua yang pernah muncul di mimpinya kini nyata ada di depan mata. "Selamat pagi, Nona. Sudah lamakah Anda bangun?" tanya wanita muta dengan name tag Aulia."Pagi, saya ada di mana?" "Ini mansion Tulip milik keluarga Waluyo," jawab Aulia, "Saya yang a
"Aku sendiri tidak tahu cerita mengenai liontin itu. Yang pasti benda itu sudah melingkar di leherku sejak aku bayi. Itu keterangan yang kudapatkan dari simbok," jawab Sarita." Aku Sagara Arnold Waluyo, tunggu satu minggu hasil tes dna. Sementara satu minggu ini kamu bisa lakukan apa saja sesuka hatimu," papar Sagara."Apa yang harus aku lakukan, pertama bagaimana caraku memanggilmu, Tuan?" tanya Sarita dengan nada bingung."Cukup panggil aku Saga. Jika hasil dna itu cocok baru kita bahas selanjutnya."Setelah berucap, ujung jari Sagara pun menekan lagi tombol merah. Pintu terbuka dan menampilkan wajah Aulia. Gadis itu berjalan mendekat pada Sarita dan mengajak perempuan itu untuk keluar. "Permisi Tuan Muda!" pamit Aulia sambil membungkukkan badannya.Sarita yang tidak mengerti tata cara keluarga tersebut hanya diam. Dia langsung berjalan keluar dari ruang kerja dan menunggu Aulia di luar, berdiri di samping pintu. Aulia pun keluar sambil menutup pintu dengan gerak pelan."Mari ikut
Sarita terdiam, matanya menatap deretan huruf yang menyatakan kecocokan 100%. Wanita itu menatap pada pria di depannya, lalu mengangguk."Bagaimana langkah kamu selanjutnya, Sarita?" tanya Sagara."Aku ingin lahiran lebih dulu, kemudian perbaiki sikapku untuk membalas semua ini!" "Bagus. Apa perlu kamu pegang salah satu perusahaan milik Bibi Alinsky? Kebetulan ada butik juga, mungkin pas buat lancarkan rencana kamu," ungkap Sagara.Sarita terdiam. Dia belum berfikir ke sana. Yang jelas wanita itu inginkan lahiran dengan selamat, untuk pertama itu yang terlintas di otaknya. Mengenai kuliahnya hanya nunggu proses wisuda."Boleh aku bertanya, bukan, lebih tepatnya meminta bantuanmu, Saga!""Hemm!""Dua minggu lagi aku wisuda, di sana ada pria itu sebagai pendamping dekan. Aku ingin tidak datang, tolong ambilkan ijazahku. Bisakah?" tanya Sarita dengan nada rendah."Jika soal itu tidak masalah bagiku. Jangan khawatir, semua pasti akan beres.""Baiklah, aku lelah dengan kabar mendadak ini.
Sarita menuriti langkah putranya meninggalkan wanita bersama putrinya yang cantik itu. Tanpa Sarita tahu, Sagara telah melihat dan mendengar semua kalimat perempuan itu. Dahinya mengernyit, seakan dia pernah melihat wajah perempuan tersebut."Paman!" teriak Alifian saat dilihatnya Sagara berdiri dengan bersedekap dan bersandar pada badan mobil. Alifian pun berjalan cepat cenderung berlari menuju ke Sagara, dia segera memeluk kaki panjang pria tersebut. Sagara membungkuk dan meraih tubuh mungil ponakannya itu."Hai jagoan om, apa kabar?" tanya Sagara sambil berjalan menujubke sisi mobil yang lain untuk membukakan pintu Sarita. "Silakan masuk, Mama!" kata Alifian."Hehe, terima kasih, Sayang!" balas Sarita. Kemudian Sagara membukakan pintu lainnya untuk Alifian. "Masuk dan duduk yang baik!""Siap, Paman!"Sagara tersenyum, lalu berjalan memutar menuju ke kursi kemudi. Ekor matanya sempat melihat wajah kaget wanita yang menghina Sarita tadi. Senyum tipis bahkan hampir tidak terlihat t
