“Bu, kita beneran mau pergi dari rumah ini?” tanya Bik Marni saat kami sudah berada di dalam mobil. Bukan mobil Mas Bima melainkan mobil baru yang Papa kirimkan untuk aku dan anak-anak pergi dari rumah ini. Ibu dan Kak Sinta sudah pulang setelah membahas semua masalah yang sedang keluargaku hadapi. Kak Sinta sudah paham kemana arah yang akan kuambil, tetapi ibu sepertinya masih berat untuk menerima perpisahan ini. Mungkin ada penyesalan dan rasa bersalah mertuaku dari peristiwa masa lalu. Namun, tidak ada yang menjamin Mas Bima tidak selingkuh walaupun dulu ibu memperhatikan anak lanangnya itu dengan baik. Mungkin sudah takdirnya mencintai perempuan yang lebih berumur.“Bibik kenapa? Kalau masih mau kerja di rumah ini saya enggak maksa untuk ikut dengan saya.”“Bukan, bukan begitu maksud saya, Bu.” Aku melihat ke belakang tempat Bik Marni duduk dari spion tengah. “Saya hanya memikirkan anak-anak pasti mereka kaget tiba-tiba pindah rumah tanpa ayahnya.”Hal itu pun cukup membebani fi
Aku masih ngobrol santai dengan Armila setelah pembahasan serius tadi. Lama tidak berjumpa sebab kesibukan masing-masing membuat kami punya banyak bahan obrolan. Tidak sengaja menoleh ke arah pintu masuk, di sana kulihat seorang wanita berpenampilan mirip artis murahan. Gaun ketat di atas lutut menunjukkan paha putih mulus, dengan model potongan dada rendah, dua gundukan itu seperti hampir keluar. Dia Erina, perempuan baya yang menggusur tempatku dari singgasana keharmonisan rumah tangga. Penampilannya sungguh jauh dari pencapaian usianya. Dia hanya sendiri. Ke mana Mas Bima? Bukankah tadi mereka pergi bersama? Sesaat kemudian laki-laki yang masih sah menjadi suamiku menyusul, langsung merangkul pinggang ramping Erina. Senyum semringah terpancar dari bibir mereka. Sesekali saling pandang sembari melempar senyum. Mereka benar-benar sedang mabuk kepayang.Beberapa pengunjung kafe kudapati memperhatikan tingkah keduanya, tetapi Mas Bima dan Erina cuek saja dengan keadaan sekeliling. Pad
“Bima!”Baru saja menghenyakkan tubuh di tempat tidur saat suara seseorang memanggilku dengan nada tinggi. “Siapa Sayang?”“Entahlah. Tidak sopan sekali datang ke rumah orang teriak-teriak.”“Bukan istrimu?”“Biar aku lihat, kamu tunggulah di sini sebentar.”“Jangan lama, Sayang.” “Iya.” Kukecup kening Erina sebelum meninggalkan dia di dalam kamar. “Bima keluar kamu! Kakak tahu kamu ada di rumah!”Aku keluar dari kamar dan melihat Kak Sinta bersama Ibu sudah berdiri di ruang tengah rumahku. Perempuan itu menatapku bagai singa yang sudah lama tidak bertemu mangsa, hendak menerkam. “Kelakuan kamu kebangetan, Bim! Bikin malu keluarga!” “Kakak kenapa datang marah-marah? Aku ada salah apa?” Kuhampiri keduanya.“Masih bisa tanya salah kamu apa? Kamu enggak sadar apa yang kamu lakukan? Heh!” “Kalau ngomong yang jelas, Kak!”“Ini! Masih kurang jelas?” Kak Sinta mengangkat ponselnya di depan wajahku. Pada layar yang menyala terang tersebut ada gambarku dan Erina yang di unggah oleh satu
