“Selamat pagi istri pemulung,” terdengar sapaan dari seorang karyawan yang mulutnya nyinyir.“Iya, rasanya kok aneh, seorang manajer bersuamikan pemulung. Kalau aku ogah banget, mendingan jadi perawan tua saja,” tukas temannya.Zahra tidak menghiraukan ucapan rekan kerjanya, terus saja berjalan ke arah ruangan. Karena bagi Zahra pekerjaan lebih penting.“Ini! Buat laporan yang benar,” ucap rekan kerja yang tadi sambil melemparkan berkas, di atas meja Zahra.Zahra sedikit terperanjat, karyawan yang bernama Bella itu, langsung menatap sinis ke arah Zahra.“Cepat kerjakan!” Suara Bella naik satu oktaf.Semua karyawan yang ada di ruangan itu langsung menoleh ke arah Zahra.“Baik bu Bella,” ucap Zahra sambil meraih berkas itu.“Kamu ini ya, mengerjakan laporan segampang itu! Tidak becus! Makanya kalau jadi pengantin baru jangan kebablasan,” ucap Bella terdengar sangat pedas.“Eh, Bu Bella. Mungkin semalam Bu Zahra mengumpulkan barang rongsokan. Atau setidaknya ikut bantu suami membereskan
Bab 23“Kamu meragukan nafkah yang aku berikan?” Tanya Nazar.“Atau, karena aku seorang pemulung?” Lanjut Nazar sambil menatap tajam ke arah istrinya.“Bukan begitu maksudku Mas. Maaf bila perkataanku, menyinggung hatimu,” Zahra merasa bersalah. Mereka berdua langsung terdiam, dan hanyut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba Nazar membelokkan mobilnya, ingin rasanya Zahra bertanya, Tapi bibirnya terkunci, mulutnya merasa malas untuk berbicara. Mobil berhenti di sebuah salon kecantikan. Di dalamnya juga ada tempat Spa.“Ngapain kita ke sini Mas?” Tanya Zahra sambil menautkan kedua alisnya.“Turun!” Jawab belajar dengan tegas. Dengan muka ditekuk, Zahra mengikuti kemauan suaminya. Nazar langsung menggandeng tangan istrinya. Dan langsung masuk ke dalam. “Selamat datang tuan Nazar,” salah seorang pelayan langsung membuka pintu, dan membungkuk hormat sama Nazar.“Halo Tuan Nazar. Ada yang bisa eke bantu?” Tiba-tiba seorang laki-laki yang tingkahnya gemulai mendekati Nazar.“Tolong,
“Apa!” Pekik kakaknya Ahmad.“Iya, Mas. Kami benar-benar bingung. Kedua orang tuanya Dion mengatakan kalau mereka terkendala biaya,” ucap Ahmad Ayah Zahra sama kakak kandungnya. “Kenapa sudah dekat begini, baru mengatakan masalah biaya? Apa mereka tidak merencanakan dari awal?” Tanya Pakde Seno. “Entahlah, Aku benar-benar tidak mengerti,” jawab ayah Zahra.“Memangnya, waktu pertama pertama berunding bagaimana sih?” Tanya Bude Wati istrinya Pakde Seno.“Sudah kok Mbak, tapi tiba-tiba mereka kemarin datang, dan langsung bicara seperti itu,” jawab Hanum. Pakde Seno menghela nafasnya dalam-dalam, seandainya pernikahan keponakannya diundur. Sudah pasti mereka menanggung malu. Sebagai keluarga dari pihak perempuan, Pakde Seno menginginkan pernikahan keponakannya berjalan dengan lancar. “Terus si Zia bagaimana?” Tanya Bude Wati.“Ya gitu deh Mbak, malah sampai berdebat dengan kakaknya. Aku benar-benar pusing saat ini,” jawab Hanum dengan wajah muram. “Sabar, mungkin di balik ini semua.