"Maaf, Anda salah orang!" Sarita langsung melangkah pergi meninggalkan kedua orang masa lalunya.Aulia pun mengikuti langkah Sarita dari belakang sebelumnya memastikan pada salah satu karyawan untuk memerhatikan dua pembeli itu."Bunda, Bagas tidak salah lihat 'kan. Tadi itu benar Saritaku?" tanya Bagaskara."Jangan ngaco kamu, Bagas. Jangan rusak malam indah Ni Luh Ayu!" bisik Madam Anne.Wanita yang dimaksud oleh Madam Anne adalah salah satu putri pejabat penting yang meminang Bagaskara dengan alasan bisnis. Saat ini bisnis Bagaskara sedang naik dan termasuk pembisnis muda berbakat. Namun, akhir-akhir ini muncul pembisnis wanita muda yang cukup kompeten.Bagaskata masih tertarik akan sosok wanita yang menurutnya adalah mantan istrinya itu. Segera dikejarnya wanita itu, saat sampai di depan butik terlihat sosok itu masuk mobil sedan mewah berkelas dan berharga langit. Bagaskara berdecak lirih."Andai dia benar Sarita, lalu bagaimana bisa secepat itu hidupnya bisa berubah?" gumam Bag
Sarita terbangun masih dalam pelukan Sagara, bahkan sinar mentari pagi sudah menyapa lembut kulitnya. Dia sedikit terkejut saat ujung kakinya tersentuh oleh buih air. "Dimana aku?""Sudah bangun? Lihatlah, sinar jingga menghiasi langit timur!"Sarita bangkit dari posisinya, dia berdiri menatap sinar jingga sambil merentangkan kedua lengannya. Dadanya terlihat naik perlahan menandakan sedang menghirup udara. Sagara ikut berdiri dan berjalan mengikis jarak, lalu dipeluknya tubuh Sarita dan berbisik, "Bagaimana dengan tawaranku semalam, Sayang?"Sagara meletakkan kepalanya pada ceruk lerer Sarita dan mulai menghidu aroma yang sudah membuatnya candu. Telapak tangan Sarita pun bergerak mengusap kepala Sagara. Wanita itu menyunggar surai rambut sang lelaki, kemudian menekannya lembut. Sarita merasa nyaman dengan setiap sentuhan Sagara, tetapi sisi hatinya yang lain masih enggan untuk menyambut cinta yang ditawarkan. "Akankah kau selalu ada untukku?" tanya Sarita lembut. Tidak ada jawaba
Di antaranya bukti keterlibatan Madam Anne atas kematian Alinsky Waluyo. Meskipun dari hasil pemeriksaan, Alinsky dinyatakan meninggal karena kecelakaan tunggal.Akan tetapi, pada fakta yang ditemukan, Alinsky meninggal karena luka parah yang dideritanya setelah kecelakaan yang dialaminya, dan yang lebih mengejutkan ternyata kecelakaan tersebut dipicu karena rem blong sebab tali rem mobil Alinsky telah dipotong. Tidak hanya itu saha, Madam Anne bahkan memerintahkan seseorang untuk membuat sebuah rekaman palsu yang menceritakan bahwa Alinsky pergi dari rumah Pradipta dengan seorang pria. Kemudian dengan segala tipu daya dan rayuan, Madam Anne pun mendekati Pradipta yang tengah terluka dan kehilangan Alinsky serta calon anak yang masih berada di kandungan Alinsky untuk selamanya. Pradipta yang merasa kecewa dengan sikap Alinsky pun perlahan mulai termakan omongan Madam Anne muda dan bersedia menikahi Madam Anne beberapa bulan setelah kepergian Alinsky yang tanpa kabar tersebut.Yang