Aku masih duduk di hadapan Ibu yang berurai air mata di dekapan Kak Sinta. Mendengar cerita yang meluncur dari mulut mertuaku betapa laki-laki yang menjadi suamiku sudah sangat keterlaluan memeperlakukan orang tuanya sendiri, hatiku ikut merasakan teriris dan perih. Bukan hanya lupa daratan, calon mantan suamiku itu juga sudah lupa asal usulnya. Kepada ibu yang sudah melahirkan dan membesarkannya dia pun sangat keras kepala. “Meswa, Ibu minta maaf sama kamu. Ibu gagal mendidik Bima menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Ibu sudah mengecewakan kamu dan keluarga besarmu, Nduk.”Aku saja yang tidak ada ikatan darah dengan Ibu Sekar merasa iba. Entah bagaimana bisa Mas Bima membantah ucapan perempuan tua ini dan kekeuh pada keputusannya untuk tetap menikah dengan Erina. Kurasa bukan hanya mata yang dibutakan oleh cinta, hatinya pun telah dikuasai oleh Erina seutuhnya.“Sebenarnya ibu tidak tega kamu diperlakukan seperti ini dengan Bima, kalau boleh Ibu minta tolong jangan berpisah dar
Pagi ini aku pergi ke pengadilan agama di dampingi seorang pengacara yang Armila rekomendasikan. Kata Armila hanya untuk jaga-jaga kalau Mas Bima dan pengacaranya mengajukan banding atau keberatan atas gugatan yang aku layangkan.Ketika aku datang, Mas Bima dan pengacaranya juga Erina sudah menunggu di teras gedung ruang sidang. Aku dan gundik tua itu sempat bertatapan. kami berperang lewat tatapan mata. Andai bisa dilihat, mungkin seperti ada dua aliran listrik yang bertemu di udara lalu bertabrakan dan memercikkan api.Dia terlihat santai dan cuek saja datang ke persidangan ini. Selama menunggu Erina pun tidak melepas genggaman tangannya dari lengan Mas Bima. Perempuan itu benar-benar tidak punya rasa malu, padahal di sini cukup ramai. Kejadian di cafe kemarin sudah membuat berita tentangnya viral, otomatis banyak yang kini mengenali wajahnya. Namun, entah kenapa dia malah semakin menjadi-jadi. Tidak berbeda dengan Mas Bima, laki-laki itu juga kelihatan bangga menggandeng Erina di
Setelah memutuskan kembali bekerja, sekarang hari-hariku sangat sibuk. Setelah menyiakan keperluan anak-anak dan melepas mereka berangkat sekolah, aku juga bertolak ke kantor. Sejujurnya aku sudah lama sekali merindukan kesibukan seperti ini. Hampir lima tahun lamanya hanya menjadi ibu rumah tangga yang mengurusi seputar dapur, sumur, dan kasur saja tidak lantas membuatku canggung ketika kembali ke dunia bisnis. Penghianatan Mas Bima bagiku adalah pukulan telak yang membuat aku tersadar, bahwa kita tidak boleh menggantungkan harapan pada manusia. Siapapun itu baik orang tua atau suami sekalipun. Sejatinya manusia tempatnya khilaf dan salah. Berani menaruh harapan berarti sudah siap bila suatu saat akan mendapat kecewa. Setelah perceraian ini aku akan fokus pada pekerjaan dan anak-anak. Tidak ada alasan untuk aku terpuruk setelah melepas Mas Bima untuk Erina, ada Raya dan Bella yang lebih membutuhkan aku. Aku akan membahagiakan mereka walaupun tanpa didampingi sosok ayahnya. Sekara
Kursi direktur Wijaya Perkasa sekarang yang menjadi singgasanaku. Bercerai dari Meswa dan berhenti dari perusahaanya aku sama sekali tidak rugi, justru mendapat keuntungan berkali lipat. Akhirnya aku mendapat jalan untuk bisa menyatukan cinta dengan kekasihku—Erina dan meraih posisi aku idamkan. Tidak seperti Meswa yang membohongi aku tentang seluk beluk perusahaannya, Erina memberiku kedudukan yang selama ini aku impikan, di perusahaanya. Tanpa bersusah payah akhirnya aku bisa duduk di kursi kebesaran seorang Dirut perusahaan besar dan ternama. Setelah hakim mengetuk palu perceraian aku akan langsung menikahi Erina, untuk mewujudkan impiannya.Sebentar lagi Wijaya Perkasa akan resmi berada di genggaman Tuan Bimantara. Setelah itu aku akan mengepakkan sayap perusahaan ini hingga ke puncak kejayaan. Aku akan memanfaatkan posisi ini untuk membuat Meswa bertekuk lutut dan merasakan malu yang sama seperti saat dia mencampakkan aku dari kantornya. Ya, aku akan buktikan kalau aku bisa lebi