“Tidak apa-apa, ngapain kamu capek-capek kerja,” jawab Nazar datar.Tangannya terlihat memberikan kode, sama pria yang berdiri di kembang pintu. Nazar malah menarik tangan istrinya,lalu mengajak naik ke lantai atas. Tiba di dalam kamar. Zahra melanjutkan kembali obrolan yang tadi. “Mas kenapa…..”Lagi-lagi ucapan Zahra terhenti, saat mendengar telepon berdering. Zahra meraih ponselnya. Tapi dering telepon itu langsung terhenti, terdengar notifikasiKedua alisnya bertautan, saat membaca isi pesan itu. Nazar terus memperhatikan aktivitas istrinya. Zahra begitu serius membaca isi pesan itu. “Alkhhh, Maaf aku tidak bisa libur Mas. Ini ada pesan dari bos. Katanya hari ini ada meeting mendadak,” ucap Zahra. “Ah biarkan saja sayang, Tidak apa-apa kok kamu tidak masuk kantor,” Nazar malah melingkarkan tangannya di pinggang Zahra. Lalu bibirnya mengendus-endus di leher Zahra, tangannya mulai bergerilya ke bagian-bagian tertentu tubuh istrinya.“Ih, geli Mas,” ucap Zahra sambil tertawa ke
“Bisa apa?” Tanya Dilan langsung memotong ucapan ayahnya. “Kamu bisa pinjam dulu sama mertua kamu, bukannya mertua Kamu itu orang kaya raya. Lagian kan ini untuk kepentingan anaknya,” jawab ayah Dilan. Wajah Dilan nampak terkejut, karena tidak menyangka orang tuanya akan berkata seperti itu. “Nah, ide yang betul ayah. Kita pinjam saja sama orang tua Zia, pasti mereka memberikan pinjaman. Bahkan Zia sendiri yang ngotot, waktu itu kita sudah memberikan pilihan,” timpal ibu Dilan.“Aduh, kalau pinjam sama mereka. Di mana letak harga diri aku sebagai seorang laki-laki,” ucap Dilan dalam hati. Kebingungan mulai menyelimuti Dilan. Ternyata pernikahannya dengan Zia, mengalami kendala. Dan tidak semudah apa yang dibayangkan. “Coba dulu kamu bicara sama Zia. Siapa tahu dia setuju dengan usul kita ya, Bu,” ucap Ayah Dilan. “Betul, coba saja bicarakan berdua. Rasanya Ibu sudah angkat tangan, Ibu benar-benar tidak punya uang,” suara Ibu Dilan berubah ketus. “Iya, nanti Dilan bicarakan,” ja
Suara seorang pria, begitu menggelegar memenuhi ruangan Bella. Pria itu berdiri di ambang pintu, sambil berkacak panjang. “Zahra kembali ke ruangan!” Ucap pria itu tegas.Zahra langsung mengangguk hormat, dan kembali ke ruangannya. “Bella kamu bereskan pekerjaan itu!” Zahra mendengar suara bosnya memerintah sama Bella. Terlihat sang sekretaris langsung menundukkan kepalanya. “Jangan sesekali bicara keras! Camkan itu!” Sang Bos memberikan peringatan. Bos lalu keluar dari ruangan Bella. Bella mukanya langsung ditekuk, rasa kesal terhadap Zahra, terhenti karena sang Bos membela Zahra. Zahra kembali duduk ke ruangan, terlihat menghela nafasnya. “Memangnya kenapa kamu sampai terlambat?” Tanya rekan kerja Zahra.“Macet,” jawab Zahra singkat. “Sudah tahu macet kenapa tidak pagi-pagi berangkat,” ucap temannya. Zahra malah melengos membuang muka, hatinya masih kesal, baru saja beres masalah yang tadi. Terdengar lagi mulut nyinyir teman kerjanya. “Kalau memang macet jam 05.00 dong har
Mereka berdua menoleh ke arah sumber suara, ternyata Budianto berdiri di ambang pintu keluar rumah. “Ish, bikin ganggu saja tuh anak,” gerutu Nazar dengan wajah tidak suka. “Apa Mas?,” tanya Zahra yang mendengar omelan suaminya.“Enggak,” jawab Nazar singkat. Budianto tampak berjalan menuju arah Nazar. Tatapan Nazar begitu tajam, seperti siap menerkam mangsanya.“Tuan….” Ucapan Budi menggantung, saat Nazar menautkan kedua alisnya. “Kenapa bisa panggil Tuan sih?” Tanya Zahra tiba-tiba. “Ka___rena, sudah terbiasa nyonya,” jawab Budi gugup.“Suamiku bukan Tuhan kamu kan?” Tanya Zahra lagi. “Eh, iya Nyonya Nazar,” wajah Budi langsung pucat pasi. “Kamu benar anaknya Mbok Minah?” Tanya Zahra dengan tatapan menyelidiki.“Benar, dia adalah ibuku satu-satunya. Dan selamanya juga satu-satunya,” jawaban Budi, seketika membuat mata Zahra melebar, lalu tertawa tipis. “Ya tentu jadi ibu kamu selamanya, masa jadi ibu orang lain sih,” tukas Zahra.“Aku sedang ada urusan, kamu duluan!” Ucap Na
“Lho, kok aku seperti mengenali suara itu,” gumam Zahra sambil terus turun dari lantai atas. Suara itu makin jelas terdengar di telinga Zahra. Dengan langkah perlahan, Zahra terus menuruni anak tangga.Zahra melihat sosok seorang laki-laki, yang membelakangi tangga, ponsel menempel di telinganya. “Baik tuan putri,” ucap laki-laki itu sambil menutup teleponnya. “Itu Budianto kan?” Tanya Zahra dalam hati. “Siapa yang dimaksud dengan tuan putri!” Sentak Zahra. Budianto langsung terlonjak saking kagetnya, hampir saja ponsel yang dipegang langsung terlempar. Budianto mengembalikan badannya, matanya langsung melebar, saat melihat Zahra sudah berdiri di samping anak tangga. “Nyonya____” pekik Budianto. “Kenapa? Kamu kaget ya? Lagi ngapain kamu di sini? Teleponan tengah malam lagi. Memangnya siapa yang sedang kamu hubungi?” Pertanyaan dari mulut Zahra meluncur begitu saja. “Eh, anu, eh iya. Ini Nyonya,” jawab Budi gelagapan. “Jawab yang jujur!” Bentak Zahra.Wajah Budi langsung terl