Sarita terdiam, wanita itu menatap pada Sagara begitu juga sebaliknya. Hanya Alifian yang terlihat asyik sendiri tanpa beban. Kemudian dia beranjak meninggalkan kedua orang dewasa menuju ke teras rumah. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang guna memastikan apakah keduanya sudah berjalan. Namun, hingga kaki kecil sampai di ambang pintu kedua orang dewasa belum juga terlihat membuat Alifian berteriak memanggil bundanya. "Sebaiknya kita antar dulu putra kamu itu, Sari. Setelahnya baru ke butik bahas lebih lanjut," kata Sagara sambil meraih jemari Sarita dan menautkan pada jemarinya. Sarita terdiam mengikuti semua pergerakan Sagara wanita itu sama sekali tidak menolak ataupun menghindar. Hingga sampai di depan Alifian pun tautan jemari mereka tidak terlepas. "Masuklah bersama Alif di belakang, Sari!"Sarita segera masuk menyusul putranya dan duduk di samping Alifian. Pria kecil menatap bundanya sekilas lalu berpaling ke samping melihat jalanan yang mulai padat. Mobil berjalan perlaha
Tangan kanan Sagara mengepal erat, sebuah bogem mentah sudah hendak dihadiahkannya untuk Bagaskara. Namun, diurungkan karena ada jemari lentik yang menghentikan niatan tersebut. Sagara memalingkan wajah ke samping. Tampak pemilik jari tersebut menggelengkan kepala sambil menyuguhkan senyum lembut yang mampu melelehkan hatinya. Emosi Sagara seketika menguap begitu saja, sementara Bagaskara semakin merasa geram karena mantan istri malah memberikan senyum terbaik pada laki-laki selain dirinya. Gelap mata! Itu yang dirasakan Bagaskara saat ini. Penuh emosi, Bagas menarik bahu pria yang lima tahun lebih tua tersebut. Giginya gemeretuk, rahangnya mengencang, mata pun sudah memerah, dan detik berikutnya ... Bugh! Bagas meninju rahang Sagara yang langsung terhuyung. Sungguh beruntung, pengendalian keseimbangan pria itu cukup baik sehingga dia tidak sampai terjatuh hanya sedikit oleng saja. Sagara ingin membalas Bagas, tetapi Sarita dengan cepat menarik tangan Sagara. Sambil memberikan s
Aknat dan Bagas refleks saling bertukar pandang saat mendengar pertanyaan hakim ketua. Apa maksud hakim ketua dengan mempermainkan? Kenapa lelaki jelang senja itu bisa berkata demikian? Jangan-jangan .... Didorong oleh rasa penasaran, Aknat pun bermaksud kembali maju untuk memeriksa ulang apakah ada kesalahan yang tidak disengajanya saat menyerahkan bukti ketidakberesan Sarita sebagai ibu. Akan tetapi, baru saja mengangkat tubuhnya dari kursi, ketua majelis hakim yang terhormat sudah mengangkat tangan -- melarangnya untuk maju. Akhirnya, dengan penuh kebingungan, Aknat menuruti perintah ketua majelis sidang. Sambil bertanya-tanya, Aknat menatap hakim ketua dan Bagaskara bergantian. Pemuda itu bahkan hanya bisa mengedikkan bahu ketika Bagaskara menanyakan hal tersebut padanya. Ketua majelis hakim yang terhormat masih menatap Aknat dan Bagaskara dengan tatapan tajam penuh kemarahan. Pria yang sudah berprofesi menjadi hakim selama dua puluh tahun tersebut merasa terhina. "Apa maksud
Keesokkan paginya tidak jauh dari sebuah rumah mewah bercat putih, tampak sebuah city car berwarna hitam. Pengemudi city car tersebut tampak serius mengamati rumah mewah yang dijaga ketat oleh seorang petugas keamanan. "Aku harus bisa masuk ke rumah itu untuk mencari berkas-berkas penting yang mereka sebutkan kemarin. Hanya saja bagaimana ya caranya?"Pemuda tersebut memutar otaknya -- mencari cara agar dia bisa masuk ke dalam rumah mewah dan menjalankan misinya tanpa ketahuan oleh penghuni rumah. Dia pun memeriksa seluruh penjuru mobilnya. Elfrada mengobrak-abrik seluruh isi dashboard mobil dan menemukan dua buah benda yang diyakini bisa membantu meloloskan niatnya masuk ke dalam rumah target. Dengan keyakinan penuh, lelaki tersebut mempersiapkan diri. Setelah semua siap, dia kembali mengawasi rumah mewah yang hanya selisih dua rumah dari tempatnya. Beberapa menit kemudian, tampaklah sebuah mobil mewah dan elegan berwarna silver metalik keluar dari halaman rumah tersebut. Dengan
