Dalam hati aku tidak henti-hentinya mengucap syukur kepada Allah atas segala nikmat kebahagiaan mala mini. Setelah badai dan ombak besar menguji kehidupan, dengan begitu murah hatinya Dia ganti semua sakit dan kekecewaan dengan pelangi kebahagiaan yang lebih indah. Pukul sembilan malam keluarga Fauzan pamit undur diri. Aku, Mama dan Papa mengantarkan mereka hingga ke depan rumah. Om Anwar dan Papa berpelukan begitu juga dengan Tante Santi yang bergantian memeluk aku dan Mama. Fauzan menyalami kedua orang tuaku lalu mencium punggung tangannya. Setelah menegakkan tubuh lelaki itu memandangku lembut lalu menganggukkan kepala. “Aku pulang dulu,” katanya lembut.“Hati-hati, Zan.”Dia mengangguk, “Terima kasih, Meswa,” katanya lalu dia pemit masuk ke dalam mobil.Aku melambaikan tangan pada mobil Fauzan yang perlahan mulai bergerak dan meninggalkan pekarangan rumah Papa. Papa dan Mama sekarang sudah masuk ke dalam rumah. Aku sudah hendak masuk saat pintu mulai di tutu oleh satpam, tetapi
"Sayang .... "“Teruskan, Mas …. ““Ah … aku tidak bisa melakukannya.”Mas Bima beringsut mundur dari posisinya di atas tubuhku dan langsung mengenakan pakaiannya. Dadaku bergemuruh, nafasku memburu. Kecewa. Sedangkan lelaki yang sangat kucintai itu menatapku dengan wajah penuh penyesalan. Baru saja kami akan melakukannya, tetapi harus gagal sebab Mas Bima menyerah. “Ada apa, Mas?”“Aku—aku tidak bisa melakukannya malam ini, Dek.”“Tapi kenapa, Mas? Apa aku sudah tidak menarik untuk kau sentuh?” kataku menahan tangis.“Bukan begitu, Dek. Aku …. ““Kamu sakit, Mas?” sambarku tidak sabar menunggu ucapan Mas Bima yang menggantung.Ini adalah kesekian kalinya laki-lakiku gagal melakukan kewajibannya sebagai suami. Padahal kami sudah lama tidak melakukannya. Entah apa yang menyebabkan dia tidak bisa bangkit, padahal aku sudah berusaha membantunya. "Kenapa diam, Mas? Aku butuh jawaban!"Aku bersiap mendengar jawaban dari Mas Bima. Aku butuh alasan, kenapa dia seolah enggan menyentuh tubuh
Setelah Mas Bima berangkat kerja, aku memilih kembali ke kamar. Anak-anak sudah ke sekolah diantar sopir. Biasanya aku akan membantu Bik Marni membereskan meja makan, tetapi kali ini kurasa sangat malas melakukannya. Aku menjatuhkan bobot di kursi depan meja rias. Duduk memandang pantulan wajah sendiri di cermin. Make up tipis yang tadi kupoles tidak lantas menyembunyikan mendung di sana. Lagi-lagi aku bertanya-tanya pada diri sendiri. Apakah aku sudah tidak menarik? Sebagai perempuan normal yang sudah pernah merasakan berhubungan, apa yang terjadi semalam membuatku insecure. Aku khawatir tidak bisa memuaskan Mas Bima di rumah dan dia akan mencari pelampiasan di luar. Walaupun selama ini kuakui Mas Bima sosok yang setia dan tidak neko-neko. Akan tetapi, kemungkinan-kemungkinan buruk bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, tanpa pandang tipe yang bagaimana. Biarpun iman seseorang kuat, kalau tidak bisa menahan nafsu si imron siapa yang bisa menjamin sebuah kata setia? Drrrttt … d
Malamnya Mas Bima sampai di rumah pukul dua belas malam. Umumnya waktu lembur kantor hanya sampai jam sembilan malam, kalau pun molor tidak lantas sampai jauh larut. Aku belum tidur saat Mas Bima pulang, sengaja menunggunya di ruang tengah rumah kami. Terdengar derit pintu utama terbuka, lalu ditutup lagi dan denting anak kunci di putar. Dia memang punya kunci cadangan, jadi sewaktu-waktu pulang tidak perlu membangunkan aku atau pembantu kami untuk membukakan pintu. Aku menunggu hingga Mas Bima sampai di ruang tengah. "Baru pulang, Mas?" tanyaku tanpa beranjak dari duduk berselonjor di sofa panjang. Aku melihat Mas Bima terlonjak hingga langkahnya mundur beberapa jengkal. Aku sengaja mematikan lampu utama di ruangan ini dan hanya menyalakan lampu hias kecil yang cahayanya sangat temaram. Wajar kalau Mas Bima tidak melihatku, ruangan ini cukup gelap. "Kamu belum tidur, Dek?" tanya Mas Bima kemudian. "Belum. Kenapa larut sekali pulangnya, Mas?" jawab dan tanyaku seraya beranjak men