Beberapa jam yang lalu aku barusaja mendapat email laporan dari perusahaan. Membaca isi email tersebut seketika membuat kepala ini di dera rasa sakit. Berlembar-lembar laporan semuanya membuat aku kecewa dan naik tensi. Bagaimana bisa dalam waktu beberapa hari saja perusahaanku kehilangan lebih dari separuh investor? Padahal bulan yang lalu nilai saham di perusahaanku menempati urutan nomor satu, yang paling tinggi diantara perusahaan lain. Ini benar-benar kabar yang akan membuat tidurku dihantui mimpi buruk, kebangkrutan Wijaya Perkasa. Penurunan yang dialami perusahaan bermula dari tersebarnya berita perselingkuhan Bima denganku di banyak media sosial. Aku tidak menyangka kejadian di café waktu itu akan bisa menimbulkan akibat sangat fatal untuk masa depan perusahaanku. Kalau seperti ini jerih payah dan keringatku bertahun lamanya membangun Wijaya Perkasa akan segera berakhir sia-sia. Aku harus meminta Bima menyelamatkan perusahaan dan menarik kembali investor yang sudah mundur.Se
Dalam hati aku tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah atas segala nikmat kebahagiaan mala mini. Setelah badai dan ombak besar menguji kehidupan, dengan begitu murah hatinya Dia ganti semua sakit dan kekecewaan dengan pelangi kebahagiaan yang lebih indah. Pukul sembilan malam keluarga Fauzan pamit undur diri. Aku, Mama dan Papa mengantarkan mereka hingga ke depan rumah. Om Anwar dan Papa berpelukan begitu juga dengan Tante Santi yang bergantian memeluk aku dan Mama. Fauzan menyalami kedua orang tuaku lalu mencium punggung tangannya. Setelah menegakkan tubuh lelaki itu memandangku lembut lalu menganggukkan kepala. “Aku pulang dulu,” katanya lembut.“Hati-hati, Zan.”Dia mengangguk, “Terima kasih, Meswa,” katanya lalu dia pemit masuk ke dalam mobil.Aku melambaikan tangan pada mobil Fauzan yang perlahan mulai bergerak dan meninggalkan pekarangan rumah Papa. Papa dan Mama sekarang sudah masuk ke dalam rumah. Aku sudah hendak masuk saat pintu mulai di tutu oleh satpam, tetapi
Hari ini aku pulang lebih awal, week end saatnya meluangkan waktu untuk bersama anak-anak. Belum genap pukul tiga saat aku masuk ke rumah. Tidak kudapati anak-anak, hanya pengasuh mereka yang kutemui tengah berada di dapur. “Anak-anak mana, Bik?” tanyaku sambil meletakkan paper bag dan tas di atas meja makan. “Anak-anak sedang dibawa Pak Santoso, Bu. Katanya tadi mau jalan-jalan.”“Sudah lama perginya?” tanyaku lagi. Aku mencuci tangan sebelum mengambil gelas dan mengisinya dengan jus jeruk dari kulkas.“Sekitar satu jam yang lalu. Enggak tahu kalau Ibu pulang lebih cepat, mungkin kalau tadi bilang bisa di tunggu.” “Enggak apa-apa, Bik. Nanti saya bisa nyusul mereka. Anak-anak enggak resel, kan?” “Enggak, Bu. Semakin kesini mereka semakin pinter, ngerti kalau dibilangin.” Jawaban Bik Marni cukup membuatku lega. Setiap hari aku selalu memantau perkembangan anak-anak lewat Bik Marni. Menjadi hal wajib menanyakan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Bella dan Raya seharian selama t
