Bab 23“Kamu meragukan nafkah yang aku berikan?” Tanya Nazar.“Atau, karena aku seorang pemulung?” Lanjut Nazar sambil menatap tajam ke arah istrinya.“Bukan begitu maksudku Mas. Maaf bila perkataanku, menyinggung hatimu,” Zahra merasa bersalah. Mereka berdua langsung terdiam, dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba Nazar membelokkan mobilnya, ingin rasanya Zahra bertanya, Tapi bibirnya terkunci, mulutnya merasa malas untuk berbicara. Mobil berhenti di sebuah salon kecantikan. Di dalamnya juga ada tempat Spa.“Ngapain kita ke sini Mas?” Tanya Zahra sambil menautkan kedua alisnya.“Turun!” Jawab belajar dengan tegas. Dengan muka ditekuk, Zahra mengikuti kemauan suaminya. Nazar langsung menggandeng tangan istrinya. Dan langsung masuk ke dalam. “Selamat datang tuan Nazar,” salah seorang pelayan langsung membuka pintu, dan membungkuk hormat sama Nazar.“Halo Tuan Nazar. Ada yang bisa eke bantu?” Tiba-tiba seorang laki-laki yang tingkahnya gemulai mendekati Nazar.“Tolong,
“Apa!” Pekik kakaknya Ahmad.“Iya, Mas. Kami benar-benar bingung. Kedua orang tuanya Dion mengatakan kalau mereka terkendala biaya,” ucap Ahmad Ayah Zahra sama kakak kandungnya. “Kenapa sudah dekat begini, baru mengatakan masalah biaya? Apa mereka tidak merencanakan dari awal?” Tanya Pakde Seno. “Entahlah, Aku benar-benar tidak mengerti,” jawab ayah Zahra.“Memangnya, waktu pertama pertama berunding bagaimana sih?” Tanya Bude Wati istrinya Pakde Seno.“Sudah kok Mbak, tapi tiba-tiba mereka kemarin datang, dan langsung bicara seperti itu,” jawab Hanum. Pakde Seno menghela nafasnya dalam-dalam, seandainya pernikahan keponakannya diundur. Sudah pasti mereka menanggung malu. Sebagai keluarga dari pihak perempuan, Pakde Seno menginginkan pernikahan keponakannya berjalan dengan lancar. “Terus si Zia bagaimana?” Tanya Bude Wati.“Ya gitu deh Mbak, malah sampai berdebat dengan kakaknya. Aku benar-benar pusing saat ini,” jawab Hanum dengan wajah muram. “Sabar, mungkin di balik ini semua.
“Tidak apa-apa, ngapain kamu capek-capek kerja,” jawab Nazar datar.Tangannya terlihat memberikan kode, sama pria yang berdiri di kembang pintu. Nazar malah menarik tangan istrinya,lalu mengajak naik ke lantai atas. Tiba di dalam kamar. Zahra melanjutkan kembali obrolan yang tadi. “Mas kenapa…..”Lagi-lagi ucapan Zahra terhenti, saat mendengar telepon berdering. Zahra meraih ponselnya. Tapi dering telepon itu langsung terhenti, terdengar notifikasiKedua alisnya bertautan, saat membaca isi pesan itu. Nazar terus memperhatikan aktivitas istrinya. Zahra begitu serius membaca isi pesan itu. “Alkhhh, Maaf aku tidak bisa libur Mas. Ini ada pesan dari bos. Katanya hari ini ada meeting mendadak,” ucap Zahra. “Ah biarkan saja sayang, Tidak apa-apa kok kamu tidak masuk kantor,” Nazar malah melingkarkan tangannya di pinggang Zahra. Lalu bibirnya mengendus-endus di leher Zahra, tangannya mulai bergerilya ke bagian-bagian tertentu tubuh istrinya.“Ih, geli Mas,” ucap Zahra sambil tertawa ke
“Bisa apa?” Tanya Dilan langsung memotong ucapan ayahnya. “Kamu bisa pinjam dulu sama mertua kamu, bukannya mertua Kamu itu orang kaya raya. Lagian kan ini untuk kepentingan anaknya,” jawab ayah Dilan. Wajah Dilan nampak terkejut, karena tidak menyangka orang tuanya akan berkata seperti itu. “Nah, ide yang betul ayah. Kita pinjam saja sama orang tua Zia, pasti mereka memberikan pinjaman. Bahkan Zia sendiri yang ngotot, waktu itu kita sudah memberikan pilihan,” timpal ibu Dilan.“Aduh, kalau pinjam sama mereka. Di mana letak harga diri aku sebagai seorang laki-laki,” ucap Dilan dalam hati. Kebingungan mulai menyelimuti Dilan. Ternyata pernikahannya dengan Zia, mengalami kendala. Dan tidak semudah apa yang dibayangkan. “Coba dulu kamu bicara sama Zia. Siapa tahu dia setuju dengan usul kita ya, Bu,” ucap Ayah Dilan. “Betul, coba saja bicarakan berdua. Rasanya Ibu sudah angkat tangan, Ibu benar-benar tidak punya uang,” suara Ibu Dilan berubah ketus. “Iya, nanti Dilan bicarakan,” ja