"Abisnya kamu ngomong seperti itu. Kesannya kamu kayak enggak percaya sama suamimu sendiri! Lagian malam ini tumben kamu belum tidur, terus banyak tanya-tanya kayak wartawan. Aku seharian kerja, capek. Di rumah masih kamu todong dengan pertanyaan-pertanyaan enggak bermutu seperti ini. Huh, buang-buang waktu tau, enggak!" papar Mas Bima kesal. "Kamu kenapa jadi baper gitu, sih, Mas? Biasanya juga aku tanya-tanya, kamu biasa, aja. Lagian apa salahnya kalau aku nunggu kamu sampe pulang lembur? Waktu lemburmu juga makin enggak wajar. Kamu, kan di kantor ada asisten juga, apa gunanya bayar sekretaris kalau semuanya masih kamu kerjakan sendiri?" "Dek, walaupun ada sekretaris beberapa pekerjaan harus aku yang kerjakan sendiri, enggak bisa diwakili orang lain. Jadi aku dan Fina masing-masing udah ada tugas, kami sama-sama sibuk ngurus kerjaan masing-masing. Aku bayar Fina untuk membantu meringankan tugas. Kamu sendiri, kan pernah kerja di kantor. Taulah, bagaimana kondisi kami!" Aku melipa
Terdengar suara hembusan nafas panjang dari lelaki di sebelahku. Kurasa itu bentuk kelegaanya, sebab aku sudah tidak marah-marah lagi. Lega kamu sekarang, Mas. Nanti kalau aku sudah pegang bukti itu akan kubuat kamu sesak nafas, kalau perlu sampai kamu berhenti bernafas!"Hmmm ... tidak apa-apa, Dek. Mas tau kamu khawatir, Mas juga sudah berusaha supaya pulang tepat waktu tapi mau bagaimana pekerjaan memang sedang banyak."Ya, pekerjaan di kantor memang sedang banyak dan sekarang Mas Bima punya kegiatan tambahan, menghangatkan sekretarisnya tentu saja waktu lembur suamiku jadi lebih panjang. Awas kamu Mas, kalau kamu benar berselingkuh dengan Fina siap-siap menerima akibatnya! "Ya sudah, Mas segeralah bersih-bersih supaya bisa cepat istirahat. Aku ke dapur dulu membuatkan teh hangat. Besok minta orang untuk memperbaiki AC di ruanganmu." Kupaksakan mengukir senyum. Kubalas sandiwaranya dengan kepura-puraan juga, imbang bukan? Mas Bima mengangguk lalu masuk ke kamar mandi. Tak lama t
Mobil yang kutumpangi melesat membelah jalan raya yang tidak terlalu padat siang ini. Setelah menjemput anak-anak di sekolah, kami di antar sopir menuju rumah Ibu. Mas Bima tidak bisa mengantar kami, katanya ada meeting dengan klien dari luar kota. Anak-anak begitu antusias saat kuberitahu akan mengunjungi neneknya. Mereka sibuk minta singgah di supermarket ingin membawakan oleh-oleh ini dan itu untuk Ibu. Sudah menjadi kebiasaan memang, setiap kali kami berkunjung ke rumah ibunya Mas Bima atau orang tuaku kami tidak datang dengan tangan kosong. Entah itu buah, kue, atau barang lain ada saja yang kami bawa sebagai buah tangan. Rumah orang tua kami masih di satu kota yang sama, kami membagi waktu untuk mengunjungi mereka. Biasanya kami gilir dua minggu sekali. Sejauh ini hubungan kedua belah kelurga terjalin dengan baik, malah bisa dikatakan sangat baik. Sebab, dulunya ayah mertua adalah sahabat papaku, jadi mereka sudah banyak tahu satu sama lain. Ibu Sekar, mertuaku adalah pensiun
Sekian lama menjadi menantu aku sudah terbiasa dengan suasana rumah Ibu, hampir seluruh seluk beluknya setiap ruangan di sini aku tahu. Jadi, rumah ini sudah seperti rumahku sendiri. Ibu membebaskan kami, apapun yang kami ingin lakukan, apa yang ingin kami masak atau makan selagi ada persediaan bahan untuk di olah Ibu tidak mempermasalahkannya. “Udah makan belum, Dek? Kakak masak ikan bakar sama cumi balado. Cicipi, gih!” kata Kak Sinta saat melihat aku mengikutinya ke dapur. Di meja makan sudah terhidang ikan bakar, cumi balado dan udang goreng tepung. Ada sayur sop dan tumis kangkung tanpa cabai kesukaan anak-anakku juga.“Tuben Kakak masak banyak?” tanyaku seraya duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan.“Sebagian ibu yang masak karena kamu mau datang. Kakak sendiri boro-boro mau masak segitu banyak. Hari-hari, aja beli,” seloroh kakak iparku itu. “Dedek ini manja banget. Enggak boleh mamanya bergerak dikit. Maunya disuruh nimang-nimang dia, aja sepajang hari,” lanj