Flash back ...Pagi itu aku pulang setelah lima hari di Malang. Sepanjang perjalanan aku masih terbayang wajah Erina, juga ucapannya yang terus saja terngiang-ngiang di telinga. Hati kecilku meronta untuk segara aku menerima saja permintaan Erina, tetapi dari sisi lain ada yang menahan.Sesampainya aku di rumah, Meswa menyambutku di depan pintu dengan senyum manis, dia sudah berdandan cantik dan wangi, lalu mencium tanganku. Namun, ketika dia hendak memelukku aku menepisnya.“Aku ingin mandi dulu, Dek. Rasanya badanku kotor dan bau debu. Anak-anak mana?”“Anak-anak ada di kamar, baru saja selesai di mandikan oleh Bik Marni.”“Ya sudah, aku bersih-bersih dulu, ya.”“Iya, Mas. Nanti kita makan bareng, sudah aku masakkan makanan kesukaan Mas.”“Heem.” Aku meninggalkannya masuk ke kamar mandi. Kuguyur seluruh badan dengan air hangat, tapi pikiranku masih saja terbayang sosok Erina. Teringat pergulatan kami beberapa malam kemarin. Dia benar-benar sudah mengalihkan duniaku. Satu minggu se
“Sebenarnya apa yang terjadi, Dek? Kenapa Ibu bisa pingsan di rumahmu?” tanya Kak Sinta yang sekarang menemaniku di ruang tengah.Tadi setelah mendapati Ibu tidak sadarkan diri aku segera menghubungi dokter dan Kak Sinta untuk datang ke rumah ini. Setelah diperiksa menurut dokter ibu hanya kelelahan saja. Sekarang mertuaku masih istirahat di kamar. Sebenarnya aku pun tidak tahu pasti apa yang menjadi penyebab mertuaku pingsan. “Tadi pagi ibu bilang mau ke sini, tapi Kakak enggak bisa ngantar jadi Kakak pesankan taksi online. Tiba-tiba kamu kasih kabar ibu pingsan, Kakak panik banget tadi.”“Aku juga enggak tahu penyebabnya apa, Kak. Tadi Mang Udin yang pertama kali lihat setelah …. “ Tenggorokanku tiba-tiba saja seperti ada yang mengganjal, sulit untuk melanjutkan bicara. Tadi Mang Udin menemukan ibu setelah Mas Bima dan Erina keluar dari rumah ini. Jangan-jangan ibu melihat mereka lalu shock, mengetahui anak lelakinya menggandeng mesra perempuan lain yang pasti mertuaku kenal. “As
“Bu, kita beneran mau pergi dari rumah ini?” tanya Bik Marni saat kami sudah berada di dalam mobil. Bukan mobil Mas Bima melainkan mobil baru yang Papa kirimkan untuk aku dan anak-anak pergi dari rumah ini. Ibu dan Kak Sinta sudah pulang setelah membahas semua masalah yang sedang keluargaku hadapi. Kak Sinta sudah paham kemana arah yang akan kuambil, tetapi ibu sepertinya masih berat untuk menerima perpisahan ini. Mungkin ada penyesalan dan rasa bersalah mertuaku dari peristiwa masa lalu. Namun, tidak ada yang menjamin Mas Bima tidak selingkuh walaupun dulu ibu memperhatikan anak lanangnya itu dengan baik. Mungkin sudah takdirnya mencintai perempuan yang lebih berumur.“Bibik kenapa? Kalau masih mau kerja di rumah ini saya enggak maksa untuk ikut dengan saya.”“Bukan, bukan begitu maksud saya, Bu.” Aku melihat ke belakang tempat Bik Marni duduk dari spion tengah. “Saya hanya memikirkan anak-anak pasti mereka kaget tiba-tiba pindah rumah tanpa ayahnya.”Hal itu pun cukup membebani fi
Aku masih ngobrol santai dengan Armila setelah pembahasan serius tadi. Lama tidak berjumpa sebab kesibukan masing-masing membuat kami punya banyak bahan obrolan. Tidak sengaja menoleh ke arah pintu masuk, di sana kulihat seorang wanita berpenampilan mirip artis murahan. Gaun ketat di atas lutut menunjukkan paha putih mulus, dengan model potongan dada rendah, dua gundukan itu seperti hampir keluar. Dia Erina, perempuan baya yang menggusur tempatku dari singgasana keharmonisan rumah tangga. Penampilannya sungguh jauh dari pencapaian usianya. Dia hanya sendiri. Ke mana Mas Bima? Bukankah tadi mereka pergi bersama? Sesaat kemudian laki-laki yang masih sah menjadi suamiku menyusul, langsung merangkul pinggang ramping Erina. Senyum semringah terpancar dari bibir mereka. Sesekali saling pandang sembari melempar senyum. Mereka benar-benar sedang mabuk kepayang.Beberapa pengunjung kafe kudapati memperhatikan tingkah keduanya, tetapi Mas Bima dan Erina cuek saja dengan keadaan sekeliling. Pad