Suara seorang pria, begitu menggelegar memenuhi ruangan Bella. Pria itu berdiri di ambang pintu, sambil berkacak panjang. “Zahra kembali ke ruangan!” Ucap pria itu tegas.Zahra langsung mengangguk hormat, dan kembali ke ruangannya. “Bella kamu bereskan pekerjaan itu!” Zahra mendengar suara bosnya memerintah sama Bella. Terlihat sang sekretaris langsung menundukkan kepalanya. “Jangan sesekali bicara keras! Camkan itu!” Sang Bos memberikan peringatan. Bos lalu keluar dari ruangan Bella. Bella mukanya langsung ditekuk, rasa kesal terhadap Zahra, terhenti karena sang Bos membela Zahra. Zahra kembali duduk ke ruangan, terlihat menghela nafasnya. “Memangnya kenapa kamu sampai terlambat?” Tanya rekan kerja Zahra.“Macet,” jawab Zahra singkat. “Sudah tahu macet kenapa tidak pagi-pagi berangkat,” ucap temannya. Zahra malah melengos membuang muka, hatinya masih kesal, baru saja beres masalah yang tadi. Terdengar lagi mulut nyinyir teman kerjanya. “Kalau memang macet jam 05.00 dong har
Mereka berdua menoleh ke arah sumber suara, ternyata Budianto berdiri di ambang pintu keluar rumah. “Ish, bikin ganggu saja tuh anak,” gerutu Nazar dengan wajah tidak suka. “Apa Mas?,” tanya Zahra yang mendengar omelan suaminya.“Enggak,” jawab Nazar singkat. Budianto tampak berjalan menuju arah Nazar. Tatapan Nazar begitu tajam, seperti siap menerkam mangsanya.“Tuan….” Ucapan Budi menggantung, saat Nazar menautkan kedua alisnya. “Kenapa bisa panggil Tuan sih?” Tanya Zahra tiba-tiba. “Ka___rena, sudah terbiasa nyonya,” jawab Budi gugup.“Suamiku bukan Tuhan kamu kan?” Tanya Zahra lagi. “Eh, iya Nyonya Nazar,” wajah Budi langsung pucat pasi. “Kamu benar anaknya Mbok Minah?” Tanya Zahra dengan tatapan menyelidiki.“Benar, dia adalah ibuku satu-satunya. Dan selamanya juga satu-satunya,” jawaban Budi, seketika membuat mata Zahra melebar, lalu tertawa tipis. “Ya tentu jadi ibu kamu selamanya, masa jadi ibu orang lain sih,” tukas Zahra.“Aku sedang ada urusan, kamu duluan!” Ucap Na
“Lho, kok aku seperti mengenali suara itu,” gumam Zahra sambil terus turun dari lantai atas. Suara itu makin jelas terdengar di telinga Zahra. Dengan langkah perlahan, Zahra terus menuruni anak tangga.Zahra melihat sosok seorang laki-laki, yang membelakangi tangga, ponsel menempel di telinganya. “Baik tuan putri,” ucap laki-laki itu sambil menutup teleponnya. “Itu Budianto kan?” Tanya Zahra dalam hati. “Siapa yang dimaksud dengan tuan putri!” Sentak Zahra. Budianto langsung terlonjak saking kagetnya, hampir saja ponsel yang dipegang langsung terlempar. Budianto mengembalikan badannya, matanya langsung melebar, saat melihat Zahra sudah berdiri di samping anak tangga. “Nyonya____” pekik Budianto. “Kenapa? Kamu kaget ya? Lagi ngapain kamu di sini? Teleponan tengah malam lagi. Memangnya siapa yang sedang kamu hubungi?” Pertanyaan dari mulut Zahra meluncur begitu saja. “Eh, anu, eh iya. Ini Nyonya,” jawab Budi gelagapan. “Jawab yang jujur!” Bentak Zahra.Wajah Budi langsung terl