Aku mengalihkan sebentar pandangan dari layar computer pada arah pintu ketika terdengar suara ketukan. Sedetik kemudian pintu terkuak dan yang terlihat sosok mantan suami berdiri di sana. Dia masuk lalu meletakkan secangkir minuman dengan aroma melati yang khas di mejaku.“Terima kasih.” Setelah itu aku hendak kembali fokus pada pekerjaan. “Meswa, bisa bicara sebentar?”Aku sengaja ingin mengabaikan pertanyaan atau lebih tepatnya permintaan Bima dengan menyibukkan diri menatap computer. Mungkin ada lima menit aku diamkan laki-laki itu masih berdiri di tempatnya. Lagi-lagi aku memalingkan pandangan dari lembaran pekerjaan dan melihat pada wajah Bima. “Sebentar saja,” katanya lagi terdengar memohon.Aku mengangguk, “Duduk lah!” Seulas senyum terlihat di wajahnya ketika kupersilahkan dia duduk.Sekarang dia sudah duduk di kursi depan meja kerjaku. Rasanya kami lama tidak berjumpa, beberapa hari ini aku memang tidak melihatnya ada di kantor. Di sini aku bisa melihat tulang pipinya nampa
“Kalau ayah masih ada pasti beliau sangat kecewa mengetahui anak kesayangannya yang dibangga-banggakan melakukan hal seperti ini.” Bicaranya ibu terjeda-jeda sebab sesekali terisak. “Kamu salah kalau merasa dibedakan dalam hal kasih sayang dan perhatian, Bim. Bahkan perjodohan itu bukan bertujuan untuk membatasi kebebasanmu dalam memilih pasangan. Ayahmu sudah memikirkan semuanya, dia tidak ingin kamu kembali pada alur kehidupan yang terlunta-lunta. Ayah memilihkan Meswa sebagai istri sebab dia perempuan yang baik, lembut dan penurut. Seperti Meswa lah yang bisa mengimbangi dirimu yang penuh ambisi.Bahkan untuk kesejahteraanmu di masa yang akan datang sudah ayah rancang sedemikian rupa. Sayangnya kamu sendiri yang menghancurkannya. Kepemilikan perusahaan sengaja di rahasiakan sebab ayah yang meminta. Ayah ingin kamu juga merasakan perjuangan untuk mencapai posisi tertinggi. Namun, malah kesalah pahaman yang terjadi. Ibu malu pada Meswa, juga segan pada kedua orang tuanya. Dulu kami
“Anak adopsi ….” Tanganku bergetar hebat ketika membaca isi surat di hadapan. Perasaan bersalah yang teramat membuatku tergugu di hadapan Ibu dan Kak Sinta. Air mataku mengalir deras mengetahui kenyataan bahwa aku bukan anak yang lahir dari rahim perempuan yang selama ini kutahu merawat dan menyayangiku sepenuh hatinya. “Ibu … astagfirullah, Bu.” Tubuh ibu terhuyung, perempuan berusia setengah abad lebih itu menekan dadanya dengan kedua tangan. Kak Sinta sigap menopang tubuh perempuan di sampingnya lalu membimbing beliau untuk duduk. Ibu nampak kesulitan bernafas, membuat Kak Sinta panik dan segera mengambil obat asma milik ibu di kamar. Tidak hanya Kak Sinta, kepanikan pun menyergap aku. Kak Sinta kembali dan membantu ibu agar duduk tegak. Kemudian ibu memasukkan inhaller ke mulut dan menyemprotkan obat itu. Butuh beberapa detik untuk obat hirup tersebut sampai di paru-paru dan bekerja dengan baik. Ibu terlihat menarik napas panjang beberapa kali.“Ibu rileks, ya.” Kak Sinta meng
Aku menatap gedung kantor Prameswari Mandiri yang gagah menantang kegelapan. Jam tujuh malam, aku masih betah berada di café yang terletak tepat di seberang kantor—tempat favoritku dan Meswa—dulu. Entah kenapa aku merasa enggan untuk pulang dan menemui Erina yang tentu saja sedang menunggu di rumah. Kenapa aku menikahi Erina kalau akhirnya mencintai Meswa? Ah, Bima memang bod*oh. Sejak lama sudah menyadari bahwa perasaanku pada Erina tidak kuat dan kokoh. Aku hanya terpesona sesaat dan dibutakan oleh nafsu pada Erina. Perempuan yang benar-benar menawan hatiku hanya Meswa. Namun, rayuan dan kata-kata manis Erina berhasil membuatku candu dan meninggalkan cinta sejati. Terdengar suara notifikasi pesan dari ponsel. Aku mendengkus, pasti Erina yang mengirimiku pesan. Tidak hanya sekali, bunyi notifikasi terdengar beberapa kali. Semakin membuatku geram pada perempuan itu. Terpaksa meraih ponsel yang sejak tadi kusimpan di meja. Di layar utama nampak balon chat dari salah satu aplikasi be