“Bima!”Baru saja menghenyakkan tubuh di tempat tidur saat suara seseorang memanggilku dengan nada tinggi. “Siapa Sayang?”“Entahlah. Tidak sopan sekali datang ke rumah orang teriak-teriak.”“Bukan istrimu?”“Biar aku lihat, kamu tunggulah di sini sebentar.”“Jangan lama, Sayang.” “Iya.” Kukecup kening Erina sebelum meninggalkan dia di dalam kamar. “Bima keluar kamu! Kakak tahu kamu ada di rumah!”Aku keluar dari kamar dan melihat Kak Sinta bersama Ibu sudah berdiri di ruang tengah rumahku. Perempuan itu menatapku bagai singa yang sudah lama tidak bertemu mangsa, hendak menerkam. “Kelakuan kamu kebangetan, Bim! Bikin malu keluarga!” “Kakak kenapa datang marah-marah? Aku ada salah apa?” Kuhampiri keduanya.“Masih bisa tanya salah kamu apa? Kamu enggak sadar apa yang kamu lakukan? Heh!” “Kalau ngomong yang jelas, Kak!”“Ini! Masih kurang jelas?” Kak Sinta mengangkat ponselnya di depan wajahku. Pada layar yang menyala terang tersebut ada gambarku dan Erina yang di unggah oleh satu
Aku masih duduk di hadapan Ibu yang berurai air mata di dekapan Kak Sinta. Mendengar cerita yang meluncur dari mulut mertuaku betapa laki-laki yang menjadi suamiku sudah sangat keterlaluan memeperlakukan orang tuanya sendiri, hatiku ikut merasakan teriris dan perih. Bukan hanya lupa daratan, calon mantan suamiku itu juga sudah lupa asal usulnya. Kepada ibu yang sudah melahirkan dan membesarkannya dia pun sangat keras kepala. “Meswa, Ibu minta maaf sama kamu. Ibu gagal mendidik Bima menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Ibu sudah mengecewakan kamu dan keluarga besarmu, Nduk.”Aku saja yang tidak ada ikatan darah dengan Ibu Sekar merasa iba. Entah bagaimana bisa Mas Bima membantah ucapan perempuan tua ini dan kekeuh pada keputusannya untuk tetap menikah dengan Erina. Kurasa bukan hanya mata yang dibutakan oleh cinta, hatinya pun telah dikuasai oleh Erina seutuhnya.“Sebenarnya ibu tidak tega kamu diperlakukan seperti ini dengan Bima, kalau boleh Ibu minta tolong jangan berpisah dar
Pagi ini aku pergi ke pengadilan agama di dampingi seorang pengacara yang Armila rekomendasikan. Kata Armila hanya untuk jaga-jaga kalau Mas Bima dan pengacaranya mengajukan banding atau keberatan atas gugatan yang aku layangkan.Ketika aku datang, Mas Bima dan pengacaranya juga Erina sudah menunggu di teras gedung ruang sidang. Aku dan gundik tua itu sempat bertatapan. kami berperang lewat tatapan mata. Andai bisa dilihat, mungkin seperti ada dua aliran listrik yang bertemu di udara lalu bertabrakan dan memercikkan api.Dia terlihat santai dan cuek saja datang ke persidangan ini. Selama menunggu Erina pun tidak melepas genggaman tangannya dari lengan Mas Bima. Perempuan itu benar-benar tidak punya rasa malu, padahal di sini cukup ramai. Kejadian di cafe kemarin sudah membuat berita tentangnya viral, otomatis banyak yang kini mengenali wajahnya. Namun, entah kenapa dia malah semakin menjadi-jadi. Tidak berbeda dengan Mas Bima, laki-laki itu juga kelihatan bangga menggandeng Erina di
Setelah memutuskan kembali bekerja, sekarang hari-hariku sangat sibuk. Setelah menyiakan keperluan anak-anak dan melepas mereka berangkat sekolah, aku juga bertolak ke kantor. Sejujurnya aku sudah lama sekali merindukan kesibukan seperti ini. Hampir lima tahun lamanya hanya menjadi ibu rumah tangga yang mengurusi seputar dapur, sumur, dan kasur saja tidak lantas membuatku canggung ketika kembali ke dunia bisnis. Penghianatan Mas Bima bagiku adalah pukulan telak yang membuat aku tersadar, bahwa kita tidak boleh menggantungkan harapan pada manusia. Siapapun itu baik orang tua atau suami sekalipun. Sejatinya manusia tempatnya khilaf dan salah. Berani menaruh harapan berarti sudah siap bila suatu saat akan mendapat kecewa. Setelah perceraian ini aku akan fokus pada pekerjaan dan anak-anak. Tidak ada alasan untuk aku terpuruk setelah melepas Mas Bima untuk Erina, ada Raya dan Bella yang lebih membutuhkan aku. Aku akan membahagiakan mereka walaupun tanpa didampingi sosok ayahnya. Sekara