“Maaf Nyonya, ini pesanan dari tuan. Silakan Nyonya pilih sesuai dengan keinginan Nyonya,” ucap pelayan itu dengan ramah. Zahra menautkan kedua alisnya, lalu menoleh ke arah suaminya. Nazar langsung pura-pura melihat ke atas langit-langit ruangan.“Taruh saja di bagasi mobil!” Perintah Nazar tiba-tiba. “Baik Tuan!” Pelayan itu langsung membungkuk hormat. Zahra kembali memilih kue kesukaannya, beberapa brownies dan kue sus yang Zahra pilih.Kue itu, langsung di bawa Zahra ke kasir. Dengan cekatan si pelayan memasukkan kue itu ke dalam bok kue toko itu.Saat Zahra hendak membayar kue. “ Tidak usah nyonya, sudah dibayar sama tuan,” pelayan itu langsung menyerahkan dua box kue.Zahra langsung mengambil paper bag itu dari tangan pelayan. Karena banyak bertanya pun percuma.Nazar sudah menunggu Zahra di mobil. “Sudah pesan kuenya sayang?” Tanya Nazar mesra. “Sudah, ternyata toko kue ini, toko langganan aku, aku sering datang ke sini,” jawab Zahra. Mobil langsung melesat pergi meningg
setelah kejadian itu, Nazar kondisinya semakin membaik. Zia tidak berani lagi menampakan wajahnya di rumah Zahra, barang-barang Zia diantar ke rumah Ahmad sama Pak Karni. "besok ikut sama mas," ucap Nazar setelah makan malam. Zahra mengganggukan kepalanya, karena mulutnya sedang penuh dengan makanan. keesokan harinya Zahra terlihat sangat cantik sekali, Dia memakai gaun dengan perhiasan yang sederhana tapi terlihat Elegan. Nazar berkali-kali mencium pipi istrinya. "ayah sama ibu langsung datang ya mas," ucap Zahra saat mereka sedang dalam perjalanan menuju perusahaan. Ahmad dan Hanum diundang ke acara ulang tahun perusahaan di mana tempat Zahra dulu bekerja. ternyata perusahaan itu milik Nazar. Nazar sengaja mengundang kedua orang tua Zahra ke acara ulang tahun perusahaan itu. "ayah, bukannya perusahaan ini tempat dulu Zahra bekerja ya?" tanya Hanum sedikit heran. "iya, kenapa Kita diundang ke perusahaan ini ya?" Ahmad malah balik bertanya. "aduh Ibu juga kurang paha
Zia benar-benar kesal sekali, karena selalu gagal menjebak Nazar kakak iparnya. Zia ingin memiliki Nazar dan menyingkirkan kakak sendiri. dirinya sudah bercerai dengan Dilan, karena Dilan saat ini benar-benar bangkrut, dan hidup bersama kedua orang tuanya. malah Nazar semakin terlihat lengket sama Zahra. Nazar sering memamerkan kemesraan dengan Zahra, di depan semua penghuni rumah termasuk Zia.bibir Zia selalu tersenyum sinis, melihat kemesraan antara Nazar dan Zahra. Zia semakin iri hati sama kakaknya sendiri. "mas, bolehkan aku bertemu dengan teman-teman?" tanya Zahra meminta izin sama suaminya untuk bertemu dengan Sinta dan Nita. Nazar mengganggukan kepalanya, jari-jari tangannya masih terlihat lincah dia mengetik huruf yang ada di laptop. cup.... Zahra mengecup pipi Nazar dengan mesra.jam 04.00 sore, Zahra sudah nangkring di depan kantor tempat Shinta dan Nita bekerja. rupanya Zahra sengaja menjemput temannya itu ke kantor. rencananya mereka akan pergi ke sebuah restoran sa
Zia langsung berlari naik ke lantai atas, dia masih terisak menangis, Zia benar-benar seorang artis drama Korea. Zahra menghembuskan nafasnya secara kasar, adiknya sudah keterlaluan. sampai-sampai masuk ke dalam kamar pribadinya. "Maafkan Aku," ucap Zahra lalu berjalan dan masuk ke dalam kamar, diikuti Nazar dari belakang. Zahra duduk di atas tempat tidur, air matanya mengalir di pipi, matanya terpejam. hati dia sebenarnya tidak tega memarahi adiknya. tapi harus bagaimana lagi Zia benar-benar keterlaluan. mata Zahra menangkap laci meja riasnya terbuka. Nazar yang baru masuk ke dalam kamar menautkan kedua alisnya melihat Zahra berjalan ke arah meja rias. "yang, ada apa?" tanya Nazar. Zahra tidak menjawab, lalu memeriksa lagi yang sudah terbuka. mata Zahra langsung memeriksa isi laci meja rias itu. tangannya sedang memeriksa barang yang ada di laci meja itu. terdengar suara ketukan pintu kamar. "siapa?" tanya Nazar. "saya tuan," rupanya Mbok Minah yang ada di luar kamar.