“Bima, kamu tidak boleh meninggalkan aku. Kamu tidak boleh kembali dengan perempuan itu!” Setelah belasan bahkan mungkin puluhan kali mengabaikan telepon dariku, akhirnya Bima menjawabnya dan kini perasan takut akan ditinggalkan semakin kuat menerorku. Perasaan di dalam hatiku berkecamuk. Kecewa, sedih, marah dan takut bercampur menjadi satu seperti pusaran tornado yang akan meluluh lantakkan mimpi indahku. Aku hanya ingin dicintai oleh orang yang juga kucintai. Kenapa hal sekecil itu sulit untuk seorang perempuan bernama Erina? Papi, Alex, Bima dan yang lain, kenapa kalian para lelaki tidak bisa mengerti?“Apa istimewanya Meswa. Kenapa Bima begitu memuja dan ingin kembali?” Aku bertanya entah pada siapa, sebab hanya sendirian di kamar ini. Kuusap air mata yang terus mengalir tanpa diminta. Erina bukan perempuan lemah. Erina bisa mendapatkan apa yang dia ingin. Erina tidak ada yang bisa menyaingi. Aku tertawa kini. Seperti orang kehilangan akal sehat. Tertawa sambil bercucuran air
“Kamu payah Bima! Bahkan untuk mempertahankan seorang Meswa pun tidak bisa. Kamu bodoh, Bima! Bodoh!” Aku memaki diri sendiri sembari mengusap kasar rambut hingga berantakan. Rintik gerimis di luar semakin deras, air yang turun dari langit seakan ikut merasakan kegundahan yang tengah melanda hati ini. Masih terngiang penolakan Meswa saat kuajak dia rujuk. Tidak menyangka secepat ini Meswa move on dariku. Secepat ini hatinya tertutup untuk aku. Apa yang kini kurasakan pada Meswa? Aku hanya tahu kalau aku begitu ingin mendapatkannya kembali. Cintakah yang membuatku kini merasa dirinya sangat berharga? Cinta? Kenapa citaku pada Meswa datangnya terlambat? Kenapa setelah aku membuang barang tersebut kini baru kusadari aku begitu membutuhkannya?Kenapa cinta seolah mempermainkan hidupku? Berawal dari cinta masa laluku yang belum usai hingga menjadikan itu penyebab kekacauan hidupku. Gara-gara begitu membela rasa yang kukira cinta pada seorang perempuan bernama Erina, aku jadi mengabaika
Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu aku masuk ke ruangan Meswa. Perempuan itu tengah menekuri berkas-berkas penting di atas meja kerjanya. Dia tetap menunduk tanpa menoleh sedikitpun ketika aku melangkah masuk dan kini berdiri tepat di depan meja kerjanya. “Meswa, aku membuatkan teh melati untuk kamu.” Jam istirahat siang aku sengaja membawakan minuman kesukaan Meswa ke ruangannya. “Terima kasih.” Hanya itu yang di ucapkan, aku berharap dia mengatakan yang lebih banyak. “Apa kamu ingin sesuatu untuk makan siang?” tanyaku lagi.“Tidak ada, terima kasih.”Aku kehabisan kata-kata, nampaknya telah salah memilih waktu. Perempuan itu terlihat masih sibuk mengetik sesuatu pada keyboard komputernya. Harus kuakui dia tidak hanya lues mengurus pekerjaan rumah tangga, tetapi juga seorang yang professional di balik meja kerja. Salah satu hal yang aku kagumi dari sosoknya.Meswa bangkit dari kursinya, melangkah pada lemari besar di sudut ruangan. Di dalam lemari berpintu kaca itu terdapat bany