Pria muda berkaca mata hitam itu segera meluncur pergi dari depan rumah Bagaskara, dengan kecepatan tinggi pemuda tersebut memacu kendaraan roda empat yang dikemudikannya. Di tengah perjalanan pria itu menelepon seseorang, "Bos, tadi saya sempat mencuri dengar pembicaraan antara Bagaskara, istrinya, dan kedua pengacara mereka melalui sebuah penyadap. Saya mendengar mereka mempunyai sebuah bukti yang akan bisa dipakai menekan dan mengalahkan Nyonya Sarita di pengadilan.""Bukti apa dan siapa yang membawa bukti tersebut?" tanya lawan bicara pria muda yang ditugaskan menjadi kata-kata tersebut. "Saya masih belum mendapatkan informasi bukti seperti apa yang dimaksud, hanya saja saya tahu siapa yang sudah menyimpan bukti tersebut." Info pemuda tersebut sambil terus mengemudikan kendaraan roda empatnya. Sementara itu, di tempat lain lawan bicara pria muda tersebut tampak sedang memikirkan strategi apa yang akan diambilnya untuk menghancurkan Bagaskara dan istrinya, Ni Luh. Sosok tersebu
"Tenang, Tuan Bagas. Bersantailah sedikit, tidak perlu seemosi itu. Saya hanya bertanya saja pada Anda. Apakah Anda yakin dengan keinginan Anda mengenai hak asuh anak?" Ulang Aknat pada Bagaskara yang menatapnya lekat dan tajam."Apa perlu saya ulang jawaban saya agar Anda yakin pada apa yang menjadi keinginan saya?" Kini giliran Bagaskara membalik pertanyaan Aknat. Nada suaranya rendah dan dalam, terlihat sekali jika dia sedang menahan amarah pada pemuda yang duduk di samping Ni Luh.Mendengar jawaban Bagaskara yang begitu penuh kemarahan yang tertahan, Ni Luh mengerutkan dahinya. Wanita itu merasa sedikit aneh dengan sikap suaminya ketika mendengar pertanyaan Aknat.Ni Luh mengamati manik tegas suaminya lekat-lekat. Dia merasa penasaran dengan jawaban dan sikap Bagaskara selanjutnya. Sementara itu, sikap Aknat tampak berbanding terbalik dengan Bagaskara yang tampak begitu emosi.Pria matang yang dikenalkan dengan nama Arswendo merasa tidak enak melihat situasi yang mulai tidak kondu
Saat hendak menikmati madu alami pintu dibuka oleh pelayan dengan membawa makanan yang sesuai pesanan juga dua orang tamu. Bagas dan Ni Luh segera memperbaiki cara duduknya. "Silakan saja dilanjut, kami dengan sabar menunggu, Tuan dan Nyonya!" ujar Aknat pengacara pribadi Ni Luh. "Kau jangan bikin malu, Nat. Usiamu masih jauh," dengus Ni Luh. Aknat hanya mengulas senyum tipis, lalu mengambil duduk di depan Ni Luh sedangkan pria yang berusia matang ikut duduk di samping Aknat. Ni Luh menatap suaminya penuh tanya. Bagaskara tersenyum dan mempersilakan kedua tamunya untuk menyantap menu yang ada. Menu sederhana tetapi mewah. "Silakan makan, Tuan Berdua!""Apakah tidak lebih baik kita saling kenal dulu, Kak!" Pinta Ni Luh. "Saya Bagaskara sebagai suami dari Ibu Ni Luh Ayu. Ini pengacara saya, Bapak Arswendo!" ujar Bagaskara. Bagas mengenalkan diri dan pengacaranya pada pria muda di depan istrinya. Aknat yang sejak tadi terlihat santai segera menerima uluran tangan Bagas dengan itika