"saudara Fatih, Anda dinyatakan bersalah, Anda dihukum seumur hidup," hakim langsung mengetuk palu, setelah memberikan keputusan buat Fatih. Fatih terdiam saja sambil menundukkan kepalanya, dia tidak mau naik banding atau apapun. dia akan menjalani hukuman ini dengan ikhlas. percuma saja ada pengacara juga, kalau toh akhirnya dia masih tetap dihukum. Nazar dan Zahra bernapas dengan lega, karena Fatih dihukum sesuai keinginan Nazar. Fatih langsung digiring ke mobil tahanan, tidak berniat sedikitpun untuk mendekati Nazar atau Mirna yang datang bersama Pakde Seno. Lukman datang seorang seorang diri, duduk di samping Nazar, matanya terpejam saat mendengar keputusan dari hakim tadi. rasa perih dan lupa di bisa digambarkan dari ekspresi wajahnya. "ya Allah, tolong kuatkan Fatih jaga selalu anakku ya Allah, hanya itulah yang hamba bisa doakan," gumam Lukman dalam hati. Mirna langsung memeluk k Pakde Seno, hatinya merasa sakit, anak kesayangannya divonis seumur hidup di balik jeruji
"dasar pelayan tidak tahu diri! kenapa harus ikut makan bersama di meja makan ini" Zia terus saja ngomel-ngomel di dalam hatinya. Nazar serta yang lainnya terlihat santai menikmati makan malam. bahkan Zahra sesekali bercanda dengan adik iparnya. selesai makan, Naima langsung masuk ke kamarnya. begitu pula dengan Nazar dan Zahra.sedangkan Zia sejak tadi sudah terlebih dahulu naik ke lantai atas, mungkin karena hatinya kesal."besok Mas mau ke kantor polisi, Mas mau lihat keadaan Fatih. katanya persidangan Fatih baru minggu depan digelar," ucap Nazar."baiklah Mas," tapi jawaban Zahra terlihat dingin. Nazar merasa ada yang sedang dipikirkan sama Zahra."Kamu kenapa sih sayang?" tanya Nazar. "mas, aku kan keluar kerja, terus bagaimana dengan hidupku?" tanya Zahra seperti orang kebingungan. Nazar kaget mendengar jawaban istrinya, karena merasa aneh di telinga Nazar. "maksud kamu apa sih sayang? ya tidak apa-apa keluar kerja juga, toh, aku masih bisa menafkahi kamu.""tapi....." waj
"kenapa kak? kok malah membentak aku. Aku kan tanya dia itu siapa," tanya Zia sama Zahra. Zahra rasanya tidak punya muka lagi di depan keluarga suaminya, itu semua karena tingkah Zia yang sangat memalukan itu. "Siapa kamu sebenarnya?" tanya Zia sama Naima dengan tatapan mata menyelidiki.Sari datang sambil membawakan pesanan Naima, siomay yang sudah dikasih bumbu. "non Naima, ini siomaynya," ucap Sari sambil meletakkan piring siomay di depan Naima."terima kasih Bik Sari," ucap Naima."Kak Zahra mau?" tanya Naima, yang tidak menghiraukan pertanyaan Zia."terima kasih," jawab Zahra singkat, Karena hati Zahra masih kesal dengan tingkah Zia.Naima langsung memasukkan potongan siomay ikut dalam mulutnya. Zia menatap Naima dengan tatapan tak suka. "hei! kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku!" Zia membentak Naima, karena merasa jengkel, Naima tidak menjawab pertanyaannya. "Zia! jaga sikap kamu! kamu ingin tahu siapa dia!" malah Zahra yang terlihat emosi. "dia adik mas Nazar, pa
Mbok Minah langsung menoleh ke arah sumber suara, ternyata Naima sudah berdiri di Mbok Minah. Naima langsung memeluk Mbok Minah, sepertinya anak itu setiap ketemu selalu memeluk asisten rumah yang sudah lama mengabdi di keluarganya. "nduk, sepertinya sedang mendapat kebahagiaannya?" tebak Mbok Minah, karena melihat wajah Naima berbinar. "ah si mbok bisa saja bicara," jawab Naima lalu melepaskan pelukannya, lalu menyalami Sari dan Nani. "Mbok bikin apa sih? harum banget?" tanya Naima sambil menatap penggorengan. "ini, Sari dan Ani pingin makan camilan yang manis-manis," jawab Mbok Minah "semanis diriku ya?" seloroh Naima. "tentu," sahut mbok Minah. Naima dan Nazar selalu bersikap sopan terhadap orang yang lebih tua. meskipun mereka hanya seorang pelayan di rumahnya. tapi kedua orang tua Naima selalu mendidik adab dan sopan. begitu pula dengan Nazar, selalu menghormati orang-orang yang lebih tua usianya. walaupun kadang beda pendapat dan beda pemahaman. "Mas Nazar
Mata Nazar langsung melebar saat melihat penampilan adik iparnya. Nazar buru-buru membuang mukanya ke samping. bagi Nazar itu pemandangan sangat memuakan sekali. Zia terlihat berjalan lenggak-lenggok mendekati mereka berdua. Zahra menata penampilan adiknya sampai tidak berkedip. "hai kak Zahra," sapa Zia sambil melambaikan tangannya. Nazar dan Zahra malah saling melempar pandangan, mereka benar-benar heran melihat penampilan Zia seperti itu. "kok bengong sih kak Zahra? bagaimana penampilanku Kak?" tanya Zia sambil memutar badan. "ba__bagus," jawab Zahra terbata-bata."tentu dong, Aku sengaja datang ke sini tanpa memberitahu kak Zahra sama Mas Nazar," ucap Zia yang langsung berdiri di samping Nazar.tangan Zia langsung melingkar di lengan Nazar tanpa rasa malu sedikitpun. Zahra risih melihat pemandangan seperti itu." apa yang sebenarnya Zia inginkan?" tanya Zahra dalam hati."kak, bagaimana kalau aku tinggal di sini. aku bantu kakak merawat Mas Nazar, aku merasa kasihan sekali
"Maafkan aku Naima, bilang aku lancang mengeluarkan isi hatiku. jujur saja, Aku sudah lama menyimpan rasa ini. tapi aku takut mengungkapkan semuanya."wajah Budi terlihat serius, sedangkan Naima menundukkan kepalanya, hatinya berdebar kencang. entah perasaan apa yang sedang dirasakan Naima saat ini. "Apakah kamu menerima cintaku?" tanya Budi. Naima mengangkat kepalanya, manik bola matanya terlihat menatap ke arah Budi. Naima tersenyum manis."aku tidak mau berangan-angan tapi terlalu jauh. Mas Budi sudah memberikan perhatian yang lebih terhadapku, aku sudah merasakan apa yang buat Budi rasakan," ucap Naima.hati Budi langsung berbunga-bunga, yang tadinya masih kuncup, sekarang bunga-bunga Cinta sudah mulai bermekaran di dalam hatinya. saat Budi meraih jemari tangan lentik Naima. tiba-tiba Naima menjauhkan jari tangannya. "belum halal Mas, kalau sudah halal mau dipegang apapun bebas," ucap Naima sambil terkikik.Budi buru-buru menarik tangannya, merasa malu dengan ucapan Naima."ka